Dongeng pengantar tidur yang selalu diceritakan
nenekku saat aku masih kecil dan masih terus
teringang diingatan bahkan setelah nenekku meninggal
adalah kisah Batu Nong. Nenekku percaya bahwa nenek moyang kami (orang Lekong
asli) sebenarnya berasal dari Makasar-Sulawesi. Hal itu terlihat ketika ada acara adat basunat (khitan) atau pengantin biasanya mengikuti tradisi bugis Makasar dalam prosesi adat rapancar dan gong genang.
Keterangan poto ini adalah aku disebelah kiri dan mamaku disampingku, sedangkan dikanan adalah bibi dan sepupuku di lokasi Batu Nong.
Dari kecil sekitar umur 5 tahun, aku sudah diajak berjalan kaki oleh mama dan bapakku untuk pergi makan-makan, yang namanya anak kecil pasti senang diajak makan meski untuk sampai ke lokasi Batu Nong cukup jauh. Kalau capek jalan kaki maka bapak dan mamaku akan menggendongku. Aku tidak ingin kenangan itu hilang, itulah kenapa aku menuliskannya di blog .
Di Desa kami yakni di Dusun Lekong Atas, Kecamatan
Alas Barat, Kabupaten Sumbawa-NTB terdapat
sebuah batu besar, tinggi, bundar bagian atasnya datar. Batu itu menggantung
pada tebing bukit yang tinggi dekat sungai Lekong. Dari atas batu itu kita
dengan leluasa dapat melihat ke bawah. Itulah sebabnya disebut “Batu Nong”. Kata “nong” dalam bahasa Sumbawa berarti
“melihat ke bawah dari atas”. Jika batu nong itu dilihat dari kejauhan,
kedudukannya sangat genting. Kalau ada getaran sedikit saja, rasa-rasanya batu
itu pasti akan runtuh. Dalam kenyataan, telah beratus-ratus tahun batu itu
tetap tidak bergeming. Bagaimana batu itu bisa berada di tempat tersebut,
inilah ceritanya.
Perjalanan menuju Batu Nong cukup menguras tenaga
karena ditempuh dengan berjalanan kaki melewati hamparan ladang, hutan dan menyebrangi
sungai. Untuk sampai kesana diperlukan waktu sekitar 1,5 jam. Masyarakat percaya
bahwa kita tidak boleh sembarangan masuk kedalam gua batu nong tanpa ditemani
oleh keluarga yang telah turun temurun menjaga Batu Nong, karena pamali bisa
mengalami musibah. Oleh penduduk di desa
kami, Batu Nong dijadikan tempat keramat karena banyak yang meminta doa
keselamatan kemudian pergi sembelih hewan ternak seperti kambing, ayam ataupun
kerbau jika hajatnya terpenuhi. Konon, dulu masyarakat di Sumbawa pada umumnya
menganut kepercayaan animisme kemudian berkembang menjadi kepercayaan hindu
sebelum akhirnya semua penduduknya memeluk agama islam. Kebiasaan nenek moyang
masih terus dilestarikan dengan kepercayaan akan hal-hal mistis. Allahualam.
Batu Nong cukup bagus jika dijadikan objek wisata,
namun transportasi menuju kesana belum ada, itulah yang menjadi hambatan.
Seandainya pemerintah desa lekong mau membuat kebijakan untuk membuka akses
wisata ke sana dengan mobil off road pasti akan seru. Atau Tracking yang bisa
dilakukan secara tahunan dengan menggelar festival desa berjalan kaki sembari
menanam pohon dihutan secara bersama menuju batu nong pasti akan keren. Di Batu
Nong, air nya jernih dan ada banyak spot yang bisa dijadikan tempat berselfi
ria ala anak muda milenial. Namun, semua itu masih belum terjamak oleh
tangan-tangan kreatif sineas muda. Belum ada pemuda sadar wisata disana,
sehingga Batu Nong ya begitu-begitu saja tidak ada perkembangan.
Singkat cerita, yang aku sadur dari berbagai sumber
sembari mengingat kembali cerita dongeng Batu Nong yang disampaikan nenekku. Tersebutlah
sebuah negeri di zaman dahulu kala. Negeri itu terkenal makmur, aman, dan
damai. Tidak pernah terdengar perselisihan di antara penduduknya. Laki-laki dan
perempuan kedudukannya sama, kecuali dalam satu hal, yaitu laki-laki tabu
mencuci pantat anaknya yang habis buang air besar. Hal yang demikian diyakini
benar oleh penduduk di situ.
Pada suatu hari terdengar berita, di negeri
tetangga akan diadakan keramaian besar. Sudah barang tentu semua orang
menyambut dengan gembira berita besar itu.
Tersebutlah
sebuah keluarga yang mempunyai anak masih kecil. Sang istri merengek
kepada suaminya untuk diizinkan pergi menonton.
“Pak,
anak kita sudah besar dan tidak menyusu lagi. Sejak kawin, saya tidak pernah
mendapat kesempatan nonton keramaian”.
“Maksudmu
kamu ingin pergi nonton?” tanya suaminya.
“Ya,”
jawab sang istri.
“Kalau
anak kita nanti buang air besar bagaimana lanjut sang suami.
“Saya
kan hanya sehari, nanti tunggu saja saya datang,” lanjutnya.
Singkat cerita, karena sang suami sangat sayang
kepada sang istri, sang suami mengizinkan sang istri pergi. Ternyata negeri
yang dituju cukup jauh. Tidak cukup sehari perjalanan. Sang istri dengan
gembira larut dalam keramaian di situ. Ia lupa pada lainnya. Telah tiga hari ia
pergi meninggalkan anak dan suaminya. Sementara itu sang suami tidak tahan
mencium bau busuk pantat anaknya yang telah buang kotoran. Maka dicucilah
pantat anaknya. Pada malam harinya, datanglah kutukan itu. Kulit sang ayah menjadi
bersisik. Tangan dan kakinya mengerut, dan akhirnya berubahlah badannya menjadi
seekor naga yang berkepala manusia.
Alkisah
sang istri setelah puas menonton keramaian, pulanglah ia bersama teman-teman
sekampungnya. Setibanya di rumah, ia terkejut dan menierit karena melihat
suaminya telah berubah menjadi seekor naga. Berita itu telah menyebar di
seluruh negeri.
Untuk
menghindari rasa malu, suaminya berkata, “Istriku, janganlah engkau bersedih.
Ini akibat perbuatan saya membasuh pantat anak kita yang habis buang air besar,
karena saya sudah tidak tahan mencium bau busuknya. Seharusnya saya mengatakan
“tidak” pada saat kamu minta izin, tetapi karena sayangku kepadamu saya bilang
“ya”. Jadi, inilah akibatnya. Oleh karena itu, belilah kamu tempayan yang
besar, masukkanlah saya ke dalamnya, dan bawalah saya ke sungai,” kata
suaminya.
Mendengar
kata-kata suaminya itu, sang istri pun menyesal. Namun, apa hendak dikata, nasi
telah menjadi bubur. Suaminya kini telah berubah menjadi ular akibat melanggar
aturan.
“Selanjutnya antarkan makanan setiap harl untuk
saya,” lanjut suaminya. Demikianlah, sejak itu sang istri setiap hari
mengantarkan makanan dan minuman kepada suaminya yang telah berubah menjadi
ular naga. Hal yang demikian berlangsung bertahun-tahun. Sampai pada suatu hari
ketika terjadi peperangan antar negeri. Seluruh desa porak-poranda. Banyak
penduduk yang tewas, namun sebagian bisa melarikan diri dan mengungsi. Di
antara mereka terdapat istri sang ular.
Mereka berlayar dengan perahu tak tentu arah, kata
nenekku orang yang berlayar itu datangnya dari pulau Sulawesi, itulah kenapa
masyarakat pesisir dari Labuhan Mapin sampai Lekong itu aslinya adalah suku
Bugis-Makasar. Perahu berlayar sesuai dengan arah angin. Ketika mereka telah
berhari-hari berlayar, pada suatu hari para pengungsi melihat tempayan besar
mengikutinya. Ternyata tempayan itu adalah tempayan yang berisi ular. Tempayan
itu mengikuti terus ke mana perahu itu pergi. Akhirnya, perahu itu berhenti di
suatu tempat di muara sungai Lekong, di Sumbawa bagian barat. Anehnya, tempayan
itu pun ikut berlabuh di dekat perahu mereka.
Para
pengungsi kemudian membuat pemukiman di darat. Di tempat itu banyak pohon kemiri. Mereka membuat gubug-gubug sederhana
sebagai tempat berlindung sementara.Pada suatu malam, ketika juragan perahu
pergi ke sungai ingin buang air besar, ia terkejut karena di tepi sungai itu
terdapat sebuah batu besar yang menghalangi aliran air sungai. Setelah diamati
ternyata itu adalah tempayan yang berisi ular tadi. Dari dalam tempayan
terdengar suara, “Saya tidak cocok di sini,
pindahkanlah saya ke tebing di bukit itu.”
Tak lama kemudian, tempayan itu terangkat ke atas
dan menempel pada tebing di bukit dekat pemukiman para pengungsi tersebut.
Juragan terheran-heran melihat peristiwa tersebut. Ia semakin heran ketika
melihat tempayan itu kini telah berubah menjadi sebuah batu yang besar.
Pada
pagi harinya, juragan menceritakan pengalamannya yang luar biasa itu. Kemudian
para pengungsi itu beramai-ramai naik ke atas bukit dan berdiri di atas batu
besar itu. Mereka dapat melihat ke bawah dengan leluasa. Lalu, batu itu
dinamakan “batu nong”.
Desa
yang mereka bangun diberi nama desa Lekong karena di situ banyak pohon kemiri.
Dalam bahasa Sumbawa, buah kemiri yang sudah digoreng untuk bumbu masak sayuran dinamakan lekong.
Sampai
sekarang, para suami yang asli orang Lekong tidak berani mencuci pantat anaknya
yang buang air besar (hanya dongeng). Cerita diatas adalah Dongeng atau cerita
rakyat yang belum bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah.
Dongeng ini dapat kita petik pelajaran tentang cinta sang suami kepada istri, dan tentang egoisnya istri yang meninggalkan suami dan anaknya.
Di samping itu, kami menganggap batu nong itu keramat. Jika
mau mandi di Buin Gua Batu Nong para pengunjung yang membayar hajat (nazar)
harus dimandikan oleh sandro (penjaga). Sebelum sampai dilokasi Batu Nong, ada juga batu besar yang tidak sebesar ukuran Batu Nong, dan orang menganggap batu itu istri dari suami Batu Nong. Sampai sekarang pun Batu Nong masih
tetap bertengger di bukit sebelah utara desa kami di dusun Lekong Atas Desa
Lekong, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa.


Komentar
Posting Komentar