A. Pengantar
Saat guru besar ilmu politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti
mengamati fenomena birokrasi di Indonesia, ia memberi catatan bahwa
kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat
ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya
menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana
kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya,
wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau
beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.
Reformasi birokrasi menjadi
wacana yang sangat penting semenjak reformasi 1998 digulirkan. Hal ini sangat
wajar besarnya tuntutan mewujudkan good governance. Sepanjang pemerintahan
sebelumnya, birokrasi lebih bersifat politis dan tidak didasari oleh semangat
melayani. Itulah sebabnya birokrasi lebih memerankan diri sebagai pangreh praja
daripada pamong praja.
Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara Taufiq Effendi mengatakan bahwa penyelenggaraan
pelayanan
publik masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien
serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Keluhan muncul,
mulai dari prosedur pengurusan layanan yang berbelit-belit sampai soal sikap
aparat yang tidak menyenangkan.
pelayanan
publik masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien
serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Keluhan muncul,
mulai dari prosedur pengurusan layanan yang berbelit-belit sampai soal sikap
aparat yang tidak menyenangkan.
Dengan karakter seperti di atas,
Strauss mengistilahkan birokrasi sebagai “ketidaksempurnaan dalam struktur dan
fungsi dalam organisasi-organisasi besar”. Gejala-gejala birokrasi seperti itu
meliputi terlalu percaya kepada preseden,kurang inisiatif, penundaan (lamban
dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu banyak formalitas),
duplikasi usaha dan departementalisme.
Maka menjadi kewajiban negara
melayani setiap warga negara dan penduduk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam
kerangka pelayanan publik merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
B. Reformasi Birokrasi dan
Perbaikan Kualitas Pelayanan.
Secara ringkas, visi reformasi
birokrasi adalah terwujudnya tata kepemerintahan yang baik (good governance).
Sedangkan misi reformasi birokrasi adalah membangun, menata
ulang,menyempurnakan, membina, dan menertibkan birokrasi pemerintahan, agar
mampu dan komunikatif dalam menjalankan peranan dan fungsinya.Target dan
sasaran reformasi birokrasi ada lima hal.
Pertama, terbentuknya,
birokrasi yang bersih, yaitu birokrasi yang anti KKN dan berkurangnya perilaku
koruptif pegawai negeri. Kedua, birokrasi yang efisien dan hemat dalam
menggunakan sumber daya yang terbatas (manmoney, material, methode, and time). Ketiga,
birokrasi yang transparan, yakni birokrasi yang seluruh kebijakan dan
aktivitasnya diketahuimasyarakat dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan
mudah. Keempat, birokrasi yang melayani, yaitu birokrasi yang tidak
minta dilayani, tetapi birokrasi yang melayani masyarakat. Kelima,
birokrasi yang terdesentralisasi, yaitu kewenangan pengambilan keputusan
terdesentralisasi kepada pimpinan unit kerja terdepan.
Mewujudkan reformasi birokrasi di
Indonesia adalah tuntutan politik dan social budaya. Ada empat bidang
Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) yang mengalami proses reformasi (birokrasi)
untuk mencapai lompatan peningkatan kualitas kinerja aparat pemerintahan yaitu pertama,
penataan kelembagaan dan penyederhanaan ketatalaksanaan. Diadakan langkah
penyesuaian “ukuran” secara tepat, antara kebutuhan organisasi dengan jumlah
dan kualifikasi SDM yang semakin berdaya saing tinggi.
Kedua, peningkatan
kapasitas SDM aparatur melalui perbaikan jumlah, komposisi, distribusi PNS yang
ada pada setiap intansi pemerintah.Di samping itu, juga diupayakan penyusunan
dan penyempurnaan pola karier, system diklat, dan perbaikan system penggajian
yang lebih adil, layakdan mendorong peningkatan kinerja. Ketiga,
pencegahan dan pemberantasan KKN. Melalui akuntabilitas dan kepatuhan kepada
aturan dan perundang-undangan yang berlaku, keteladanan dalam arti luas serta
budaya malu.Sedangkan pemberantasan KKNdiupayakan secara konsisten, konsekuen,
dengan sanksihukum seberat-beratnya. Keempat, Pengembangan pelayanan
prima yang lebih cepat, tepat, murah, memuaskan, tidak diskriminatif, bebas
pungli dengan berdasarkan hokum dan aturan yang berlaku melalui paradigma
mengedepankan hak dasar warga negara.
Beberapa factor seperti factor sejarah,
kualitas SDM dan budaya kerja yang tidak kompetitif dan inovatif menjadi
hambatan serius bagi terlaksananya reformasi birokrasi. Program OSS pemda
Sragen yang dilatarbelakangi oleh keinginan memenuhi tuntutan masyarakat
akan kemudahan dan penyederhanaan pelayanan pemerintah untuk mendorong laju
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu contoh langkah
reformasi birokrasi budaya yang paternalistik. Pemda Sragen bukan hanya merubah
paradigma dan orientasi birokrat yang semula dipahami sebagai tuan yang
dilayani masyarakat menjadi birokrasi berorientasi melayani masyarakat. Namun
juga merubah manajemen menjadi semakin modern.
Agus Dwiyanto mencatat beberapa masalah budaya birokrasi yang menjadi
permasalahan dalam pelayanan publik di Indonesia. Pertama, paternalisme.
Sejarah terbentuknya budaya birokrasi dipengaruhi oleh diadobsinya sistem
budaya kraton yang memunculkan watak birokrasi yang cenderung menempatkan
dirinya merasa lebih tinggi daripada masyarakat kebanyakan.
Kedua, nilai,tradisi, dan simbol.Pada budaya kekuasaan tradisional
terdapat keyakinanbahwapimpinan tidak pernah bersalah atau tidak pernah mau
dipermasalahkan. Perilaku dan symbol-simbolyang dipergunakan oleh elit
birokrasi diarahkan untuk mencari dan mempertahankan karakteristik yang
menjadistatus dan symbol dari kelompok elit dalam birokrasi.
Ketiga, kultur birokrasi dalam kinerja pelayanan. Secara struktural,
kondisi tidak efektifnya pelayanan masyarakat merupakan implikasi dari system
politik orde baru yang telah menempatkan birokrasi lebih sebagai instrumen
politik kkuasaan dari pada sebagai pelayan publik. Sentralisme birokrasi juga
membentuk polapemerintahan yang bersifat hierarkis-birokratis sehingga terkesan
sangat kaku dan menjadi tidak responsive terhadaptuntutan perkembangan dalam
masyarakat.
Kebijakan mereformasi
birokrasi–dalam rangka mewujudkan good governance– telah dilakukan pemerintah
melalui berbagai upaya diantaranya adalah melalui standarisasi pelayanan,
menerapkan e-government, e-procurement, e-bidding dan e-office.
Selain itu, pemerintah membenahi aturan yang tumpang tindih yang mengakibatkan
tindakan koruptif atau tidak wajar.
Memperbaiki kualitas pelayanan birokrasi terhadap masyarakat adalah tema sentral
reformasi birokrasi. Kualitas pelayanan meliputi banyak hal seperti
ketersediaan fasilitas fisik dan program (tanggibles), realisasi program
( reliability ), kompetensi pelaksana pelayanan ( competence ),
kesantunan dalam pelayanan ( courtessy ) keinginan untuk selalu
memberikan pertolongan pada konsumen apabila memperoleh kesulitan untuk
memperoleh layanan ( responsiveness ), kemampuan untuk bisa dipercaya
dan diandalkan (credibility), keamanan dari resiko pelayanan yang buruk
( security ), kedekatan dan kemudahan untuk berhubungan dengan pelaksana
layanan ( access ), kemampuan untuk membuat konsumen selalu terinformasi
dengan baik tentang barang dan jasa yang diberikan ( communication ),
dan kemampuan untuk selalu memahami keinginan pelanggan (understanding the
costumer) . Kualitas pelayanan ini sepenuhnya dinilai berdasarkan persepsi
masyarakat atas suatu jenis layanan.
Kualitas pelayanan publik ini
dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa faktor dominan yang bisa disebutkan
adalah pertama, kebijakan publik. Kebijakan publik ini adalah faktor
yang akan mempengaruhi lembaga pelayanan publik dari segi sumber keuangan,
teknologi dan sumber daya organisasi lainnya untuk sebuah lembaga pelayanan
publik. Kedua, karakteristik dan lingkungan dari masyarakat itu sendiri.
Karakteristik yang dimaksud berkaitan dengan tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan, besaran masyarakat, heterogenitas, konfigurasi serta nilai-nilai
dan norma-norma. Selain itu, faktor lingkungan seperti sistem politik, pers
yang bebas atau tingkat kesulitan dalam mengakses lembaga layanan publik, juga
merupakan faktor-faktor yang akan mempengaruhi kualitas pelayanan publik. Ketiga,
kontrol pemerintah terhadap penyedia layanan publik. Pada umumnya, pemerintah
menganggap bahwa akuntabilitas publik ( public acountability ) merupakan
prasyarat penting untuk bisa menciptakan efesiensi produksi dan pelayanan jasa
publik (Paul 1991). Oleh karena itu, kunci dari peningkatan kualitas pelayanan
publik adalah bagaimana meningkatkan keseimbangan posisi tawar antara berbagai
stakeholder, karena untuk meningkatkan efesiensi membutuhkan tindakan dari
berbagai sisi.
Untuk mewujudkan pelayanan publik yang cepat, efisien, bebas pungli dan
berkualitas, penerapan teknologi praktis sangat dibutuhkan. Oleh sebab itu,
inisiatif pemerintah untuk menerapkan teknologi dalam pelayanan publik menjadi
sebuah langkah maju.
Untuk mewujudkan hal ini
pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan diantaranya adalah Instruksi
Presiden No. 6/2001 tgl. 24 April 2001 tentang Telematika (Telekomunikasi,
Media dan Informatika) yang menyatakan bahwa aparat pemerintah harus
menggunakan teknologi telematika untuk mendukung good governance dan
mempercepat proses demokrasi.
Selanjutnya juga dikeluarkan
Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional pengembangan e-goverment. Berdasarkan definisi dari World Bank,
eGovernment adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah
(seperti : Wide Area Network, Internet dan mobile computing) yang
memungkinkan pemerintah untuk mentransformasikan hubungan dengan masyarakat,
dunia bisnis dan pihak yang berkepentingan. (www.worldbank.org).
Dalam prakteknya, eGovernment
adalah penggunaan Internet untuk melaksanakan urusan pemerintah dan penyediaan
pelayanan publik yang lebih baik dan cara yang berorientasi pada pelayanan
masyarakat.Dengan begitu diharapkan terwujud kepemerintahan yang bersih,
transparan, dan mampu menjawab tuntutan perubahan dan membentuk dimensi baru ke
dalam organisasi, sistem manajemen, dan proses kerjanya
Tujuan yang ingin dicapai dengan implementasi eGovernment adalah
untuk menciptakan customer online dan bukan in-line. eGovernment
bertujuan memberikan pelayanan tanpa adanya intervensi pegawai institusi publik
dan sistem antrian yang panjang hanya untuk mendapatkan suatu pelayanan yang
sederhana. Selain itu eGovernment juga bertujuan untuk mendukung good
governance. Penggunaan teknologi yang mempermudah masyarakat untuk
mengakses informasi dapat mengurangi korupsi dengan cara meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas lembaga publik. eGovernment dapat
memperluas partisipasi publik dimana masyarakat dimungkinkan untuk terlibat
aktif dalam pengambilan keputusan/kebijakan oleh pemerintah. eGovernment
juga diharapkan dapat memperbaiki produktifitas dan efisiensi birokrasi serta
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Adapun konsep dari eGovernment
adalah menciptakan interaksi yang ramah, nyaman, transparan dan murah antara
pemerintah dan masyarakat (G2C-government to citizens), pemerintah dan
perusahaan bisnis (G2B-government to business enterprises) dan hubungan
antar pemerintah (G2G-inter-agency relationship).
Penggunaan dan optimalisasi teknologi dasar dan menengah dalam birokrasi
juga memungkinkan berlangsungnya komunikasi internal dan eksternal pemerintah
secara cepat, tepat, sederhana, berjangkauan luas dan memiliki kesanggupan
menjalin jaringan . Inovasi dan introduksi IT (Information Technology) dalam
birokrasi bias dimanfaatkan untuk menurunkan biaya dan meningkatkan
efektivitas.
C. Kisah Sukses Reformasi
Birokrasi Sragen
Reformasi birokrasi adalah satu dari tiga langkah yang diambil oleh
Pemkab Sragen dalam mewujudkan Smart Regency. Dua langkah yang lain
adalah pelayanan prima dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam mewujudkan reformasi birokrasi dalam jajarannya, Pemkab Sragen melakukan
beberapa langkah di antaranya : Pertama, perubahan paradigma “dilayani menjadi
melayani”. Sikap ambtenaar PNS diubah menjadi sikap melayani. Kedua,
mewujudkan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dengan mengoptimalkan peran
satuan kerja/dinas & inovasi kelembagaan. Misalnya : pembentukan Kantor
Pelayanan Terpadu, Tim marketing, Tim Pemantau Fisik. Ketiga,
pengelolaan Keuangan yang efisien dengan Memangkas kegiatan rutin yang tidak
efisien Keempat, desentralisasi kewenangan ke Kecamatan/desa melalui small
management. Kelima, memanfaatkan IT untuk e-government.
Kantor Pelayanan Terpadu (KPT)
Sragen menjadi salah satu daerah
(kabupaten) yang sukses menerapkan e-government melalui program One Stop
Service (OSS) atau pelayanan satu pintu. Latar belakang kelahiran Sragen OSS
adalah tuntutan masyarakat akan kemudahan dan penyederhanaan pelayanan
pemerintah untuk mendorong laju perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
KPT (Kantor Pelayanan Terpadu)
yang dibentuk dengan Keputusan Bupati Sragen Nomor 17 Tahun 2002 tanggal 24 Mei
2002 ini mulai beroperasi resmi pada 1 Oktober 2002. Untuk mendukung pelayanan
KPT, tahun 2003 dikeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sragen Nomor 15
Tahun 2003 tentang struktur organisasi KPT Sragen.
KPT Sragen memiliki kewenangan
menerima, memproses, dan menandatangani dokumen perizinan. Selain berwenang
menugaskan tim teknis perizinan, kantor ini juga menyediakan uang saku dan uang
makan bagi tim teknis. Retribusi yang diterima langsung disetorkan ke kas
daerah sesuai rekening dinas masing-masing. Pendelegasian kewenangan pun
langsung dari bupati kepada KPT.
Gaung Sragen OSS pun sampai ke
mana-mana. KPT Sragen menjadi tempat studi banding berbagai daerah dan negara.
Berbagai penghargaan pun diterima, seperti penghargaan Satya Abdi Praja dari
Gubernur Jateng, Citra Pelayanan Prima dari Presiden, Ranking I daerah Pro
Investasi di Jateng tahun 2005, Sertifikat ISO 9001-2000 dari Sucofindo
International Certification Service. Selain itu KPT Sragen juga terpilih
sebagai best practice modul oleh JICA Jepang dan dibuat film yang kemudian
diedarkan ke berbagai kabupaten/kota di Tanah Air. Bahkan, KPT Sragen
direkomendasikan Bank Pembangunan Asia dan International Finance Corporation
sebagai contoh model KPT di Indonesia, dengan membuat buku panduan tentang OSS
yang diedarkan di seluruh kabupaten/kota di Tanah Air.
Selain juga Best Practice
Modul dari LPM UNS yang ditulis dalam buku Reformasi Pemerintah Daerah, sebagai
Best practiice Modull darii JPIP Surabaya, memperoleh Sertifikat ISO 9001-2000
dari Sucofindo Internasional Certification Service, memperoleh Otonomii Award
biidang Admiiniistrasii Pellayanan Publik darii JPIP Surabaya, dan menjadi
model Percontohan Penerapan Sistem Pelayanan Satu Pintu (OSS) dari BKKSI..
Strategi Pelaksanaan
Beberapa strategi yang dilakukan oleh pemda Sragen dalam menyukseskan OSS
adalah :
1.
Mengkomunikasikan kepada masyarakat. Program e-government yang digagas
kabupaten Sragen di komunikasikan melalui kata-kata yang menarik seperti
“Sragen One Stop Service-Mudah, Cepat, Transparan & Pasti” . Tulisin ini dibuat
mencolok dalam bentuk papan reklame dan diletakkan di tempat strategis, yakni
di depan Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Sragen. Cara ini dilakukan agar
masyarakat tertarik dan datang ke tempat pelayanan terpadu.
2.
Menghilangkan kesan “aparat” pada pegawai KPT dengan mengganti seragam pegawai
dengan seragam sipil seperti halnya pegawai perusahaan swasta.
3. Mendesain ruang pelayanan yang simple. Ruangan pelayanan OSS di KPT Sragen
didesain dalam bentuk ruang-ruang yang diberi sekat. Setiap perizinan dilayani
dalam satu ruangan. Pemohon cukup mendatangi ruangan perizinan yang dituju dan
langsung dilayani petugas. Biaya langsung dibayar di kasir yang juga berada di
ruangan tersebut.
Sedangkan dalam menerapkan
eGovernment, Pemkab Sragen melakukan beberapa langkah seperti :
1. Membuat Web line dengan double
control
2. Menggunakan Sistem Jaringan IT antar dinas/satuan kerja sampai dengan
kecamatan dan pada 2007 akan sampai ke tingkat desa
3. Menggunakan fasilitas
teleconference, tukar data, internet.
4. Mewajibkan setiap PNS (khususnya yang muda) bisa mengoperasikan komputer.
5. Menerapkan sistem online untuk daily report. Ini digunakan untuk memperlancar komunikasi dengan kecamatan.. Setiap saat,
KPT bisa berkoordinasi dengan kantor kecamatan. Untuk mengetahui respons
masyarakat atas pelayanan di kantor ini, setiap enam bulan sekali KPT Sragen
membuat survei kepuasan pelanggan.
DESENTRALISASI
KEWENANGAN
Dalam mewujudkan reformasi
birokrasi, Pemkab Sragen juga menerapkan desentralisasi kewenangan dengan
langkah melimpahkan sebagian wewenangnya kepada kecamatan dan desa. Beberapa
kewenangan yang didesentralisasikan adalah sebagai berikut:
|
Tingkat Kecamatan
|
Tingkat Desa
|
|
1. Pembuatan KTP dengan on
line system
2. Izin Perhelatan
3. Izin Penggunaan/penutupan
jalan
4. Izin Pertunjukan/Hiburan
5. Izin Tempat Usaha (skala
kecil)
6. Izin Salon (skala kecil)
7. Izin Mendirikan Bangunan
8. Izin Bahan Galian Golongan C
9. Izin Tebang dan Angkut kayu
10. Izin Rumah Makan
11. Izin Bengkel (skala kecil)
12. Penerbitan KK
13. Melaksanakan pengawasan
proyek – proyekpembangunan yang ada diwilayah kecamatan.
14. Membuat rekomendasi DP3
para Kepala Unit Kerja dan Satuan Unit Kerja
yang ada di kecamatan.
15. Melantik dan mengambil
sumpah Lurah Desa, Pamong Desa dan anggota BPD.
16. Melaksanakan ujian tertulis Carik Desa
|
1. Penetapan SK Pengangkatan
Lurah Desa Terpilih.
2. Penetapan SK Pengangkatan
Pamong Desa Terpilih.
3. Pengaturan dan Penyusunan
Anggaran Desa
4. Pengaturan Kedudukan
Keuangan Lurah & Pamong
Desa.
5. Pengaturan & Pemanfaatan
Kekayaan Desa
6. Pembentukan Badan Usaha
Milik Desa
7. Pelaksanaan Pembangunan
Pedesaan.
8. Pembentukan Satgas Desa.
|
Dampak Positif Reformasi Birokrasi
Setelah reformasi birokrasi diterapkan di jajaran Pemkab Sragen terdapat
beberapa kemajuan yang sangat penting. Kemajuan pertama terkait dengan
paradigma dan etos kerja dalam jajaran Pemkab Sragen. Diantaranya adalah : pertama,
kultur PNS berubah menjadi lebih kreatif, inovatif, proaktif dan mau bekerja
keras. (bekerja overtime sudah menjadi suatu hal yang biasa, bahkan di
hari libur). Kemajuan kedua, ada motivasi untuk menjadi PNS yang
profesional. Beberapa dinas, telah mampu menjadi konsultan untuk pelayanan one
stop service, IT, microfinance, dll. Ketiga, tingkat penyelewengan
(korupsi) jauh berkurang, sebab sudah diatur insentifnya secara resmi.
Sedangkan kemajuan kualitas pelayanan dapat dilihat dari dampak positif bagi
perkembangan dan pembangunan Kabupaten Sragen sejak beroperasinya KPT antara
lain,
1.
Semakin efisiennya pelayanan perijinan. Berdasarkan survei yang dilakukan,
pelayanan yang diberikan lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Bahkan, pada
semester I tahun 2006, tingkat kecepatan pelayanan 60 persen, Banyak izin yang
bisa diselesaikan lebih cepat, seperti izin HO (gangguan dan tempat usaha),
yang sebelumnya perlu berbulan-bulan, kini dalam tujuh hari bisa selesai.
Bahkan, dalam praktik, sering 2-3 hari sudah selesai. Bukan hanya waktu dan
biaya perizinan yang jelas, pasti, serta bebas dari pungli, proses perizinan di
KPT Sragen ini pun dilakukan secara bersamaan, selesai di satu tempat maksimal
dalam waktu 12 hari. Alhasil, dalam tiga tahun terakhir, bukan hanya jumlah
permohonan perizinan yang meningkat, Pada tahun 2002, perizinan yang
dikeluarkan kabupaten berpenduduk 850.000 jiwa ini sebanyak 2.027, tahun 2003
naik menjadi 3.170, tahun 2004 menyentuh angka 3.332, dan tahun 2005 mencapai
4.072.
2.
Meningkatnya investasi.ini adalah dampaklangsung dari pelayanan yang efisien
diatas. Hingga tahun 2005, tercatat 8.105 perusahaan telah memiliki perizinan
(legalitas usaha), padahal tahun 2002 baru 6.373 perusahaan. Investasi pun
mengalami kenaikan menjadi 61,3 persen. Tahun 2002 sebanyak Rp 592 miliar,
tahun 2003 sejumlah Rp 703 miliar, tahun 2004 mencapai Rp 926 miliar, dan tahun
2005 menjadi Rp 955 miliar.
3.
Melonjaknya nilai investasi. Nilai investasi industri mikro, kecil, dan
menengah mengalami pertumbuhan sebesar 62,6 persen, yaitu tahun 2002 sebanyak
Rp 33,8 miliar, tahun 2003 sejumlah Rp 35 miliar, tahun 2004 menjadi Rp 36,8
miliar, dan tahun 2005 mencapai Rp 38,7 miliar. Kenaikan signifikan juga
terjadi pada investasi industri besar, dari Rp 145 miliar (2002), menjadi Rp
394,8 miliar (2003), Rp 555 miliar (2004), dan Rp 556 miliar (2005).
4.
Berkembangnya industri kecil. Pada tahun 2000 terdapat 14.811 industri
kecil. Jumlah ini melonjak menjadi 16.245 pada tahun 2005.
5.
Terserapnya tenaga kerja. Pada 2005, tenaga kerja di sektor industri menjadi
46.794 orang, meningkat dari 40.785 orang pada tahun 2002. Pendapatan asli
daerah (PAD) pun meningkat dari Rp 22,5 miliar (2002) menjadi Rp 40,5 miliar
(2003) dan Rp 43,5 miliar (2004).
6. Berkembangnya
Aset BUMD (Bank Joko Tingkir, BPR/BKK, PDAM, Percetakan, PD PAL, Bengkel
Terpadu). Pada tahun 2001 sebesar Rp. 54,490,142,000,- pada tahun 2005 menjadi
203,608,177,000,-
7. Menurunnya
jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2001 penduduk miskan berjumlah 264.025 jiwa.
Namun pada
tahun 2004 turun menjadi 215.641 jiwa.
8. Meningkatnya PAD. Pada tahun 2000 senilai Rp.7,330,050,000 meningkat
menjadi Rp.72,767,569,000 pada tahun 2005.
D. Mewujudkan Reformasi Birokrasi
di Indonesia: Belajar dari Sragen
Pemda Sragen telah membangun
organisasinya melalui misi baru yang dimilikinya, Sragen sebagai Smart Regency.
Osborn dan Gaebler mengatakan bahwa misi mungkin merupakan satu-satunya aset
terpenting bagi sebuah organisasi. Sebab bila dilakukan dengan benar, suatu
pernyataan misi dapat menggerakkan suatu organisasi secara keseluruhan, dari
atas sampai bawah. Pernyataan dapat membantu orang di semua tingkat untuk
memutuskan apa yang semestinya mereka hentikan.
Dengan berorientasi pada pemenuhan tuntutan masyarakat akan kepuasan layanan
(kemudahan dan penyederhanaan pelayanan), maka pemda Sragen telah melakukan
salah satu langkah yang dianjurkan Osborn dan Gaebler yaitu menempatkan
masyarakat atau pengguna jasa birokrasi sebagai pelanggan yang wajib dipuaskan
kebutuhannya. Baik melalu perubahan penampilan dengan
memakai baju sipil, setting kantor yang simple dan kecepatan proses pelayanan.
Memangkas jalur komunikasi dan
koordinasi adalah langkah penting yang diambil oleh pemda Sragen yaitu dengan
melakukan desentralisasi kewenangan kepada kecamatan dan desa dan menerapkan
sistem online. Maka komunikasi dan koordinasi dengan kecamatan menjadi lebih
mudah dan tidak terlalu terkesan hierarkis. Inilah strategi pengendalian yang
melibatkan pegawai di bawahnya untuk turut serta bertanggung jawab menyukseskan
program yang digulirkan. Perubahan perilaku atasan inilah yang menurut
Osborne-Plastrik sebagai syarat pembaharuan. Para pejabat harus berani melepas
kendali langsungnya terhadap manajemen. Mereka harus puas mengarahkan saja dan
membiarkan orang lain melaksanakan.
Birokrasi yang terdesentralisasi
menurut Osborne-Gaebler memiliki sejumlah keunggulan. Diataranya adalah :
Pertama, lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel. Lembaga tersebut dapat
memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang
berubah.
Kedua, lembaga terdesentralisasi
jauh lebih efektif. Para pekerja di lini depan adalah yang paling dekat dekat
dengan masalah dan peluang. Seringkali mereka dapat menciptakan solusi terbaik.
Ketiga, lembaga yang
terdesentralisasi jauh lebih variatif. Sering terjadi, inovasi muncul karena
gagasan yang baik berkembang dari karyawan yang benar-benar melakukan pekerjaan
dan berhubungan dengan pelangggan.
Keempat, lembaga yang
terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak
komitmen dan lebih besar produktivitasnya.
Koordinasi yang dilakukan antara
KPT dengan kantor kecamatan. Dengan maksud untuk mengetahui respons masyarakat
atas pelayanan dan survei kepuasan pelanggan yang dilakukan setiap enam bulan
sekali adalah langkah kontrol sekaligus sebagai manajemen mutu terpadu
yang dilakukan oleh pemda Sragen. Osborn dan Plastrik menjelaskan bahwa
strategi kontrol mengubah locus kontrol—letak keberadaan wewenang pembuatan
keputusan. Strategi kontrol juga mengubah bentuk kontrol dari peraturan
preskriptif menjadi nilai dan misi bersama dan akuntabilitas kinerja.
Manajemen mutu terpadu berpegang
pada bagan organisasi tradisional pada puncaknya: konsep tersebut mengatakan
bahwa pelanggan adalah orang terpenting dalam sebuah organisasi, mereka yang
secara langsung berhadapan dengan pelanggan adalah mereka yang berada pada
proses berikutnya,dan manajemen ada di sana untuk melayani mereka yang melayanipelanggan.
Pengendalian mutu terpadu menekankan pengukuran yang konstan dan perbaikan
mutu.
Peningkatan kompetensi professional pada jajaran staf pemda menjadi bukti
komitmen Pemkab Sragen terhadapa nilai-nilai demokrasi. Menurut Albrow, hal ini
menjadi sebuah benteng pengaman yang lebih penting bagi demokrasi ketimbang
system kontrol. Hal inilah yang kemudian membuat otos
dan kualitas kerja para pegawai terus meningkat walau tanpa pengawasan yang
ketat.
E. Kesimpulan
Perkembangan politik, social budaya dan teknologi menjadi hal yang penting
diperhatikan dalam rangka melakukan reformasi birokrasi agar lebih adaptif dan
responsive. Oleh karena itu reformasi birokrasi sangat penting di wujudkan di
setiap struktur pemerintahan dalam rangka mewujudkan birokrasi yang lebih
efisien, berkualitas dan kemudahan aksesnya. Namun begitu,
prasyarat-prasyaratnya seperti tersedianya SDM berkualitas yang memadai,
system yang baik, kordinasi yang baik antar bagian birokrasi, dan budaya kerja
yang terbuka dan inovatif haruslah terlebih dahulu dipenuhi.
Daftar Pustaka
Buku
Albrow, Martin, Birokrasi (terj.),
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.
Diyanto,Agus, Reformasi
Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta: PSKK UGM, 2002..
Osborn, David dan Ted Gaebler, Mewirausahakan
Birokrasi (terj.), Jakarta: Penerbit PPM, 2003
Osborne, David dan Peter
Plastrik, Memangkas Birokrasi (terj.), Jakarta: Penerbit PPM, 2000.
Said, Mas’ud. M, Trend Global
Peningkatan pelayanan Publik, dalam Wijoyo, Suparto (ed.), Pelayanan Publik
dari Dominasike Partisipasi. Surabaya: Airlangga University Press, 2006.
Tamin, Faisal, Reformasi
Birokrasi, Jakarta: Penerbit Belantika.
Web Site
Sonya Hellen Sinombor dan Reny
Sri ayu Taslim, Revolusi Birokrasi Sragen-Parepare dalam www.kompas.com, 9 Desember 2006.
Windra
Komentar
Posting Komentar