Langsung ke konten utama

OPTIMALISASI PENARIKAN PAJAK MELALUI GERAKAN “BANGGA BER NPWP”



bangsa yang mandiri sangat dipengaruhi oleh kekuatan fiskalnya. Indonesia yang juga menjadikan pajak sebagai sumber utama penerimaan Negara, terus-menerus berusaha untuk memperbaiki sistem perpajakannya. Namun, semua upaya tersebut akan sia-sia apabila tidak ditunjang oleh niat Wajib Pajak (WP) untuk melaksanakan kewajiban perpajakan dengan patuh dan benar. Akan selalu ada celah untuk mengelak kewajiban perpajakan. (Nufransa Wira Sakti )
Pendahuluan
Perpajakan adalah Isu Seksi yang nyaris luput dari monitoring awak media akhir-akhir ini. Sebagai Negara hukum pemerintah Indonesia telah memformulasikan berbagai Peraturan mengenai perpajakan. Bahkan dari tahun ke tahun pemerintah selalu ingin menaikan tax rasio perpajakan. Pajak merupakan sebuah instrumen penting dalam penganggaran negara,  karena pajak merupakan pos pendapatan yang utama dari pemasukan negara. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 11, ayat (3) “Pendapatan negara terdiri atas Pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah”. Dan merupakan hak negara untuk menarik pajak seperti yang tercantum dalam pasal 2 huruf a, menjelaskan bahwa “Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman”. Pentingnya pos pajak dapat terlihat dari persentase penerimaan pajak terhadap pos pendapatan lainnya, seperti yang terdapat dalam Undang-undang nomor 47 Tahun 2009 tentang APBN 2010, menetapkan bahwa penerimaan pajak untuk anggaran pendapatan dan belanja negara adalah sebesar Rp. 742,7 triliun, atau 78% dari total pendapatan negara yang berasal Pajak, pendapatan bukan pajak dan hibah. Sedangkan di tahun 2011 di pemerintah menetapkan pendapatan pajak dengan persentase 77% dari total pendapatan negara tahun 2011.
Sungguh ironi, penarikan pajak masih mengalami kendala yang ruwet di Indonesia dengan berbagai sistem yang ada. sistem pengembalian pajak (tax Return) seperti yang dilakukan di Amerika belum dilakukan di Indonesia, belum ada reword yang di berikan pemerintah kepada desa atau kota yang taat membayar pajak seperti yang dilakukan pemerintah jepang. Disisi lain, kesadaran masyarakat untuk membayar pajak masih minim. Masih banyak objek pajak seperti pengusaha, wirausaha maupun tuan tanah di pedesaan yang belum membayar pajak. Menurut data dari Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro bahwa Indonesia masih terbelakang dalam hal pajak penghasilan (PPh) untuk orang pribadi. Dalam datanya, PPh pribadi yang dipungut dari karyawan oleh perusahaan totalnya Rp 93 triliun. Tapi yang jadi titik lemah terbesar adalah PPh orang pribadi yang bukan karyawan itu cuma Rp 4 triliun. Padahal total penerimaan pajak negara Rp 1.000 triliun. Sementara, ada sekitar 5 juta wajib pajak badan (perusahaan) di Indonesia. Namun yang patuh membayar pajak hanya 10 persen atau sekitar 500.000 perusahaan saja. Selebihnya tak patuh membayar pajak, bahkan ada yang mengklaim terus merugi (tempo.11.2014).
Lemahnya kesadaran masyarakat akan pajak dapat dilihat dari kepemilikan nomor pokok wajib pajak (NPWP) yang masih belum mengena di segala lapisan. Pada umumnya yang memiliki NPWP hanya karyawan kantor, PNS, Pengusaha maupun wirausaha menengah ke atas. Sudah Saatnya KPP Pratama Sumbawa untuk menggenjot pajak penghasilan orang pribadi baik dari sektor Usaha Kecil Menengah, Pedagang, pengusaha, tuan tanah di pedesaan dengan memudahkan berbagai pelayanan pajak. Memberikan reword  bagi kota dan desa yang taat bayar pajak.
Inilah bentuk optimisme bahwa entah esok atau lusa kesadaran masyarakat untuk membayar pajak semakin meningkat. Untuk itu, Harus ada inovasi besar yang dilakukan dalam meningkatkan nilai tambah. Masyarakat belum sepenuhnya paham tentang urgensi perpajakan maka harus diberikan pemahaman dengan tetap menjadikan slogan ini sebagai icon “ Orang Bijak taat Bayar Pajak” dan “Bangga Bayar Pajak” . Melalui Gerakan Bangga Ber- NPWP semoga dapat menjadi inovasi baru dalam system penarikan pajak di Indonesia.
Perpajakan Yang Mudah Dan Adil
Partisipasi fiskal setiap warganegara, berpengaruh besar untuk menjaga “wilayah” ketahanan fiskal Negara tersebut. Hal ini penting agar Negara ini tidak terjerat oleh krisis keuangan dan kehilangan kedaulatannya. Pembayaran pajak sebagai wujud bela Negara akan membuat rakyat bangga dan menimbulkan patriotisme (Frans. 2014 . hal. 170). Sedangkan Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbale (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo. 2006).
Berangkat dari permasalahan diatas, sesungguhnya kemudahan dalam memperoleh, mengisi mengembalikan seperti akan menentukan kegairahan masyarakat untuk membayar pajak. 

Apa Sih NPWP itu?
Bagaimana membayar pajak, tentunya yang harus di buat terlebih dahulu adalah NPWP. NPWP adalah Nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana administratip perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakan. Kalau sudah ber-NPWP otomatis harus membayar pajak? Hal itu, Belum tentu. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan yang memperoleh penghasilan di atas PTKP(Penghasilan Tidak Kena Pajak) maka akan terhutang Pajak Penghasilan. LALU Berapa SIH besarnya PTKP?
a. Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak;
b. Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) tambahan untuk seo­rang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami;
d. Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak anqkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
NPWP atau Nomor Pokok Wajib Pajak pada dasarnya sekedar nomor yang diberikan kepada para Wajib Pajak untuk memperlancar administrasi urusan perpajakan. Wajib Pajak di Indonesia adalah rakyat Indonesia. Sebab, konsep pajak sendiri adalah mengena untuk semua warga negara dimulai pada usia tertentu. Artinya, tidak ada suatu keharusan bahwa NPWP hanya untuk yang sudah bekerja (berpenghasilan). Apa sih manfaat mempunyai NPWP? Banyak banget manfaat memiliki NPWP, diantaranya adalah kemudahan pengurusan administrasi dalam pengajuan kredit bank, pembuatan kartu kredit di bank, pembayaran pajak final (PPh Final, PPN, dan BPHTB,dll), pembuatan paspor, mengikuti lelang di Instansi Pemerintah, BUMN, dan BUMD, kemudahan pelayanan perpajakan, kemudahan pengembalian pajak, dan juga bebas dari pengenaan fiskal di luar negeri.

NPWP “Sebuah keterpaksaan”
Pemerintah selalu ingin menaikan tax rasio dengan segala macam bentuk formula kebijakan. Sampai saat ini tax ratio Negara Indonesia masih sangat kecil. Tax ratio adalah perbandingan antara jumlah warga Negara yang telah memiliki NPWP dibandingkan dengan total jumlah warga Negara Indonesia. tax ratio Indonesia masih berkisar 14%. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan standar di Negara maju. Pertanyaannya adalah kenapa tax ratio Negara kita masih rendah. Di lain pihak pemerintah melalui ditjen pajak telah berupaya gencar untuk menaikkan tax ratio. Langkah nyata bisa kita lihat dari program sunset policy pada tahun 2007, kampanye npwp, dan juga media iklan di media cetak maupun elektronik. Namun ternyata tidak semudah itu untuk mecapai standar tax ratio layaknya di Negara maju.
Di dalam undang-undang KUP memang telah disebutkan bahwa Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini menunjukkan bahwa NPWP adalah kewajiban bagi setiap warga Negara yang telah memenuhi persyaratan. Dalam prakteknya, ternyata untuk melaksanakan aturan ini tidaklah mudah. Banyak masyarakat yang belum menyadari kewajiban perpajakannya. Pengetahuan perpajakan yang kurang memadai ditambah dengan keengganan berurusan dengan pajak membuat orang enggan untuk membuat NPWP. Oleh karena itu diperlukan kewenangan Negara untuk menetapkan NPWP atas masyarakat yang tidak mau membuat NPWP ini. Lebih lanjut dalam ayat berikutnya disebutkan bahwa Negara bisa memaksakan wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif namun tidak mempunyai NPWP.
Selama ini masyarakat membuat NPWP didasarkan pada unsur keterpaksanaan. Pemerintah melalui perangkat peraturan undang-undang telah memaksa warga Negara untuk memiliki NPWP. Pemberlakuan undang-undang pph yang baru mengatur bahwa pengenaan pph 21 akan dikenakan 20% lebih tinggi bagi wajib pajak yang tidak memililiki NPWP dan 100% lebih tinggi untuk pph 23. Begitu pula dengan pengenaan pajak bagi pensiunan. Selain itu peraturan kredit perbankan yang mensyaratkan kepemilikan npwp bagi debitur juga mendorong untuk mendaftarkan NPWP. Semua hal ini memaksa masyarakat untuk membuat NPWP. Apakah semua hal ini telah cukup efektif untuk meningkatkan kesadaran pajak dan tax ratio? Ternyata tidak juga. Semua perangkat ini ternyata sampai saat ini baru berhasil mengumpulkan sekitar 14% pemegang NPWP.
Yang tidak kalah penting dari semua perangkat di atas adalah peningkatan kesadaran masyarakat akan perpajakan. Penyebaran informasi dan juga hasil nyata dari uang pajak yang telah masyarakat bayarkan menjadi hal yang sangat krusial. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya orang enggan melakukan sesuatu yang tidak mempunyai manfaat bagi dirinya. Bagaimana masyarakat mau mengurus NPWP dan memenuhi kewajiban perpajakannya apabila untuk memperoleh fasilitas pendidikan sangat sulit karena mahalnya biaya pendidikan. Begitu pula dengan fasilitas kesehatan yang kian mahal. Bagaimana masyarakat mau membayar pajak apabila mereka masih mendapati jalan banyak yang masih berlubang, rusak, tidak diperbaiki, dan membahayakan keselamatan merekan. Hal-al tersebut adalah contoh kecil saja. Masyarakat masih belum bisa merasakan manfaat atas uang pajak yang telah mereka bayarkan.
Berkaca Dari Negara Maju
Berbeda dengan praktek di Negara maju. Kesadaran masyarakat akan pajak sangat tinggi. Mereka merasakan manfaat atas uang pajak yang mereka bayarkan. Jaminan social di Negara maju sangat bagus. Masyarakat tidak perlu khawatir tidak mampu membayar pendidikan ataupun kesehatan karena semua sudah di cover oleh pemerintah dari dana pajak yang mereka bayarkan.Disinilah urgensi alokasi dari dana pajak yang dihimpun oleh Negara. Alokasi yang efisien dan efektif sangat diperlukan agar masyarakat bisa merasakan hasil pembayaran pajak mereka. Disinilah peran pemerintah untuk mengelola uang pembayaran pajak tersebut.
Tanpa tata kelola yang baik maka masyarakat akan semakin enggan membayar pajak. Apalagi jika ternyata korupsi merajalela dalam pengelolaan pajak tersebut. Di luar negeritak ada istilah uang negara, yang ada uang pembayar pajak. Konsepnya tidak seperti gotong royong, tapi lebih ke pungutan. “Dengan ada kekuasaan, orang harus bayar pajak untuk  mengatur pertahanan dan kemananan, kesehatan, dan sebagainya. Di Jepang, orang yang membayar pajak bisa kecanduan. Mekanisme self assessment atau pelaporan dari wajib pajak atas beban pajak yang harus ditanggungnya pun benar-benar berjalan tanpa beban. Itu gambaran ideal yang kini tengah dinanti di Indonesia. Uang pajak lingkungan juga dimanfaatkan Pemerintah Jepang secara maksimal dalam pengelolaan sampah, tabungan pendidikan, asuransi kesehatan, sistem keamanan dan pertahanan Negara.
Bangga Ber NPWP
Setiap orang pasti memiliki identitas yang namanya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Bagi orang yang bepergian keluar negeri diwajibkan memiliki identitas paspor. Bahkan kampanye kemudahan pemakaian kartukredit, menjadi incaran setiap orang untuk lebih mudah bila ingin berbelanja di berbagai tempat yang ditentukan dengan memiliki identitas kartu kredit. Bahkan bila kita berobat ke Rumah Sakit-pun diperlukan identitas khusus berupa kartu berobat agar pelayanan administrasi dan lainnya bisa berjalan cepat. Secara psikologis, tidak bisa dipungkiri kalau rasa bangga akan timbul bila telah memiliki berbagai macam kartu kredit, paspor, SIM serta kartu identitas lainnya. Tetapi mengapa tidak bangga memperoleh Kartu NPWP? Apa untungnya memperoleh NPWP ? Sekalipun UU KUP menegaskan agar setiap orang yang telah mempunyai penghasilan wajib mendaftarkan diri untuk memperoeh NPWP (Pasal 2 ayat 1), tapi masih saja banyak yang enggan untuk melakukannya. Lha,kalau begitu bagaimana caranya? Tidak lain UU KUP sendiri yang memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk memberikan NPWP secara jabatan bila WP tidak mau melaksanakannya (ayat 4).
Pemberian NPWP secara jabatan dilakukan dengan menyortir data pada Pusat Data yang ada yaitu dengan melakukan pengecekan apakah subjek pajak yang berkaitan dengan data sudah ata belum terdaftar sebagai wajib pajak. Terhadap mereka yang belum terdaftar tentu akan diberikan Kartu NPWP. Bagi mereka yang sudah terdaftar tapi diberikan lagi, dapat menyampaikan komplainnya ke complaint center Kantor Pusat Ditjen Pajak. Mengapa pemberian jabatan ini sampai dilakukan, menurut penulis ada dua hal, pertama, sistem self assessment yang memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat sudah berlangsung selama lebih dari 22 (dua puluh dua) tahun. Satu kurun waktu yang cukup panjang agar masyarakat mengerti hal itu. Kedua, kebutuhan negara akan perlunya uang pajak, menjadi andalan satu-satunya suksesnya pembangunan untuk kepentingan masyarakat banyak. Kita tidak bisa menunggu waktu lebih lama lagi mengkonsentrasikan hal tersebut.
Saat ini negara butuh uang pajak untuk kelangsungan hidup bernegara dan bermasyarakat. Konsekwensinya, diperlukan kesadaran memperoleh NPWP agar tertanam pada setiap orang. Nah, untuk memudahkan sarana administrasi dalam memenuhi kewajiban membayar pajaknya, diperlukan identitas khusus dengan nama NPWP. Jadi Wajib Pajak tidak perlu alergi bila memiliki NPWP. Kesan akan takutnya diperiksa atau harus melaporkan pajak terutangnya dalam SPT karena telah memiliki NPWP, tidak perlu dikhawatirkan. Adalah hal biasa kalau WP diperiksa dan melaporkan pajaknya sendiri, karena undang-undang sudah mengaturnya. WP punya hak dan kewajiban yang sudah jelas dalam undang-undang. Kalau sadar dan peduli pajak sudah tertanam dalam diri tiap orang,maka keinginan memiliki NPWP akan sama dengan keinginan memiliki KTP, bahkan kepemilikan NPWP bisa melebihi kebanggaan memiliki KTP. KTP akan diberikan karena ukuran seseorang sudah dewasa. Demikian pula NPWP diberikan karena ukuran seseorang sudah punya penghasilan.
Tidak semua penghasilan dikenakan pajak, tetapi hanya penghasilan dengan batasan yang telah ditentukan undang-undang. Tidak berlebihankalau selalu didengungkan ungkapan tanyalah pada diri sendiri apa yang bisa diperbuat untuk negeri ini. Kalau saja semua Wajib Pajak dapat mewujudkan keadaan demikian, kemandirian dalam membiayai pembangunan nasional yang dicita-citakan diharapkan segera terwujud. Kita tidak memerlukan lagi bantuan asing. Keadilan dan kesejahteraanpun dapat dinikmati semua orang. Kesadaran untuk mematuhi ketentuan (hukum pajak) yang berlaku tentu menyangkut faktor-faktor apakah ketentuan tersebut telah diketahui, diakui, dihargai dan ditaati. Bila seseorang hanya mengetahui, berarti kesadaran hukumnya masih rendah dari mereka yang mengakui. Demikian seterusnya. Idealnya untuk mewujudkan sadar dan peduli pajak, masyarakat harus terus diajak untuk mengetahui, mengakui,menghargai dan mentaati ketentuan perpajakan yang berlaku. Mewujudkan masyarakat sadar dan peduli pajak tidak bisa berlandaskan adagium hukum semua orang 'dianggap tahu' atas undang-undang yang telah dikeluarkan pemerintah.
Pikiran legalisme demikian tidak efektif karena tidak memperhitungkan kondisi lainnya seperti keadaan sosiologis dalam mentaati ketentuan yang berlaku. Upaya sosialisasi ketentuan menjadi faktor lain keberhasilan mewujudkan masyarakat sadar dan peduli pajak. Pelayanan Persoalan lain berkaitan dengan pemberian NPWP adalah pelayanan. Artinya, setiap orang yang sudah memiliki NPWP tentu mengharapkan adanya pelayanan publik yang baik dari pemerintah. Persoalan ini sering menjadi pertanyaan banyak  masyarakat. "Untuk apa saya punya NPWP, bayar pajak lagi, sementara jalan yang saya lalui tiap hari tidak pernah diperbaiki." Ini baru satu contoh 
kecil.
Masih banyak contoh pelayanan publik lain yang harus menjadi perhatian pemerintah. Idealnya, orang akan bangga memiliki NPWP kalau juga dibarengi dengan tiga kondisi berikut, yaitu pertama, pelayanan publik yang  baik dari setiap instansi pemerintah kepada masyarakat perlu diirealisasikan.Kedua, hasil nyata dari pajak yang telah dibayar terlihat dan dapat langsung dirasakan manfaatnya, dan ketiga, adanya penghargaan
(reward) kepada WP patuh sekalipun jumlahnya kecil. Sayangnya, masyarakat juga kurang memahami bahwa persoalan pelayanan publik maupun hasil nyata pajak bukanlah tugas Ditjen Pajak tetapi seringkali yang dipersalahkan adalah institusi pajak. Ini artinya, peran instansi pemerintah lainnya termasuk dalam hal koordinasi pelayanan publik dan hasil pembangunan dari uang pajak perlu disosialisasikan berkaitan dengan pentingnya kepemilikan kartu NPWP ini. Setiap kartu identitas yang dimiliki seseorang tentu mempunyai kepentingannya masing-masing. Harapan ke depan adalah bagaimana menciptakan rasa bangga memiliki NPWP lebih dari kartu identitas lainnya. Bila perlu bangganya memiliki NPWP bisa melebihi bangganya memiliki KTP atau paspor atau kartu lainnya. Sebab dengan memiliki NPWP berarti telah berpartisipasi dalam membiayai pembangunan dan bisa melakukan komplain bila tidak mendapatkan pelayanan yang baik dibidang publik yang diinginkan.
Menumbuhkan rasa bangga itu bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat masyarakat kurang memahami pentingnya membayar pajak. Dengan adanya sosialisasi pajak, maka berdampak pada pengetahuan masyarakat akan pajak. Pada akhirnya berdampak kepada kesadaran masyarakat akan kontribusinya kepada negara. Dengan adanya sosialisasi tersebut masyarakat akan mengerti dan kebanggaan akan tumbuh dalam diri mereka bahwa bayar pajak itu sama halnya dengan membela negara.
Gelanggang Inovasi Pajak
                Masyarakat alergi dengan pajak karena mereka tidak dapat merasakan langsung hasil pembangunan yang di porsikan pemerintah dari dana pajak. Maka dari itu, pemerintah harus Mempermudah segala macam bentuk pelayanan pajak, koordinasi sampaikan ke tingkat desa “pajak go to Vilage” dengan memberikan porsi bagi aparatur desa untuk membantu mendata wajib pajak di desa, memberi reward bagi individu, kota maupun desa yang aktif bayar pajak seperti di jepang petani semangat bayar pajak hanya karena ingin reward di buat jalan raya beraspal untuk masuk desanya, pengadaan mobil pajak dimana mobil tersebut akan keliling ke desa-desa untuk daftar NPWP dan membayar pajak, Pajak On-line harus terus ditingkatkan kecepatan pelayanannya, pajak via ATM untuk lebih mempermudah WP yang ada di kota. Semua ini tergantung kebijakan pemerintah dalam meramu inovasi terkait alokasi dana pajak agar lebih transparan dan terbuka supaya masyarakat bangga membayar pajak.
Penutup
                Sebagai warga Negara Indonesia, penulis optimis bahwa gerakan bangga Ber-NPWP bisa menjadikan masyarakat sadar dan taat membayar pajak dengan berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah dalam hal ini Ditjen Pajak kepada wajib pajak. Sosialisasi harus dimasifkan dengan menggunakan  segala macam bentuk fasilitas bahkan masyarakat bisa diberdayakan untuk membantu mensosialisasikan cinta pajak. Salah satunya dengan memanfaatkan Mobil pajak keliling agar dapat menjangkau masyarakat yang berada di wilayah pedalaman. Mari berupaya menjadi warga Negara yang baik dengan taat membayar pajak.




















Daftar Pustaka
Mardiasmo. 2006. Perpajakan. Yogyakarta : Penerbit Andi
Wira, Sakti. 2014. Buku Pintar Pajak E- Comers. Jakarta : Visi Media
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
UU Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan
Bahan Internet
diakses 27 November 2014
https://groups.yahoo.com/neo/groups/forum-pajak/conversations/messages/16093 diakses 28 November 2014
diakses 28 November 2014


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kompetisi Vs Pandemi

Mengikuti kompetisi sudah menjadi kebiasaanku sejak SD hingga sekarang. Meski jarang menang, tetapi sudah ikut berpartisipasi saja rasanya bahagia sekali. Ketika pandemi Covid 19 terjadi pada bulan Maret tahun 2020, hikmahnya kita lebih gampang mengikuti lomba seperti menulis Esai,  artikel, opini, KTI, cerpen, puisi, seminar, lomba desain, photografi, pelatihan, fellowship, nulis buku, beasiswa dan lain-lain. Jika dihitung, jumlah project menulis kala pandemi yang aku ikuti sekitar 30 lebih dari non Fiksi hingga Fiksi tapi yang menang bisa dihitung jari. Namun dari effort tersebut, banyak yang kita dapatkan yaitu kiriman buku gratis dari funding internasional dan nasional,  teman baru, relasi, wawasan, update teknologi aplikasi, hadiah menarik dan lain-lain serta jangan lupakan hadiah uang dan pulsa🤭😉. Selanjutnya, tahun 2021 bersiap untuk kompetisi lagi. Jika ada yang termotivasi dengan tulisan ini, maka tetap semangat, optimis, jangan pernah insecure, iri hati, dengki dan...

Lalu Dia Lala Jinis Kisah Romeo Juliet Alas-Sateluk

Resensi By: Susi Gustiana Betapa bahagia  mencium aroma buku , pikiranku menari 'seolah menemukan harta karun'.    Buku Lalu Dia dan Lala Jinis  adalah cerita rakyat Sumbawa yang di tulis oleh bapak Dinullah Rayes. Nama Rayes merupakan marga dari keturunan kedatuan Alas. Cerita ini bersemi dihati penduduk terutama dari bagian barat tepatnya di kecamatan Alas. Kisah kasih diantara dua pasang anak muda romeo dan Juliet Sumbawa ini diriwayatkan oleh orang tua dengan menggunakan bahasa yang puitik melalui lawas. Lawas samawa merupakan puisi lisan tradisional pada umumnya tiap bait terdiri dari 3 baris. Dipengantar awal buku penulis menyebutkan bahwa kisah ini ditembangkan oleh orangtua yang   mahir balawas (menembangkan syair) dengan suara merdu menawan dan mempesona bagi siapapun yang mendengar. Tradisi di Sumbawa bagi orang yang bisa mendongeng atau bercerita itu disebut Badia. Tau Badia (orang/seniman yang menyampaikan cerita) sering diund...

Tugu Simpang 5 Aceh!!!! Begitu ‘Sempurna’

Kalian tahu tidak lagu sempurna dari Andra and The Backbone mungkin itu tepat untuk menggambarkan monument ini. “Belum ke Aceh namanya jika belum mengunjungi salah satu tugu atau monumen yang sangat ikonik dan keren ini” kata Pak Marzuki guide kami selama di Aceh. Yupz…..Namanya tugu simpang 5, oleh ibu-ibu rombongan dari Sumbawa yang antusias untuk mengambil gambar berselfia ria bahwa   di monumen ini. Menurut mereka tugu simpang 5 juga disebut tugu selamat datang. Karena lokasinya berada di pusat kota dan punya nilai filosofi yang sangat mendalam. Dalam catatan sejarah, tugu ini berada di lima persimpangan jalan protokol yang selalu padat, yaitu jalan Tgk. H. M. Daud Beureuh, T. Panglima Polem, Sri Ratu Safiatuddin, Pangeran Diponegoro, dan jalan Teungku Angkasa Bendahara. Di lihat dari desainnya, ada 4 eksplorasi konsep dari  tugu Simpang Lima Aceh  ini, yaitu axis-oriented (sumbu), urban oase, multi-purposes building, dan landmark kota Banda Aceh. T...