Langsung ke konten utama

Terimakasih Tips Menulis Nya Om Pepih Nugraha

Ini Tips Menulis Dari Om Pepih Nugraha (Mantan Jurnalis Senior Kompas)

Menulis opini maupun berita sering menggunakan pola baku yang terasa kaku, padahal gaya bertutur kata (story telling) sedang menjadi trend di media luar.
Menulis opini tidak harus persoalan yang berat-berat macam Pilkada langsung atau Pilkada tidak langsung yang bikin kening berkerut. Kunci know the audiences tetap harus dipegang, bahwa seorang penulis opini harus tahu kepada khalayak mana pesan akan disampaikan. Kalaulah terpaksa membuat artikel mengenai Pilkada, khususnya Pilkada DKI Jakarta yang mengharu-biru itu untuk konsumsi anak-anak remaja, sesuaikanlah ragam bahasa yang sesuai buat mereka. Ya, ketahuilah pembacamu!
Apa yang kamu rasakan, jadilah puisi indah …(setidak-tidaknya indah menurutmu) apa yang kamu lihat dan alami, jadilah berita… (setidak-tidaknya penting dan menarik buatmu), apa yang kamu khayalkan, jadilah fiksi… (setidak-tidaknya fiksi keren menurutmu) dan apa yang kamu pikirkan jadilah opini… (setidak-tidaknya opini dahsyat menurutmu). Ini rumus baku dalam dunia tulis-menulis dan jangan pernah kamu merasa rendah diri…. PD aja lagi!
Jadi di sini harus saya garisbawahi, sesungguhnya “bahan baku” menulis itu tidak jauh-jauh, ADA DALAM DIRI kamu sendiri! Catat poin ini, ya!
Percayalah dengan kemampuanmu sendiri karena kamu dibekali Tuhan kemampuan merasakan, melihat, berimajinasi, dan lebih-lebih…. berpikir, yang kesemuanya itu adalah modal dasar menulis alias bahan baku utama menulis. 
Dalam menulis opini biasa berlaku hukum “yang ringan bisa jadi berat” dan sebaliknya “yang berat bisa jadi ringan”. Kaidah pertama terkait dengan bahasan mengenai peristiwa/fenomena keseharian tetapi ditinjau dari sisi filsafat. Jangan takut menulis yang berat-berat, sebab tetap ada “audiences”-nya sendiri untuk tulisan semacam ini.
Kaidah kedua, inilah yang membuat tulisan bisa tampil keren…. sebab seberat apapun bahasan dan persoalannya di tangan penulis andal, tulisan menjadi mudah dipahami. Nah, kamu mau pilih yang mana?
Sebagai pemula, atau bahkan penulis yang sudah mahir sekalipun, saya sarankan tempuhlah kaidah kedua, “jadikanlah persoalan/bahasan berat menjadi ringan dan mudah untuk dipahami” oleh pembaca dengan strata analisa berbeda.
Jujur, cara ini malah memerlukan keterampilan tambahan, yakni bagaimana penulis bisa menyesuaikan bahasan berat itu ke dalam bahasa bertutur ringan sebagaimana si penulis berbicara. Istilah kerennya story telling, tetapi saya biasa membahasakannya “tulisan dengan gaya bertutur” saja.
Apakah tulisan dengan gaya bertutur akan “merendahkan” bobot tulisan atau menjadikan tulisan kehilangan marwahnya (wibawa)? Tergantung dari sudut mana melihatnya.
Dalam pandangan penulis atau editor “garis keras” yang berpegang pada pakem penulisan yang “baku, baik dan benar”, tentu saja cara menulis artikel/opini dengan gaya bertutur akan merendahkan marwah tulisan. Akan tetapi jangan lupa, di belahan lain, koran sekaliber The New York Time, mulai lebih gencar menerapkan penulisan dengan gaya bertutur ini; bukan hanya untuk opini, melainkan berita yang ditulis wartawan profesional sekalipun!
The Niemand Lab atau The Poynter Institute gencar membahas soal story telling ini dalam menulis berita maupun opini. Bayangkan, berita yang selama ini terpenjara oleh kaidah 5W1H dan rumus Rudyard Kippling harus dijejalkan di lead (paragraf) pertama yang membuat berita menjadi kerontang dan miskin gaya, tiba-tiba menjadi berita sebagaimana wartawan atau reporter menceritakannya dengan gaya bertutur!
Apakah ini kemenangan gaya blogger yang sudah biasa bertutur kata lewat tulisan melawan gaya bahasa jurnalis yang terpenjara oleh kaidah 5W1H? Saya belum berani menyimpulkannya sejauh itu, salah-salah saya dituding “jurnalis murtad” karena sampai sekarang profesi saya tidak lain adalah jurnalis.
Tetapi satu hal, saya terbiasa “open mind”, memandang dan menerima sesuatu yang baru dengan pikiran terbuka. Jarang saya bersikap defensif apalagi mempertahankan kelaziman yang belum tentu benar tetapi sudah dianggap sebagai “kebenaran”. Contohnya ya menulis berita atau opini dengan gaya bertutur tadi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kompetisi Vs Pandemi

Mengikuti kompetisi sudah menjadi kebiasaanku sejak SD hingga sekarang. Meski jarang menang, tetapi sudah ikut berpartisipasi saja rasanya bahagia sekali. Ketika pandemi Covid 19 terjadi pada bulan Maret tahun 2020, hikmahnya kita lebih gampang mengikuti lomba seperti menulis Esai,  artikel, opini, KTI, cerpen, puisi, seminar, lomba desain, photografi, pelatihan, fellowship, nulis buku, beasiswa dan lain-lain. Jika dihitung, jumlah project menulis kala pandemi yang aku ikuti sekitar 30 lebih dari non Fiksi hingga Fiksi tapi yang menang bisa dihitung jari. Namun dari effort tersebut, banyak yang kita dapatkan yaitu kiriman buku gratis dari funding internasional dan nasional,  teman baru, relasi, wawasan, update teknologi aplikasi, hadiah menarik dan lain-lain serta jangan lupakan hadiah uang dan pulsa🤭😉. Selanjutnya, tahun 2021 bersiap untuk kompetisi lagi. Jika ada yang termotivasi dengan tulisan ini, maka tetap semangat, optimis, jangan pernah insecure, iri hati, dengki dan...

Lalu Dia Lala Jinis Kisah Romeo Juliet Alas-Sateluk

Resensi By: Susi Gustiana Betapa bahagia  mencium aroma buku , pikiranku menari 'seolah menemukan harta karun'.    Buku Lalu Dia dan Lala Jinis  adalah cerita rakyat Sumbawa yang di tulis oleh bapak Dinullah Rayes. Nama Rayes merupakan marga dari keturunan kedatuan Alas. Cerita ini bersemi dihati penduduk terutama dari bagian barat tepatnya di kecamatan Alas. Kisah kasih diantara dua pasang anak muda romeo dan Juliet Sumbawa ini diriwayatkan oleh orang tua dengan menggunakan bahasa yang puitik melalui lawas. Lawas samawa merupakan puisi lisan tradisional pada umumnya tiap bait terdiri dari 3 baris. Dipengantar awal buku penulis menyebutkan bahwa kisah ini ditembangkan oleh orangtua yang   mahir balawas (menembangkan syair) dengan suara merdu menawan dan mempesona bagi siapapun yang mendengar. Tradisi di Sumbawa bagi orang yang bisa mendongeng atau bercerita itu disebut Badia. Tau Badia (orang/seniman yang menyampaikan cerita) sering diund...

Tugu Simpang 5 Aceh!!!! Begitu ‘Sempurna’

Kalian tahu tidak lagu sempurna dari Andra and The Backbone mungkin itu tepat untuk menggambarkan monument ini. “Belum ke Aceh namanya jika belum mengunjungi salah satu tugu atau monumen yang sangat ikonik dan keren ini” kata Pak Marzuki guide kami selama di Aceh. Yupz…..Namanya tugu simpang 5, oleh ibu-ibu rombongan dari Sumbawa yang antusias untuk mengambil gambar berselfia ria bahwa   di monumen ini. Menurut mereka tugu simpang 5 juga disebut tugu selamat datang. Karena lokasinya berada di pusat kota dan punya nilai filosofi yang sangat mendalam. Dalam catatan sejarah, tugu ini berada di lima persimpangan jalan protokol yang selalu padat, yaitu jalan Tgk. H. M. Daud Beureuh, T. Panglima Polem, Sri Ratu Safiatuddin, Pangeran Diponegoro, dan jalan Teungku Angkasa Bendahara. Di lihat dari desainnya, ada 4 eksplorasi konsep dari  tugu Simpang Lima Aceh  ini, yaitu axis-oriented (sumbu), urban oase, multi-purposes building, dan landmark kota Banda Aceh. T...