Langsung ke konten utama

Reformasi Birokrasi


A. Pengantar
            Saat guru besar ilmu politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mengamati  fenomena birokrasi di Indonesia, ia memberi catatan bahwa kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.
Reformasi birokrasi menjadi wacana yang sangat penting semenjak reformasi 1998 digulirkan. Hal ini sangat wajar besarnya tuntutan mewujudkan good governance. Sepanjang pemerintahan sebelumnya, birokrasi lebih bersifat politis dan tidak didasari oleh semangat melayani. Itulah sebabnya birokrasi lebih memerankan diri sebagai pangreh praja daripada pamong praja.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi mengatakan bahwa penyelenggaraan Description: http://newblueprint.files.wordpress.com/2008/10/birokrasi.jpg?w=186&h=200pelayanan publik masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Keluhan muncul, mulai dari prosedur pengurusan layanan yang berbelit-belit sampai soal sikap aparat yang tidak menyenangkan.
Dengan karakter seperti di atas, Strauss mengistilahkan birokrasi sebagai “ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi dalam organisasi-organisasi besar”. Gejala-gejala birokrasi seperti itu meliputi terlalu percaya kepada preseden,kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha dan departementalisme.
Maka menjadi kewajiban negara melayani setiap warga negara dan penduduk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
B. Reformasi Birokrasi dan Perbaikan Kualitas Pelayanan.
Secara ringkas, visi reformasi birokrasi adalah terwujudnya tata kepemerintahan yang baik (good governance). Sedangkan misi reformasi birokrasi adalah membangun, menata ulang,menyempurnakan, membina, dan menertibkan birokrasi pemerintahan, agar mampu dan komunikatif dalam menjalankan peranan dan fungsinya.Target dan sasaran reformasi birokrasi ada lima hal.
Pertama, terbentuknya, birokrasi yang bersih, yaitu birokrasi yang anti KKN dan berkurangnya perilaku koruptif pegawai negeri. Kedua, birokrasi yang efisien dan hemat dalam menggunakan sumber daya yang terbatas (manmoney, material, methode, and time). Ketiga, birokrasi yang transparan, yakni birokrasi yang seluruh kebijakan dan aktivitasnya diketahuimasyarakat dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah. Keempat, birokrasi yang melayani, yaitu birokrasi yang tidak minta dilayani, tetapi birokrasi yang melayani masyarakat. Kelima, birokrasi yang terdesentralisasi, yaitu kewenangan pengambilan keputusan terdesentralisasi kepada pimpinan unit kerja terdepan.
Mewujudkan reformasi birokrasi di Indonesia adalah tuntutan politik dan social budaya. Ada empat bidang Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) yang mengalami proses reformasi (birokrasi) untuk mencapai lompatan peningkatan kualitas kinerja aparat pemerintahan yaitu pertama, penataan kelembagaan dan penyederhanaan ketatalaksanaan. Diadakan langkah penyesuaian “ukuran” secara tepat, antara kebutuhan organisasi dengan jumlah dan kualifikasi SDM yang semakin berdaya saing tinggi.
Kedua, peningkatan kapasitas SDM aparatur melalui perbaikan jumlah, komposisi, distribusi PNS yang ada pada setiap intansi pemerintah.Di samping itu, juga diupayakan penyusunan dan penyempurnaan pola karier, system diklat, dan perbaikan system penggajian yang lebih adil, layakdan mendorong peningkatan kinerja. Ketiga, pencegahan dan pemberantasan KKN. Melalui akuntabilitas dan kepatuhan kepada aturan dan perundang-undangan yang berlaku, keteladanan dalam arti luas serta budaya malu.Sedangkan pemberantasan KKNdiupayakan secara konsisten, konsekuen, dengan sanksihukum seberat-beratnya. Keempat, Pengembangan pelayanan prima yang lebih cepat, tepat, murah, memuaskan, tidak diskriminatif, bebas pungli dengan berdasarkan hokum dan aturan yang berlaku melalui paradigma mengedepankan hak dasar warga negara.
Beberapa factor seperti factor sejarah, kualitas SDM dan budaya kerja yang tidak kompetitif dan inovatif menjadi hambatan serius bagi terlaksananya reformasi birokrasi. Program OSS pemda Sragen yang dilatarbelakangi oleh keinginan memenuhi tuntutan masyarakat akan kemudahan dan penyederhanaan pelayanan pemerintah untuk mendorong laju perekonomian dan kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu contoh langkah reformasi birokrasi budaya yang paternalistik. Pemda Sragen bukan hanya merubah paradigma dan orientasi birokrat yang semula dipahami sebagai tuan yang dilayani masyarakat menjadi birokrasi berorientasi melayani masyarakat. Namun juga merubah manajemen menjadi semakin modern.
            Agus Dwiyanto mencatat beberapa masalah budaya birokrasi yang menjadi permasalahan dalam pelayanan publik di Indonesia. Pertama, paternalisme. Sejarah terbentuknya budaya birokrasi dipengaruhi  oleh diadobsinya sistem budaya kraton yang memunculkan watak birokrasi yang cenderung menempatkan dirinya merasa lebih tinggi daripada masyarakat kebanyakan.
            Kedua, nilai,tradisi, dan simbol.Pada budaya kekuasaan tradisional terdapat keyakinanbahwapimpinan tidak pernah bersalah atau tidak pernah mau dipermasalahkan. Perilaku dan symbol-simbolyang dipergunakan oleh elit birokrasi  diarahkan untuk mencari dan mempertahankan karakteristik yang menjadistatus dan symbol dari kelompok elit dalam birokrasi.
            Ketiga, kultur birokrasi dalam kinerja pelayanan. Secara struktural, kondisi tidak efektifnya pelayanan masyarakat merupakan implikasi dari system politik orde baru yang telah menempatkan birokrasi lebih sebagai instrumen politik kkuasaan dari pada sebagai pelayan publik. Sentralisme birokrasi juga membentuk polapemerintahan yang bersifat hierarkis-birokratis sehingga terkesan sangat kaku dan menjadi tidak responsive terhadaptuntutan perkembangan dalam masyarakat.
Kebijakan mereformasi birokrasi–dalam rangka mewujudkan good governance– telah dilakukan pemerintah melalui berbagai upaya diantaranya adalah melalui standarisasi pelayanan, menerapkan e-government, e-procurement, e-bidding dan e-office. Selain itu, pemerintah membenahi aturan yang tumpang tindih yang mengakibatkan tindakan koruptif atau tidak wajar.
            Memperbaiki kualitas pelayanan birokrasi terhadap masyarakat adalah tema sentral reformasi birokrasi. Kualitas pelayanan meliputi banyak hal seperti ketersediaan fasilitas fisik dan program (tanggibles), realisasi program ( reliability ), kompetensi pelaksana pelayanan ( competence ), kesantunan dalam pelayanan ( courtessy ) keinginan untuk selalu memberikan pertolongan pada konsumen apabila memperoleh kesulitan untuk memperoleh layanan ( responsiveness ), kemampuan untuk bisa dipercaya dan diandalkan (credibility), keamanan dari resiko pelayanan yang buruk ( security ), kedekatan dan kemudahan untuk berhubungan dengan pelaksana layanan ( access ), kemampuan untuk membuat konsumen selalu terinformasi dengan baik tentang barang dan jasa yang diberikan ( communication ), dan kemampuan untuk selalu memahami keinginan pelanggan (understanding the costumer) . Kualitas pelayanan ini sepenuhnya dinilai berdasarkan persepsi masyarakat atas suatu jenis layanan.
Kualitas pelayanan publik ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa faktor dominan yang bisa disebutkan adalah pertama, kebijakan publik. Kebijakan publik ini adalah faktor yang akan mempengaruhi lembaga pelayanan publik dari segi sumber keuangan, teknologi dan sumber daya organisasi lainnya untuk sebuah lembaga pelayanan publik. Kedua, karakteristik dan lingkungan dari masyarakat itu sendiri. Karakteristik yang dimaksud berkaitan dengan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, besaran masyarakat, heterogenitas, konfigurasi serta nilai-nilai dan norma-norma. Selain itu, faktor lingkungan seperti sistem politik, pers yang bebas atau tingkat kesulitan dalam mengakses lembaga layanan publik, juga merupakan faktor-faktor yang akan mempengaruhi kualitas pelayanan publik. Ketiga, kontrol pemerintah terhadap penyedia layanan publik. Pada umumnya, pemerintah menganggap bahwa akuntabilitas publik ( public acountability ) merupakan prasyarat penting untuk bisa menciptakan efesiensi produksi dan pelayanan jasa publik (Paul 1991). Oleh karena itu, kunci dari peningkatan kualitas pelayanan publik adalah bagaimana meningkatkan keseimbangan posisi tawar antara berbagai stakeholder, karena untuk meningkatkan efesiensi membutuhkan tindakan dari berbagai sisi.           
            Untuk mewujudkan pelayanan publik yang cepat, efisien, bebas pungli dan berkualitas, penerapan teknologi praktis sangat dibutuhkan. Oleh sebab itu, inisiatif pemerintah untuk menerapkan teknologi dalam pelayanan publik menjadi sebuah langkah maju.
Untuk mewujudkan hal ini pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan diantaranya adalah Instruksi Presiden No. 6/2001 tgl. 24 April 2001 tentang Telematika (Telekomunikasi, Media dan Informatika) yang menyatakan bahwa aparat pemerintah harus menggunakan teknologi telematika untuk mendukung good governance dan mempercepat proses demokrasi.
Selanjutnya juga dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional pengembangan e-goverment. Berdasarkan definisi dari World Bank, eGovernment adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah (seperti : Wide Area Network, Internet dan mobile computing) yang memungkinkan pemerintah untuk mentransformasikan hubungan dengan masyarakat, dunia bisnis dan pihak yang berkepentingan. (www.worldbank.org).
Dalam prakteknya, eGovernment adalah penggunaan Internet untuk melaksanakan urusan pemerintah dan penyediaan pelayanan publik yang lebih baik dan cara yang berorientasi pada pelayanan masyarakat.Dengan begitu diharapkan terwujud kepemerintahan yang bersih, transparan, dan mampu menjawab tuntutan perubahan dan membentuk dimensi baru ke dalam organisasi, sistem manajemen, dan proses kerjanya
            Tujuan yang ingin dicapai dengan implementasi eGovernment adalah untuk menciptakan customer online dan bukan in-line. eGovernment bertujuan memberikan pelayanan tanpa adanya intervensi pegawai institusi publik dan sistem antrian yang panjang hanya untuk mendapatkan suatu pelayanan yang sederhana. Selain itu eGovernment juga bertujuan untuk mendukung good governance. Penggunaan teknologi yang mempermudah masyarakat untuk mengakses informasi dapat mengurangi korupsi dengan cara meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lembaga publik. eGovernment dapat memperluas partisipasi publik dimana masyarakat dimungkinkan untuk terlibat aktif dalam pengambilan keputusan/kebijakan oleh pemerintah. eGovernment juga diharapkan dapat memperbaiki produktifitas dan efisiensi birokrasi serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Adapun konsep dari eGovernment adalah menciptakan interaksi yang ramah, nyaman, transparan dan murah antara pemerintah dan masyarakat (G2C-government to citizens), pemerintah dan perusahaan bisnis (G2B-government to business enterprises) dan hubungan antar pemerintah (G2G-inter-agency relationship).
            Penggunaan dan optimalisasi teknologi dasar dan menengah dalam birokrasi juga memungkinkan berlangsungnya komunikasi internal dan eksternal pemerintah secara cepat, tepat, sederhana, berjangkauan luas dan memiliki kesanggupan menjalin jaringan . Inovasi dan introduksi IT (Information Technology) dalam birokrasi bias dimanfaatkan untuk menurunkan biaya dan meningkatkan efektivitas.
C. Kisah Sukses Reformasi Birokrasi Sragen
            Reformasi birokrasi  adalah satu dari tiga langkah yang diambil oleh Pemkab Sragen dalam mewujudkan Smart Regency. Dua langkah yang lain adalah pelayanan prima dan pemberdayaan masyarakat.
            Dalam mewujudkan reformasi birokrasi dalam jajarannya, Pemkab Sragen melakukan beberapa langkah di antaranya : Pertama, perubahan paradigma “dilayani menjadi melayani”. Sikap ambtenaar PNS diubah menjadi sikap melayani. Kedua, mewujudkan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dengan mengoptimalkan peran satuan kerja/dinas & inovasi kelembagaan. Misalnya : pembentukan Kantor Pelayanan Terpadu, Tim marketing, Tim Pemantau Fisik. Ketiga, pengelolaan Keuangan yang efisien dengan Memangkas kegiatan rutin yang tidak efisien Keempat, desentralisasi kewenangan ke Kecamatan/desa melalui small management. Kelima, memanfaatkan IT untuk e-government.  
Kantor Pelayanan Terpadu (KPT)
Sragen menjadi salah satu daerah (kabupaten) yang sukses menerapkan e-government melalui program One Stop Service (OSS) atau pelayanan satu pintu. Latar belakang kelahiran Sragen OSS adalah tuntutan masyarakat akan kemudahan dan penyederhanaan pelayanan pemerintah untuk mendorong laju perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
KPT (Kantor Pelayanan Terpadu) yang dibentuk dengan Keputusan Bupati Sragen Nomor 17 Tahun 2002 tanggal 24 Mei 2002 ini mulai beroperasi resmi pada 1 Oktober 2002. Untuk mendukung pelayanan KPT, tahun 2003 dikeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sragen Nomor 15 Tahun 2003 tentang struktur organisasi KPT Sragen.
KPT Sragen memiliki kewenangan menerima, memproses, dan menandatangani dokumen perizinan. Selain berwenang menugaskan tim teknis perizinan, kantor ini juga menyediakan uang saku dan uang makan bagi tim teknis. Retribusi yang diterima langsung disetorkan ke kas daerah sesuai rekening dinas masing-masing. Pendelegasian kewenangan pun langsung dari bupati kepada KPT.
Gaung Sragen OSS pun sampai ke mana-mana. KPT Sragen menjadi tempat studi banding berbagai daerah dan negara. Berbagai penghargaan pun diterima, seperti penghargaan Satya Abdi Praja dari Gubernur Jateng, Citra Pelayanan Prima dari Presiden, Ranking I daerah Pro Investasi di Jateng tahun 2005, Sertifikat ISO 9001-2000 dari Sucofindo International Certification Service. Selain itu KPT Sragen juga terpilih sebagai best practice modul oleh JICA Jepang dan dibuat film yang kemudian diedarkan ke berbagai kabupaten/kota di Tanah Air. Bahkan, KPT Sragen direkomendasikan Bank Pembangunan Asia dan International Finance Corporation sebagai contoh model KPT di Indonesia, dengan membuat buku panduan tentang OSS yang diedarkan di seluruh kabupaten/kota di Tanah Air.
Selain juga Best Practice Modul dari LPM UNS yang ditulis dalam buku Reformasi Pemerintah Daerah, sebagai Best practiice Modull darii JPIP Surabaya, memperoleh Sertifikat ISO 9001-2000 dari Sucofindo Internasional Certification Service, memperoleh Otonomii Award biidang Admiiniistrasii Pellayanan Publik darii JPIP Surabaya, dan menjadi model Percontohan Penerapan Sistem Pelayanan Satu Pintu (OSS) dari BKKSI..
Strategi Pelaksanaan
            Beberapa strategi yang dilakukan oleh pemda Sragen dalam menyukseskan OSS adalah :
1.      Mengkomunikasikan kepada masyarakat. Program e-government yang digagas kabupaten Sragen di komunikasikan melalui kata-kata yang menarik seperti “Sragen One Stop Service-Mudah, Cepat, Transparan & Pasti” . Tulisin ini dibuat mencolok dalam bentuk papan reklame dan diletakkan di tempat strategis, yakni di depan Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Sragen. Cara ini dilakukan agar masyarakat tertarik dan datang ke tempat pelayanan terpadu.
2.      Menghilangkan kesan “aparat” pada pegawai KPT dengan mengganti seragam pegawai dengan seragam sipil seperti halnya pegawai perusahaan swasta.
3.      Mendesain ruang pelayanan yang simple. Ruangan pelayanan OSS di KPT Sragen didesain dalam bentuk ruang-ruang yang diberi sekat. Setiap perizinan dilayani dalam satu ruangan. Pemohon cukup mendatangi ruangan perizinan yang dituju dan langsung dilayani petugas. Biaya langsung dibayar di kasir yang juga berada di ruangan tersebut.
Sedangkan dalam menerapkan eGovernment, Pemkab Sragen melakukan beberapa langkah seperti :
1.    Membuat Web line dengan double control
2.    Menggunakan Sistem Jaringan IT  antar dinas/satuan kerja sampai dengan kecamatan dan pada 2007 akan sampai ke tingkat desa
3.    Menggunakan fasilitas teleconference, tukar data, internet.
4.    Mewajibkan setiap PNS (khususnya yang muda) bisa mengoperasikan komputer.
5.    Menerapkan sistem online untuk daily report. Ini digunakan untuk memperlancar komunikasi dengan kecamatan.. Setiap saat, KPT bisa berkoordinasi dengan kantor kecamatan. Untuk mengetahui respons masyarakat atas pelayanan di kantor ini, setiap enam bulan sekali KPT Sragen membuat survei kepuasan pelanggan.
DESENTRALISASI KEWENANGAN
Dalam mewujudkan reformasi birokrasi, Pemkab Sragen juga menerapkan desentralisasi  kewenangan dengan langkah melimpahkan sebagian wewenangnya kepada kecamatan dan desa. Beberapa kewenangan yang didesentralisasikan adalah sebagai berikut:

Tingkat Kecamatan
Tingkat Desa
1. Pembuatan KTP dengan on line   system
2. Izin Perhelatan
3. Izin Penggunaan/penutupan jalan
4. Izin Pertunjukan/Hiburan
5. Izin Tempat Usaha (skala kecil)
6. Izin Salon (skala kecil)
7. Izin Mendirikan Bangunan
8. Izin Bahan Galian Golongan C
9. Izin Tebang dan Angkut kayu
10. Izin Rumah Makan
11. Izin Bengkel (skala kecil)
12. Penerbitan KK
13. Melaksanakan pengawasan proyek – proyekpembangunan yang ada diwilayah kecamatan.
14. Membuat rekomendasi DP3 para      Kepala Unit Kerja dan Satuan Unit Kerja yang ada di kecamatan.
15. Melantik dan mengambil sumpah Lurah Desa, Pamong Desa dan anggota BPD.
16. Melaksanakan ujian tertulis Carik Desa

1. Penetapan SK Pengangkatan
Lurah Desa Terpilih.
2. Penetapan SK Pengangkatan
Pamong Desa Terpilih.
3. Pengaturan dan Penyusunan
Anggaran Desa
4. Pengaturan Kedudukan Keuangan         Lurah & Pamong Desa.
5. Pengaturan & Pemanfaatan
Kekayaan Desa
6. Pembentukan Badan Usaha
Milik Desa
7. Pelaksanaan Pembangunan
Pedesaan.
8. Pembentukan Satgas Desa.

 Dampak Positif Reformasi Birokrasi
            Setelah  reformasi birokrasi diterapkan di jajaran Pemkab Sragen terdapat beberapa kemajuan yang sangat penting. Kemajuan pertama terkait dengan paradigma dan etos kerja dalam jajaran Pemkab Sragen. Diantaranya adalah : pertama, kultur PNS berubah menjadi lebih kreatif, inovatif, proaktif dan mau bekerja keras. (bekerja overtime sudah menjadi suatu hal yang biasa, bahkan di hari libur). Kemajuan kedua, ada motivasi untuk menjadi PNS yang profesional. Beberapa dinas, telah mampu menjadi konsultan untuk pelayanan one stop service, IT, microfinance, dll. Ketiga, tingkat penyelewengan (korupsi) jauh berkurang, sebab sudah diatur insentifnya secara resmi.
            Sedangkan kemajuan kualitas pelayanan dapat dilihat dari dampak positif bagi perkembangan dan pembangunan Kabupaten Sragen sejak beroperasinya KPT antara lain,
1.      Semakin efisiennya pelayanan perijinan. Berdasarkan survei yang dilakukan, pelayanan yang diberikan lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Bahkan, pada semester I tahun 2006, tingkat kecepatan pelayanan 60 persen, Banyak izin yang bisa diselesaikan lebih cepat, seperti izin HO (gangguan dan tempat usaha), yang sebelumnya perlu berbulan-bulan, kini dalam tujuh hari bisa selesai. Bahkan, dalam praktik, sering 2-3 hari sudah selesai. Bukan hanya waktu dan biaya perizinan yang jelas, pasti, serta bebas dari pungli, proses perizinan di KPT Sragen ini pun dilakukan secara bersamaan, selesai di satu tempat maksimal dalam waktu 12 hari. Alhasil, dalam tiga tahun terakhir, bukan hanya jumlah permohonan perizinan yang meningkat, Pada tahun 2002, perizinan yang dikeluarkan kabupaten berpenduduk 850.000 jiwa ini sebanyak 2.027, tahun 2003 naik menjadi 3.170, tahun 2004 menyentuh angka 3.332, dan tahun 2005 mencapai 4.072.
2.      Meningkatnya investasi.ini adalah dampaklangsung dari pelayanan yang efisien diatas. Hingga tahun 2005, tercatat 8.105 perusahaan telah memiliki perizinan (legalitas usaha), padahal tahun 2002 baru 6.373 perusahaan. Investasi pun mengalami kenaikan menjadi 61,3 persen. Tahun 2002 sebanyak Rp 592 miliar, tahun 2003 sejumlah Rp 703 miliar, tahun 2004 mencapai Rp 926 miliar, dan tahun 2005 menjadi Rp 955 miliar.
3.      Melonjaknya nilai investasi. Nilai investasi industri mikro, kecil, dan menengah mengalami pertumbuhan sebesar 62,6 persen, yaitu tahun 2002 sebanyak Rp 33,8 miliar, tahun 2003 sejumlah Rp 35 miliar, tahun 2004 menjadi Rp 36,8 miliar, dan tahun 2005 mencapai Rp 38,7 miliar. Kenaikan signifikan juga terjadi pada investasi industri besar, dari Rp 145 miliar (2002), menjadi Rp 394,8 miliar (2003), Rp 555 miliar (2004), dan Rp 556 miliar (2005).
4.      Berkembangnya industri kecil. Pada tahun 2000 terdapat 14.811 industri kecil. Jumlah ini melonjak menjadi 16.245 pada tahun 2005.
5.      Terserapnya tenaga kerja. Pada 2005, tenaga kerja di sektor industri menjadi 46.794 orang, meningkat dari 40.785 orang pada tahun 2002. Pendapatan asli daerah (PAD) pun meningkat dari Rp 22,5 miliar (2002) menjadi Rp 40,5 miliar (2003) dan Rp 43,5 miliar (2004).
6.      Berkembangnya Aset BUMD (Bank Joko Tingkir, BPR/BKK, PDAM, Percetakan, PD PAL, Bengkel Terpadu). Pada tahun 2001 sebesar Rp. 54,490,142,000,- pada tahun 2005 menjadi 203,608,177,000,-
7.      Menurunnya jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2001 penduduk miskan berjumlah 264.025 jiwa. Namun pada tahun 2004 turun menjadi 215.641 jiwa.
8.      Meningkatnya PAD. Pada tahun 2000 senilai Rp.7,330,050,000 meningkat menjadi Rp.72,767,569,000 pada tahun 2005.
D. Mewujudkan Reformasi Birokrasi di Indonesia: Belajar dari Sragen
Pemda Sragen telah membangun organisasinya melalui misi baru yang dimilikinya, Sragen sebagai Smart Regency. Osborn dan Gaebler mengatakan bahwa misi mungkin merupakan satu-satunya aset terpenting bagi sebuah organisasi. Sebab bila dilakukan dengan benar, suatu pernyataan misi dapat menggerakkan suatu organisasi secara keseluruhan, dari atas sampai bawah. Pernyataan dapat membantu orang di semua tingkat untuk memutuskan apa yang semestinya mereka hentikan.
            Dengan berorientasi pada pemenuhan tuntutan masyarakat akan kepuasan layanan (kemudahan dan penyederhanaan pelayanan), maka pemda Sragen telah melakukan salah satu langkah yang dianjurkan Osborn dan Gaebler yaitu menempatkan masyarakat atau pengguna jasa birokrasi sebagai pelanggan yang wajib dipuaskan kebutuhannya. Baik melalu perubahan penampilan dengan memakai baju sipil, setting kantor yang simple dan kecepatan proses pelayanan.
Memangkas jalur komunikasi dan koordinasi adalah langkah penting yang diambil oleh pemda Sragen yaitu dengan melakukan desentralisasi kewenangan kepada kecamatan dan desa dan menerapkan sistem online. Maka komunikasi dan koordinasi dengan kecamatan menjadi lebih mudah dan tidak terlalu terkesan hierarkis. Inilah strategi pengendalian yang melibatkan pegawai di bawahnya untuk turut serta bertanggung jawab menyukseskan program yang digulirkan. Perubahan perilaku atasan inilah yang menurut Osborne-Plastrik sebagai syarat pembaharuan. Para pejabat harus berani melepas kendali langsungnya terhadap manajemen. Mereka harus puas mengarahkan saja dan membiarkan orang lain melaksanakan.
Birokrasi yang terdesentralisasi menurut Osborne-Gaebler memiliki sejumlah keunggulan. Diataranya adalah : Pertama, lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel. Lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah.
Kedua, lembaga terdesentralisasi jauh lebih efektif. Para pekerja di lini depan adalah yang paling dekat dekat dengan masalah dan peluang. Seringkali mereka dapat menciptakan solusi terbaik.
Ketiga, lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih variatif. Sering terjadi, inovasi muncul karena gagasan yang baik berkembang dari karyawan yang benar-benar melakukan pekerjaan dan berhubungan dengan pelangggan.
Keempat, lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen dan lebih besar produktivitasnya.
Koordinasi yang dilakukan antara KPT dengan kantor kecamatan. Dengan maksud untuk mengetahui respons masyarakat atas pelayanan dan survei kepuasan pelanggan yang dilakukan setiap enam bulan sekali adalah langkah kontrol sekaligus sebagai manajemen  mutu terpadu yang dilakukan oleh pemda Sragen. Osborn dan Plastrik menjelaskan bahwa strategi kontrol mengubah locus kontrol—letak keberadaan wewenang pembuatan keputusan. Strategi kontrol juga mengubah bentuk kontrol dari peraturan preskriptif menjadi nilai dan misi bersama dan akuntabilitas kinerja.
Manajemen mutu terpadu berpegang pada bagan organisasi tradisional pada puncaknya: konsep tersebut mengatakan bahwa pelanggan adalah orang terpenting dalam sebuah organisasi, mereka yang secara langsung berhadapan dengan pelanggan adalah mereka yang berada pada proses berikutnya,dan manajemen ada di sana untuk melayani mereka yang melayanipelanggan.  Pengendalian mutu terpadu menekankan pengukuran yang konstan dan perbaikan mutu.
            Peningkatan kompetensi professional pada jajaran staf pemda menjadi bukti komitmen Pemkab Sragen terhadapa nilai-nilai demokrasi. Menurut Albrow, hal ini menjadi sebuah benteng pengaman yang lebih penting bagi demokrasi ketimbang system kontrol. Hal inilah yang kemudian membuat otos dan kualitas kerja para pegawai terus meningkat walau tanpa pengawasan yang ketat.
E. Kesimpulan
            Perkembangan politik, social budaya dan teknologi menjadi hal yang penting diperhatikan dalam rangka melakukan reformasi birokrasi agar lebih adaptif dan responsive. Oleh karena itu reformasi birokrasi sangat penting di wujudkan di setiap struktur pemerintahan dalam rangka mewujudkan birokrasi yang lebih efisien, berkualitas dan kemudahan aksesnya. Namun begitu, prasyarat-prasyaratnya  seperti tersedianya SDM berkualitas yang memadai, system yang baik, kordinasi yang baik antar bagian birokrasi, dan budaya kerja yang terbuka dan inovatif haruslah terlebih dahulu dipenuhi.
Daftar Pustaka
Buku
Albrow, Martin, Birokrasi (terj.), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.
Diyanto,Agus, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta: PSKK UGM, 2002..
Osborn, David dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi (terj.), Jakarta: Penerbit PPM, 2003
Osborne, David dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi (terj.), Jakarta: Penerbit PPM, 2000.
Said, Mas’ud. M, Trend Global Peningkatan pelayanan Publik, dalam Wijoyo, Suparto (ed.), Pelayanan Publik dari Dominasike Partisipasi. Surabaya: Airlangga University Press, 2006.
Tamin, Faisal, Reformasi Birokrasi, Jakarta: Penerbit Belantika.
Web Site
Sonya Hellen Sinombor dan Reny Sri ayu Taslim, Revolusi Birokrasi Sragen-Parepare dalam www.kompas.com,  9 Desember 2006.
Windra


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kompetisi Vs Pandemi

Mengikuti kompetisi sudah menjadi kebiasaanku sejak SD hingga sekarang. Meski jarang menang, tetapi sudah ikut berpartisipasi saja rasanya bahagia sekali. Ketika pandemi Covid 19 terjadi pada bulan Maret tahun 2020, hikmahnya kita lebih gampang mengikuti lomba seperti menulis Esai,  artikel, opini, KTI, cerpen, puisi, seminar, lomba desain, photografi, pelatihan, fellowship, nulis buku, beasiswa dan lain-lain. Jika dihitung, jumlah project menulis kala pandemi yang aku ikuti sekitar 30 lebih dari non Fiksi hingga Fiksi tapi yang menang bisa dihitung jari. Namun dari effort tersebut, banyak yang kita dapatkan yaitu kiriman buku gratis dari funding internasional dan nasional,  teman baru, relasi, wawasan, update teknologi aplikasi, hadiah menarik dan lain-lain serta jangan lupakan hadiah uang dan pulsa🤭😉. Selanjutnya, tahun 2021 bersiap untuk kompetisi lagi. Jika ada yang termotivasi dengan tulisan ini, maka tetap semangat, optimis, jangan pernah insecure, iri hati, dengki dan...

Lalu Dia Lala Jinis Kisah Romeo Juliet Alas-Sateluk

Resensi By: Susi Gustiana Betapa bahagia  mencium aroma buku , pikiranku menari 'seolah menemukan harta karun'.    Buku Lalu Dia dan Lala Jinis  adalah cerita rakyat Sumbawa yang di tulis oleh bapak Dinullah Rayes. Nama Rayes merupakan marga dari keturunan kedatuan Alas. Cerita ini bersemi dihati penduduk terutama dari bagian barat tepatnya di kecamatan Alas. Kisah kasih diantara dua pasang anak muda romeo dan Juliet Sumbawa ini diriwayatkan oleh orang tua dengan menggunakan bahasa yang puitik melalui lawas. Lawas samawa merupakan puisi lisan tradisional pada umumnya tiap bait terdiri dari 3 baris. Dipengantar awal buku penulis menyebutkan bahwa kisah ini ditembangkan oleh orangtua yang   mahir balawas (menembangkan syair) dengan suara merdu menawan dan mempesona bagi siapapun yang mendengar. Tradisi di Sumbawa bagi orang yang bisa mendongeng atau bercerita itu disebut Badia. Tau Badia (orang/seniman yang menyampaikan cerita) sering diund...

Tugu Simpang 5 Aceh!!!! Begitu ‘Sempurna’

Kalian tahu tidak lagu sempurna dari Andra and The Backbone mungkin itu tepat untuk menggambarkan monument ini. “Belum ke Aceh namanya jika belum mengunjungi salah satu tugu atau monumen yang sangat ikonik dan keren ini” kata Pak Marzuki guide kami selama di Aceh. Yupz…..Namanya tugu simpang 5, oleh ibu-ibu rombongan dari Sumbawa yang antusias untuk mengambil gambar berselfia ria bahwa   di monumen ini. Menurut mereka tugu simpang 5 juga disebut tugu selamat datang. Karena lokasinya berada di pusat kota dan punya nilai filosofi yang sangat mendalam. Dalam catatan sejarah, tugu ini berada di lima persimpangan jalan protokol yang selalu padat, yaitu jalan Tgk. H. M. Daud Beureuh, T. Panglima Polem, Sri Ratu Safiatuddin, Pangeran Diponegoro, dan jalan Teungku Angkasa Bendahara. Di lihat dari desainnya, ada 4 eksplorasi konsep dari  tugu Simpang Lima Aceh  ini, yaitu axis-oriented (sumbu), urban oase, multi-purposes building, dan landmark kota Banda Aceh. T...