Bagaimana kelompok minoritas di Bali mengharapkan kerukunan berbangsa
di Indonesia?
DUA
BATANG LILIN menyala di sebuah altar. Sekitar lima belas pangkal dupa masih
menancap di tengah turibulum. Bau wangi dari sisa pembakaran dupa masih tercium
di sudut-sudut ruangan. Patung Yesus Kristus berdiri di antara dinding altar
yang mengarah pada meja persegi di sebuah ruang tamu. Siang itu, Agus Dei
bersama Frans Wisnu Murti menerima kami, peserta workshop Serikat Jurnalis
untuk Keberagaman (SEJUK).
“Mari
silahkan, kalau duduk di sini kita sudah seperti saudara sendiri,” tutur Agus sambil
mengayun satu tangan mempersilahkan kami duduk.
Rumah
No. 79 di Jalan Plawa, Denpasar itu kini menjadi tempat bersama sekaligus Sekretariat Ikatan Keluarga Besar Flobamora di Bali. Di rumah
itu, Agus adalah Ketua II rumah Flobamora. Nama
Flobamora diambil sebagai simbol
persaudaraan para pendatang wilayah Nusa Tenggara Timur:
Flores, Sumba, Timor, Rote dan
Alor di Bali. Menurut
Agus, komunitas ini terlahir dari rumah duka, yang
membawa mereka menyadari pentingnya sebuah kebersamaan.
Di
pulau Bali, mereka adalah satu dari beberapa kelompok minoritas. Namun mereka
punya satu pandangan unik saat merespon maraknya kekerasan atas nama agama di
Indonesia. Saat media ramai memberitakan konflik antar kelompok agama hingga
etnik lokal di Indonesia, Agus Dei menganggap perbedaan bukanlah sebab utama
terjadinya konflik dan kekerasan.
“Saya
hanya tertawa saja saat mendengar konflik yang mengatasnamakan agama,” ujar
Agus Dei dengan nada bercanda.
Bagi
Agus, tidak ada satu agama dan kepercayaan menganjurkan kekerasan. Namun
sebaliknya, semua agama mengajak umatnya untuk berdamai dengan sesama manusia
dengan segala keragaman budayanya.
“Agama Islam misalnya, mereka tidak mengajarkan kekerasan. Islam tuh damai, indah, cinta kasih,” kata
Agus meyakinkan.
Belakangan
ini, Agus masih sering melihat bagaimana media massa memuat berita konflik
berlatar agama dan etnis tertentu. Ia tak sepakat bila diskriminasi yang
dialami para penganut kepercayaan Syiah, Ahmadiyah, dan lain sebagainya
bersumber pada perbedaan keyakinan. “Itu urusan politik saja,” ujarnya menyimpulkan.
Ia
bersama teman-temannya di Flobomora telah membuktikan gagasan itu. Dalam
beberapa kesempatan, ia bahkan
mengundang para pemuka agama untuk hadir dalam acara kebaktian dan hari besar
Katolik. Mulai dari agama Islam, Hindu, Kristen Protestan, dan tokoh masyarakat
lainnya.
“Kami
sediakan tempat duduk paling depan untuk Pak Haji dan tokoh lain di acara
kami,” Agus menceritakan bagaimana ia mengundang para tokoh lintas agama.
Tak
hanya pemuka agama saja yang Agus undang di rumah Flobamora. Namun mahasiswa
dari berbagai organisasi pun beberapa kali ia ajak untuk berdiskusi soal isu
lingkungan, hingga kebangsaan sekalipun. “HMI, PMII, Hindu, Syiah, dan semuanya
kami undang juga ke sini,” terangnya.
“Penyanyi
Tri Utami juga, kami undang untuk nyanyi
di perayaan Natal. Untuk memberi semangat anak muda,” kata Frans menimpali
perkataan Agus, sembari sibuk menata letak kamera video untuk merekam pertemuan
siang itu. Frans adalah staf Litbang (Penelitian dan Pengembangan) rumah
Flobamora.
Frans
dan Agus masih mengharapkan komunitas yang sudah berdiri semenjak 1976 ini bisa
menjadi salah satu pilar penyanggah kerukunan antar bangsa di Indonesia.
Alasannya, negara Indonesia tidak hanya terdiri atas satu atau dua kelompok
agama dan suku saja. Ada etnis Melayu, Sunda, Jawa, Tionghoa, Dayak, dan masih
banyak lagi.
“Agama
pun mengajarkan satu: kedamaian dan hidup berdampingan. Karena kita hidup kan
sama. Rambut putih, hitam, ah! Semuanya sama lah,” seru Agus dengan yakin.
Agus
juga menuturkan bahwa menjadi kelompok minoritas di ‘tanah’ orang bukanlah
pilihannya sendiri. Namun kini ia dan ribuan anggota rumah Flobamora telah
memantapkan hati untuk berperan dalam menjaga kerukunan dalam kehidupan
berbagsa.
“Agama,
etnis, suku, dan lain sebagainya itu sudah bukan masalah bagi kami. Sekarang
ini bagaimana caranya kita bersama-sama mengukuhkan hidup rukun di tengah
bangsa majemuk ini,” demikian Agus meyakini.
Sepanjang
Agus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kami, ia tidak sekalipun mengutuki
peran pemerintah dalam mengemban nilai kebhineekaan. Dari beberapa tokoh
pemerintahan di Indonesia, ia justru mendapat inspirasi untuk menyalakan lilin
kerukunan berbangsa. “Bagaimana Presiden Gus Dur, ya kan? Luar biasa kan,”
katanya dengan mata muka cerah.
Ekonomi dan Peran
Perempuan
“Kegiatan sosial kemasyarakatan,
gotong-royong bahkan kegiatan pemberdayaan perempuan.” Hal ini dikatakan Agus, seperti perempuan mengambil
peran dalam proses pembuatan pupuk
organik, membuat wine varian rasa
baru secara rutin. Menurut laki-laki
paruh baya asal Ende ini, para perempuan dilibatkan langsung
dari proses produksi hingga pemasaran produk
yang dibuat.
Tiap satu bulan sekali, rumah Flobamora juga
mengundang ibu-ibu yang notabene berasal dari agama yang berbeda untuk datang ke gereja. Mereka diajak membuat kerajinan tas dan mantel berbahan
daur ulang dari plastik bekas. Produk itu
lalu di jual ke wisatawan
domestik maupun luar negeri sebagai oleh-oleh.
“Perempuan sebenarnya memiliki
peran yang sangat strategis kalau kita mau menggerakkan,” tambah Agus.
Berangkat
dari wujud harmoni keberagaman pada komunitas Flobamora sangat kental. Terlihat
pada tradisi minum air panas setiap kali ada prosesi pernikahan.
semua anggota komunitas akan duduk bersama untuk meringankan
pembiayaan dari keluarga yang akan menikah : ada yang menanggung beras, tepung
terigu, bumbu dapur, alat kosmetik dan lain.
Diakui
Frans memang Ada keistimewaan yang di berikan kepada para wanita di wilayah NTT
dimana ketika menikah mereka akan diberikan mas kawin
gading gajah.
Menjaga Tradisi
Lokal
Dewi Maria ebek pahyang / widhi
nyarengin ida / i ratu pinih kasuecanin / yan ring para istri / sami tur kapuji
/ Yesus wawetang I ratu.
Sepenggal
syair lantunan suci umat Katolik yang dieja Frans sembari menjelaskan makna yang terkandung di
dalamnya. Kurang lebih seperti ini:
Salam Maria penuh rahmat. Tuhan sertamu terpujilah engkau di antara wanita dan
terpujilah buah tubuh-Mu Yesus.
Pria
asal Ende ini menceritakan bahwa dalam komunitasnya tercipta beberapa lantunan
akulturasi suci, “Kami punya nyanyian pujian dari Kitab Suci Katolik yang
diterjemahkan ke dalam Bahasa Bali,” cerita Frans.
“Kenapa
diterjemahkan ke dalam bahasa Bali?” sahut salah seorang dari kami.
“Menterjemahkannya
ke dalam bahasa daerah memudahkan setiap umat mengerti esensi dari lagu
pujian-pujian agama,” ungkapnya. Frans juga menuturkan bahwa ini merupakan
bentuk penghargaan terhadap keberagaman budaya yang ada di masing-masing daerah
di Indonesia.
Tak
hanya nyanyian, tarian suci keagamaan pun dibuat dengan pakem Bali. “Kami
memiliki tarian- tarian bali yang dibuat oleh seniman dari beberapa daerah,
seperti Palasari dan Tuka,” tukasnya.
Di
depan altar itu, Agus dan Fransiskus masih menjaga agar nyala lilin tetap
hidup. Dari rumah Flobamora, mereka masih menaruh harapan bahwa kerukunan
beragama di Indonesia akan tetap hidup.[]
Tim Flobamora Whorkshop SEJUK di Bali




Komentar
Posting Komentar