Langsung ke konten utama

Eksistensi Hak Ulayat Di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Manusia sebagai individu maupun kelompok sampai kini belum dapat melepaskan diri dari tanah untuk berbagai keperluan. Tanah dalam makna hukum adalah bahagian dari dan melengket pada permukaan bumi. Negara Indonesia terbentuk dari konsepsi masyarakat hukum adat, oleh karena itu didalam luas wilayah territorial negara terdapat hak ulayat dari masing-masing masyarakat adat yang ada di Indonesia. Bagi masyarakat hukum adat tanah itu mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan lebih menguntungkan. Selain itu tanah merupakan tempat tinggal, tempat pencaharian, tempat penguburan, bahkan menurut kepercayaan mereka adalah tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan para leluhur persekutuan (Soerojo Wignjodipoero, dalam Aminuddin Salle 2007).
 Di era globalisasi ini ada banyak persengkataan lahan yang terjadi antara masyarakat adat dengan pemerintah.  Eddie Riyadi Terre (Achmad Rusyaidi: 2012) menyebutkan ada tiga persoalan mendasar yang dialami oleh masyarakat adat ( indigenous peoples ),2 yaitu: Pertama, masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah dan wilayah dimana mereka hidup dan dari mana mereka mendapatkan penghidupan, termasuk sumberdaya alamnya; Kedua, masalah selfdetermination yang sering menjadi berbias politik dan sekarang masih menjadi perdebatan sengit; dan Ketiga, masalah identification , yaitu siapakah yang dimaksud dengan masyarakat adat, apa saja kriterianya, apa bedanya dengan masyarakat bukan adat/asli/pribumi ( non-indigenous peoples ).
Sejarah hukum pertanahan di Indonesia tidak terlepas dari Hak Ulayat. Jauh sebelum terciptanya UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), masyarakat hukum adat kita telah mengenal hak ulayat. Hak ulayat sebagai hubungan hukum yang konkret, pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau Kekuatan Gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan tanah yang bersangkutan kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu (Boedi Harsono, 1999). Hak Ulayat itu sendiri bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat hukum adat.
         
Hukum tanah adat yang murni berkonsepsi komunalistik, yang mewujudkan semangat gotong-royong dan kekeluargaan, yang diliputi suasana religius. Tanah merupakan tanah bersama kelompok teritorial atau genealogik. Hak-hak perorangan atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bersama tersebut. Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan hukum disebut Hak Ulayat. (Boedi Harsono, 1999).Seiring perkembangan zaman, pergerakan pola hidup dan corak produksi masyarakat indonesia dari pola-pola atau corak-corak tradisional menuju ke pola atau corak yang modern mengakibatkan tergerusnya secara perlahan nilai-nilai yang terkandung dalam hak ulayat. Dewasa ini, masyarakat tidak lagi mengedepankan kebersamaan tetapi cenderung untuk berpikir individualistik.
         Saat ini meskipun Indonesia telah memiliki unifikasi hukum pertanahan yang berpuncak di UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan adanya UUPA tersebut, tidak ada lagi dualisme hukum pertanahan, dimana hukum yang berlaku didasarkan pada golongan masing-masing namun penting untuk diingat bahwa hukum adat dan termasuk pula di dalamnya ada hak ulayat adalah merupakan dasar Hukum Tanah Nasional. Olehnya itu adalah sesuatu yang sangat rasional untuk melihat dan mengkaji keberadaan hak ulayat dalam Hukum Positif Indonesia khususnya di bidang hukum pertanahan.
1.2 Rumusan Masalah
         Dalam makalah ini akan disajikan bahasan mengenai hak ulayat dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1.                 Bagaimana eksistensi hak ulayat dalam hukum positif Indonesia?
2.                  Bagaimana batasan-batasan hak ulayat dalam hukum pertanahan Indonesia?

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1)      Agar dapat memberikan pengetahuan lebih mendalam mengenai eksistensi hak ulayat di Indonesia dari aspek yuridis.
2)      Menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Politik

1.4 Manfaat
Menjadi bahan rujukan untuk mengetahui penyelesaian hukum atas tanah ulayat di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA & PEMBAHASAN

2.1      Tinjauan Pustaka
          2.1.1   Hak Milik Menurut Hukum Adat
                 Dalam hubungannya dengan  tanah, menurut hukum Adat tertanam suatu kepercayaan bahwa bagi setiap kelompok masyarakat hukum adat, tersedia suatu lingkungan tanah sebagai pemberian dari sesuatu kekuatan gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang zaman. Artinya bukan hanya untuk kepentingan satu generasi tapi melainkan untuk generasi berikutnya dari kelompok hukum adat tersebut. Lingkungan yang merupakan faktor pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya adalah kepunyaan bersama masyarakat hukum adat. Hak kepunyaan secara bersama disebut beschikkingsrecht yang diterima dalam perundang-undangan sebagai hak ulayat yang merupakan hak atas penguasaan atas tanah yang tertinggi dari masyarakat hukum adat. Kelompok masyarakat adat ini merupakan kesatuan yang mempunyai wilayah tertentu , mempunyai kesatuan hukum, mempunyai penguasa dan memiliki kekayaan tersendiri.
                
Seiring dengan perkembangan kehidupan, maka penggunaan tanah ulayat tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama, tetapi juga anggota masyarakat diperbolehkan menggunakan sebagian tanah ulayat untuk  dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Proses penguasaan individu ini terus berlangsung secara turun temurun dan diakui oleh masyarakat hukum adat.Selama dalam penggunaan tanah tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku maka anggota masyarakat lain harus menghormatinya dan tidak boleh mengganggunya. Apabila diterlantarkan dalam jangka waktu tertentu, atau diperlukan untuk kepentingan yang lebih luas, maka penguasa adat dapat menentukan peruntukan dan penggunaan selanjutnya.
                 Menurut Rustandi Ardiwilaga (1962:47-48), bahwa lahirnya pemilikan tanah bagi individu umumnya diawali pembukaan tanah yang diberitahukan kepada kepala persekutuan hukum dan diberikan tanda bahwa tanah itu akan digarap. Tanda itu, merupakan tanda pelarangan sehingga hasil pohon, tanah ataupun kolam yang ada hanya untuk yang berkepentingan saja, orang lain tidak boleh menggunakan dan mengambil hasilnya.  Bentuk usaha seperti ini bersifat sementara, merupakan hak memungut hasil (genotsrecht), setelah panen ditinggalkan dan menggarap tanah di tempat lain yang belum pernah dibuka. Walaupun hak memungut hasil hanya satu sampai dua musim saja, hal ini tidak menghilangkan hubungan  antara penggarap dengan tiap-tiap ladang yang pernah digarap, Biasanya setelah tiga tahun penggarap kembali ke ladang yang ditinggalkan sehingga hubungan ini dapt diwariskan ke anak cucunya. Ladang berpindang bersifat ladang milik. Dengan demikian hak milik diperoleh dengan pembukaan tanah, setelah lebih dulu dibuat tanda-tanda batasnya.
                 Dalam konsepsi hak bersama, para anggota masyarakat diliputi suasana magis religius sebagai keyakinan bahwa tanah merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, karena itu mereka menyadari kewajibanya untuk menjaga, menggunakan, serta memelihara dengan baik sesuai dengan norma-norma sebagai kristalisasi nilai luhur kehidupan yang telah dibentuk dan dihormati dulu. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa mengenai proses lahirnya hak individu yang merupakan awal kepemilikan atas tanah menurut hukum adat, pada dasarnya meliputi unsur:
a.       Penguasaan secara individu dan turun temurun
b.   Penguasaan itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
c.   Pemanfaatan tanah dengan tetap memelihara keselarasan kepentingan individu dan masyarakat
d.   Memperoleh pengakuan dari penguasa adat dan dihormati oleh tetangga berbatasan dan masyarakat adat lainnya
e.       Penguasa adat mempunyai kewenangan mengatur peruntukan dan penguasaan tanah
f.    Ada hubungan yang bersifat “magis religius” antara manusia dan tanah.

2.1.2. Tanah Ulayat
            Tanah ulayat adalah suatu bidang tanah yang padanya melengket hak ulayat dari suatu persekutuan hukum adat. Dengan demikian untuk menentukan apakah suatu bidang tanah tertentu adalah tanah ulayat atau bukan, pertama-tama kita harus memperhatikan apakah ada persekutuan hukum adat yang berkuasa atas tanah itu. Persekutuan hukum adat sering pula disebut orang sebagai masyarakat hukum adat, namun persekutuan hukum adat bukanlah sekedar sekelompok orang yang berkumpul saja. Persekutuan hukum adat adalah sekelompok orang ( lelaki, perempuan, besar, kecil, tua, muda, termasuk yang akan lahir) yang merasa sebagai suatu kesatuan yang utuh, baik karena faktor genealogis, teritorial maupn kepentingan,  mempunyai struktur organisasi yang jelas, mempunyai pimpinan, mempunyai harta kekekayaan yang disendirikan, baik berujud maupun yang tak berujud.
         Dengan demikian ada tiga bentuk persekutuan hukum adat, yakni 1. genealogis, seperti suku dan paruik di Minangkabau, marga di Tanah Batak, Klebu di Kerinci; 2. teritorial seperti desa di Jawa dan Bali, dusun dan marga di Sumatera Selatan, dan 3. genealogis teritorial, seperti nagari di Minangkabau.


         2.1.3    Pengertian Hak Ulayat
      
Pada awalnya manusia sebagai makhluk sosial hidup secara nomaden dengan berpindah-pindah  dalam suatu kawasan tertentu secara melingkar. Mereka mengembara secara berkelompok, tergantung pada ketersediaan bahan makanan. Bila bahan makanan di utara habis, mereka bergerak ke timur, terus ke selatan dan barat. Bila di utara telah berbuah lagi mereka kembali ke utara. Pada setiap tempat yang dilalui, mereka selalu memberi tanda dan mengawasi wilayah itu, sehingga orang atau kelompok lain tidak diperkenankan lagi memasuki wilayah itu tanpa izin kelompok mereka.Pada saat mereka masih mengembara itu, baru ada dan terjalin hubungan yang bersifat religio-magis antara kelompok dengan tanah-tanah dalam wilayah pengembaraan. Masing-masing anggota kelompok merasa berhak secara bersama dengan warga kelompoknya yang lain terhadap semua bidang tanah dalam wilayah itu. Saat itu belum ada hak perseorangan dari anggota tertentu terhadap bidang tanah tertentu, yang ada hanya hak kelompok/persekutuan. 
Menurut Surojo Wignjodipuro, hak persekutuan atas tanah ini disebut hak pertuanan. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut ‘beschikkingsrecht’. Istilah ini dalam bahasa Indonesia merupakan suatu pengertain yang baru, satu dan lain karena dalam bahasa Indonesia (juga dalam bahasa daerah-daerah) istilah yang dipergunakan semuanya pengertiannya adalah lingkungan kekuasaan, sedangkan ‘beschickkingsrecht’ itu menggambarkan tentang hubungan antara persekutuan dan tanah itu sendiri. Kini lazimnya dipergunakan istilah ‘hak ulayat’ sebagai terjemahannya ‘beschikkingsrecht’. Istilah-istilah daerah yang berarti lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun tanah yang merupakan wilayah yang dikuasai persekutuan adalah a.l. ‘patuanan’ (Ambon), ‘panyampeto’ (Kalimantan), ‘wewengkon’ (Jawa), ‘prabumian’ (Bali), ‘pawatasan’ (Kalimantan), ‘totabuan’ (Bolaang Mangondow), ‘limpo’ (Sulawesi Selatan), ‘nuru’ (Buru), ‘ulayat’ (Minangkabau).
Istilah wilayat, awalnya digunakan di Minangkabau, berasal dari bahasa Arab ‘wilayatun’, artinya suatu areal yang cukup luas yang dikuasai oleh sekelompok orang yang merupakan persekutuan, baik genealogis maupun teritorial. Sebelum masuk Islam, sesuai dengan pepatah adat, ‘tanah nan sabingkah, ilalang nan saalai, capo nan sabatang pangulu nan punyo’ istilah yang digunakan adalah ‘punyo’ kami, yang berasal dari kata ‘mpu’ artinya pengurus dan ‘nyo’ artinya ‘nya’, jadi ‘yang mengurusnya’. Sebagai hak dari suatu persekutuan, hak ulayat itu merupakan hak yang terletak di lapangan hukum publik yang berisi :
1.   kekuasaan persekutuan untuk mengurus dan mengatur peruntukan, persediaan dan pencadangan  semua bidang-bidang tanah dalam wilayah persekutuan (kewenangan menetapkan masterplan);
2.   kekuasaan persekutuan untuk mengurus dan menentukan hubungan hukum antara warga persekutuan dengan bidang tanah tertentu dalam wilayah persekutuan (kewenangan pemberian izin / hak atas tanah)
3.   kekuasaan persekutuan untuk mengurus dan mengatur hubungan hukum antar warga persekutuan atau antara warga persekutuan dengan orang luar persekutuan berkenaan dengan bidang-bidang tanah dalam wilayah persekutuan (izin-izin transaksi yang berhubungan dengan tanah)

UUPA tidak memberikan pengertian hak ulayat, kecuali menyebutkan bahwa yang dimaksud hak ulayat adalah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut “beschikkingsrecht” (penjelasan Pasal 3 UUPA). Menurut Ter Haar (dalam Farida Patittingi) Hak Ulayat adalah hak untuk mengambil manfaat dari tanah, perairan, sungai, danau, perairan pantai, laut), tanaman-tanaman dan binatang yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Menurut Pasal 1 angka 4 RUU SDAgraria (dalam Farida Patittingi) Hak Ulayat adalah kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan tanah, perairan, tanaman serta binatang-binatang yang ada di wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
       Farida Patittingi sendiri memberikan definisi Hak Ulayat adalah hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat terhadap tanah dan perairan serta isinya yang ada di wilayahnya berupa wewenang menggunakan dan mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah dan perairan serta lingkungan wilayahnya di bawah pimpinan kepala adat. Sementara itu Boedi Harsono (1999) bahwa Hak Ulayat merupakan seperangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam wilayahnya. Hak ulayat merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.
       Hak Ulayat adalah nama yang diberikan para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya, yang disebut tanah ulayat. Hak Ulayat masyarakat hukum adat mempunyai unsur :
-      Mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah bersama para anggota atau warganya, yang termasuk bidang hukum perdata.
-      Mengandung unsur kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya, yang termasuk hukum publik.
      
2.1.4    Sistem hak-hak Penguasaan atas tanah (disadur dari Boedi   Harsono, 1999 : 183)
                 Dalam hukum adat hak penguasaan tanah yang tertinggi adalah hak Ulayat, yang mengandung 2 (dua) unsur yang beraspek hukum keperdataan dan hukum publik. Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat, baik teritorial ataupun genealogik, sebagai bentuk bersama para warganya. Tanah hak ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
                 Di bawah hak ulayat adalah Hak Kepala Adat dan para Tetua Adat, yang sebagai petugas masyarakat hukum adat berwenang mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan tanah bersama tersebut. Tugas kewenangan ini beraspek hukum publik semata.
                 Kemudian ada berbagai hak-hak atas tanah yang dikuasai oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak ulayat sebagai hak bersama.
                 Dengan demikian tata susunan dan hirarki hak-hak penguasaan tanah dalam Hukum Adat adalah :
1.   Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, sebagai hak penguasaan tertinggi, beraspek hukum keperdataan dan hukum publik;
2.   Hak Kepala Adat dan para Tetua Adat, yang bersumber pada Hak Ulayat dan beraspek hukum publik semata;
3.   Hak-hak atas tanah, sebagai hak-hak individual, yang secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Ulayat dan beraspek hukum keperdataan.

2.2      Pembahasan
         2.2.1.      Eksistensi Hak Ulayat dalam Hukum Positif Indonesia
                    Gerakan reformasi yang dimulai pada tahun 1998 tidak hanya menghadirkan suatu kebaruan dalam bernegara dan bermasyarakat di Indonesia, tetapi juga menghidupkan kembali perdebatan lama ke dalam masa transisi. Konsep tentang hubungan Negara dengan sumberdaya alam, atau hak masyakakat atas sumberdaya alam menguat pada tahap pewacanaan dan gerakan. Paket empat kali amandemen UUD 1945 (1999-2002) menjadi ruang dimana pertarungan ide berlangsung. Setidaknya ada dua komponen yang berkaitan dengan relasi antara masyarakat adat dengan sumberdaya alam (hak ulayat) serta relasi antara negara dengan sumberdaya alam, yang mesti dilihat sebagai suatu keterkaitan. Keterkaitan itu beranjak dari asumsi bahwa “hak” merupakan tema yang bersifat formal, relasional dan diskretif.
          Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-haknya dinyatakan dalam Pasal 18B ayat (2) (Amandemen kedua) menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Dan juga pada Pasal 28i ayat (3) (Amandemen Kedua) menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
          Kemajuan terpenting dari pengakuan hak ulayat dalam Konstitusi di Indonesia ditemukan sebagai hasil amandemen kedua UUD 1945. Pasal 18 B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menyebutkan:
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

          Maria S.W. Sumardjono menyebutkan bahwa eksistensi hak ulayat dalam hukum positif Indoensia dapat dilihat dalam peraturan-peraturan perundangan yang diterbitkan. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Tenaga Listrik, Undang-Undang Nomor 21 tentang Otonomi Khsusus Papua, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

2.2.2 Batasan-batasan hak ulayat dalam hukum pertanahan Indonesia.
          Ketentuan pasal 18 B ayat (1) dan ayat (2) memisahkan antara persoalan tata pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dengan UU (Pasal 18B ayat 1) dengan persoalan hak ulayat dan pembatasannya (Pasal 18 ayat 2). Selama ini, persoalan ulayat sering dikaitkan dengan hak-hak atas sumberdaya alam yang ditarik dari sistem kerajaan pada masa lalu. Pemisahan antara Pasal 18B ayat (1) dengan Pasal 18B ayat (2) memberi arti penting untuk membedakan antara bentuk persekutuan masyarakat (hukum) adat dengan pemerintahan “kerajaan” lama yang masih hidup dan dapat bersifat istimewa. Meski sudah mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat berserta hak ulayatnya secara deklaratif, Pasal 18B ayat (2) mencantelkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi suatu masyarakat untuk dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat beserta hak ulayat yang dapat dinikmatinya secara aman. Persyaratan-persyaratan itu secara kumulatif adalah:
a. Sepanjang masih hidup
b. Sesuai dengan perkembangan masyarakat
c. Sesuai dengan prinsip NKRI
d. Diatur dalam Undang-undang
         
          Pengakuan bersyarat terhadap masyarakat adat dalam sejarah Republik Indonesia dimulai pada UUPA, UU Kehutanan lama, UU Pengairan UU Kehutanan baru dan beberapa peraturan departemen dan lembaga pemerintahan. Setelah UUD 1945 mengadopsi empat pesyaratan bagi masyarakat adat, kemudian berbagai UU yang lahir pasca amandemen
         Sesuai dengan Pasal 5 UUPA, Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.
Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2. Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak di hapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).













BAB III
PENUTUP
3.1      Kesimpulan
         1.     Eksistensi Hak Ulayat dalam hukum positif Indonesia masih ada. Hal demikian diakui dalam UUD NRI 1945 Pasal Pasal 18 B ayat (1) dan ayat (2) serta dalam berbagai undang-undang.
         2.     Adapun batasan-batasan Hak Ulayat dalam Hukum Pertanahan Indonesia adalah sebagai berikut :
-      Bahwa Hak Ulayat tersebut sepanjang masih hidup;
-      Bahwa hak Ulayat tersebut sesuai dengan perkembangan masyarakat;
-      Bahwa keberadaan Hak Ulayat tersebut harus sesuai dengan prisip NKRI;
-      Bahwa keberdaaan Hak Ulayat tersebut harus diatur dalam Undang-Undang.

3.2      Saran
         Keberadaan hak ulayat sebagai roh dari hukum pertanahan nasional tetap harus dijaga kelestariannya, tentunya dengan menerapkan pembatasan-pembatasannya secara konsisten.

 




























Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kompetisi Vs Pandemi

Mengikuti kompetisi sudah menjadi kebiasaanku sejak SD hingga sekarang. Meski jarang menang, tetapi sudah ikut berpartisipasi saja rasanya bahagia sekali. Ketika pandemi Covid 19 terjadi pada bulan Maret tahun 2020, hikmahnya kita lebih gampang mengikuti lomba seperti menulis Esai,  artikel, opini, KTI, cerpen, puisi, seminar, lomba desain, photografi, pelatihan, fellowship, nulis buku, beasiswa dan lain-lain. Jika dihitung, jumlah project menulis kala pandemi yang aku ikuti sekitar 30 lebih dari non Fiksi hingga Fiksi tapi yang menang bisa dihitung jari. Namun dari effort tersebut, banyak yang kita dapatkan yaitu kiriman buku gratis dari funding internasional dan nasional,  teman baru, relasi, wawasan, update teknologi aplikasi, hadiah menarik dan lain-lain serta jangan lupakan hadiah uang dan pulsa🤭😉. Selanjutnya, tahun 2021 bersiap untuk kompetisi lagi. Jika ada yang termotivasi dengan tulisan ini, maka tetap semangat, optimis, jangan pernah insecure, iri hati, dengki dan...

Lalu Dia Lala Jinis Kisah Romeo Juliet Alas-Sateluk

Resensi By: Susi Gustiana Betapa bahagia  mencium aroma buku , pikiranku menari 'seolah menemukan harta karun'.    Buku Lalu Dia dan Lala Jinis  adalah cerita rakyat Sumbawa yang di tulis oleh bapak Dinullah Rayes. Nama Rayes merupakan marga dari keturunan kedatuan Alas. Cerita ini bersemi dihati penduduk terutama dari bagian barat tepatnya di kecamatan Alas. Kisah kasih diantara dua pasang anak muda romeo dan Juliet Sumbawa ini diriwayatkan oleh orang tua dengan menggunakan bahasa yang puitik melalui lawas. Lawas samawa merupakan puisi lisan tradisional pada umumnya tiap bait terdiri dari 3 baris. Dipengantar awal buku penulis menyebutkan bahwa kisah ini ditembangkan oleh orangtua yang   mahir balawas (menembangkan syair) dengan suara merdu menawan dan mempesona bagi siapapun yang mendengar. Tradisi di Sumbawa bagi orang yang bisa mendongeng atau bercerita itu disebut Badia. Tau Badia (orang/seniman yang menyampaikan cerita) sering diund...

Tugu Simpang 5 Aceh!!!! Begitu ‘Sempurna’

Kalian tahu tidak lagu sempurna dari Andra and The Backbone mungkin itu tepat untuk menggambarkan monument ini. “Belum ke Aceh namanya jika belum mengunjungi salah satu tugu atau monumen yang sangat ikonik dan keren ini” kata Pak Marzuki guide kami selama di Aceh. Yupz…..Namanya tugu simpang 5, oleh ibu-ibu rombongan dari Sumbawa yang antusias untuk mengambil gambar berselfia ria bahwa   di monumen ini. Menurut mereka tugu simpang 5 juga disebut tugu selamat datang. Karena lokasinya berada di pusat kota dan punya nilai filosofi yang sangat mendalam. Dalam catatan sejarah, tugu ini berada di lima persimpangan jalan protokol yang selalu padat, yaitu jalan Tgk. H. M. Daud Beureuh, T. Panglima Polem, Sri Ratu Safiatuddin, Pangeran Diponegoro, dan jalan Teungku Angkasa Bendahara. Di lihat dari desainnya, ada 4 eksplorasi konsep dari  tugu Simpang Lima Aceh  ini, yaitu axis-oriented (sumbu), urban oase, multi-purposes building, dan landmark kota Banda Aceh. T...