Langsung ke konten utama

PROBLEMATIKA PERDA POLIGAMI TINJAUAN PERSPEKTIF GENDER DALAM AL-QUR’AN


PROBLEMATIKA PERDA POLIGAMI TINJAUAN
PERSPEKTIF GENDER DALAM AL-QUR’AN
M.19
SUSI GUSTIANA
KECAMATAN MARONGE












Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………….1
A.    Latar Belakang…………………………………………………1
B.     Rumusan Masalah……………………………………………...4
C.     Maksud dan Tujuan…………………………………………….5
D.    Manfaat………………………………………………………...5
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………..6
A.      Poligami…………………………………………….……………..6
1.    Tafsir poligami QS. An-Nisa……………………….. ..….........6
2.    Problematika Poligami Dalam Kaitannya Dengan Gender……9
3.    Perempuan Dalam Islam Kaitannya dengan poligami………...10
4.    Pro Poligami…………………………………………………..11
5.    Kontra Poligami………………………………………………12

BAB III PENUTUP…………………………………………………15
A.    Kesimpulan…………………………………………………...15     
B.     Penutup……………………………………………………….15

Daftar Pustaka                                 




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Problematika poligami saat ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan di Indonesia. Dilihat dari perspektif manapun poligami memang selalu menimbulkan pro dan kontra, baik dikalangan umat islam, maupun orang-orang yang menamakan dirinya sebagai pejuang hak perempuan, kesetaraan gender maupun feminisme. Bahkan menjadi tak terelakan manakala praktik poligami menjadi fokus isu gender. Golongan pro menyandarkan argumentasinya sesuai firman Allah SWT dalam kitab suci Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 3 yang didalam kandungannya membolehkan seorang laki-laki beristri lebih dari satu orang dengan batas empat orang dengan syarat suami berlaku adil, sedangkan yang kontra menyandarkan bahwa poligami tidak sesuai dengan hak asasi seorang perempuan sebagai istri.
Selain itu, golongan pro menyetui poligami, dengan analisis bahwa poligami berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dengan memenuhi syarat ada izin dari istri dan pengadilan. Selanjutnya, golongan pro ini beranggapan bahwa produk Undang-undang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia yang tentunya merupakan produk Ulil Amri sebagaimana dijabarkan dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 59 bahwa ulil amri  adalah pedoman hidup yang wajib diikuti. Faktanya, sekarang ini populasi perempuan di Indonesia semakin bertambah, angka perceraian akibat perselingkuhan semakin meningkat, Pol PP memergoki pasangan yang sudah menikah namun melakukan kumpul kebo dan berhubungan seks dikamar hotel semakin banyak, kemaksiatan pria dan wanita semakin merajalela.
Problematika semakin panas setelah DPRD Kabupaten Pamekasan Jawa Timur  berencana ingin mengesahkan Perda Poligami beberapa waktu lalu. Dari Berita yang dilansir penulis dari media Okezone.com [1] menyebutkan bahwa Perda ingin diloloskan oleh DPRD dengan alasan untuk menekan angka kemaksiatan baik itu kumpul kebo, selingkuh maupun perbuatan maksiat lainnya yang dilarang didalam Al-Quran maupun As-Sunnah sebagaimana hasil temuan dilapangan bahwa hal tersebut sedang marak terjadi. Bahkan, Gubernur Jawa Timur Soekarwo ikut menanggapi wacana pelolosan perda poligami oleh DPRD tersebut. Menurut Soekarwo dalam Undang-undang Nomor 71 tahun 1974 tentang perkawinan  memang poligami dibolehkan dengan ketentuan seorang istri tidak bisa melaksanakan fungsinya sebagai istri dengan beberapa alasan dan pertimbangan lainnya. Namun, gubernur Karwo enggan menanggapi terlalu jauh. Namun, disisi lain banyak juga perceraian yang terjadi akibat poligami. Sebagian besar poligami yang dilakukan hanya untuk memenuhi syarat adil yang telah ditetapkan didalam Al-Qur’an namun tidak melaksanakan poligami berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Langkah salah satu ulama kita di Indonesia yang kemudian menjadi sorotan adalah ketika Aa Gym yang membuat keputusan untuk melakukan poligami dengan wanita yang jauh lebih muda dari istri pertama membuat para aktivis perempuan geram dan menentang. Namun banyak juga perempuan yang memilih diam dan tidak mau berkomentar maupun mendukung atas langkah yang telah  dilakukan Aa Gym. Oleh karena itu, sungguh sangat penting menurut hemat penulis untuk mendeskripsikan lebih dalam kaitan dengan Problematika Perda Poligami Tinjauan Perspektif Gender Dalam Al-Qur’an.
B.     Rumusan Masalah
Bagaimanakah Problematika Perda Poligami Tinjauan Perspektif Gender Dalam Al-Qur’an?



C.    Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mendeskripsikan dan memaparkan Problematika Perda Poligami Tinjauan Perspektif Gender Dalam Al-Qur’an.
D.    Manfaat
Adapun manfaat dibuatnya makalah ini adalah
untuk mengetahui secara lebih dalam dan lengkap terkait Problematika Perda Poligami Tinjauan Perspektif Gender Dalam Al-Qur’an.














BAB II
      PEMBAHASAN
A.    POLIGAMI
Poligami telah dikenal luas oleh masyarakat diseluruh dunia, dari generasi ke generasi, praktek poligami terdapat dalam berbagai komunitas dari barat sampai timur.
1.      Tafsir poligami QS. An-Nisa
Poligami merupakan syariat islam yang akan berlaku sepenjang zaman bahkan hingga hari akhir. Poligami dalam islam dibolehkan dengan syarat sang suami dapat berlaku adil. Hal itu sesuai dengan Firman Allah SWT dalam surah An-Nisa ayat 3
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
3. dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[2]
            Ayat diatas, merupakan salah satu keterangan atau dasar hukum yang sangat terkenal untuk mengetahui hukum poligami dalam agama islam. Dengan kata lain, jika ada pembahasan poligami, dapat dipastikan ayat inilah (Qs. An-Nisa;3) yang paling sering digunakan sebagai rujukannya. Hal itu wajar saja, karena ayat ini memang berisi penjelasan kebolehan poligami, atau menikah lebih dari satu wanita dalam waktu yang sama, dengan jumlah maksimal empat orang isteri, dengan syarat yaitu adil. Jika khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukup dengan satu istri saja (monogami).
            Namun demikian, hukum boleh melakukan poligami dalam islam masih menyisahkan beberapa paradigma pemikiran dalam islam. Menurut Muhammad Syahrur, sebagaimana dikutif Abdul Mustaqim, bahwa ayat 3 surat An-Nisa sering ditafsirkan parsial, sehingga seolah-olah poligami diperbolehkan begitu saja, tanpa memperhatikan bagaimana konteks turunnya ayat tersebut, dan apa sesungguhnya ide moral dibalik praktek poligami. [3]  
Adapun dalam paradigma usul fiqih, hukum poligami dapat dijelaskan dengan pertama-tama menggali beberapa lafaz/kata kunci dalam ayat 3 surat An-Nisa seperti fankihu dan Al-‘adlu. Kata  fankihu, dalam ilmu usul fiqih merupakan kata perintah/amr, yang berarti “maka nikahilah”. Menurut mayoritas pakar ilmu Fiqh maupun Tafsir, bahwa kaidah umum seperti “kata perintah” dalam Al-Qur’an, memiliki implikasi hukum wajib dan ilzam, kecuali jika ada qara’in yang mengharuskan kata perintah itu diartikan lain, selain wajib. Dengan demikian, kata perintah dalam Al-Qur’an menunjuk pada dua implikasi hukum. Pertama, kata perintah yang tidak diserta Qara’in, maka ia memiliki implikasi hukum wajib. Kedua, kata perintah yang  diserta Qara’in, maka ia memiliki implikasi hukum  mubah atau boleh . [4]  Karena  fankihu merupakan bentuk kata perintah dan bermakna perintah, serta memiliki qarinah, yaitu berupa pemenuhan syarat adil, maka hukum poligami dari kata fankihu berimplikasi hukum boleh.
Selanjutnya, penelusuran kata berfokus pada lafaz Al-‘adlu dan kata al-qistu. Dengan kata lain, kata  Al-‘adlu dan kata al-qistu bermakna sama yaitu adil. Menurut M. Quraish Shihab[5] kata al-adlu dan kata al-qistu sering disinonimkan dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi adil. Namun, ada sebagian ulama yang membedakan kedua kata tersebut dengan mengatakan bahwa kata al-adlu adalah berlaku baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, tetapi keadilan itu bisa saja tidak menyenangkan salah satu pihak. Sedangkan, Al-qistu adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih, dan keadilan yang menjadikan keduanya senang.
Maka dapat disimpulkan, bahwa maksud ayat 3 surat An-Nisa adalah melarang poligami secara lembut, atau memperbolehkan poligami dengan syarat yang amat ketat, karena untuk memenuhi syarat adil secara kualitatif sungguh sulit, bahkan tidak mungkin dapat dipenuhi.  Keadilan paling utama adalah adil dalam membawa keluarga untuk mengenal dan mencintai Allah SWT. Hal itu merupakan tanggungjawab paling utama seorang suami terhadap diri dan keluarganya. Seorang laki-laki belum tentu selamat menghadapi hakim paling adil kelak di Padang Mahsyar. Jadi, ketemtuan hukum apakah poligami itu wajib, sunnah, makruh, mubah, haram tidak bertumpu pada adanya Nash melainkan pada situasi dan kondisi.




2.      Problematika Poligami Dalam Kaitannya Dengan Gender
Problematika[6] gender dalam kaitannya dengan poligami akhir-akhir ini semakin mengemuka. Bahkan lebih tragis lagi, poligami dianggap sebagai  salah satu sebab paling pokok timbulnya problematika gender. Berbagai pemandangan dan pemikiran kritis tentang hal ini muncul pada banyak kesempatan, seperti dalam forum-forum diskusi, wacana publik, maupun dalam media-media massa. Tak syak lagi, harapan dan solusi yang mengemuka pada akhirnya adalah menggugat tingakat keabsahan untuk melakukan praktek poligami. Bahkan, berbagai rambu hukum yang ketat kapan dan bilamana poligami itu dilakukan tak ayal merupakan serta pentingnya melakukan audit sosial secara lebih luas bilamana praktik poligami itu dilakukan. Sebuah pemikiran menyebutkan bahwa penafsiran Al-Qur’an tentang perempuan masih bias gender, dan disitulah kemudian, poligami menjadi praktik nyata dalam kehidupan umat islam. Sudah barang tentu bukan Al-Qur’an yang bias gender dalam hal ini, melainkan penafsiran terhadap Al-Qur’an itulah yang kurang tepat.
Pemikiran ini antara lain disebutkan Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Menurutnya, penafsiran ayat-ayat tentang perempuan dalam Al-Qur’an selama ini sering tekstual dan masih mengandung bias laki-laki. Tidak heran kalau posisi perempuan dalam penafsiran tersebut masih marjinal. Padahal jika dikaji secara mendalam, hal seperti itu tidak pernah diajarkan islam. Karena dasar ajaran islam adalah moral, keadilan dan kemanusiaan serta tidak pernah membedakan antara laki-laki maupun  perempuan. [7] Selanjutnya, menurut Nuriyah, persoalan perempuan belum beranjak dari masalah domestik. Tidak heran kalau persoalan poligami dan kekerasan dalam rumah tangga menjadi pembicaraaan yang cukup serius dikalangan keagamaan, aktivis perempuan, dan pemerintah. [8]
Senada dengan pernyataan Sinta Nuriyah ialah pernyataan Ketua Lembaga Kajian Agama dan Gender Jakarta yaitu Musda Mulia. Menurut Musda Mulia wacana tentang perempuan dan dan agama seringkali merupakan interprestasi dari pemilik otoritas agama dan tidak ada kaitannya dengan agama itu sendiri. Menurut hemat penulis mungkin yang dimaksud pemilik otoritas agama disini adalah para ulama.  Sejauh para ulama itu hanya berpegang teguh pada pengertian-pengertian tekstual tentang surat An-Nisa ayat 3, maka sejauh itu pula dibolehkan praktik poligami dianggab sebagai prinsip abadi yang tidak perlu diganggu gugat kontekstualisasinya. Sejalan dengan itu, Musda Mulia kemudian menyampaikan bahwa diperlukan usaha nyata untuk mensosialisasikan perspektif gender pada masyarakat keagamaan khususnya islam. Salah satu caranya adalah menerbitkan buku keislaman tentang perempuan yang perspektif, mengingat yang ada hanya 12 persen. [9]  
Problematika gender yang dimaksud oleh Sinta Nuriyah maupun Musda Mulia disini bukanlah gender yang semata-mata berada dalam frame sosiologi masyarakat barat. Jauh lebih penting dari itu, gender disini merupakan prinsip kesetaraan  dalam relasi antara kaum laki-laki dan perempuan atas dasar keadilan yang secara eksplisit dijabarkan sesuai ajaran islam. Problematika gender dengan pengertian seperti ini mirip dengan apa yang dikatakan   Dr. Yulfita Rahardjo dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahwa gender bukan merupakan konsep barat. Konsep itu berasal dari konstruksi linguistik dari berbagai bahasa yang member kata sandang tertentu untuk memberikan perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki, konstruksi linguistik ini kemudian diambil oleh antropolog menjadi kata yang hanya bisa dijelaskan, tetapi tidak ada padanya dalam  bahasa Indonesia. [10]
Menurut Yulfita Rahardjo, seperti halnya kata poliandri dan poligami yang tidak ada padanya dalam bahasa Indonesia, gender memacu pada peran dan tanggung jawab untuk perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan suatu budaya, jadi bukan jenis kelamin yang mengacaukan pemahaman antara perbedaan peran gender dan perbedaan genis kelamin. Kesalahan ini berimplikasi pada hubungan (gender) yang timpang antara laki-laki dan perempuan, dan pengembangan kualitas hidup yang timpang antara kedua jenis kelamin itu. Dalam perspektif Yulfita, banyak orang mengacaukan masalah keadilan dan kesetaraan gender sebagai usaha perempuan menyaingi laki-laki. Padahal, maksud keadilan gender adalah perlakuan yang adil yang diberikan kepada perempuan maupun laki-laki. Dalam banyak kasus, perlakuan tidak adil lebih banyak menimpa perempuan baik dirumah, ditempat kerja maupun dimasyarakat. Ini berarti problematika gender dengan pengertian diatas adalah sebuah realitas social yang semestinya dicarikan solusinya dalam Al-Qur’an.

3.        Perempuan Dalam Islam Kaitannya dengan poligami
Problema poligami dalam perspektif gender pada akhirnya hanya akan memperlihatkan adanya tarik menarik antara kepentingan untuk terus mempertahankan gender dan pandangan kritis tentang implikasi sosial yang ditimbulkan oleh adanya praktek poligami tersebut. Sesungguhnya kedudukan perempuan dalam islam berada pada lingkup prinsip-prinsip pokok persamaan antara kaum laki-laki dan perempuan, antara ras, suku, bangsa dan lain-lain. Keunikan dan cirri khas yang melekat pada diri seseorang oleh islam tidak dinyatakan sebagai faktor pembeda antara manusia yang satu dengan yang lain. Faktor utama yang membedakan antara seseorang dengan yang lain adalah tingkat ketakwaannya.
Dimasa Nabi Saw, ada upaya koreksi untuk memperbaiki kedudukan kaum perempuan dari proses marginalisasi sosial, ekonomi, hukum maupun politik. Zaman sebelum islam datang yang dikenal dengan zaman jahiliyah, salah satu cirinya yang paling pokok adalah tidak terhormatnya posisi kaum perempuan. Perkawinan dengan segala aturannya dimasa jahiliyah sebagian besarnya justru merugikan kedudukan kaum perempuan. Model-model perkawinan itu meliputi Istibda’ ( Jima), Al-Rahthun (poliandri), al-magtu (kebencian), Badal (tukar menukar isteri), dan lain-lain. 

4.      Pro Poligami
Pendapat ulama yang masuk dalam teori pro terhadap praktik poligami atau pro adanya perda yang melegalkan poligami adalah pendapat yang didalamnya poligami itu terdapat hikmah. Adapun hikmah itu antara lain hikmah pendidikan, syariat, sosial, maupun politik.[11] Yang dimaksud dengan hikmah pendidikan sebagaimana ditunjukan oleh Rasullullah adalah untuk mencetak ibu-ibu pendidik yang professional mengajari kaum perempuan tentang hokum-hukum islam yang hanif, teruma kaitannya dengan hukum yang berkaitan dengan masalah perempuan seperti haid, nifas, janabah, thaharah dan lain-lain.
Hal itu kita lihat bagaimana istri-istri nabi memberikan ilmu dan pengetahuannya dan membantu mencari solusi terhadap masalah perempuan. Seperti halnya Aisya Ra memberikan pemahaman kepada perempuan berkaitan dengan masalah hubungan suami dan istri setelah nabi meninggal dunia. Hikmah syariat dalam kaitannya dengan poligami bahwa untuk menghilangkan tradisi jahiliyah kaitan dengan masalah waris, kawin, talak, dan lain-lain. Sebagaimana nabi menikahi Zainab yang adalah janda dari Said Bin Haritsa yang notabene adalah anak angkat Nabi. Sebaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 37.
Hikmah politik menurut yang pro poligami bahwa dengan menikah maka akan memperluas dakwah islamiah.   

5.      Kontra Poligami
Mereka yang kontra poligami memandang kritis praktek poligami, melihat poligami dengan apa yang dilakukan nabi sebagai hal ideal yang mempertimbangkan dengan seksama prinsip keadilan, dan memperlakukan para isteri secara adil. Dalam kenyataan hidup  sesungguhnya sangat sulit untuk dapat menemukan padanan dari apa yang dilakukan Nabi Saw dalam praktek poligami. Sehingga dengan sendirinya, hukum-hukum syara’ yang membolehkan poligami menjadi sangat tidak sederhana. Dikalangan ulama modern bahkan, ada kecenderungan untuk mengharamkan poligami, meskipun dibalik keharaman tersebut disertai dengan kondisi untuk membuka kemungkinan untuk membolehkan sesuai kondisi.
Menurut para pemikir modern, dalam perundang-undangan yang ada di Negara-negara yang mayoritas muslim mereka memberikan persyaratan ketat untuk melakukan poligami. Namun, demikian di beberapa daerah di Indonesia ada banyak fraksi partai didalam DPRD yang mulai menginisiasikan Perda Poligami agar menjadi sah dan boleh. Ketidakmampuan suami untuk berbuat adil inilah yang ditekankan sebagai kontra. Inilah yang dinyatakan sangat kuat dalam surat An-Nisa ayat 3, 127dan 129. Dan yang paling penting untuk digaris bawahi adalah Qs. An-Nisa ayat 129 :
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( Ÿxsù (#qè=ŠÏJs? ¨@à2 È@øŠyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÊËÒÈ  
129. dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Perspektif adil bagi mereka yang kontra bukan hanya menyangkut kemampuan suami memberikan materi yang cukup kepada isterinya. Namun lebih luas daripada itu adalah adil dalam memberikan nafkah batin, serta dalam hal menyangkut perasaan isteri yang dinikahi. Seorang pemikir islam modern Ameer Ali, menyatakan bahwa kebolehan poligami sangat bergantung pada kondisi, situasi dan tuntunan zaman. [12] Bahkan Muhammad Abduh menyatakan haram pelaksanaan poligami itu sehubungan dengan tidak mungkinnya berlaku adil. Apalagi bila poligami itu hanya dimotivasi oleh pemenuhan kebutuhan biologis kaum laki-laki, keharaman untuk melakukan poligami semakin nyata. [13]  




















BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari seluruh uraian diatas disimpulkan bahwa Poligami masih relevan untuk dijadikan sebuah Peraturan Daerah (Perda). Karena dibolehkannya poligami itu disertai pula dengan syarat-syarat yang sangat berat. Bahkan syarat tersebut praktis tidak dapat dipenuhi oleh seorang laki-laki (suami) yang akan melakukan poligami yakni berlaku adil kepada para istrinya. Poligami dalam konsidensinya dalam sejarah awal perkembangan islam ialah poligami sebagai pengecualian dari prinsip monogami, akibat berkecamuknya perang yang membawa implikasi pada bertambah banyaknya jumlah janda dan anak yatim. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan kalau ayat yang membolehkannya poligami itu turun setelah perang Uhud yang ketika itu banyak sekali para mujahid islam yang gugur dimedan perang sehingga banyaknya janda dan anak yatim. Meskipun populasi perempuan terus bertambah dan jumlah laki-laki semakin sedikit, harus ada pertanggung jawaban moral untuk melaksanakan praktek poligami, apakah keadaan sekarang sudah relevan dengan ketika zaman nabi terdahulu, maka kalau belum sama sudah tentu segala macam bentuk usaha untuk melegalkan praktek poligami itu harus diberhentikan.
B.       Saran
a.       Perda tentang poligami harus ditinjau sesuai relevansi keadaan dan keadilan
b.      Perkuat pendidikan agama didalam keluarga sehingga angka prostitusi, selingkuh, kumpul kebo dan segala macam jenis perzinahan dapat diminimalisir.
c.       Pemerintah harus gencar melakukan razia, baik ditempat hiburan maupun  tempat penginapan serta disertai dengan  sosialisasi.
Daftar Pustaka

Muhammad Abduh, Al-Ikhtifal bi Ihya’ Dzikra al-Ustadz al Imam al Syaikh Muhammad ‘Abduh. 1992.  Mathba’at al-Manar: Kairo.

Ameer Ali, the spirit of islam: A History Of The Evolution and Ideal Of Islam with A Life Of Prophet . 1992. Jayyad Press: New Delhi.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1990. Balai Pustaka: Jakarta

Departemen Agama RI. (1997). Al-Qur’an dan Terjemah. Infomedia: Jakarta.

Mustaqim, Abdul. 2007. Konsep Poligami Menurut Muhammad Syahrur, Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan Hadist, Volume 8, Nomor 1: 48. Jakarta.


Salman, Abdul Matin . 2008. Pendidikan Poligami (Pemikiran dan Upaya Pencerahan Puspo Wardoyo Tentang Poligami. CV. Bumi Wacana: Solo
Shihab, Quraish.  2006. Tafsir al-Misban (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol II) Lenterah Hati: Jakarta.

Undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974






[1] Wacana perda poligami pakde Soekarwo Gubernur Jawa Timur Akhinya memberikan komentar dilansir/dimuat di media Online  Okezone.com  tanggal 27 Desember 2016.
[2] [265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.


[3] Abdul Mustaqim, Konsep Poligami Menurut Muhammad Syahrur, Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan Hadist, Volume 8, Nomor 1 (Januari, 2007): 48.   
[4] Abdul Matin Salman, Pendidikan Poligami (Pemikiran dan Upaya Pencerahan Puspo Wardoyo Tentang Poligami (Solo: CV. Bumi Wacana, 2008, 106. Bandingkan dengan Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Rawa ‘I al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam Min Al-Qur’an Juz I (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t), 334.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misban (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol II (Jakarta: Lenterah Hati:2006,338) 
[6] Dalam KBBI “Problematika” adalah sesuatu hal yang menimbulkan masalah atau permasalahan. Selengkapnya baca, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa  Indonesia Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka 1990, Cet III hlm. 701.
[7] Kompas, 22 Desember 1999
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Kompas 03 Agustus 2000
[11] Musfir al-Jahrani, Op.Cit., hal. 5-12.
[12] Ameer Ali, the spirit of islam: A History Of The Evolution and Ideal Of Islam with A Life Of Prophet  (New Delhi: Jayyad Press, 1992), hal. 29
[13] Muhammad Abduh, Al-Ikhtifal bi Ihya’ Dzikra al-Ustadz al Imam al Syaikh Muhammad ‘Abduh  (Kairo, Mathba’at al-Manar, 1992.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kompetisi Vs Pandemi

Mengikuti kompetisi sudah menjadi kebiasaanku sejak SD hingga sekarang. Meski jarang menang, tetapi sudah ikut berpartisipasi saja rasanya bahagia sekali. Ketika pandemi Covid 19 terjadi pada bulan Maret tahun 2020, hikmahnya kita lebih gampang mengikuti lomba seperti menulis Esai,  artikel, opini, KTI, cerpen, puisi, seminar, lomba desain, photografi, pelatihan, fellowship, nulis buku, beasiswa dan lain-lain. Jika dihitung, jumlah project menulis kala pandemi yang aku ikuti sekitar 30 lebih dari non Fiksi hingga Fiksi tapi yang menang bisa dihitung jari. Namun dari effort tersebut, banyak yang kita dapatkan yaitu kiriman buku gratis dari funding internasional dan nasional,  teman baru, relasi, wawasan, update teknologi aplikasi, hadiah menarik dan lain-lain serta jangan lupakan hadiah uang dan pulsa🤭😉. Selanjutnya, tahun 2021 bersiap untuk kompetisi lagi. Jika ada yang termotivasi dengan tulisan ini, maka tetap semangat, optimis, jangan pernah insecure, iri hati, dengki dan...

Lalu Dia Lala Jinis Kisah Romeo Juliet Alas-Sateluk

Resensi By: Susi Gustiana Betapa bahagia  mencium aroma buku , pikiranku menari 'seolah menemukan harta karun'.    Buku Lalu Dia dan Lala Jinis  adalah cerita rakyat Sumbawa yang di tulis oleh bapak Dinullah Rayes. Nama Rayes merupakan marga dari keturunan kedatuan Alas. Cerita ini bersemi dihati penduduk terutama dari bagian barat tepatnya di kecamatan Alas. Kisah kasih diantara dua pasang anak muda romeo dan Juliet Sumbawa ini diriwayatkan oleh orang tua dengan menggunakan bahasa yang puitik melalui lawas. Lawas samawa merupakan puisi lisan tradisional pada umumnya tiap bait terdiri dari 3 baris. Dipengantar awal buku penulis menyebutkan bahwa kisah ini ditembangkan oleh orangtua yang   mahir balawas (menembangkan syair) dengan suara merdu menawan dan mempesona bagi siapapun yang mendengar. Tradisi di Sumbawa bagi orang yang bisa mendongeng atau bercerita itu disebut Badia. Tau Badia (orang/seniman yang menyampaikan cerita) sering diund...

Tugu Simpang 5 Aceh!!!! Begitu ‘Sempurna’

Kalian tahu tidak lagu sempurna dari Andra and The Backbone mungkin itu tepat untuk menggambarkan monument ini. “Belum ke Aceh namanya jika belum mengunjungi salah satu tugu atau monumen yang sangat ikonik dan keren ini” kata Pak Marzuki guide kami selama di Aceh. Yupz…..Namanya tugu simpang 5, oleh ibu-ibu rombongan dari Sumbawa yang antusias untuk mengambil gambar berselfia ria bahwa   di monumen ini. Menurut mereka tugu simpang 5 juga disebut tugu selamat datang. Karena lokasinya berada di pusat kota dan punya nilai filosofi yang sangat mendalam. Dalam catatan sejarah, tugu ini berada di lima persimpangan jalan protokol yang selalu padat, yaitu jalan Tgk. H. M. Daud Beureuh, T. Panglima Polem, Sri Ratu Safiatuddin, Pangeran Diponegoro, dan jalan Teungku Angkasa Bendahara. Di lihat dari desainnya, ada 4 eksplorasi konsep dari  tugu Simpang Lima Aceh  ini, yaitu axis-oriented (sumbu), urban oase, multi-purposes building, dan landmark kota Banda Aceh. T...