Langsung ke konten utama

AKU ANAK TKW

Cerpen kisah Nyata tentang aku yang ditulis oleh kakak Nur Baidha, Terimakasih ya Kak Idha, Kak Idha sudah menjadi motivator terbaik sehingga aku bisa  seperti sekarang ini. 


“Di tanah Alas[1] yang erat dengan aroma laut  memekak hidung dan pikiran... aku mencoba menggores jejak masa depanku, memcoba membuat langkah perubahan dalam hidup keluargaku… diiring doa, asa dan keringat dari  mama di tanah Arab”

Hari ini konsentrasi belajarku pecah, dibangku 12IPA-1 pojok kanan kedua dari belakang, aku terkulai duduk malas sambil menatap kosong pak Syamsu yang semangat mengobarkan siswa-siswinya tentang sistem reproduksi manusia yang besar kemungkinan akan keluar dalam ujian nasional nanti. Ujiannya tinggal dua bulan lagi. Walau hanya berbekal sedikit ilmu “baca” dan “hafal”, aku sudah siap menghadapi ujian. Namun bukan ujian yang membuat diriku terkulai malas dibangku ini, melainkan aku sedang menanti transferan ke rekeningku yang tak kunjung datang.

“baiklah anak-anak, pelajaran kali ini selesai, jangan lupa PRnya harus sudah saya terima lusa, sekarang kalian boleh pulang?!” ujar pak Syamsu sambil memasuki spidol snowman boardmaker kedalam kantong bajunya dan bergegas keluar kelas.

Suara pak Syamsu yang disambut oleh hiruk pikuk 12IPA-1 membuatku tersadar. Syukurlah, akhirnya aku pulang. Aku akan ke ATM untuk mengecek apakah transferan sudah masuk. Mamaku bilang, uangnya sudah dikirim 2 hari yang lalu. Namun 2 hari tak ku lihat nominal rekeningku bertambah. Rasanya ingin sekali aku berteriak dan marah pada dunia. Mengapa aku masih bergantung pada transferan?, Ya Allah, aku tidak berhak marah kepada mamaku, ia sudah berjuang keras di Tanah Suci Mekkah, berjuang mencari nafkah agar aku dapat sekolah. Berjuang demi lembaran-lembaran rupiah walau dengan terpaksa melepaskan diriku dan adik kecilku yang masih berusia 2 tahun. Baiklah, optimis!! hari ini nominal dalam rekeningku akan bertambah.

“ooo ti, ti!!! tari aku ne[2]….” serentak suara anak perempuan  mengagetkan diriku.
Aku berbalik, ternyata Ana yang memanggilku. Aku menatap Ana dengan lusuh, ia memperlambat waktuku untuk sampai ke ATM. “Cepatlah Ana?!” ujar hatiku.
Sambil memukul pundakku, Ana berkata “Ti, tu alo bekela mo, bekela pelcing pang bale iyun. Iyun kam beli laras peno tawa kita, rowa kau ke[3]?” Ana menyampaikannya sambil tersenyum, ajakannya sangat mengiurkan.
“no bau aku Ana ne[4], aku masih ada urusan” ujarku.
“Aina kau,?!! roa nan luk[5], Emang apa urusanmu. Perasaan mamamu sudah ke Saudi dan adikmu dijaga oleh nenekmu. Nyantai sedikit apa susahnya si?!” senyum Ana berubah menjadi senyum kekecewaan.
“maaf, urusanku penting, aku harus cek transferan dari mamaku karena aku butuh sekali uang untuk belanja kebutuhan sehari-hari”
“oo gitu, ya udah, lain kali kamu harus ikutan bekela[6] bareng kita ya” Ana menepuk bahu seraya meninggalkanku.
Syukurlah Ana mengerti. Memang sudah seharusnya ia mengerti. Walau Ana anak seorang petani tetapi kedua orangtuanya masih sanggup membiayai sekolahnya bahkan sampai ke jenjang kuliah. Sedangkan aku, hanya untuk duduk dibangku Sekolah Menengah Atas, mama harus ikhlas meninggalkan anak-anaknya mencari biaya sekolahku, kata mama, sekalian untuk persiapan diriku kuliah.
Panas kota Alas membuat langkahku terasa berat, suara perutku berteriak keras, sepertinya sudah sulit untuk diajak kompromi. Sabar?!, ATM sudah dekat, jarak sekolahku dan ATM BNI tidaklah jauh. Hanya 100 meter saja. Dengan sedikit langkah terseret, akhirnya aku sampai di kotak uang bertulis ATM BNI 46. Hari ini ATM sepi, langsung ku dorong pintu ATM dan serentak hawa dingin ATM membuat penatku berkurang dan rasa laparku hilang. Ah…Sejuknya?!.
OK?! pin sudah ku pencet dan ini dia pencetan yang aku tunggu-tunggu “informasi saldo”, bismillahirahmanirrohim, mudah-mudahan sudah ada. Alhamdulillah, angka-angka dalam rekeningku memanjang, uang transferan dari mama sudah masuk. Ya Allah, terima kasih. Mama, terima kasih. Sungguh, betapa tak sabarnya diriku beberapa menit yang lalu, ketidaksabaranku membuatku hendak teriak dan marah, namun semuanya sirna. Allah bisa dipercaya, apa yang diucapkan mama benar bahwa uang sudah ditransfernya. Aku lupa, bisa jadi ada proses kliring mengingat transaksi yang dilakukan mama adalah transaksi lintas negara. Maafkan aku mama yang sudah berniat untuk marah karena tak sabar menerima transferan uang darimu.
Baiklah, aku tarik uang secukupnya, setidaknya hari ini nenek tidak perlu pusing lagi memikirkan lauk pauk dan ongkos ojekku ke sekolah besok dan besok lagi. uang yang ditransfer mama lumayan banyak, cukup untuk biaya hidup 3 bulan lamanya. bayangkan saja, Sudah satu bulan ini hatiku resa, nenek terlihat pusing, sawah nenek gagal panen karena kurangnya pasokan air. Saat awal menanam padi, hujan turun, namun setelah empat hari menanam padi, hujan tidak kunjung turun dan mengakibatkan nenek gagal panen. Sebulan ini kami hanya bertahan dengan makan nasi berteman sayur kelor dan sambal Bage[7]’. Kadangkala nenek juga menambahkan Jangan Bage’[8] dalam menu makanku dan adikku. Untungnya adikku yang kini berusia tiga tahun sudah tidak minum susu lagi sehingga pengeluaran tidak terlalu banyak. Walau dengan menu lauk seadanya, makan bareng nenek sudah membuatku terasa kenyang. Nenekku yang kini beranjak usia 62 tahun masih sabar merawat kami tanpa pernah mengeluh. Bagi nenek, aku dan adikku sangat berharga. Kata nenek, dalam diri kami, ada bayangan mama. Nenek hanya berharap semoga aku dapat meraih cita-citaku dan membuat perubahan dalam hidupku. Nenek selalu berpesan padaku,
 “belajar baik-baik ya papu[9]’, jangan lupa sholat dan ngaji agar apa yang kamu inginkan dapat tercapai”.
Dapat uang dari mama dan mengingat nenek serta adikku membuatku tak sabar untuk cepat-cepat sampai ke rumah. Saat ini aku masih numpang di rumah nenek. Jarak sekolah dan rumah nenek lumayan jauh. Sekolahku berada di kota kecamatan Alas, sedangkan rumah nenek ada di desa Lekong, jaraknya belasan kilo meter. Biasanya aku berangkat sekolah nunut adik sepupuku, ia menggunakan motor sepeda untuk berangkat sekolah. Untungnya ia tidak pernah menarik bayaran pada diriku, padahal sudah hampir 2 tahun ia nunut di motornya. Jarak kami selisih 1 tahun, aku lebih besar 1 tahun dari dirinya. Bila pulang sekolah, aku biasanya naik ojek, mengikhlaskan uang saku daripada jalan belasan kilometer. Kerapkali aku iri melihat teman-teman dapat membeli jajan di sekolah walau diantara jajan yang mereka beli kadangkala cuman pisang goreng dan ubi goreng. Namun bagiku pisang goreng dan ubi goreng sudah sangat mewah dan lezat. Biasanya aku hanya makan pisang rebus atau ubi rebus olahan nenek. Kata nenek, jangan digoreng, eman minyak gorengnya. Lebih baik dipakai untuk goreng ikan atau nasi goreng.
Setelah beberapa menit, akhirnya aku sampai dirumah.
“Assalamu’alaikum!!!!!” teriakku lantang.
“wa’alaikumsalam. We… kam mole papu ku ampa?!, lema mo mangan?![10]. Ada nasi dan sayur kelor diatas meja. Buat sambal bage sendiri, Ape[11] mau pergi ke rumah eya’[12]mu. Ada pulang kakak Sap mu dari Jawa. Lily lagi tidur, jangan ribut-ribut?!”
nenek mengambil kre tudung[13], melangkah berlahan-lahan menuju pintu dan menuruni tangga rumah panggung.
Ape, salam ko Kak Sap ae[14], nanti ti datang ke rumah eya, tunggu lily bangun. Oya, Ape, sudah masuk kiriman dari mama, ti sudah ambil sebagian untuk belanja Ape, ti taruh didalam lemari Ape ya”, ujarku riang sambil mengikuti nenek sampai ke pintu.
“iya sudah, uangnya taruh di lemari, ditempat biasanya. Nanti kalau lily bangun, langsung kamu ke rumah eya’ mu ya”
“iya Ape”
Dikeluarga kami, kak Sap adalah sosok anak muda yang sukses. Sama lengkapnya Saparuddin, ia tamatan SMA di kota Sumbawa dan setamat sekolah, ia masuk jadi tentara (anggota TNI-AD), hanya dengan satu kali tes langsung lulus. Setelah lulus, ia ditempatkan di kota Banyumas, Jawa Tengah. Hampir 2 tahun sekali ia pulang kampung. Kehadirannya selalu ditunggu-tunggu karena ia selalu membawa segudang oleh-oleh berubah baju dan sandal baru. Sayang aku tidak bisa mengikuti jejaknya untuk bersekolah di kota Sumbawa.
Setelah Lily bangun, aku bergegas menuju rumah eya ku. Kak Sap sudah menunggu kami karena ia sudah membelikan baju baru untuk kami. Senangnya diriku, baju bermotif batik terlihat indah sekali. Ku lihat, nenek juga mendapat baju dan kain baru dari kak Sap. Nenek juga mendapat sejumlah uang dari Kak Sap, kata kak Sap, “anggap aja ini angpao kesuksesan”, Sayang, nenek tidak mengerti apa itu angpao, tetapi satu hal yang nenek mengerti, bahwa ia memiliki cucu yang sukses bernama Saparuddin. Sungguh, kepulangan kak Sap selalu membawa keceriaan dan kebahagiaan bagi nenek, aku dan Lily

Dua bulan kemudian…
Akhirnya hari yang ditunggu datang juga, saatnya menghadapi Ujian Akhir Nasional. Menjelang hari pertama ujian akhir nasional, kami siswa dan siswi SMA Negeri I Alas mendapatkan libur dengan nama ilmiah “Minggu Tenang”. Diharapkan satu minggu menjelang ujian, kami dapat giat belajar agar kelak mendapatkan hasil yang memuaskan. Namun sayang, hanya sebagian dari teman-temanku yang giat belajar menghadapi ujian, beberapa temanku yang lain memanfaatkan minggu tenang untuk ngumpul bekela dan begosip[15], atau sibuk pacaran, duduk berdua di rumah atau sekedar keluar mojok ditempat-tempat yang sepi. Astagfirullah…
Kali ini aku menggerakkan segala tenaga dan pikiran agar dapat menyelesaikan ujian dengan lancar,  Selama minggu tenang, selesai sholat Isya aku langsung tidur agar dapat bangun jam 2 atau 3 Pagi untuk belajar. Kata nenek, waktu sepertiga malam adalah waktu paling mujarab itu ibadah dan belajar. Nenek juga membekaliku dengan seromong[16] nasi dan ikan bage tunung[17]. Maklumlah, biasanya aku gampang lapar bila belajar diwaktu sepertiga malam. Siang hari, sambil menjaga Lily, aku sempatkan untuk membaca dan menghafal.
 Alhamdulillah… usahaku tidak sia-sia. Walau dengan keragu-raguan, aku dapat mengisi setiap soal ujian yang ada. Insyaallah aku lulus. Ini firasat baik bagiku. Untuk lulus, aku juga harus mengikuti ujian sekolah dan ujian praktek.
Hampir 2 bulan setelah ujian nasional terpampang jadwal pengumuman di Mading sekolah. Pengumuman tersebut berisi pemberitahuan bahwa kelulusan akan diumumkan disaat acara perpisahan minggu depan. Semua siswa siswi termasuk aku tidak sabar menanti acara tersebut.
Aku butuh segera mengetahui kelulusan tersebut, bila aku lulus akan memberitahukan mama di Mekkah, bahwa aku berhasil menamatkan studiku di sekolah menengah atas. Rencananya aku juga ingin memberitahu mama bahwa aku ingin kuliah di kota propinsi, kota Mataram. Di kota Mataram terdapat universitas negeri yaitu Universitas Mataram. Menurut cerita kak Sap, bila ingin kuliah, masuk universitas negeri agar biayanya tidak besar dan kualitasnya bagus. Aku ingin masuk Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Kimia Universitas Mataram. Kesannya agak muluk-muluk, tetapi biarlah…, aku menyukai Kimia walau aku akui, kemampuan Kimiaku masih standard. Tetapi kabar dari anak-anak muda dikampung  yang kuliah diluar pulau Sumbawa bahwa jenjang kuliah tidak seperti saat kita duduk dibangku sekolah menengah atas, bila kita kurang menyukai jurusan yang kita pilih walau saat sekolah menengah atas kita tergolong pandai dengan jurusan tersebut, kita akan stress dan prestasipun menurun. Oleh karena itu, kuliahlah di jurusan yang kita sukai, agar motivasi belajar kita tinggi dan berprestasi.
Tak terasa, seminggu pun berlalu. Kini aku duduk mengikuti acara perpisahan sekolah. Aku duduk dengan tegang dan gemetar. Punggungku terasa dingin, keringat bercucuran dari sela jilbabku. Ya Allah, lagi-lagi aku tidak sabar menunggu. Aku gugup. Apakah aku dapat nilai yang bagus?, ah… terlalu naïf berharap nilai bagus, setidaknya dapat lulus, itu sudah membuat mama dan nenek bahagia. Mungkin saja hasilnya buruk, mungkin juga bagus, pikiranku benar-benar tidak jelas. Sudah 1,5 jam acara perpisahan berlalu, tetapi tidak kunjung juga acara pembagian amplop yang berisi kelulusan.
Akhirnya pembagian amplop pun tiba, kebetulan aku didampingi nenek. Nenek lebih terlihat santai dan menikmati acara. Bagi nenek, dekorasi acara perpisahan sekolahku benar-benar megah. kata nenek, “kayak acara nikah dikampung ya?!”. Giliran namaku dipanggil,
“Wati Gustiana?!, silakan wali dari Wati Gustiana untuk mengambil amplop ke depan”.
Nenekpun beranjak dari kursi duduknya, berjalan berlahan-lahan. Aku melihat nenek menerima amplop dengan senyuman. Ayolah nenek, tunjukkan padaku isi dari amplop itu. Nenek tidak kembali ke kursinya semula, ia berjalan menujuku,
“Ti, mungkin kamu tidak sabar ingin membukanya, papu, bukalah?!, baca bismillah” sembari menyodorkan amplop putih persegi panjang kepadaku
“ Iya ape…”
“bismillah” panas dingin rasa tubuhku, ku pejamkan mataku sejenak. Ku genggam erat amplop tersebut, perlahan-lahan ku buka mataku. Oh… air mataku mengalir, ku peluk nenek erat-erat, sambil tersenyum ku bisikan tiga suku kata di telinga nenek, “APE, AKU LULUS!”
Suara mama di telepon terdengar bahagia beriring suara tangis mama yang memilukan hati. Mama senang mendengar berita kelulusanku. Aku pun senang saat mengetahui bahwa 2 bulan lagi mama akan pulang. Akhirnya kami berkumpul lagi. Jika aku pergi kuliah, maka ada mama yang menjaga Lily. Nenek terlalu tua untuk diserahkan tanggungjawab menjaga Lily tanpa aku disisi Lily.
Dilain sisi, aku dilemma. Sepertinya keinginanku untuk kuliah di Universitas Mataram sedikit demi sedikit musnah ditelan angin. Bagaimana tidak, 2 bulan lagi, mama sudah tidak bekerja di Arab sedangkan aku ingin melanjutkan studi sampai dibangku kuliah. Aku ingin mengubah nasib mama yang saat ini berjuang sendiri tanpa ayah. Aku ingin mama disini, tetapi aku juga ingin kuliah.
Apa yang harus aku lakukan…
“Ti.. ooo Ti…” tiba-tiba nenek memanggilku.
“Iya., Ada apa Ape…?” Sahutku
“Sini Papu, Ape mau biacara?”
Aku pun segera beranjak dari tempat tidurku, berjalan ke tempt nenek dan duduk disisinya.
“Papu, papu masih mau kuliah?”
“iya Ape…”
“Gini papu, ingat Eya Sum mu yang tinggal di Sumbawa?, dulu kakak Sap mu tinggal disana saat sekolah”
“Iya, Ti masih ingat Ape”
“Nah Papu, 2 hari yang lalu Ape ketemu dengan eya Sum mu di acara nikahan. Ia kesepian di Sumbawa, anak-anak eya sudah pada kerja dan ikut suaminya. Eya bilang, bagaimana kalau Ti ikut eya, tinggal di tempat eya dan kuliah di Sumbawa, ada si universitas di Sumbawa, cuman masih swasta. tetapi insyaallah, bila Ti kuliah dengan tekun, Ti bisa dapat beasiswa dan berprestasi. Tentang uang SPP mu nanti, insyaallah, 6 bulan sekali ada datang hasil panen, kalaupun tidak ada, eya mu bisa bantu”.
Alhadulillah, kesempatanku untuk kuliah terbuka lebar. Mama dapat pulang ke Indonesia dan aku pun dapat kuliah dengan tenang. Tak mengapa aku tinggal di rumah keluarga walau teman-temanku berkata bahwa  nge-kost lebih enak daripada tinggal bersama keluarga. namun bagiku, merasakan bangku kuliah merupakan kebahagiaan tertinggi dalam pencapaian cita-citaku saat ini. Tak mengapa bila aku harus membantu eya mencuci baju, memasak, menyapu rumah eya dan mengepel lantai. Ah, itu sih udah biasa. Tidak seberapa melelahkan jika dibanding menanam padi dan panen kacang ijo. Menanam padi berteman terik matahari, lumpur dan lelah.
Kini, aku kuliah di jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Samawa. Aku tidak mengambil jurusan Keguruan dan Ilmu Pendidikan Kimia karena di Universitas Samawa belum membuka jurusan tersebut. Mama, di hari penutupan Ospek Universitas Samawa, aku mendapat hadiah agenda dari panitia karena terpilih sebagai 3 mahasiswa paling kritis dan terpilih pula sebagai mahasiswa terbaik.

Allah terima kasih, hatiku mulai melangkah menatap masa depan, aku merasakan hembusan angin kebahagiaan. Dari  tanah Alas yang erat dengan aroma laut memekak hidung dan pikiran… aku yakin, langkah kakiku berjalan ke arah yang benar.”






[1] Nama sebuah kecamatan di kabupaten Sumbawa Propinsi Nusa tenggara Barat.
[2] bahasa Samawa yang artinya “ooo ti, ti!!! tunggu aku”.
[3] Bahasa Samawa yang artinya “Ti, kita pergi ngumpul (makan-makan) yuk, makan Pelcing (masakan khas suku Sasak, Lombok) di rumah iyun, iyun sudah membeli kangkung banyak sekali untuk kita. mau ngak?”

[4] Bahasa Samawa yang artinya “aku ngak bisa Ana, aku masih ada urusan”
[5] Bahasa Samawa yang artinya “ya kamu?! sukanya gitu”
[6] bahasa Samawa yang artinya “ngumpul dengan tujuan makan bersama-sama”
[7] Sambal khas suku Samawa yang terbuat dari asam, garam dan cabe.
[8] Masakan khas suku Samawa yang terbuat dari ikan yang diberi bumbu asam, garam, cabe dan dijemur sebelum digoreng
[9] Bahasa Samawa yang artinya “cucu”
[10] Bahasa Samawa yang artinya ‘we… cucuku sudah pulang?! cepatan makan?!... “
[11] Salahsatu bahasa Samawa untuk panggilan buat nenek
[12] Sebutan untuk kakak dari kedua orangtua seperti pa’de dalam bahasa jawa
[13] Kain penutup kepala
[14] Bahasa Samawa yang artinya “salam untuk kak sap ya”
[15] Bekela artinya ngumpul (makan-makan) dan Begosip (ngobrol bercerita tentang banyak hal seputar gossip-gosip yang ada)
[16] Bahasa samawa untuk tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu
[17] masakan khas Samawa ikan yang ada pada catatan kaki no. 8 yang dibakar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kompetisi Vs Pandemi

Mengikuti kompetisi sudah menjadi kebiasaanku sejak SD hingga sekarang. Meski jarang menang, tetapi sudah ikut berpartisipasi saja rasanya bahagia sekali. Ketika pandemi Covid 19 terjadi pada bulan Maret tahun 2020, hikmahnya kita lebih gampang mengikuti lomba seperti menulis Esai,  artikel, opini, KTI, cerpen, puisi, seminar, lomba desain, photografi, pelatihan, fellowship, nulis buku, beasiswa dan lain-lain. Jika dihitung, jumlah project menulis kala pandemi yang aku ikuti sekitar 30 lebih dari non Fiksi hingga Fiksi tapi yang menang bisa dihitung jari. Namun dari effort tersebut, banyak yang kita dapatkan yaitu kiriman buku gratis dari funding internasional dan nasional,  teman baru, relasi, wawasan, update teknologi aplikasi, hadiah menarik dan lain-lain serta jangan lupakan hadiah uang dan pulsa🤭😉. Selanjutnya, tahun 2021 bersiap untuk kompetisi lagi. Jika ada yang termotivasi dengan tulisan ini, maka tetap semangat, optimis, jangan pernah insecure, iri hati, dengki dan...

Lalu Dia Lala Jinis Kisah Romeo Juliet Alas-Sateluk

Resensi By: Susi Gustiana Betapa bahagia  mencium aroma buku , pikiranku menari 'seolah menemukan harta karun'.    Buku Lalu Dia dan Lala Jinis  adalah cerita rakyat Sumbawa yang di tulis oleh bapak Dinullah Rayes. Nama Rayes merupakan marga dari keturunan kedatuan Alas. Cerita ini bersemi dihati penduduk terutama dari bagian barat tepatnya di kecamatan Alas. Kisah kasih diantara dua pasang anak muda romeo dan Juliet Sumbawa ini diriwayatkan oleh orang tua dengan menggunakan bahasa yang puitik melalui lawas. Lawas samawa merupakan puisi lisan tradisional pada umumnya tiap bait terdiri dari 3 baris. Dipengantar awal buku penulis menyebutkan bahwa kisah ini ditembangkan oleh orangtua yang   mahir balawas (menembangkan syair) dengan suara merdu menawan dan mempesona bagi siapapun yang mendengar. Tradisi di Sumbawa bagi orang yang bisa mendongeng atau bercerita itu disebut Badia. Tau Badia (orang/seniman yang menyampaikan cerita) sering diund...

Tugu Simpang 5 Aceh!!!! Begitu ‘Sempurna’

Kalian tahu tidak lagu sempurna dari Andra and The Backbone mungkin itu tepat untuk menggambarkan monument ini. “Belum ke Aceh namanya jika belum mengunjungi salah satu tugu atau monumen yang sangat ikonik dan keren ini” kata Pak Marzuki guide kami selama di Aceh. Yupz…..Namanya tugu simpang 5, oleh ibu-ibu rombongan dari Sumbawa yang antusias untuk mengambil gambar berselfia ria bahwa   di monumen ini. Menurut mereka tugu simpang 5 juga disebut tugu selamat datang. Karena lokasinya berada di pusat kota dan punya nilai filosofi yang sangat mendalam. Dalam catatan sejarah, tugu ini berada di lima persimpangan jalan protokol yang selalu padat, yaitu jalan Tgk. H. M. Daud Beureuh, T. Panglima Polem, Sri Ratu Safiatuddin, Pangeran Diponegoro, dan jalan Teungku Angkasa Bendahara. Di lihat dari desainnya, ada 4 eksplorasi konsep dari  tugu Simpang Lima Aceh  ini, yaitu axis-oriented (sumbu), urban oase, multi-purposes building, dan landmark kota Banda Aceh. T...