Cerpen kisah Nyata tentang aku yang ditulis oleh kakak Nur Baidha, Terimakasih ya Kak Idha, Kak Idha sudah menjadi motivator terbaik sehingga aku bisa seperti sekarang ini.
“Di tanah Alas[1] yang erat dengan aroma
laut memekak hidung dan pikiran... aku mencoba
menggores jejak masa depanku, memcoba membuat langkah perubahan dalam hidup
keluargaku… diiring doa, asa dan keringat dari
mama di tanah Arab”
Hari ini konsentrasi
belajarku pecah, dibangku 12IPA-1 pojok kanan kedua dari belakang, aku terkulai
duduk malas sambil menatap kosong pak Syamsu yang semangat mengobarkan
siswa-siswinya tentang sistem reproduksi manusia yang besar kemungkinan akan
keluar dalam ujian nasional nanti. Ujiannya tinggal dua bulan lagi. Walau hanya
berbekal sedikit ilmu “baca” dan “hafal”, aku sudah siap menghadapi ujian.
Namun bukan ujian yang membuat diriku terkulai malas dibangku ini, melainkan
aku sedang menanti transferan ke rekeningku yang tak kunjung datang.
“baiklah anak-anak, pelajaran kali ini
selesai, jangan lupa PRnya harus sudah saya terima lusa, sekarang kalian boleh
pulang?!” ujar pak Syamsu sambil memasuki spidol snowman boardmaker kedalam
kantong bajunya dan bergegas keluar kelas.
Suara pak Syamsu yang
disambut oleh hiruk pikuk 12IPA-1 membuatku tersadar. Syukurlah, akhirnya aku
pulang. Aku akan ke ATM untuk mengecek apakah transferan sudah masuk. Mamaku
bilang, uangnya sudah dikirim 2 hari yang lalu. Namun 2 hari tak ku lihat
nominal rekeningku bertambah. Rasanya ingin sekali aku berteriak dan marah pada
dunia. Mengapa aku masih bergantung pada transferan?, Ya Allah, aku tidak
berhak marah kepada mamaku, ia sudah berjuang keras di Tanah Suci Mekkah,
berjuang mencari nafkah agar aku dapat sekolah. Berjuang demi lembaran-lembaran
rupiah walau dengan terpaksa melepaskan diriku dan adik kecilku yang masih
berusia 2 tahun. Baiklah, optimis!! hari ini nominal dalam rekeningku akan
bertambah.
“ooo ti, ti!!! tari aku
ne[2]….”
serentak suara anak perempuan mengagetkan diriku.
Aku berbalik, ternyata
Ana yang memanggilku. Aku menatap Ana dengan lusuh, ia memperlambat waktuku untuk
sampai ke ATM. “Cepatlah Ana?!” ujar hatiku.
Sambil memukul
pundakku, Ana berkata “Ti, tu alo bekela mo, bekela pelcing pang bale iyun.
Iyun kam beli laras peno tawa kita, rowa kau ke[3]?” Ana
menyampaikannya sambil tersenyum, ajakannya sangat mengiurkan.
“no bau aku Ana ne[4],
aku masih ada urusan” ujarku.
“Aina kau,?!! roa nan luk[5],
Emang apa urusanmu. Perasaan mamamu sudah ke Saudi dan adikmu dijaga oleh
nenekmu. Nyantai sedikit apa susahnya si?!” senyum Ana berubah menjadi senyum
kekecewaan.
“maaf, urusanku penting, aku harus cek
transferan dari mamaku karena aku butuh sekali uang untuk belanja kebutuhan sehari-hari”
“oo gitu, ya udah, lain kali kamu harus
ikutan bekela[6]
bareng kita ya” Ana menepuk bahu seraya meninggalkanku.
Syukurlah Ana mengerti.
Memang sudah seharusnya ia mengerti. Walau Ana anak seorang petani tetapi kedua
orangtuanya masih sanggup membiayai sekolahnya bahkan sampai ke jenjang kuliah.
Sedangkan aku, hanya untuk duduk dibangku Sekolah Menengah Atas, mama harus
ikhlas meninggalkan anak-anaknya mencari biaya sekolahku, kata mama, sekalian
untuk persiapan diriku kuliah.
Panas kota Alas membuat
langkahku terasa berat, suara perutku berteriak keras, sepertinya sudah sulit
untuk diajak kompromi. Sabar?!, ATM sudah dekat, jarak sekolahku dan ATM BNI
tidaklah jauh. Hanya 100 meter saja. Dengan sedikit langkah terseret, akhirnya
aku sampai di kotak uang bertulis ATM BNI 46. Hari ini ATM sepi, langsung ku
dorong pintu ATM dan serentak hawa dingin ATM membuat penatku berkurang dan
rasa laparku hilang. Ah…Sejuknya?!.
OK?! pin sudah ku
pencet dan ini dia pencetan yang aku tunggu-tunggu “informasi saldo”,
bismillahirahmanirrohim, mudah-mudahan sudah ada. Alhamdulillah, angka-angka
dalam rekeningku memanjang, uang transferan dari mama sudah masuk. Ya Allah,
terima kasih. Mama, terima kasih. Sungguh, betapa tak sabarnya diriku beberapa
menit yang lalu, ketidaksabaranku membuatku hendak teriak dan marah, namun
semuanya sirna. Allah bisa dipercaya, apa yang diucapkan mama benar bahwa uang
sudah ditransfernya. Aku lupa, bisa jadi ada proses kliring mengingat transaksi
yang dilakukan mama adalah transaksi lintas negara. Maafkan aku mama yang sudah
berniat untuk marah karena tak sabar menerima transferan uang darimu.
Baiklah, aku tarik uang
secukupnya, setidaknya hari ini nenek tidak perlu pusing lagi memikirkan lauk
pauk dan ongkos ojekku ke sekolah besok dan besok lagi. uang yang ditransfer
mama lumayan banyak, cukup untuk biaya hidup 3 bulan lamanya. bayangkan saja, Sudah
satu bulan ini hatiku resa, nenek terlihat pusing, sawah nenek gagal panen
karena kurangnya pasokan air. Saat awal menanam padi, hujan turun, namun
setelah empat hari menanam padi, hujan tidak kunjung turun dan mengakibatkan
nenek gagal panen. Sebulan ini kami hanya bertahan dengan makan nasi berteman
sayur kelor dan sambal Bage[7]’.
Kadangkala nenek juga menambahkan Jangan Bage’[8]
dalam menu makanku dan adikku. Untungnya adikku yang kini berusia tiga tahun
sudah tidak minum susu lagi sehingga pengeluaran tidak terlalu banyak. Walau
dengan menu lauk seadanya, makan bareng nenek sudah membuatku terasa kenyang.
Nenekku yang kini beranjak usia 62 tahun masih sabar merawat kami tanpa pernah
mengeluh. Bagi nenek, aku dan adikku sangat berharga. Kata nenek, dalam diri
kami, ada bayangan mama. Nenek hanya berharap semoga aku dapat meraih
cita-citaku dan membuat perubahan dalam hidupku. Nenek selalu berpesan padaku,
“belajar baik-baik ya papu[9]’,
jangan lupa sholat dan ngaji agar apa yang kamu inginkan dapat tercapai”.
Dapat uang dari mama
dan mengingat nenek serta adikku membuatku tak sabar untuk cepat-cepat sampai
ke rumah. Saat ini aku masih numpang di rumah nenek. Jarak sekolah dan rumah
nenek lumayan jauh. Sekolahku berada di kota kecamatan Alas, sedangkan rumah
nenek ada di desa Lekong, jaraknya belasan kilo meter. Biasanya aku berangkat
sekolah nunut adik sepupuku, ia menggunakan motor sepeda untuk berangkat
sekolah. Untungnya ia tidak pernah menarik bayaran pada diriku, padahal sudah
hampir 2 tahun ia nunut di motornya. Jarak kami selisih 1 tahun, aku lebih
besar 1 tahun dari dirinya. Bila pulang sekolah, aku biasanya naik ojek,
mengikhlaskan uang saku daripada jalan belasan kilometer. Kerapkali aku iri
melihat teman-teman dapat membeli jajan di sekolah walau diantara jajan yang
mereka beli kadangkala cuman pisang goreng dan ubi goreng. Namun bagiku pisang
goreng dan ubi goreng sudah sangat mewah dan lezat. Biasanya aku hanya makan
pisang rebus atau ubi rebus olahan nenek. Kata nenek, jangan digoreng, eman
minyak gorengnya. Lebih baik dipakai untuk goreng ikan atau nasi goreng.
Setelah beberapa menit,
akhirnya aku sampai dirumah.
“Assalamu’alaikum!!!!!” teriakku
lantang.
“wa’alaikumsalam. We… kam mole papu ku
ampa?!, lema mo mangan?![10].
Ada nasi dan sayur kelor diatas meja. Buat sambal bage sendiri, Ape[11]
mau pergi ke rumah eya’[12]mu.
Ada pulang kakak Sap mu dari Jawa. Lily lagi tidur, jangan ribut-ribut?!”
nenek mengambil kre tudung[13],
melangkah berlahan-lahan menuju pintu dan menuruni tangga rumah panggung.
“Ape,
salam ko Kak Sap ae[14],
nanti ti datang ke rumah eya, tunggu lily bangun. Oya, Ape, sudah masuk kiriman
dari mama, ti sudah ambil sebagian untuk belanja Ape, ti taruh didalam lemari
Ape ya”, ujarku riang sambil mengikuti nenek sampai ke pintu.
“iya sudah, uangnya taruh di lemari,
ditempat biasanya. Nanti kalau lily bangun, langsung kamu ke rumah eya’ mu ya”
“iya Ape”
Dikeluarga kami, kak
Sap adalah sosok anak muda yang sukses. Sama lengkapnya Saparuddin, ia tamatan
SMA di kota Sumbawa dan setamat sekolah, ia masuk jadi tentara (anggota
TNI-AD), hanya dengan satu kali tes langsung lulus. Setelah lulus, ia
ditempatkan di kota Banyumas, Jawa Tengah. Hampir 2 tahun sekali ia pulang
kampung. Kehadirannya selalu ditunggu-tunggu karena ia selalu membawa segudang
oleh-oleh berubah baju dan sandal baru. Sayang aku tidak bisa mengikuti
jejaknya untuk bersekolah di kota Sumbawa.
Setelah Lily bangun,
aku bergegas menuju rumah eya ku. Kak Sap sudah menunggu kami karena ia sudah
membelikan baju baru untuk kami. Senangnya diriku, baju bermotif batik terlihat
indah sekali. Ku lihat, nenek juga mendapat baju dan kain baru dari kak Sap.
Nenek juga mendapat sejumlah uang dari Kak Sap, kata kak Sap, “anggap aja ini
angpao kesuksesan”, Sayang, nenek tidak mengerti apa itu angpao, tetapi satu
hal yang nenek mengerti, bahwa ia memiliki cucu yang sukses bernama Saparuddin.
Sungguh, kepulangan kak Sap selalu membawa keceriaan dan kebahagiaan bagi
nenek, aku dan Lily
Dua
bulan kemudian…
Akhirnya hari yang ditunggu datang juga,
saatnya menghadapi Ujian Akhir Nasional. Menjelang hari pertama ujian akhir
nasional, kami siswa dan siswi SMA Negeri I Alas mendapatkan libur dengan nama
ilmiah “Minggu Tenang”. Diharapkan satu minggu menjelang ujian, kami dapat giat
belajar agar kelak mendapatkan hasil yang memuaskan. Namun sayang, hanya
sebagian dari teman-temanku yang giat belajar menghadapi ujian, beberapa
temanku yang lain memanfaatkan minggu tenang untuk ngumpul bekela dan begosip[15],
atau sibuk pacaran, duduk berdua di rumah atau sekedar keluar mojok
ditempat-tempat yang sepi. Astagfirullah…
Kali ini aku
menggerakkan segala tenaga dan pikiran agar dapat menyelesaikan ujian dengan
lancar, Selama minggu tenang, selesai
sholat Isya aku langsung tidur agar dapat bangun jam 2 atau 3 Pagi untuk
belajar. Kata nenek, waktu sepertiga malam adalah waktu paling mujarab itu
ibadah dan belajar. Nenek juga membekaliku dengan seromong[16]
nasi dan ikan bage tunung[17].
Maklumlah, biasanya aku gampang lapar bila belajar diwaktu sepertiga malam.
Siang hari, sambil menjaga Lily, aku sempatkan untuk membaca dan menghafal.
Alhamdulillah… usahaku tidak sia-sia. Walau
dengan keragu-raguan, aku dapat mengisi setiap soal ujian yang ada. Insyaallah
aku lulus. Ini firasat baik bagiku. Untuk lulus, aku juga harus mengikuti ujian
sekolah dan ujian praktek.
Hampir 2 bulan setelah
ujian nasional terpampang jadwal pengumuman di Mading sekolah. Pengumuman
tersebut berisi pemberitahuan bahwa kelulusan akan diumumkan disaat acara
perpisahan minggu depan. Semua siswa siswi termasuk aku tidak sabar menanti
acara tersebut.
Aku butuh segera
mengetahui kelulusan tersebut, bila aku lulus akan memberitahukan mama di
Mekkah, bahwa aku berhasil menamatkan studiku di sekolah menengah atas.
Rencananya aku juga ingin memberitahu mama bahwa aku ingin kuliah di kota
propinsi, kota Mataram. Di kota Mataram terdapat universitas negeri yaitu
Universitas Mataram. Menurut cerita kak Sap, bila ingin kuliah, masuk universitas
negeri agar biayanya tidak besar dan kualitasnya bagus. Aku ingin masuk
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Kimia Universitas Mataram. Kesannya agak
muluk-muluk, tetapi biarlah…, aku menyukai Kimia walau aku akui, kemampuan
Kimiaku masih standard. Tetapi kabar dari anak-anak muda dikampung yang kuliah diluar pulau Sumbawa bahwa
jenjang kuliah tidak seperti saat kita duduk dibangku sekolah menengah atas,
bila kita kurang menyukai jurusan yang kita pilih walau saat sekolah menengah
atas kita tergolong pandai dengan jurusan tersebut, kita akan stress dan
prestasipun menurun. Oleh karena itu, kuliahlah di jurusan yang kita sukai,
agar motivasi belajar kita tinggi dan berprestasi.
Tak terasa, seminggu
pun berlalu. Kini aku duduk mengikuti acara perpisahan sekolah. Aku duduk
dengan tegang dan gemetar. Punggungku terasa dingin, keringat bercucuran dari
sela jilbabku. Ya Allah, lagi-lagi aku tidak sabar menunggu. Aku gugup. Apakah
aku dapat nilai yang bagus?, ah… terlalu naïf berharap nilai bagus, setidaknya dapat
lulus, itu sudah membuat mama dan nenek bahagia. Mungkin saja hasilnya buruk,
mungkin juga bagus, pikiranku benar-benar tidak jelas. Sudah 1,5 jam acara
perpisahan berlalu, tetapi tidak kunjung juga acara pembagian amplop yang
berisi kelulusan.
Akhirnya pembagian
amplop pun tiba, kebetulan aku didampingi nenek. Nenek lebih terlihat santai
dan menikmati acara. Bagi nenek, dekorasi acara perpisahan sekolahku
benar-benar megah. kata nenek, “kayak acara nikah dikampung ya?!”. Giliran
namaku dipanggil,
“Wati Gustiana?!, silakan wali dari Wati
Gustiana untuk mengambil amplop ke depan”.
Nenekpun beranjak dari
kursi duduknya, berjalan berlahan-lahan. Aku melihat nenek menerima amplop
dengan senyuman. Ayolah nenek, tunjukkan padaku isi dari amplop itu. Nenek
tidak kembali ke kursinya semula, ia berjalan menujuku,
“Ti, mungkin kamu tidak
sabar ingin membukanya, papu, bukalah?!, baca bismillah” sembari menyodorkan
amplop putih persegi panjang kepadaku
“ Iya ape…”
“bismillah” panas
dingin rasa tubuhku, ku pejamkan mataku sejenak. Ku genggam erat amplop
tersebut, perlahan-lahan ku buka mataku. Oh… air mataku mengalir, ku peluk
nenek erat-erat, sambil tersenyum ku bisikan tiga suku kata di telinga nenek,
“APE, AKU LULUS!”
Suara mama di telepon
terdengar bahagia beriring suara tangis mama yang memilukan hati. Mama senang
mendengar berita kelulusanku. Aku pun senang saat mengetahui bahwa 2 bulan lagi
mama akan pulang. Akhirnya kami berkumpul lagi. Jika aku pergi kuliah, maka ada
mama yang menjaga Lily. Nenek terlalu tua untuk diserahkan tanggungjawab
menjaga Lily tanpa aku disisi Lily.
Dilain sisi, aku
dilemma. Sepertinya keinginanku untuk kuliah di Universitas Mataram sedikit
demi sedikit musnah ditelan angin. Bagaimana tidak, 2 bulan lagi, mama sudah
tidak bekerja di Arab sedangkan aku ingin melanjutkan studi sampai dibangku
kuliah. Aku ingin mengubah nasib mama yang saat ini berjuang sendiri tanpa
ayah. Aku ingin mama disini, tetapi aku juga ingin kuliah.
Apa yang harus aku lakukan…
“Ti.. ooo Ti…” tiba-tiba nenek memanggilku.
“Iya., Ada apa Ape…?” Sahutku
“Sini Papu, Ape mau biacara?”
Aku pun segera beranjak dari tempat
tidurku, berjalan ke tempt nenek dan duduk disisinya.
“Papu, papu masih mau kuliah?”
“iya Ape…”
“Gini papu, ingat Eya Sum mu yang
tinggal di Sumbawa?, dulu kakak Sap mu tinggal disana saat sekolah”
“Iya, Ti masih ingat Ape”
“Nah Papu, 2 hari yang lalu Ape ketemu
dengan eya Sum mu di acara nikahan. Ia kesepian di Sumbawa, anak-anak eya sudah
pada kerja dan ikut suaminya. Eya bilang, bagaimana kalau Ti ikut eya, tinggal
di tempat eya dan kuliah di Sumbawa, ada si universitas di Sumbawa, cuman masih
swasta. tetapi insyaallah, bila Ti kuliah dengan tekun, Ti bisa dapat beasiswa
dan berprestasi. Tentang uang SPP mu nanti, insyaallah, 6 bulan sekali ada datang
hasil panen, kalaupun tidak ada, eya mu bisa bantu”.
Alhadulillah, kesempatanku untuk kuliah
terbuka lebar. Mama dapat pulang ke Indonesia dan aku pun dapat kuliah dengan
tenang. Tak mengapa aku tinggal di rumah keluarga walau teman-temanku berkata
bahwa nge-kost lebih enak daripada
tinggal bersama keluarga. namun bagiku, merasakan bangku kuliah merupakan
kebahagiaan tertinggi dalam pencapaian cita-citaku saat ini. Tak mengapa bila
aku harus membantu eya mencuci baju, memasak, menyapu rumah eya dan mengepel
lantai. Ah, itu sih udah biasa. Tidak seberapa melelahkan jika dibanding
menanam padi dan panen kacang ijo. Menanam padi berteman terik matahari, lumpur
dan lelah.
Kini, aku kuliah di
jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Samawa. Aku tidak mengambil
jurusan Keguruan dan Ilmu Pendidikan Kimia karena di Universitas Samawa belum
membuka jurusan tersebut. Mama, di hari penutupan Ospek Universitas Samawa, aku
mendapat hadiah agenda dari panitia karena terpilih sebagai 3 mahasiswa paling
kritis dan terpilih pula sebagai mahasiswa terbaik.
Allah terima kasih, hatiku mulai melangkah menatap masa
depan, aku merasakan hembusan angin kebahagiaan. Dari tanah Alas yang erat dengan aroma laut
memekak hidung dan pikiran… aku yakin, langkah kakiku berjalan ke arah yang
benar.”
[1]
Nama sebuah kecamatan di kabupaten Sumbawa Propinsi Nusa tenggara Barat.
[2]
bahasa Samawa yang artinya “ooo ti, ti!!! tunggu aku”.
[3]
Bahasa Samawa yang artinya “Ti, kita pergi ngumpul (makan-makan) yuk, makan
Pelcing (masakan khas suku Sasak, Lombok) di rumah iyun, iyun sudah membeli
kangkung banyak sekali untuk kita. mau ngak?”
[4]
Bahasa Samawa yang artinya “aku ngak bisa Ana, aku masih ada urusan”
[5]
Bahasa Samawa yang artinya “ya kamu?! sukanya gitu”
[6]
bahasa Samawa yang artinya “ngumpul dengan tujuan makan bersama-sama”
[7]
Sambal khas suku Samawa yang terbuat dari asam, garam dan cabe.
[8]
Masakan khas suku Samawa yang terbuat dari ikan yang diberi bumbu asam, garam,
cabe dan dijemur sebelum digoreng
[9]
Bahasa Samawa yang artinya “cucu”
[10]
Bahasa Samawa yang artinya ‘we… cucuku sudah pulang?! cepatan makan?!... “
[11]
Salahsatu bahasa Samawa untuk panggilan buat nenek
[12]
Sebutan untuk kakak dari kedua orangtua seperti pa’de dalam bahasa jawa
[13]
Kain penutup kepala
[14]
Bahasa Samawa yang artinya “salam untuk kak sap ya”
[15]
Bekela artinya ngumpul (makan-makan) dan Begosip (ngobrol bercerita tentang
banyak hal seputar gossip-gosip yang ada)
[16]
Bahasa samawa untuk tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu
[17]
masakan khas Samawa ikan yang ada pada catatan kaki no. 8 yang dibakar

Komentar
Posting Komentar