Ketika
fajar menyingsing saya mulai bersiap menyusuri petak demi petak sawah untuk
mencabut rumput yang sudah mulai tumbuh disekitar tanaman padi. Kegiatan ini saya
lakukan untuk mencari sesuap nasi. (Saleha seorang buruh tani didesa Lekong Kec.
Alas Barat)
Susi Gustiana
Pendahuluan
Sepenggal
kalimat diatas telah mampu memperjelas eksistensi perempuan di sektor
pertanian. Keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian mungkin sudah
dimulai sejak aktifitas bertani muncul di bumi. batas sosial yang
memarjinalkan peran perempuan pada akhirnya menyebabkan mereka menjadi golongan
yang terabaikan dari perhatian. Berbagai kebijakan pemerintah kurang
sensitif terhadap upaya peningkatan status sosial perempuan. Padahal,
seperti yang telah disampaikan Todaro & Smith (2006), program pembangunan
yang tidak mengikutsertakan peran perempuan hanya akan mencapai
kegagalan. Pernyataan ini dapat dimaklumi jika melihat begitu besarnya
peran perempuan dalam usaha menyejahterakan keluarganya baik melalui peran
mereka di sektor domestik maupun sektor publik.
Peran Perempuan dalam
sektor pertanian
Perempuan tidak hanya menjadi bagian besar dari tenaga kerja
di sektor pertanian, tetapi juga memiliki pengetahuan dan ketrampilan utama
dalam pekerjaan pertanian. Peran ganda yang dimiliki oleh wanita petani
menyebabkan beban berat yang harus ditanggungnya setiap hari. Hal ini
kemudian diperparah dengan adanya diskriminasi gender yang secara laten
berkembang dalam sektor pertanian. Beberapa bukti adanya diskriminasi ini
antara lain : Adanya identifikasi wanita sebagai representasi dari alam dan
sebagai pemelihara kehidupan mengakibatkan wanita diberi peran dalam sektor
domestik dan laki-laki dalam sektor publik (Wahyuni, 2009). Aktivitas
wanita dalam sektor pertanian hanya dianggap sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
dalam rumah tangga (subsistensi) dan tidak ada hubungannya dengan proses
pemenuhan produksi pangan untuk mencukupi kebutuhan penduduk yang semakin
meningkat (Wahyuni, 2009).
Perkawinan
usia dini sebagai ciri kultural masyarakat agraris, mendorong angka kematian
ibu yang tinggi, rendahnya pengetahuan reproduksi dan seksualitas perempuan
pedesaan, mengukuhkan peran perempuan sebagai ‘pelayan seksual’ dan
‘penanggungjawab pemberi keturunan’ saat melakukan hubungan seksual, pelecehan
seksual yang dialami buruh tani perempuan, stigma ‘mandul’ bagi perempuan yang
belum hamil, kekerasan dan ‘beban’ alat kontrasepsi terhadap perempuan, gagal
KB, aborsi, dan lain sebagainya (Sri Hadipranoto, Heru Santoso:2001). Kondisi
ini kini semakin diperberat dengan berkurangnya subsidi pemerintah pada sektor
kesehatan.
Bahkan
Pekerjaan yang bersentuhan dengan pestisida, dimana perempuan, yang paling lama
terpapar pestisida karena beban kerjanya di lapangan pertanian, maupun ketika
mereka bekerja di lingkungan rumah tangga, seperti mencuci, karena beberapa
jenis pestisida menetap dalam air. Ibu hamil beserta janinnya paling rentan
terhadap kimia beracun seperti DDT, endrin, dsb, yang mengakibatkan resiko
penyakit kanker, terganggunya perkembangan janin, metabolisme, maupun jaringan
otak. Tentu saja dampak ini tidak terlihat secara langsung dalam hitungan hari
atau bulan, melainkan bisa dalam hitungan tahun. Siapakah yang akan bertanggung
jawab terhadap resiko-resiko ini?
Dalam rangka menjaga eksistensinya
banyak perempuan kemudian
menjadi buruh tani dengan beban kerja berlebih, upah minim, dan resiko kerja
tinggi. Jika di desa tak tersedia lagi pekerjaan, perempuan terdesak mencari
alternatif penghasilan dalam sektor-sektor yang tak terlindungi dan
eksploitatif, dengan bermigrasi. Hal inilah yang menjelaskan mengapa
kantung-kantung kemiskinan di daerah agraria juga menjadi kantung-kantung
daerah asal buruh migran, pekerja seks, dan pekerja sektor informal kota. Ini
menjadi katalisator untuk bermigrasi agar dapat bekerja di luar negeri,
seringkali melalui saluran yang tidak resmi. Jumlah perempuan yang bermigrasi
untuk mencari pekerjaan meningkat tajam dalam dekade taerakhir (feminisasi
migrasi).
Kesimpulan
Pengabaian sejarah, tubuh, suara,
kepentingan, dan kedaulatan perempuan adalah bentuk pengabaian hak asasi
perempuan. Eksistensi perempuan Indonesia dalam sektor pertanian dapat dicapai dengan
cara-cara berikut :
1.
Akses dan kontrol terhadap lahan
pertanian
Wanita petani diberikan
ruang dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan alokasi lahan secara adil
dengan kaum laki-laki
2.
Akses Terhadap Sumber Permodalan
Wanita
petani harus mendapatkan akses kontrol yang adil terhadap kredit untuk usaha.
3.
Akses terhadap Teknologi dan
Pendidikan
Wanita petani harus
mendapat akses untuk memahami kemajuan di bidang teknologi pertanian dan
penemuan teknik-teknik atau metode bercocok tanam yang baru.
Pada
intinya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Todaro & Smith (2006),
pembangunan akan terintegrasi dengan baik jika pemerintah memberikan ruang yang
seimbang bagi peran wanita dan peran laki-laki dalam mencapai tujuan
pembangunan.
Daftar Pustaka
Todaro, M.P & S.C. Smith.
2006. Pembangunan Ekonomi Jilid 1 (Edisi 9). Erlangga, Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2009.
Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010 – 2014.
Elizabeth, R. 2007.
Pemberdayaan Wanita Mendukung Strategi Gender Mainstreaming dalam Kebijakan Pembangunan
Pertanian di Perdesaan.
Wahyuni, E.S. Perempuan Petani dan
Penanggulangan Kemiskinan. Agrimedia.ipb.ac.id
Komentar
Posting Komentar