bangsa yang mandiri sangat dipengaruhi oleh
kekuatan fiskalnya. Indonesia yang juga menjadikan pajak sebagai sumber utama
penerimaan Negara, terus-menerus berusaha untuk memperbaiki sistem perpajakannya.
Namun, semua upaya tersebut akan sia-sia apabila tidak ditunjang oleh niat
Wajib Pajak (WP) untuk melaksanakan kewajiban perpajakan dengan patuh dan
benar. Akan selalu ada celah untuk mengelak kewajiban perpajakan. (Nufransa Wira Sakti )
Pendahuluan
Perpajakan
adalah Isu Seksi yang nyaris luput dari monitoring awak media akhir-akhir ini.
Sebagai Negara hukum pemerintah Indonesia telah memformulasikan berbagai Peraturan
mengenai perpajakan. Bahkan dari
tahun ke tahun pemerintah selalu ingin menaikan tax rasio perpajakan. Pajak merupakan
sebuah instrumen penting dalam penganggaran negara, karena pajak
merupakan pos pendapatan yang utama dari pemasukan negara. Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 11, ayat (3) “Pendapatan negara
terdiri atas Pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah”. Dan merupakan hak
negara untuk menarik pajak seperti yang tercantum dalam pasal 2 huruf a,
menjelaskan bahwa “Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan
mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman”. Pentingnya pos pajak dapat
terlihat dari persentase penerimaan pajak terhadap pos pendapatan lainnya,
seperti yang terdapat dalam Undang-undang nomor 47 Tahun 2009 tentang APBN
2010, menetapkan bahwa penerimaan pajak untuk anggaran pendapatan dan belanja
negara adalah sebesar Rp. 742,7 triliun, atau 78% dari total pendapatan negara
yang berasal Pajak, pendapatan bukan pajak dan hibah. Sedangkan di tahun 2011
di pemerintah menetapkan pendapatan pajak dengan persentase 77% dari total pendapatan
negara tahun 2011.
Sungguh ironi, penarikan pajak masih
mengalami kendala yang ruwet di Indonesia dengan berbagai sistem yang ada. sistem pengembalian pajak (tax Return) seperti yang dilakukan di
Amerika belum dilakukan di Indonesia, belum ada reword yang di berikan
pemerintah kepada desa atau kota yang taat membayar pajak seperti yang
dilakukan pemerintah jepang. Disisi lain, kesadaran
masyarakat untuk membayar pajak masih minim. Masih banyak objek pajak seperti
pengusaha, wirausaha maupun tuan tanah di pedesaan yang belum membayar pajak. Menurut
data dari Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro bahwa Indonesia masih
terbelakang dalam hal pajak penghasilan (PPh) untuk orang pribadi. Dalam
datanya, PPh pribadi yang dipungut dari karyawan oleh perusahaan totalnya Rp 93
triliun. Tapi yang jadi titik lemah terbesar adalah PPh orang pribadi yang
bukan karyawan itu cuma Rp 4 triliun. Padahal total penerimaan pajak negara Rp
1.000 triliun. Sementara, ada sekitar 5 juta wajib pajak badan (perusahaan) di Indonesia. Namun
yang patuh membayar pajak hanya 10 persen atau sekitar 500.000 perusahaan saja.
Selebihnya tak patuh membayar pajak, bahkan ada yang mengklaim terus merugi (tempo.11.2014).
Lemahnya kesadaran masyarakat akan
pajak dapat dilihat dari kepemilikan nomor pokok wajib pajak (NPWP) yang masih
belum mengena di segala lapisan. Pada umumnya yang memiliki NPWP hanya karyawan
kantor, PNS, Pengusaha maupun wirausaha menengah ke atas. Sudah Saatnya KPP Pratama Sumbawa untuk menggenjot pajak penghasilan
orang pribadi baik dari sektor Usaha Kecil Menengah, Pedagang, pengusaha, tuan
tanah di pedesaan dengan memudahkan berbagai pelayanan pajak. Memberikan
reword bagi kota dan desa yang taat
bayar pajak.
Inilah bentuk optimisme bahwa entah esok atau
lusa kesadaran masyarakat untuk membayar pajak semakin meningkat. Untuk itu, Harus
ada inovasi besar yang dilakukan dalam meningkatkan nilai tambah. Masyarakat
belum sepenuhnya paham tentang urgensi perpajakan maka harus diberikan
pemahaman dengan tetap menjadikan slogan ini sebagai icon “ Orang Bijak taat Bayar
Pajak” dan “Bangga Bayar Pajak”
. Melalui Gerakan Bangga Ber- NPWP
semoga dapat menjadi inovasi baru dalam system penarikan pajak di Indonesia.
Perpajakan Yang
Mudah Dan Adil
Partisipasi
fiskal setiap warganegara, berpengaruh besar untuk menjaga “wilayah” ketahanan
fiskal Negara tersebut. Hal ini penting agar Negara ini tidak terjerat oleh
krisis keuangan dan kehilangan kedaulatannya. Pembayaran pajak sebagai wujud
bela Negara akan membuat rakyat bangga dan menimbulkan patriotisme (Frans. 2014
. hal. 170). Sedangkan Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H Pajak adalah
iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbale
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo. 2006).
Berangkat
dari permasalahan diatas, sesungguhnya kemudahan dalam memperoleh, mengisi
mengembalikan seperti akan menentukan kegairahan masyarakat untuk membayar
pajak.
Apa Sih NPWP itu?
Bagaimana
membayar pajak, tentunya yang harus di buat terlebih dahulu adalah NPWP. NPWP adalah Nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana
administratip perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakan. Kalau sudah ber-NPWP otomatis harus membayar pajak?
Hal itu, Belum tentu. Bagi Wajib Pajak
Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan yang memperoleh
penghasilan di atas PTKP(Penghasilan Tidak Kena Pajak) maka akan terhutang
Pajak Penghasilan. LALU Berapa SIH
besarnya PTKP?
a. Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak;
b. Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami;
d. Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak anqkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
a. Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak;
b. Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami;
d. Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak anqkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
NPWP atau Nomor Pokok Wajib Pajak pada
dasarnya sekedar nomor yang diberikan kepada para Wajib Pajak untuk
memperlancar administrasi urusan perpajakan. Wajib Pajak di Indonesia adalah
rakyat Indonesia. Sebab, konsep pajak sendiri adalah mengena untuk semua warga
negara dimulai pada usia tertentu. Artinya, tidak ada suatu keharusan bahwa
NPWP hanya untuk yang sudah bekerja (berpenghasilan). Apa sih manfaat mempunyai
NPWP? Banyak banget manfaat memiliki NPWP, diantaranya adalah kemudahan
pengurusan administrasi dalam pengajuan kredit bank, pembuatan kartu kredit di
bank, pembayaran pajak final (PPh Final, PPN, dan BPHTB,dll), pembuatan paspor,
mengikuti lelang di Instansi Pemerintah, BUMN, dan BUMD, kemudahan pelayanan
perpajakan, kemudahan pengembalian pajak, dan juga bebas dari pengenaan fiskal
di luar negeri.
NPWP “Sebuah keterpaksaan”
Pemerintah selalu ingin menaikan tax
rasio dengan segala macam bentuk formula kebijakan. Sampai saat ini tax ratio
Negara Indonesia masih sangat kecil. Tax ratio adalah perbandingan antara
jumlah warga Negara yang telah memiliki NPWP dibandingkan dengan total jumlah
warga Negara Indonesia. tax ratio Indonesia masih berkisar 14%. Jumlah ini
sangat kecil dibandingkan dengan standar di Negara maju. Pertanyaannya adalah
kenapa tax ratio Negara kita masih rendah. Di lain pihak pemerintah melalui
ditjen pajak telah berupaya gencar untuk menaikkan tax ratio. Langkah nyata
bisa kita lihat dari program sunset policy pada tahun 2007, kampanye npwp, dan
juga media iklan di media cetak maupun elektronik. Namun ternyata tidak semudah
itu untuk mecapai standar tax ratio layaknya di Negara maju.
Di dalam undang-undang KUP memang
telah disebutkan bahwa Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan
subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak. Hal
ini menunjukkan bahwa NPWP adalah kewajiban bagi setiap warga Negara yang telah
memenuhi persyaratan. Dalam prakteknya, ternyata untuk melaksanakan aturan ini
tidaklah mudah. Banyak masyarakat yang belum menyadari kewajiban perpajakannya.
Pengetahuan perpajakan yang kurang memadai ditambah dengan keengganan berurusan
dengan pajak membuat orang enggan untuk membuat NPWP. Oleh karena itu
diperlukan kewenangan Negara untuk menetapkan NPWP atas masyarakat yang tidak
mau membuat NPWP ini. Lebih lanjut dalam ayat berikutnya disebutkan bahwa
Negara bisa memaksakan wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subyektif
dan obyektif namun tidak mempunyai NPWP.
Selama ini masyarakat membuat NPWP
didasarkan pada unsur keterpaksanaan. Pemerintah melalui perangkat peraturan
undang-undang telah memaksa warga Negara untuk memiliki NPWP. Pemberlakuan
undang-undang pph yang baru mengatur bahwa pengenaan pph 21 akan dikenakan 20%
lebih tinggi bagi wajib pajak yang tidak memililiki NPWP dan 100% lebih tinggi
untuk pph 23. Begitu pula dengan pengenaan pajak bagi pensiunan. Selain itu
peraturan kredit perbankan yang mensyaratkan kepemilikan npwp bagi debitur juga
mendorong untuk mendaftarkan NPWP. Semua hal ini memaksa masyarakat untuk
membuat NPWP. Apakah semua hal ini telah cukup efektif untuk meningkatkan
kesadaran pajak dan tax ratio? Ternyata tidak juga. Semua perangkat ini
ternyata sampai saat ini baru berhasil mengumpulkan sekitar 14% pemegang NPWP.
Yang tidak kalah penting dari semua
perangkat di atas adalah peningkatan kesadaran masyarakat akan perpajakan.
Penyebaran informasi dan juga hasil nyata dari uang pajak yang telah masyarakat
bayarkan menjadi hal yang sangat krusial. Hal ini disebabkan karena pada
dasarnya orang enggan melakukan sesuatu yang tidak mempunyai manfaat bagi
dirinya. Bagaimana masyarakat mau mengurus NPWP dan memenuhi kewajiban
perpajakannya apabila untuk memperoleh fasilitas pendidikan sangat sulit karena
mahalnya biaya pendidikan. Begitu pula dengan fasilitas kesehatan yang kian
mahal. Bagaimana masyarakat mau membayar pajak apabila mereka masih mendapati
jalan banyak yang masih berlubang, rusak, tidak diperbaiki, dan membahayakan
keselamatan merekan. Hal-al tersebut adalah contoh kecil saja. Masyarakat masih
belum bisa merasakan manfaat atas uang pajak yang telah mereka bayarkan.
Berkaca Dari Negara Maju
Berbeda dengan praktek di Negara maju.
Kesadaran masyarakat akan pajak sangat tinggi. Mereka merasakan manfaat atas
uang pajak yang mereka bayarkan. Jaminan social di Negara maju sangat bagus.
Masyarakat tidak perlu khawatir tidak mampu membayar pendidikan ataupun
kesehatan karena semua sudah di cover oleh pemerintah dari dana pajak yang
mereka bayarkan.Disinilah urgensi alokasi dari dana pajak yang dihimpun oleh
Negara. Alokasi yang efisien dan efektif sangat diperlukan agar masyarakat bisa
merasakan hasil pembayaran pajak mereka. Disinilah peran pemerintah untuk
mengelola uang pembayaran pajak tersebut.
Tanpa tata kelola yang baik maka masyarakat
akan semakin enggan membayar pajak. Apalagi jika ternyata korupsi merajalela
dalam pengelolaan pajak tersebut. Di luar
negeritak ada istilah uang negara, yang ada uang pembayar pajak. Konsepnya
tidak seperti gotong royong, tapi lebih ke pungutan. “Dengan ada kekuasaan,
orang harus bayar pajak untuk mengatur pertahanan dan kemananan,
kesehatan, dan sebagainya. Di Jepang, orang yang membayar pajak bisa
kecanduan. Mekanisme self assessment atau pelaporan dari wajib pajak atas beban
pajak yang harus ditanggungnya pun benar-benar berjalan tanpa beban. Itu
gambaran ideal yang kini tengah dinanti di Indonesia. Uang pajak lingkungan
juga dimanfaatkan Pemerintah Jepang secara maksimal dalam pengelolaan sampah,
tabungan pendidikan, asuransi kesehatan, sistem keamanan dan pertahanan Negara.
Bangga Ber NPWP
Setiap orang pasti memiliki identitas yang namanya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Bagi orang yang bepergian keluar
negeri diwajibkan memiliki identitas paspor. Bahkan kampanye kemudahan pemakaian kartukredit, menjadi incaran
setiap orang untuk lebih mudah bila ingin
berbelanja di berbagai tempat yang ditentukan
dengan memiliki identitas kartu kredit.
Bahkan bila kita berobat ke Rumah Sakit-pun
diperlukan identitas khusus berupa kartu berobat
agar pelayanan administrasi dan lainnya bisa berjalan cepat. Secara psikologis, tidak bisa dipungkiri kalau rasa
bangga akan timbul bila telah memiliki berbagai macam kartu
kredit, paspor, SIM serta kartu identitas lainnya. Tetapi mengapa tidak
bangga memperoleh Kartu NPWP? Apa untungnya memperoleh NPWP ? Sekalipun UU KUP menegaskan agar setiap orang yang
telah mempunyai penghasilan wajib mendaftarkan diri untuk memperoeh
NPWP (Pasal 2 ayat 1), tapi masih saja banyak yang enggan untuk melakukannya. Lha,kalau begitu
bagaimana caranya? Tidak lain UU KUP sendiri yang memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk
memberikan NPWP secara jabatan bila WP tidak mau melaksanakannya (ayat
4).
Pemberian NPWP secara jabatan dilakukan dengan menyortir data pada Pusat
Data yang ada yaitu dengan melakukan pengecekan apakah subjek pajak yang berkaitan dengan data sudah ata belum terdaftar sebagai wajib pajak. Terhadap mereka yang belum terdaftar tentu akan diberikan Kartu NPWP. Bagi mereka yang sudah terdaftar tapi diberikan lagi, dapat menyampaikan komplainnya ke complaint center Kantor
Pusat Ditjen Pajak. Mengapa
pemberian jabatan ini sampai dilakukan, menurut penulis ada dua hal, pertama, sistem self assessment yang
memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat sudah berlangsung selama lebih
dari 22 (dua puluh dua) tahun. Satu kurun waktu yang cukup panjang
agar masyarakat mengerti hal itu. Kedua,
kebutuhan negara akan perlunya uang pajak, menjadi andalan satu-satunya suksesnya pembangunan untuk kepentingan masyarakat banyak. Kita tidak bisa menunggu waktu lebih lama lagi
mengkonsentrasikan hal tersebut.
Saat ini negara butuh uang pajak untuk kelangsungan hidup bernegara dan bermasyarakat. Konsekwensinya, diperlukan
kesadaran memperoleh NPWP agar tertanam pada setiap orang. Nah, untuk
memudahkan sarana administrasi dalam memenuhi kewajiban membayar pajaknya, diperlukan identitas khusus dengan nama NPWP. Jadi Wajib Pajak tidak perlu alergi bila memiliki NPWP.
Kesan akan takutnya diperiksa atau harus melaporkan pajak
terutangnya dalam SPT karena telah memiliki NPWP, tidak perlu dikhawatirkan.
Adalah hal biasa kalau WP diperiksa dan melaporkan pajaknya
sendiri, karena undang-undang
sudah mengaturnya. WP punya hak dan kewajiban yang
sudah jelas dalam undang-undang. Kalau sadar dan peduli pajak sudah tertanam dalam diri
tiap orang,maka keinginan
memiliki NPWP akan sama dengan keinginan memiliki
KTP, bahkan kepemilikan NPWP bisa
melebihi kebanggaan memiliki KTP. KTP
akan diberikan karena ukuran seseorang sudah dewasa. Demikian pula NPWP diberikan karena ukuran seseorang sudah
punya penghasilan.
Tidak semua penghasilan dikenakan pajak, tetapi hanya penghasilan dengan batasan yang telah ditentukan undang-undang.
Tidak berlebihankalau selalu
didengungkan ungkapan tanyalah pada diri sendiri apa yang bisa diperbuat untuk negeri ini. Kalau saja semua Wajib Pajak dapat mewujudkan keadaan demikian, kemandirian dalam membiayai pembangunan nasional yang
dicita-citakan diharapkan segera
terwujud. Kita tidak memerlukan lagi bantuan asing. Keadilan
dan kesejahteraanpun dapat dinikmati semua orang. Kesadaran untuk mematuhi ketentuan (hukum pajak) yang
berlaku tentu menyangkut faktor-faktor apakah ketentuan tersebut
telah diketahui, diakui, dihargai dan ditaati. Bila seseorang hanya
mengetahui, berarti kesadaran hukumnya
masih rendah dari mereka yang mengakui.
Demikian seterusnya. Idealnya untuk mewujudkan
sadar dan peduli pajak, masyarakat harus terus diajak untuk mengetahui, mengakui,menghargai dan mentaati
ketentuan perpajakan yang berlaku. Mewujudkan
masyarakat sadar dan peduli pajak tidak bisa berlandaskan
adagium hukum semua orang 'dianggap tahu' atas undang-undang yang telah dikeluarkan pemerintah.
Pikiran legalisme demikian tidak efektif
karena tidak memperhitungkan kondisi lainnya seperti keadaan sosiologis dalam mentaati ketentuan yang berlaku. Upaya sosialisasi ketentuan menjadi faktor lain keberhasilan mewujudkan masyarakat sadar dan peduli pajak. Pelayanan Persoalan lain berkaitan
dengan pemberian NPWP adalah pelayanan.
Artinya, setiap orang yang sudah memiliki NPWP
tentu mengharapkan adanya pelayanan publik yang baik dari pemerintah.
Persoalan ini sering menjadi pertanyaan banyak masyarakat.
"Untuk apa saya punya NPWP, bayar
pajak lagi, sementara jalan yang saya lalui
tiap hari tidak pernah diperbaiki." Ini
baru satu contoh
kecil.
kecil.
Masih banyak contoh pelayanan publik
lain yang harus menjadi perhatian
pemerintah. Idealnya,
orang akan bangga memiliki NPWP kalau juga dibarengi
dengan tiga kondisi berikut, yaitu
pertama, pelayanan publik yang
baik dari setiap
instansi pemerintah kepada masyarakat perlu diirealisasikan.Kedua, hasil nyata dari pajak yang telah
dibayar terlihat dan dapat langsung
dirasakan manfaatnya, dan ketiga, adanya penghargaan
(reward) kepada WP patuh sekalipun jumlahnya kecil. Sayangnya, masyarakat juga kurang memahami bahwa persoalan pelayanan publik maupun hasil nyata pajak bukanlah tugas Ditjen Pajak tetapi seringkali yang dipersalahkan adalah institusi pajak. Ini artinya, peran instansi pemerintah lainnya termasuk dalam hal koordinasi pelayanan publik dan hasil pembangunan dari uang pajak perlu disosialisasikan berkaitan dengan pentingnya kepemilikan kartu NPWP ini. Setiap kartu identitas yang dimiliki seseorang tentu mempunyai kepentingannya masing-masing. Harapan ke depan adalah bagaimana menciptakan rasa bangga memiliki NPWP lebih dari kartu identitas lainnya. Bila perlu bangganya memiliki NPWP bisa melebihi bangganya memiliki KTP atau paspor atau kartu lainnya. Sebab dengan memiliki NPWP berarti telah berpartisipasi dalam membiayai pembangunan dan bisa melakukan komplain bila tidak mendapatkan pelayanan yang baik dibidang publik yang diinginkan.
(reward) kepada WP patuh sekalipun jumlahnya kecil. Sayangnya, masyarakat juga kurang memahami bahwa persoalan pelayanan publik maupun hasil nyata pajak bukanlah tugas Ditjen Pajak tetapi seringkali yang dipersalahkan adalah institusi pajak. Ini artinya, peran instansi pemerintah lainnya termasuk dalam hal koordinasi pelayanan publik dan hasil pembangunan dari uang pajak perlu disosialisasikan berkaitan dengan pentingnya kepemilikan kartu NPWP ini. Setiap kartu identitas yang dimiliki seseorang tentu mempunyai kepentingannya masing-masing. Harapan ke depan adalah bagaimana menciptakan rasa bangga memiliki NPWP lebih dari kartu identitas lainnya. Bila perlu bangganya memiliki NPWP bisa melebihi bangganya memiliki KTP atau paspor atau kartu lainnya. Sebab dengan memiliki NPWP berarti telah berpartisipasi dalam membiayai pembangunan dan bisa melakukan komplain bila tidak mendapatkan pelayanan yang baik dibidang publik yang diinginkan.
Menumbuhkan rasa bangga itu bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat
masyarakat kurang memahami pentingnya membayar pajak. Dengan adanya sosialisasi
pajak, maka berdampak pada pengetahuan masyarakat akan pajak. Pada akhirnya
berdampak kepada kesadaran masyarakat akan kontribusinya kepada negara. Dengan
adanya sosialisasi tersebut masyarakat akan mengerti dan kebanggaan akan tumbuh dalam diri mereka bahwa bayar pajak itu
sama halnya dengan membela negara.
Gelanggang Inovasi Pajak
Masyarakat alergi dengan
pajak karena mereka tidak dapat merasakan langsung hasil pembangunan yang di
porsikan pemerintah dari dana pajak. Maka dari itu, pemerintah harus Mempermudah
segala macam bentuk pelayanan pajak, koordinasi sampaikan ke tingkat desa
“pajak go to Vilage” dengan memberikan porsi bagi aparatur desa untuk membantu
mendata wajib pajak di desa, memberi reward bagi individu, kota maupun desa
yang aktif bayar pajak seperti di jepang petani semangat bayar pajak hanya
karena ingin reward di buat jalan raya beraspal untuk masuk desanya, pengadaan
mobil pajak dimana mobil tersebut akan keliling ke desa-desa untuk daftar NPWP
dan membayar pajak, Pajak On-line harus terus ditingkatkan kecepatan
pelayanannya, pajak via ATM untuk lebih mempermudah WP yang ada di kota. Semua
ini tergantung kebijakan pemerintah dalam meramu inovasi terkait alokasi dana
pajak agar lebih transparan dan terbuka supaya masyarakat bangga membayar
pajak.
Penutup
Sebagai warga Negara Indonesia, penulis optimis bahwa gerakan bangga
Ber-NPWP bisa menjadikan masyarakat sadar dan taat membayar pajak dengan
berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah dalam hal ini Ditjen Pajak kepada
wajib pajak. Sosialisasi harus dimasifkan dengan menggunakan segala macam bentuk fasilitas bahkan
masyarakat bisa diberdayakan untuk membantu mensosialisasikan cinta pajak.
Salah satunya dengan memanfaatkan Mobil pajak keliling agar dapat menjangkau
masyarakat yang berada di wilayah pedalaman. Mari berupaya menjadi warga Negara
yang baik dengan taat membayar pajak.
Daftar
Pustaka
Mardiasmo. 2006. Perpajakan. Yogyakarta :
Penerbit Andi
Wira, Sakti. 2014. Buku Pintar Pajak E-
Comers. Jakarta : Visi Media
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
UU Nomor 36 tahun
2008 tentang pajak penghasilan
Bahan Internet
http://syukriy.wordpress.com/2009/07/09/menikmati-pajak-di-negeri-sakura/ diakses 27 November 2014
http://ancok.staff.ugm.ac.id/main/wp-content/Mengapa-Orang-Kurang-Antusias-Membayar-pajak.pdf diakses 27 November 2014
http://www.pembayarpajak.com/index.php/articles/pajak-penghasilan/pph-orang-pribadi diakses 27 November 2014
http://kangyuda.blogspot.com/2013/07/rumitnya-sistem-perpajakan-nasional.html diakses 27 November 2014
diakses 27 November 2014
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/08/28/kompasianer-ini-berbagi-ilmu-pajak-e-commerce-683721.html diakses 28 November 2014
https://groups.yahoo.com/neo/groups/forum-pajak/conversations/messages/16093 diakses 28 November 2014
diakses 28 November 2014
Komentar
Posting Komentar