OPTIMALISASI
WAKAF PRODUKTIF BERBASIS NAZIR WIRAUSAHA
DALAM MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN UMAT
Guna
Memenuhi Tugas Pada Mata Lomba
Musabaqah
Menulis Al-Qur’an (MMQ)
|
NAMA :SUSI
GUSTINA
KAFILAH :KECAMATAN
MARONGE
MUSABAQAH
TILAWATIL AL-QUR’AN (MTQ) XXX
TK.
KABUPATEN SUMBAWA TAHUN 2016
|
Daftar Isi
Halaman Judul
Daftar
Isi
BAB I PENDAHULUAN 1
A.
Latar Belakang 1
B.
Identifikasi Masalah 2
C.
Rumusan Masalah 3
D.
Tujuan 3
E.
Signifikansi/Manfaat 3
BAB II PEMBAHASAN 4
A.
Definisi Wakaf 4
B.
Dalil Tentang Wakaf 6
C.
Rukun
dan Syarat Wakaf 9
D.
Macam-Macam Wakaf 10
E.
Lembaga Pengelola Wakaf 11
F.
Potensi Wakaf di
Indonesia 11
G.
Wakaf
Produktif Berbasis Nazir Wirausaha 11
BAB
II I PENUTUP 15
A.
Kesimpulan 15
B.
Penutup 15
Daftar
Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di
tengah problem sosial yang terus mengusik ketenangan, tingginya angka
kemiskinan secara struktural maupun non struktural yang berdampak pada tingginya
angka kriminalitas, korupsi dan ketidakadilan, serta berbagai tuntutan
kesejahteraan ekonomi umat yang masih sangat sulit untuk diwujudkan. Menjawab
berbagai persoalan tersebut, eksistensi lembaga wakaf sebagai pilar
kesejahteraan umat harus terus dioptimalkan. Wakaf menjadi pilar penyangga bagi
tegaknya institusi-institusi sosial keagamaan masyarakat muslim selama
berabad-abad. Dalam sejarah islam klasik, yaitu masa Rasulullah, Khulafaur
Rasyidin dan masa-masa berikutnya, perwakafan telah berkembang sebagai
institusi sosial yang memiliki peran ganda, yaitu untuk ibadah dan
kesejahteraan sosial.
Pelaksanaan
wakaf pertama kali dilakukan oleh Umar bin Khathab yang mewakafkan tanah subur
di Khaibar, kemudian diikuti oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun
kesayangannya di “Bhairaha”, kemudian disusul sahabat-sahabat Rasululah yang
lain. Pelaksanaan wakaf yang dilaksanakan oleh Umar bin Khatab berdasarkan
petunjuk Nabi SAW dan diikuti oleh para sahabatnya tersebut, sangat menekankan
pentingnya menjaga eksistensi benda wakaf untuk dikelola, dan hasilnya
disedekahkan untuk kesejahteraan umat.
Pada
prinsipnya, harta benda wakaf harus dikelola dan diberdayakan secara optimal
dan hasilnya untuk keperluan umat. Nabi
SAW menggaris bawahi dengan kalimat: Ihbis (ashlaha wa tashaddaq tsamrataha (tahan
pokoknya, dan sedekahkan hasilnya). Di
Indonesia khususnya, wakaf telah dikenal oleh masyarakat sejak islam masuk ke
negeri ini pada pertengahan abad ke-2 sampai abad ke-13 atau kurang lebih 900
tahun yang lalu hingga sekarang ini. Dalam konteks Indonesia, masa kini dan
lebih-lebih kedepan, tentunya wakaf merupakan potensi ekonomi yang luar biasa
besarnya. Fakta yang mendukung adalah saat ini Indonesia merupakan negara
terbesar ke-4 dan penduduk muslim terbesar di dunia, pemeluk agama islam
merupakan mayoritas yang kaya dengan sumber daya alam.
Apabila
ditelusuri lebih jauh, perwakafan banyak berupa tanah milik yang lebih
diorientasikan untuk kepentingan ibadah madhah (pokok), seperti pembangunan
masjid, mushalla dan kuburan. Fenomena diatas memang memiliki akar sejarah yang
panjang terkait penyebaran agama islam, dimana masjid menjadi eleman terpenting
untuk pengembangan dakwah. Dari masjid pula berkembang agama islam yang saat
ini banyak dipeluk oleh masyarakat diseantero bumi. Kondisi inilah yang kemudian
memandulkan fungsi wakaf. Orientasi wakaf yang lebih bertujuan keagamaan disatu
sisi tidak produktif namun disisi lain asetnya masih bisa dikelola agar menjadi
produktif. Namun, setelah lahirnya Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang
wakaf di Indonesia mulai muncul gagasan dan solusi dari berbagai stakeholders
(pemangku kepentingan) seperti Pemerintah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), DPR
RI, ulama, Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan masyarakat pada umumnya tentang
bagaimana mengoptimalkan wakaf produktif berbasis wirausaha sebagai solusi
mewujudkan kesejahteraan umat.
Tak
dapat dipungkiri, bahwa sebagian besar rumah ibadah, perguruan tinggi islam,
madrasah dan lembaga sosial islam
lainnya dibangun diatas tanah wakaf. Berdasarkan data yang dihimpun Direktorat
pemberdayaan wakaf Departemen Agama Republik Indonesia, sampai dengan Mei 2004
aset tanah wakaf yang terdata diseluruh wilayah Indonesia terletak pada 403.845 lokasi dengan luas
1.566.672.206 meter2. Dari total jumlah tersebut 75% diantaranya sudah
bersertifikat wakaf dan 10% memiliki potensi ekonomi tinggi. Dalam konteks
selanjutnya, partisipasi masyarakat untuk berwakaf dan pengelolaan wakaf oleh
nazhir (pengelola wakaf) secara produktif, amanah, profesional dan transparan.
Dibandingkan nazir wakaf perseorangan, dalam berbagai asfek, pengelolaan wakaf
berbasis organisasi lebih bisa diupayakan ke arah pengembangan wakaf produktif
berbasis wirausaha. Hal tersebut, tentunya menjadi faktor utama yang diharapkan
untuk terwujudnya pemberdayaan umat islam, bangsa dan negara Indonesia melalui
pengelolaan wakaf produktif berbasis wirausaha.
B.
Identifikasi Masalah
1. Kesejahteraan
umat masih sangat sulit untuk diwujudkan.
2. Tingginya
angka kemiskinan menjadi penyebab
tinngginya angka kriminalitas serta munculnya berbagai permasalahan sosial yang
lain.
3. Wakaf
sudah lama dikenal oleh masyarakat indonesia namun masih eksis ditataran keagamaan belum
produktif dan dikelola dengan konsep wirausaha.
4. Optimalisasi
Wakaf produktif berbasis nazir wirausaha dalam upaya mewujudkan kesejahteraan
umat
C.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam karya
tulis ini adalah bagaimanakah optimalisasi pengelolaan wakaf produktif berbasis
nazir wirausaha dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan umat?
D.
Tujuan
Tujuan dalam karya tulis ini adalah
mengetahui dan mendeskripsikan optimalisasi pengelolaan wakaf produktif
berbasis nazir wirausaha dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan umat.
E.
Signifikansi
1. Bagi
masyarakat, dapat menjadi pedoman dalam
mengetahui manfaat wakaf produktif berbasis wirausaha.
2. Bagi
lembaga (pengelola wakaf), dapat menjadi rujukan untuk menemukan metode yang
tepat dan inovatif dalam pengelolaan wakaf produktif berbasis wirausaha.
3. Pengusaha
(Investor), dapat menjadi acuan untuk melirik lebih jauh usaha atau bisnis
berbasis syariah yang amalnya akan terus mengalir baik didunia maupun diakhirat
melalui wakaf produktif berbasis wirausaha.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Wakaf
1.
Definisi Wakaf Secara Etimologi
Para
ahli bahasa menggunakan tiga kata untuk mengungkapkan tentang wakaf, yaitu:
Al-waqf (wakaf), al-habs (menahan), dan at-tasbil (berderma untuk
sabilillah). Kata Al-waqf adalah bentuk
masdar (gerund) dari ungkapan waqfu asy-syai yang berarti menahan sesuatu. Imam
Antarah, sebagaimana dikutib oleh al-Kabisi, berkata, “Unta saya tertahan
disuatu tempat, seolah-olah dia tahu saya bisa berteduh ditempat itu.”[1]
Ibn
Manzur dalam kitab Lisan al-Arab mengatakan,
kata habasa berarti amsakahu (menahannya). Ia menambahkan: al-hubusu ma wuqifa
(menahan sesuatu yang diwakafkan), seperti pada kalimat: Habbasa al-faras fi
sabilillah (ia mewakafkan kuda dijalan Allah) atau ahbasahu, dan jamaknya
adalah habais, yang berarti bahwa kuda itu diwakafkan kepada tentara untuk
ditungganginya ketika sedang melakukan jihad fisabilillah. Ia juga menambahkan
tentang kata waqafa seperti pada kalimat: waqafa al-arda ‘ala al-masakin (dia
mewakafkan tanah kepada orang-orang miskin).[2]
Adapun
al-Fairuzabadi dalam al-Qamus al Mubit menyatakan bahwa al-habsu berarti
al-man’u (mencegah atau melarang) dan al-imsak (menahan) seperti dalam kalimat
habsu asy-syai (menahan sesuatu). Waqfuhu la yuba wa la yuras (wakafnya tidak
dijual dan tidak diwariskan). Dalam wakaf rumah dinyatakan Habasaha fi
sabilillah (mewakafkannya dijalan Allah). Jadi kata Al-Habsu artinya sesuatu
yang ditahan untuk diwakafkan. Kata Waqf dan habs berasal dari satu makna yang
menunjukan diamnya sesuatu.[3]
Al-Azhari
dalam buku Tahzib al-Lugah seperti
dikutif Dr. H. Abdurrahman dkk (2014:6), juga mengatakan bahwa al-hubus adalah
jamak dari al-habis, yang berarti setiap benda yang diwakafkan oleh pemiliknya
sebagai wakaf, haram dijual atau diwariskan, baik tanahnya, pepohonannya dan
semua peralatannya.[4] Dengan demikian, wakaf
adalah menahan harta baik secara abadi maupun sementara, dari segala bentuk
tindakan pribadi, seperti menjual dan memberikan wakaf atau yang lainnya,
dengan tujuan memanfaatkan hasilnya secara berulang-ulang bagi kepentingan umum
sesuai dengan tujuan disyarakatkan oleh wakif dan sesuai syariat islam.[5]
2.
Definisi Wakaf
Secara Terminologi
Definisi wakaf secara terminologi sangat
berkaitan dengan istilah fikif, sehingga pendapat ulama fikih sangat penting
untuk disebutkan disini.
a.
Wakaf menurut
ulama Hanafiyah
Wakaf menurut ulama Hanafiyah adalah menahan
substansi harta pada kepemilikan wakif dan menyedekahkannya.[6]
b.
Wakaf menurut
ulama Malikiyah
Al-Hatab menyebutkan definisi Ibnu Arafah al-Maliki
yang mengatakan wakaf adalah
Memberikan manfaat sesuatu, pada batas waktu
keberadaaannya, bersamaan tetapnya sesuatu yang diwakafkan pada pemiliknya,
meskipun hanya perkiraan.[7]
c.
Wakaf menurut
ulama Syafi’iyah
Dalam
kitab Tahrir al-Faz at-Tanbih, Imam Nawawi yang bermazhab Syafi’i
mendefinisikan wakaf sebagai:
Penahanan
harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga keutuhan barangnya, terlepas
dari campur tangan wakif atau lainnya, dan hasilnya disalurkan untuk kebaikan
semata-mata dan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
Definisi
ini mempertegas kepemilikan harta dari wakif, terlepas dari campur tangan
wakif.[8]
d.
Wakaf menurut
ulama Hanabillah
Menurut Ibn Qudamah, salah seorang ualama Hanabilah
wakaf adalah: Menahan yang asal dan memberikan hasilnya.[9]
3.
Definisi Wakaf
Menurut Undang-Undang
Undang-undang negara Sudan
mendefinisikan wakaf sebagai penahanan harta yang secara hukum kemudian menjadi milik Allah dan menyedekahkan
manfaatnya baik sekarang maupun di masa yang akan datang. [10]
Definisi wakaf seperti ini tercantum didalam Undang-undang Akhwal
asy-Syakhsiyah bagi kaum muslimin. Dalam Undang-undang India, wakaf adalah
mengkhususkan harta benda baik yang bergerak maupun tidak bergerak secara abadi
dari seorang muslim, untuk tujuan yang dibenarkan oleh syariat islam. [11]
Adapun definisi wakaf dalam Undang-undang RI Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf sebagaimana termuat dalam pasal
1 ayat 1 menyebutkan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan
atau kesejahteraan umum menurut Syariah.[12]
B.
Dalil Wakaf
Ada beberapa
dalil yang membahas tentang disyariatkannya wakaf, baik dari Al-Qur’an, Sunnah
maupun Ijma
1.
Dalil Al-Qur’an
a.
Dalam Q.S Ali
Imran:92 Allah berfirman
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ
92. kamu sekali-kali
tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka
Sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Kehujjahannya adalah: kebaikan akan tergapai dengan
wakaf. Hal ini berdasarkan riwayat Abu Thalhah ketika mendengar ayat tersebut, beliau
bergegas untuk mewakafkan sebagian hartanya yang ia cintai, yaitu Beuruha’,
sebuah kebun yang dikenal dengan kesuburannya. Rasulullah telah menasehati agar
ia menjadikan kuburan itu sebagai wakaf. Maka Abu Thalhah mengikuti nasehat
Rasulullah SAW.Walaupun Ubaid mengatakan kata infak dalam ayat tersebut
menunjukan arti sunnah, namun umat islam selalu dianjurkan untuk merealisasikan
dan untuk mencapai tujuan infak itu. Maka ayat diatas bisa dijadikan dalil
untuk disyariatkan wakaf.[13]
b.
Q.S.
Al-Baqarah:261 Allah berfirman
ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZã óOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y @Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ïè»Òã `yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOÎ=tæ ÇËÏÊÈ
261. perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
[166] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah
meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit,
usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Kehujjahannya
adalah: bahwa diantara hal-hal yang merupakan bekas-bekas peninggalan orang
yang sudah wafat dan dituliskannya pahala untuk mereka adalah wakaf. Maka ayat
tersebut menjadi dalil dibolehkannya wakaf.
c.
QS. Al-Baqarah:
272
* }§ø©9 øn=tã óOßg1yèd £`Å6»s9ur ©!$# Ïôgt ÆtB âä!$t±o 3 $tBur (#qà)ÏÿZè? ô`ÏB 9öyz öNà6Å¡àÿRL|sù 4 $tBur cqà)ÏÿZè? wÎ) uä!$tóÏFö/$# Ïmô_ur «!$# 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? ô`ÏB 9öyz ¤$uqã öNà6ös9Î) ÷LäêRr&ur w cqãKn=ôàè? ÇËÐËÈ
272. bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk,
akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang
dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan
Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan
sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik
yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang
kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).
2.
Sunnah Nabawiyah
a.
Hadis riwayata
Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda
Telah meriwayatkan kepada kami, Yahya bin Ayyub,
Qutaibah dan Ibn Hujr, mereka berkata, Telah meriwayatkan kepada kami
Isma’il dari al-‘Ala’ dari ayahnya dari
Abu Hurairah, bahwasahnya Rasullulah SAW bersabda, “Jika seorang manusia
meninggal, maka terputuslah seluruh amalnya, kecuali tiga perkara: sadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakannya (HR. Muslim,
1929:68). Kehujahannya adalah sadaqah jariyah diterangkan oleh para ulama
dengan nama wakaf. Imam Nawawi berkata bahwa dalam hadis tersebut ada dalil
atas benarnya hukum wakaf dan agungnya pahala bagi yang melakukannya (Syarah
Shahih Muslim 11/85). Sedangkan Imam
Muhammad Ismail Al-Kahlani menyebutkan penafsiran para ulama terhadap kata
sadaqah jariyah dengan mengatakan bahwa “hadis tersebut d ikemukakan didalam
bab wakaf, karena para ulama menafsirkan sadaqah jariyah dengan wakaf.[14]
b.
Hadis riwayat
Bukhari dan Muslim dari Abdullah Ibn Umar:
Dari Ibn Umar ra, ia berkata, “ bahwa sahabat Umar
ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar menghadap Rasullulah
Saw untuk meminta petunjuk, Umar bekata,” Wahai Rasulullah Saw, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar,
saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan
kepadaku? Rasulullah Saw bersabda, “Bila engkau suka engkau tahan pokoknya, dan
engkau sedekahkan hasilnya.” Kemudian Umar menyedekahkannya, harta itu tidak
dijual, tidak dihibahkan ataupun diwariskan. Ibn Umar berkata, “Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah ) kepada orang-orang fakir, kaum
kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Tidak dilarang bagi
yang mengelola (nazir) wakaf, makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak brmaksud menumpuk
harta”. (H.R Bukhari, 1319 H: 2737 dan Muslim, 1929 M:1632).
Kehujjahannya
adalah hadis diatas sangat jelas menerangkan tentang wakaf, karena dua hal:
pertama, nasehat Rasullullah kepada Umar untuk menahan pokoknya dan
menyedekahkan hasilnya, ini merupakan esensi dari wakaf. Kedua, hadis ini
ditutup dengan keterangan tentang hak nazir yang boleh makan dari hasilnya
dengan cara yang baik atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpuk harta. Tidak diragukan lagi bahwa dua hal diatas merupakan ciri-ciri
wakaf. Hadis-hadis diatas sudah menunjukan secara spesifik tentang makna wakaf.
c.
Ijma
(Kesepakatan para ulama)
Imam Al-Qurtubi mengatakan bahwa sesungguhnya permasalahan wakaf merupakan permasalahan
Ijma (kesepakatan) diantara sahabat nabi, hal ini karena Abu Bakar, Umar,
Usman, Ali, Aisyah,Fatimah dan mayoritas sahabat mengamalkan syariat wakaf .
Wakaf-wakaf mereka terkenal masyhur baik di Mekkah maupun Madinah.[15]
Imam Syafi’i mengatakan bahwa ada 80 orang sahabat
Nabi dari kalangan Anshar yang mengeluarkan Sadaqah dengan Sadaqah mulia.
Sedangkan Imam Tirmidzi juga meriwayatkan wakaf telah diamalkan oleh para
ulama, baik dari kalangan sahabat nabi maupun yang lainnya.
C.
Rukun dan Syarat
Wakaf
Akad wakaf akan
terlaksana apabila memenuhi rukun wakaf dan syarat-syaratnya. Para ulama
berbeda pendapat dalam merumuskan rukun wakaf.
Hanafiyah berpendapat bahwa rukun wakaf adalah hanya sigat (lafal) yang
mengungkapkan makna berwakaf, seperti ungkapan tanah ini diwakafkan selamanya
untuk kepentingan orang miskin atau untuk Allah SWT atau untuk kepentingan
kebajikan. Sedangkan jumhur ulama menetapkan empat rukun wakaf, yaitu wakif
(pemberi wakaf), mauquf (harta yang diwakafkan), mauquf ‘alaih (penerima atau
sasaran dan sigat.[16]
1.
Syarat kecakapan
bagi Wakif: Berakal sehat, Baligh, Tidak dalam tanggungan karena safih (boros)
dan gaflah (bodoh), Atas kemauan sendiri dan Merdeka
2.
Syarat
pelaksanaan wakaf yakni wakif tidak terikat dengan hutang serta tidak dalam
kondisi sakit parah
3.
Harta yang
diwakafkan dengan syarat: Memiliki nilai, harus jelas dan tidak bersengketa, hak
milik wakif dapat diserahterimakan bentuknya, ulama membolehkan mewakafkan harta tidak bergerak seperti
tanah, sawah dan ladang.
D. Macam-macam Wakaf
Macam-macam Wakaf menurut Dr. Abdurrahman Kasdi, Lc,
M.Si dan Dr. H. Moerdiyanto, M.Pd M.M (2014:41-51)[17]
1.
Macam-macam
wakaf berdasarkan batasan waktunya
a.
Wakaf mu’abbad
(selamanya) yaitu apabila wakafnya berbentuk barang yang bersifat abadi,
seperti tanah dan bangunan dengan tanahnya, atau barang bergerak ditentukan
oleh wakif sebagai wakaf pribadi dan produktif
b.
Wakaf Mu’aqqat
(sementara/dalam jangka waktu tertentu) yaitu apabila barang yang diwakafkan
berupa barang yang mudah rusak ketika dipergunakan tanpa memberi syarat untuk mengganti bagian
yang rusak.
2.
Wakaf
berdasarkan cakupannya
a.
Wakaf keluarga
(ahli zurri), yaitu apabila tujuan wakaf untuk memberi manfaat kepada keluarga
wakif, keturunannya dan orang-orang tertentu.
b.
Wakaf sosial yang
ditujukan untuk kebaikan masyarakat (khairi) yaitu wakaf yang secara tegas
diperuntukan untuk masyarakat dan kepentingan umum.
c.
Wakaf gabungan
antara keduanya (musytarak) yaitu apabila tujuan wakafnya untuk umum dan
keluarga secara bersamaan. [18]
3.
Wakaf Uang di
Indonesia
Adalah wakaf yang dilakukan oleh seseorang, kelompok
orang, atau lembaga dan badan hukum
dalam bentuk uang tunai. Di indonesia, potensi wakaf uang sangat besar. Mustafa
Edwin Nasution (dalam Kasdi, Abdurrahman, 2014: 70-71) menyampaikan, jika warga yang berpenghasilan
Rp 0-5 juta sebanyak 4 juta orang, dan setiap tahun mewakafkan hartanya Rp 60
ribu, maka setiap tahun akan terkumpul Rp 240 miliar. Wakaf uang ini sangat
berpotensi melepaskan Indonesia dari jeratan kemiskinan. Salah satu tujuan yang ingin dicapai dengan
wakaf uang/tunai adalah tidak adanya lagi pembatasan bagi siapapun yang ingin
menginfakkan sebagian hartanya hanya melalui bentuk kaku seperti tanah dan
bangunan namun bisa dengan cara mudah.[19]
E.
Lembaga
Pengelola Wakaf
Lembaga
pengelola wakaf di Indonesia disebut Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang dibentuk
dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah
Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004
tentang wakaf. Dalam pasal 4 himpunan peraturan BWI tahun 2015 bahwa BWI
bertujuan untuk mengelolah dan mengembangkan harta benda wakaf untuk
dimanfaatkan sesuai dengan funsinya, yaitu untuk kepentingan ibadah dan
meningkatkan kesejahteraan umat. BWI terbagi kedalam BWI Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
F.
Potensi Wakaf di
Indonesia
Di
Indonesia aset wakaf terbilang besar. Berdasarkan data yang dihimpun Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Depag RI sampai 2009 aset tanah wakaf terdata di seluruh
Indonesia 367,438 lokasi dengan luas 2.719.854.759,72 m2. Dari
total jumlah tersebut 75% diantaranya sudah bersertifikat wakaf dan 10%
memiliki potensi ekonomi tinggi. Selanjutnya peelitian pusat bahasa dan budaya
(PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 500 responden nazir 11 Provinsi menunjukan
harta wakaf lebih banyak diam (77%) daripada produktif (23%), wakaf juga banyak
dikelola perseorangan/tradisional (66%), organisasi professional (16%) dan
berbadan hukum (18%). Jadi problem wakaf adalah wakaf tidak produktif dan
kafasitas nazir yang tidak professional.
Wakaf dipemahaman masyarakat banyak digunakan untuk ibadah saja. Padahal
tidak sebatas itu, diatas lahan wakaf bisa dibangun pusat perbelanjaan yang
keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yatim, layanan
kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan. Itu juga bagian dari ibadah.
Pemahaman ihwal benda
wakaf juga masih sempit. Harta yang bisa diwakafkan masih dipahami sebatas
benda tak bergerak seperti tanah. Padahal wakaf juga bisa berupa benda bergerak
antara lain uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan
intelektual dan hak sewa. Hal ini sebagaimana tercermin dalam Bab II pasal 16
UU. No. 41 tahun 2004 dan juga sejalan dengan fakta MUI tentang
diperbolehkannya wakaf uang. Selain itu, jika ditilik jumlah tanah wakaf,
memang sangatlah luas. Tapi tidak semuanya dikategorikan tanah strategis karena
banyak yang berada didesa pedalaman. Selanjutnya, masalah tanah wakaf yang
belum bersertifikat, dikarenakan kepercayaan yang berkembang dimasyarakat bahwa
wakaf hanya dengan sigat (akad/pernyataan untuk berwakaf). Jadi, tidak
perlu ada sertifkat yang akan membuat rumit. Fenomena diatas mendorong
pemerintah dan para ulama untuk melakukan reinterprestasi makna wakaf. Wakaf
tidak hanya dipahami dalam dimensi spiritual saja, melainkan juga mengandung
potensi sosial keagamaan dan berpotensi meningkatkan ekonomi serta
kesejahteraan umat. Pada akhirnya, wakaf produktif nanti tidak hanya mampu
menghidupi pelayanan sosial keagamaan tetapi juga diarahkan untuk mendukung berbagai
inisiatif tujuan keadilan sosial dan pendidikan.
G.
Optimalisasi Wakaf
Produktif Berbasis Nazir Wirausaha
Menurut Munzir
Qahaf, Wakaf produktif adalah memindahkan harta dari upaya konsumtif menuju
produktif dan investasi dalam bentuk modal produksi yang dapat memproduksi dan
menghasilkan sesuatu yang dapat dimanfaatkan pada masa mendatang, baik oleh
pribadi, kelompok maupun umum. Jadi, Wakaf produktif adalah kegiatan menabung
dan berinvestasi secara bersamaan.[20]
Agar lebih produktif, peran kunci pengelolaan wakaf terletak pada eksistensi
pengelola wakaf, dalam hal ini nazir dan tim kerja yang solid untuk
memaksimalkan peran wakaf.[21]
Apabila wakaf dikelola secara profesional, maka ia akan menjadi lembaga islam
potensial yang berpotensi mendanai dan mengembangkan perekonomian umat. Wakaf
akan lebih potensial jika dikembangkan oleh nazir/lembaga, baik organisasi
maupun badan hukum, dibandingkan dengan nazir perseorangan. Nazir
harus memiliki syarat-syarat yakni tanggung jawab, efisien, rasional, gemar sosialisasi
kepada masyaraka, mampu mengamankan seluruh aset wakaf (segera membuat sertifikat wakaf yang bersengketa, advokasi
tanah wakaf bersengketa, pemberdayaan tanah wakaf secara produktif).
a.
Model
Pengelolaan wakaf Produktif
Model Dapat dijabarkan dalam pertama, kepengurusan
wakaf terdiri dari nazir dan dewan pengurus yang pembentukannya sesuai kondisi.
Kedua, wakif (orang yang berwakaf) hendaknya menentukan
nazir dan honor atas kerjanya. Menurut
Said dan Lim melakukan penelitian ada 5 langkah pemberdayaan wakaf agar menjadi
produktif: pertama, mengenali potensi perputaran harta wakaf dengan melihat
sejarah atau model wakaf yang sedang berjalan. Kedua, memfasilitasi
pengembangan model wakaf modern dengan menerapkan manajemen modern. Ketiga,
mempromosikan filantropi islam dengan wakaf. Keempat, memodernisasi
administrasi wakaf agar memudahkan investasi. Kelima, memproduktifkan wakaf
produktif dengan membangkitkan komitmen dari wakif, nazir, investor dan
masyarakat.[22] Untuk memaksimal wakaf
produktif ada beberapa strategi perencanaan yang coba ditawarkan; pertama,
tentukan rencana program strategis jangka panjang yang mengacu pada visi dan
misi lembaga wakaf dengan pemetaan potensi ekonomi. Kedua, merancang budget
jangka panjang dan melakukan studi kelayakan usaha. Ketiga, menetapkan skala
prioritas program dan membuat proposal pemberdayaan usaha. Keempat, membangun
skenario sumber dana dan rancang jalinan kemitraan usaha. Kelima, menjalin
kemitraan usaha . Keenam, mengelola dengan manajemen usaha. Ketujuh, membuat
tim kerja dan rencana kerja serta memantau dan mengevaluasi hasil pelaksanaan
usaha.
b.
Optimalisasi
Peran Nasir
Meskipun bukan termasuk rukun wakaf. Namun, setiap
nazir harus memiliki jiwa wirausaha
dalam pengelolaan wakaf supaya bernilai produktif. Dalam pengertian sempit
usaha adalah segala kegiatan yang menghasilkan imbalan atau penghargaan. Dalam
arti luas usaha adalah suatu ide yang diwujudkan dalam suatu rencana dan
dilaksanakan dalam suatu kegiatan untuk menghasilkan imbalan atau penghargaan. Ide
bisnis nazir dalam mengolah wakaf dapat berupa: Hobi/Minat (adalah pekerjaan
bisnis yang disukai), Keterampilan dan pengalaman pribadi, Waralaba, Media
Massa, Pameran survey, Keluhan dan Curah pendapat.
c.
Transparansi dan
akuntabilitas Pengelolaan Wakaf
Kunci keberhasilan sebuah lembaga dalam menumbuhkan
kepercayaan masyarakat terletak pada sejauhmana tingkat transparansi dan
akuntabilitas yang diterapkan. Transparansi adalah suatu proses dimana dimana
semua informasi tentang lembaga wakaf dapat diakses dengan mudah oleh semua
elemen. Sedangkan Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban lembaga wakaf baik
secara administratif maupun finansial. Badan wakaf dan lembaga yang dibantunya
harus melaporkan proses pengelolaan dana setiap tahun kepada umat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Wakaf adalah menahan harta baik secara
abadi maupun sementara, dari segala bentuk tindakan pribadi, seperti menjual
dan memberikan wakaf atau yang lainnya, dengan tujuan memanfaatkan hasilnya
secara berulang-ulang bagi kepentingan umum sesuai dengan tujuan disyarakatkan
oleh wakif dan sesuai syariat islam. Wakaf
produktif adalah kegiatan menabung dan berinvestasi secara bersamaan. Agar
lebih produktif, peran kunci pengelolaan wakaf terletak pada eksistensi
pengelola wakaf, dalam hal ini nazir dan tim kerja yang solid untuk
memaksimalkan peran wakaf. Wakaf akan lebih potensial jika dikembangkan oleh
nazir/lembaga, baik organisasi maupun badan hukum, dibandingkan dengan nazir
perseorangan. Setiap nazir harus memiliki semangat wirausaha dalam
pengelolaan wakaf supaya dapat menghasilkan nilai tambah berupa penghasilan
yang dibagikan kepada masyarakat dalam upaya mewujudkan kesejahteraan umat.
B.
Saran
1.
Bagi pemerintah
a)
Kementerian
Agama (Kemenag) harus menambah DIPA untuk fasilitasi sertifikasi tanah wakaf
b)
Perbaikan
administrasi tanah wakaf non sertifikat
c)
Validasi data
tanah wakaf ditingkat pusat, provinsi dan daerah kabupaten/kota.
d)
Gencarkan Sosialisasi wakaf produktif berbasis
wirausaha kepada masyarakat oleh BWI dan Kemenag
e)
Gencarkan
sosialisasi wakaf uang
f)
Advokasi Perda
(Peraturan Daerah) Wakaf Produktif baik ditingkat Provinsi maupun
Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia
g)
Memberikan
pelatihan kepada para nazir (pengelola wakaf) agar mereka memiliki kemampuan
dalam mengelola wakaf plus menghasilkan bisnis yang bisa bermanfaat bagi
masyarakat.
h)
Kemudahan
birokrasi dalam pengurusan sertikat tanah wakaf dengan MoU antara badan
Pertanahan Nasional (BPN) dengan Kemenag.
i)
Inventarisasi
tanah-tanah wakaf mulai dari permasalahan sampai solusi penyelesaiannya, yang
sudah diberdayakan ataupun yang belum diberdayakan.
j)
Kemenag harus
mendirikan sekolah atau perguruan tinggi yang akan mampu menghasilkan para
nazhir yang profesional
k)
Memberikan
Kompensasi dan Honorarium bagi Nazir
l)
Kemenag
Memberikan pengawasan yang maksimal kepada lembaga wakaf yang sudah produktif
dan menghasilkan nilai ekonomis agar keuntungannya bisa dirasakan oleh
masyarakat pada umumnya.
2.
Bagi masyarakat
Hendaknya menumbuhakan
semangat untuk berwakaf bagi yang mampu karena amal jariyah (wakaf) akan terus
mengalir bagi wakif (orang yang berwakaf) untuk kepentingan umum.
3.
Bagi Nazhir
Hendaknya berusaha menjadi pribadi yang
berintegritas, handal dan kafabel dengan berusaha mengelolah harta wakaf secara bisnis syariah agar keuntungan bisa
diberikan bagi masyarakat serta diperuntukan untuk kepentingan umat islam pada
umumnya.
Daftar
Pustaka
A.
Sumber
Buku
Abu Abdullah
Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman al-Hatab, Mawahih al-jalil, Dar asa
sa’dah, Mesir, jilid 6, cet. I. 1329 H.
Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Minhij ,
Cairo: Penerbit Mustafa Muhammad,tt.
Abdullah bin
Ahmad bin Mahmud Ibn Qudhama, al-Mughhni Mesir:Dar al-manr,1348 H
Abu Ubaid,
al-Amwal, 1991,Cairo: Buku Daras di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar,
Al-Fairuzabadi,
Majdudin Muhammad bin Ya’qub,1933,al-Qamus al-Muhit, Cairo: Dar al-Misriyyah
Al-Kabisi,
Muhammad Abid Abdullah,2004,
Ahkam al-Waqf fi asy-Syari’ah al-Islamiyah (Hukum
Wakaf), Jakarta:IIMaN Press
Al-Qurtubi, Abu Abdullah
Muhammad bin Ahmad al-Anshari, 1949, al-Jami’li Ahkam al-Qur’an, Meir: Dar
al-Kutub
Azzuhaili,
Wahbah,1985, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, Beirut Dar al-Fikr
Burhanuddin
Ali bin Abu Bakar al-Murginanni,1356H, al-hidayah Mesir:Penerbit Mustafa
Muhammad,1356 H.hlm,40.
Direktorat Pengembangan
Zakat dan Wakaf Direktorat Bimbingan Masyarakat dan Haji Kementerian Agama
RI,2005,Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai
Hasymi, sherafat Ali, 1987, “Management
Waqf: Past and Present,” dalam Hasmat Basyar (ed), Management and Development
of Auqaf Propertis, Jeddah: Islamic Research and Training Institute and Islamic
Depelopment Bank
Ibn
Manzur, Muhammad bin Bakar, 1301 H, Lisan al-Arab, Bulaq: Penerbit
al-Muniriyyaah
Kasdi,
Abdurrahman dan Moerdiyanto,2014,Pemberdayaan Wakaf Produktif Berbasis Wirausaha:Idea
Press Yogyakarta
Qahaf, Munsir,2006,al-Waqf al- Islami;Tatawwuruhu,Idaratuhu,Tanmiyatuhu,Syiria:Dar
al-Fakr Damaskus
Said, M. Siraj and Hilary Lim, 2005, Waqf
(Endowment) and Islamic Philantrophy, United Kingdom: University of East London
B.
Sumber
Undang-undang
Undang-undang Wakaf Sudan Tahun 1984
Undang-undang wakaf india tahun 1985
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf
PP Nomor 42 tahun 2006 tentang pedoman
pelaksana UU No. 41 Tahun 2004
Himpunan Peraturan Badan Wakaf Indonesia
(BWI) Tahun 2015
[1]
Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi asy-Syari’ah al-Islamiyah (Hukum
Wakaf), Jakarta:IIMaN Press,2004,hlm. 37.
[2] Muhammad bin
Bakar Ibn Manzur, Lisan Al-Arab, Bulaq: Penerbit al Muniriyyah, 1301 H, hlm.
276.
[3] Majduddin
Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi, al-Qamus al- Muhit, Cairo: Dar al-Mis
riyyah,1993,hlm. 199.
[4] Kasdi, Abdurrahman, dan Moerdiyanto,
Pemberdayaan Wakaf Produktif Berbasis Wirausaha,Yogyakarta:Idea Press.2014.
hlm.6.
[5] Munsir Qahab,
al-Waqf al-islami;
Tatawwuruhu,Idaratuhu, Tanmiyyatuhu, Syiria: Dar al-Fikr Damaskus,
cet.II.,2006,hlm.64
[6] Burhanuddin Ali
bin Abu Bakar al-Murginanni,1356H, al-hidayah Mesir:Penerbit Mustafa
Muhammad,1356 H.hlm,40
[7] Abu Abdullah
Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman al-Hatab, Mawahih al-jalil, Dar asa
sa’dah, Mesir, jilid 6, cet. I. 1329 H. Hlm. 18.
[8] Abu Zakaria
Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Minhij , Cairo: Penerbit Mustafa Muhammad,tt.
Hlm,464.
[9] Abdullah bin
Ahmad bin Mahmud Ibn Qudhama, al-Mughhni Mesir:Dar al-manr,1348 H,hlm.185
[10] UU. Sudan Tahun 1984
[11] Undang-undang
wakaf india
[12] Undang-undang RI Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf
[13] Abu Ubaid,
al-Amwal, Cairo: Buku Daras di Fakultas Syariah Universitas
Al-Azhar,1991,hlm.552
[14] Al-Kahlani,tt:87
[15] Abu Abdullah
Muhammad bin Ahmad al-Anshari Al-Qurtubi, al-Jami’li Ahkam al-Qur’an, Meir: Dar
al-Kutub, 1949, hlm. 339.
[16] Az-Zuhaili, al-Fikih al-Islami,hlm. 7605-7606
[17]
Kasdi, Abdurrahman, dan
Moerdiyanto, 2014. Pemberdayaan Wakaf Produktif Berbasis Wirausaha. Idea Press:
Yogyakarta,hlm 41-43.
[18] Munzir Qahaf,
al-Waqf al-islami, op.cit. hlm. 157.
[19]
Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Bimbingan Masyarakat dan Haji
Kementerian Agama RI,2005,Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai,hlm. 118-119.
[20]
Munzir
Qahaf, al-waqf al-islami, op.cit,hlm.58
[21]
Sherafat
Ali Hasymi, 1987. “Management Waqf: Past and Present,” dalam Hasmat Basyar
(ed), Management and Development of Auqaf Propertis, Jeddah: Islamic Research
and Training Institute and Islamic Depelopment Bank, 1987, hlm. 21.
[22]
M.
Siraj Said and Hilary Lim, Waqf (Endowment) and Islamic Philantrophy, United
Kingdom:University of East London,2005,hlm. 6-7.
Komentar
Posting Komentar