KODE ETIK PERS MAHASISWA



1. Pers mahasiswa mengutamakan idealisme.
2. Pers mahasiswa menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia.
3. Pers mahasiswa proaktif dalam usaha
mencerdaskan bangsa, membangun demokrasi dan mengutamakan kepentingan rakyat.
4. Pers mahasiswa dengan penuh rasa
tanggung jawab menghormati, memenuhi dan menjunjung tinggi hak rakyat untuk
memperoleh informasi yang benar dan jelas.
5. Pers mahasiswa harus menghindari
pemberitaan diskriminasi yang berbau sara.
6. Pers mahasiswa wajib menghargai dan
melindungi hak nara sumber yang tidak mau disebut nama dan identitasnya.
7. Pers mahasiswa menghargai off the
record terhadap korban kesusilaan dan atau pelaku kejahatan/tindak pidana
dibawah umur.
8. Pers mahasiswa dengan jelas dan jujur
menyebut sumber ketika menggunakan berita atau tulisan dari suatu penerbitan,
repro gambar/ilustrasi, foto dan atau karya orang lain.
9. Pers mahasiswa senantiasa
mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan harus objektif serta proporsional
dalam pemberitaan dan menghindari penafsiran/kesimpulan yang menyesatkan.
10. Pers mahasiswa tidak boleh menerima
segala macam bentuk suap, menyiarkan atau mempublikasikan informasi serta tidak
memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi
dan golongan.
11. Pers mahasiswa wajib memperhatikan dan
menindak lanjuti protes, hak jawab, somasi, gugatan dan atau
keberatan-keberatan lain dari informasi yang dipublikasikan berupa pernyataan
tertulis atau ralat.
12. Sekian.
Sejarah Pers Mahasiswa Indonesia
There are only two things that can be lightening the world. The sun
light in the sky and the press in the earth. (Mark Twain)
Sebenarnya kalau kita resapi ungkapan
Mark Twain diatas, tidaklah berlebihan adanya. Bahwa hanya ada
dua hal yang bisa membuat terang bumi ini, yakni sinar matahari dilangit dan
pers yang tumbuh berkembang di bumi ini. Pers sendiri memang tidak bisa
dipisahkan kaitannya dengan macam ragam informasi yang dibutuhkan oleh manusia
dalam menjalani peradabannya. Mulai dari persoalan corak warna hidup sampai hal
yang detail sekalipun tentang sebuah eksistensi kehidupan.
Dalam peradaban
manusia, Pers sangat dikenal mempunyai fungsi yang essential. Mulai dari
education function (fungsi pendidikan) , Information (sumber informasi),
entertainment (hiburan) dan social control (fungsi kontrol sosial). Sehingga
wajar kalau kita melihat pers menjadi suatu kebutuhan dan menyebabkan “momok”
bagi negara yang menerapkan sistem outhoritarian. Pers menjadi kekuatan maha
dahsyat yang dapat menggerakkan siapa saja untuk berbuat seperti yang kita
kehendaki atau sekedar mempengaruhi/menciptakan public opinion (komunikasi
massa). Dan, pers sendiri terlanjur menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Apalagi, dinegara under developed atau
new born countries seperti layaknya Indonesia, negara yang nota bene masih
muda, yang memerlukan banyak perbaikan sistem di semua lini dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara menuju suatu kesempurnaan tatanan hidup. Pers sangat
dibutuhkan sekali peranannya dalam mengisi nuansa-nuansa yang tidak terjamah
oleh “institusi” lainnya, baik yang bersifat informasi tempat sharing penemuan
ide-ide cemerlang tentang sebuah kemapanan dari sebuah arti negara, atau
berposisi sebagai kontrol sosial terhadap segala kebijakan yang diambil dan
diterapkan oleh pemerintah.
Pers sendiripun sudah menjadi sebuah
legenda sebagai sebuah sejarah yang kemudian melahirkan mitos, mulai dari para
tokohnya dan peran serta aktivitasnya. Diakui atau pun tidak, kita pasti
melihat ruang dan waktu, yang telah memberi tempat untuk berpikir dalam
aktivitas kita sehari-hari.
PERS MAHASISWA
Sebelum kita melangkah terlalu jauh
dalam bahasan-bahasan menarik tentang Pers secara luas, saya tertarik untuk
mengambil inisiatif kata sepakat, mengerucutkan bahasan kita kali ini yaitu
tentang Pers mahasiswa.
Kalau kita cerrmati, pers mahasiswa
mengandung dua unsur kata yakni pers dan mahasiswa (lexical meaning). Pers
berarti segala macam media komunikasi yang ada. Meliputi media Buku, majalah,
koran, buletin, radio ataupun telivisi serta kantor berita. Dan, Pers itu
sendiri identik dengan news (berita). Maka, tidak terlanjur salah apabila kita
mengatakan bahwa NEWS berkaitan dengan North, East, West dan South, yang
artinya suatu kabar atau berita dan informasi yang datangnya dari empat arah penjuru
mata angin (berbagai tempat). Oleh karena itu, Pers/News harus mengandung suatu
unsur publishita (tersebar luas dan terbuka), aktualita (hangat dan baru) dan
periodesita (mengenal jenjang waktu contohnya : harian mingguan atau bulanan).
Mahasiswa sendiri mempunyai definisi
bahwa kalangan muda yang berumur antara 19 – 28 tahun yang memang dalam usia
itu manusia mengalami suatu peralihan dari remaja ke fase dewasa. Pada fase
peralihan itu secara Psikologis Aristoteles mengatakan kaula muda mengalami suatu
minat terhadap dirinya, minat terhadap sesuatu yang berbeda atas lingkungan dan
realitas kesadaran akan dirinya. Disamping itu Mahasiswa adalah suatu kelompok
elit marjinal dalam lingkungan suatu dilema. Seperti yang dikatakan oleh Frank.
A . Pinner dalam salah satu ungkapannya yaitu “marginal elites, of which
students are one species, are cought in a dilemma, between elitist and populist
attitude. They are impelled to protect their distinctiveness and privilege
while at the sime time documenting their concern for the common man and he
community or policy as a whole their own position or the integrity of society
appears to be threated” ).
Sosok Mahasiswa juga kental dengan
nuansa kedinamisan dan sikap keilmuannya yang dalam melihat sesuatu berdasarkan
kenyataan obyektif, sistematis dan rasional. Disamping itu, Mahasiswa merupakan
suatu kelompok masyarakat pemuda yang mengenyam pendidikan tinggi, tata nilai
kepemudaan dan disiplin ilmu yang jelas sehingga hal ini menyebabkan keberanian
dalam mereleksikan kenyataan hidup di masyarakat. Dan tata nilai itulah yang
juga menyebabkan radikal, kritis, dan emosional dan secara perlahan menuju
suatu peradaban/kultur baru yang signifikan dengan hal-hal yang bernuansa
aktif, dinamis dan senang pada perubahan. sehingga dari dasar inilah,
kawan-kawan bisa melihat ciri khas mahasiswa sebagai pengelola pers mahasiswa
berbeda dengan pers umum.
PERS MAHASISWA DITINJAU DARI KAJIAN
HISTORIS
Jika kita percaya terhadap ‘mahluk’
yang bernama sejarah, kemudiaan kita claim sebagai gerak dialektis antara
kondisi subyektif pelaku dan kondisi obyektif dimana mereka berada, kawan-kawan
akan melihat dinamika Gerakan Mahasiswa sepanjang waktu tidak lepas dari
pengaruh para aktivis Pers mahasiswa. Karena kita percayai disini, Pers
mahasiswa adalah suatu alat perjuangan bagi kaum aktivis gerakan mahasiswa,
corong kekuatan dalam menyalurkan aspirasi kritis seorang tunas bangsa, dan
kita akan melihat hubungan diantara keduannya sangat erat. Supaya lebih
jelasnya saya akan mecoba menemani kawan-kawan untuk mencoba melihat sejarah
Pers Mahasiswa yang berada “dibelakang” kita.
Pers Mahasiswa Indonesia Jaman
Kemerdekaan Jaman Kolonial Belanda (1914-1941)
Pers mahasiswa lahir se-mainstream
dengan munculnya gerakan kebangkitan Nasional yang di tulangpunggungi oleh
pemuda, pelajar dan mahasiswa. Pers Mahasiswa waktu itu menjadi alat untuk
menyebarkan ide-ide perubahan yang menitik beratkan pada kesadaran rakyat akan
pentingnya arti sebuah kemerdekaan. Dalam era ini bermunculan Hindia Putra
(1908), Jong Java (1914), Oesaha pemoeda (1923) dan Soeara Indonesia Moeda
(1938) yang secara gigih dan konsekuen atas keberpihakannya yang jelas pada
perjuangan kemerdekaan.
Dalam era ini Nugroho NotoSusanto
mengungkapkan bahwa Pers Mahasiswa Indonesia sesungguhnya mulai timbul dari
zaman kolonial Belanda. Akan tetapi, Pers Mahasiswa dalam kurun waktu ini
dipandang kurang terdapat suatu pergerakan Pers mahasiswa yang sedikit banyak
profesional. Dan baru sesudah era kemerdekaan Pers Mahasiswa memulai kiprahnya
ke arah profesional.
Jaman Pendudukan Jepang
Dalam era ini, tidak terlalu banyak
tercatat kemajuan berarti karena masa ini para mahasiswa dan pemuda sibuk dalam
perjuangan politik untuk kemerdekaan Indonesia.
Jaman Setelah Kemerdekaan
Pada jaman ini sedikit banyak Pers
Mahasiswa mengalami suatu kemajuan artinya peluang untuk membentuk
lermbaga-lembaga Pers Mahasiswa semakin terbuka lebar terutama buat para
Mahasiswa dan Pemuda.
Jaman Demokrasi Liberal
Dari tahun 1945-1948, belum banyak Pers
Mahasiswa yang lahir secara terbuka karena para Mahasiswa dan Pemuda terlibat
secara fisik dalam usaha membangun bentuk Republik Indonesia. Penulis mencatat
pada era Majalah IDEA yang diterbitkan oleh PMIB yang kemudian berganti PMB
pada tahun 1948. Setelah Tahun 1950 barulah Pers Mahasiswa Indonesia mengalami
pertumbuhan yang pesat. Kemudian komunitas Pers Mahasiswa Indonesia mengalami
salah satu puncaknya di era ini.
Jumlah Pers Mahasiswa meningkat secara
pesat diiringi dengana segala dinamika-dinamika yang ada. Kemudian muncul suatu
hasrat dari berbagai Lembaga Pers Mahasiswa untuk meningkatkan kualitasnya,
baik dari sisi redaksional maupun sisi perusahaan. Dan, atas inisiatif Majalah
Gama, diadakan konferensi I bagi Pers Mahasiwa Indonesia. Konferensi
menghasilkan dua organisasi yaitu Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI
yang ketuanya T Yacob) dan Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI yang ketuanya
adalah Nugroho Notosusanto).
Dalam era ini, opini Pers Mahasiswa
dalam hal kematangannya tidak kalah dengan Pers Umum. Bahkan, era in dianggap
keemasan Pers Mahasiswa Indonesia yang kemudian mengikuti Konperensi Pers
Mahasiswa Asia yang diikuti oleh negara Australia, ceylon, Hongkong, India,
Indonesia, Jepang, New zealand, pakistan dan Philipina. Kemudian Lembaga Pers
Mahasiswa Indonesia mengadakan kerjasama dengan Student Informatin of Japan dan
college editors Guild of the Philipphines (perjanjian segi tiga).
Kemudian Tanggal 16-19 Juli 1958
dilaksanakan konperensi Pers Mahasiswa ke II yang menghasilkan peleburan IWMI
dan SPMI menjadi IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) karena anggapan
perbedaan antara kegiatan perusahaan pers mahasiswa dan dan kegiatan
kewartawanan sulit dibedakan dan dipisahkan.
Jaman Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Dalam sistem politik terpimpin ini,
pemerintah melakukan kontrol ketat terhadap kehidupan Pers. Bagi media Pers
yang tidak mencantuman MANIPOL USDEK dalam AD/ART (anggaran dasar dan anggaran
rumah tannga) nya akan mengalami pemberangusan. Artinya Pers kala itu harus
jelas menyuarakan aspirasi partai politik tertentu.
Setelah pemberlakuan peraturan Presiden
Soekarno tentang MANIPOL USDEK, IPMI sebagai lembaga yang Independen mengalami
krisis eksistensi karena dalam tubuh IPMI sendiri terdapat kalangan yang
menginginkan tetap independen, menyuarakan aspirasi rakyat dan ada yang
mengarah ke pola partisan (memihak parpol/kelompok tertentu). Akhinya pada saat
itu, banyak Lembaga Pers mahasiswa yang mengalami kemunduran dan kematian,
akibat pukulan politik ekonomi ataupun dinamika kebangsaan yang berkembang
saaat itu.
Jaman Orde Baru
Setelah peristiwa G.30.S/PKI IPMI
sebagai Lembaga Pers Mahasiswa Indonesia terlibat penuh dalam usaha pelenyapan
Demokrasi Terpimpin dan akhirnya melahirkan Aliansi Segitiga (Aktivis Pers
Mahasiswa, Militer dan Teknokrat) untuk menghancurkan kondisi yang membelenggu
bangsa dalam Outhoritarian. Pada awal era ini, Pers Mahasiswa kembali ke
lembaganya yakni IPMI. Lembaga Pers Mahasiswa se Indonesia ini beorientasi
jelas memaparkan kejelekan Demokrasi Terpimpin melibatkan diri dalam kegiatan
politik dengan menjadi Biro Penerangan dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia). Di era ini tebit harian KAMI yang terkemuka yaitu Mahasiswa
Indonesia (Jabar), Mimbar Demokrasi (Bandung) dan keduanya adalah penebitan
resmi IPMI.
Ternyata kehidupan Liberal yang
dijanjikan oleh para “penguasa” sesudah era Demokrasi Terpimpin dirasakan
ternyata hanya sementara saja. Dan format baru politik Indonesia di mulai
dengan diadakan PEMILU, perlahan namun pasti Orde Baru beralih menjadi
otoriter. Dengan dipengaruhi keputusan format baru perpolitikan Indonesia bahwa
kegiatan politrik diatur oleh pemerintah dan ditambah kebijaksanaan bagi
aktivitas dunia kemahasiswaan harus melakukan back to campus. Hal di atas
itulah yang mermbuat IPMI mengalami krisis identitas. Hal ini terlihat ketika
Harian KAMI, penerbitan IPMI yang ada di luar kampus terpaksa dilepas dan
akhirnya menjadi Pers Umum. Hal ini dikarenakan oleh iklim perpolitikan yang
dikembangkan saat itu dan ditopang oleh kebijakan pemerintah yang memaksa
anggota IPMI adalah murni mahasiswa yang beraktifitas di dalam kampus. Kemudian
adanya kebijaksanaan Pemerintah tentang penyerdehanaan partai Tahun 1975,
dilanjutkan dengan disetujuinya keputusan pemerintah oleh sebagian anggota IPMI
bahwa Pers Mahasiswa harus kembali ke kampus maka dalam Kongres III pada tahun
akhirnya IPMI dipaksa untuk back to campus. Terpaksa kemunduran pun terjadi
lagi dalam tubuh IPMI, perlahan-lahan Media-media pers mahasiswa yang ada di
luar kampus banyak yang berguguran.
Sejalan dengan new format kondisi
perpolitikan indonesia yang mengharuskan Semua Lembaga Pers Mahasiswa Indonesia
harus back to campus dan kemudian direspon kembali oleh IPMI dengan mencoba
berbenah diri, kemudian melakukan kongresnya yang ke IV pada bulan Maret 1976
di Medan. Dalam kongres itu, IPMI belum mampu keluar dari permasalahan hidup
antara di luar atau di dalam kampus. Akhirnya, IPMI gagal dalam mencari
Eksistensinya, tidak menghasilkan AD/ART baru ditambah IPMI banyak ditinggalkan
oleh LPM anggota yang memang pada saat itu terlalu enjoy mengurusi urusan di
dalam kampus masing-masing sehingga lupa kewajiban organisasi skala nasional
yang dulu pernah dibentuk bersama..
Pada sekitar awal tahun 1978, Media
Umum banyak yang di breidel sebagai cermin ketakutan penguasa waktu itu dengan
institusi pers,
sebagai contoh KOMPAS, SINAR HARAPAN, MERDEKA, INDONESIA TIMES dan masih banyak
lagi yang lainnya. Akibatnya, “dunia” pers yang kosong diisi oleh Pers
Mahasiswa Indonesia tentunya dengan pemberitaan khas sebagai cerminan Pers
Mahasiswa yaitu kritis, berani dan keras. Era ini, oplah Surat Kabar
Mahasiswa mencapai puncaknya. Namun, Pers Mahasiswa yang dikatakan oleh Daniel
Dakidae sebagai cagar alam kebebasan pers akhirnya juga di breidel karena
kekritisan dan keberanian menyuarakan kenyataan di masyatrakat. Dilanjutkan
dengan kebijaksanaan NKK/BKK yang memaksa kekuatan Pers Mahasiswa untuk
masuk dalam kampus, kemudian hampir semua media Pers Mahasiswa Indonesia di
“matikan”. Inilah pertama kali dalam sejarah Pers Indonesia semua Pers mahasiswa
Indonesia di breidel.
Selain membumihanguskan semua Lembaga
pers Mahasiswa, pemerintah masih kurang terima karena masih ada IPMI yang masih
bercokol dalam skala nasional. Untuk itu, pemerintah lebih mengoptimalisasi
BKSPMI (Badan Kerjasama Pers Mahasiswa Indonesia) yang dibentuk 1969
sebagai tandingan IPMI. Ditambah lagi aksi penguasa yang menghabisi semua
Gerakan Mahasiswa Anti Suharto yang nota bene sebagai “Underbow” IPMI Kemudian
dilanjutkan peristiwa MALARI (Mala Petaka Limabelas Januari) yang sangat
tragis pada tahun 1974 dan diberlakukannya NKK/BKK yang mengurung ruang gerak
Aktivis Pers Mahasiswa dalam kampus pada Tahun 1978. Dengan kenyataan diatas
Pers Mahasiswa (IPMI) menjadi tidak bebas merefleksikan secara tuntas kenyataan
hidup dalam masyarakat kemudian menginjak padam pada menjelang pertengahan
Tahun 1982.
Era 90-an
Menelusuri akar pertumbuhan dan
perkembangan gerakan pers mahasiswa di Indonesia terutama kebangkitannya di era
90-an, telah banyak catatan-catatan penting yang ditinggalkan, yang selama ini
perlu dikumpulkan kembali dari tempatnya yang “tersembunyi” dan barangkali
belum pernah kita tengok kembali, yang memungkinkan dari catatan tersebut
tersirat sebuah semangat tentang perjuangan meraih tujuan bersama, yang pernah
didengungkan dalam masa-masa.
Kemunculan Perhimpunan Penerbit
Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada dekade 90-an ini di tahun 1992-1993 (1995 pada
kongres II-nya, istilah penerbitan digantikan pers), mempunyai makna historis
tersendiri dalam upaya pembentukan jaringan gerakan pers mahasiswa di
Indonesia. Walau tak dapat dipungkiri, peran dan transformasi format gerakan
pers mahasiswa selama berjalannya kinerja organisasi ini seringkali dirasakan
menemui kendala dan tantangan yang tidak ringan untuk dihadapi. Selain
persoalan secara geografis, dan persoalan dimensi politis berhadapan dengan
penguasa (baik birokrasi kampus atau negara), Terlebih pula persoalan
terputusnya transformasi visi dan misi PPMI dari generasi sebelumnya, juga
secara de facto keberadaan PPMI masih sering dipertanyakan oleh beberapa
lembaga Pers Mahasiswa di Indonesia. Dalam lembaran-lembaran catatan kali ini,
penulis ingin mencoba menyajikan suatu kerangka awal dalam upaya
merekontruksikan kembali keberadaan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia secara
kronologis kelahiran dan pertumbuhannya dalam kontalasi gerakan pers mahasiswa
di Indonesia.
Bukan Romantisme Belaka
Paska peristiwa MALARI (malapetaka lima
belas januari 1974) bisa dikatakan pemerintah mulai melakukan pendekatn
represif terhadap setiap aktivitas kritis kampus. Pada kelembagaan mahasiswa,
melalui NKK-BKK terjadi strukturisasi. kondisi demikian menyulut aksi-aksi
protes mahasiswa sepanjang tahun 1974 – 1978, yang diantaranya juga dilakukan
oleh Dewan Mahasiswa. Melalui berbagai pamlet-pamlet, ataupun media
mahasiswa yang diterbitkan oleh dema saat itu, kecaman-kecaman, kritik, kontrol
terhadap setiap kebijakkan pembangunan di awal orde baru mulai dilancarkan.
Namun lewat kebijakkan berikutnya, penguasa orde baru dengan aliansi militer
dan sipilnya telah sedemikian rupa contohnya melalui surat yang diturunkan oleh
Pangkopkamtib ketika itu (1978), Dema sebagai salah satu kekuatan lembaga
mahasiswa saat itu kemudian dibubarkan, menyusul kemudian de-ormasisasi
kelembagaan mahasiswa baik ditingkat intra kampus maupu ekstra kampus melalui
KNPI-nya, maka praktis aktivitas mahasiswa dibugkam satu-persatu.
Dan di sisi lain pers mahasiswa yang
telah lama juga menjadi salah satu alat perjuangan mahasiswa meneriakkan
aspirasi dan memainkan peran kontrol sosialnya juga dibungkam. IPMI ( Ikatan
Pers Mahasiswa Indonesia, berdiri tahun 1955) yang menjadi satu-satunya wadah
nasional pers mahasiswa Indonesia dan sempat menjadi salahsatu motor gerakan
mahasiswa juga secara perlahan mulai dimatikan. Hingga eksistensi organisasi
ini akhirnya mulai padam menjelang pertengahan tahun 1982. Praktis beberapa
elemen kekuatan mahasiswa yang diantaranya termasuk pers mahasiswa mengalami
kelesuan dan kemandegan.
Di awal era menjelang tahun 90-an,
munculnya kelompok studi dan forum -forum diskusi mahasiswa ataupun lembaga
swadaya kemasyarakatan (LSM) baik yang didirikan oleh para aktivis mahasiswa
ataupun pemuda yang prihatin terhadap kondisi lingkungan, mulai menjamur di
berbagai daerah – sebagai sebuah solusi terhadap kebekuan aktivitas kritis
kampus ataupun aktivitas peduli lainya. Mahasiswa mulai mendefinsikan kembali
peranannya untuk menghayati setiap persoalan-persoalan kemasyarakatan dan
fenomena politik yang terus berkembang seiring dengan menguatnya konsolidasi
orde baru.
Demikian pula yang terjadi dalam
aktivitas pers mahasiswa. Aktivitas-aktivitas penerbitan dan beberapa forum
pelatihan dan pendidikan jurnalistik di tahun 1986-1989 mulai marak diadakan
oleh beberapa perguruan tinggi dalam rangka menghidupkan kembali dinamika
intelektual kampus. Dari sekian forum-forum pelatihan jurnalistik mahasiswa
tersebut, tersirat tentang sebuah keinginan akan sebuah wadah bagi tempat
sharing (tukar-menukar pengalaman) para pegiat pers mahasiswa dalam rangka
untuk meningkatan mutu penerbitan mahasiswa sendiri ataupun untuk menjawab
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pers mahasiswa. Maka mulai tahun 1986,
forum-forum pertemuan para pegiat/aktivis pers mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi mulai marak terjadi. Tak pelak lagi gelombang aspirasi dan
akumulasi persoalan yang digagas oleh para aktivis pers mahasiswa mulai muncul
dan mewarnai berbaai forum pertemuan aktivis pers mahasiswa.
Namun ada beberapa hal yang terpenting
dari berbagai forum pers mahasiswa tersebut, yang sekiranya dari penelusuran
data-data di bawah ini dapat menjadi catatan sebagai sebuah refleksi dan
pemahaman lebih lanjut. Tetapi hal ini bukan sekedar ” romantisme belaka” yang
hendak kita capai dalam penelusuran sacara historis fase-fase perkembangannya.
Peranan pers mahasiswa dalam kancah pembaharuan bidang politik tentunya
mempunyai dimensi sosial tersendiri. Yang terkadang terlupakan dalam arah
sejarah negeri ini. Guratan visi dan misinya yang mengandung penegasan sikap
mahasiswa sebagai salah satu elemen masyarakat di negeri ini, yang secara
sosial terdidik dalam lingkungan intelektual kampus, yang diharapkan mampu peka
terhadap perkembangan sosial di tubuh masyarakat dan negara. Dan melalui pers
mahasiswa, sebagai salah satu media perjuangan mahasiswa menyampaikan suara
dan nuraninya, kepekaan sosial mampu ditumbuhkan dan simultan dengan
fenomena yang terjadi di negeri ini.
Di awal bagian pengantar disebutkan
bahwa mulai tahun 1980- 90an, aktivitas – aktivitas mahasiswa mulai marak
dengann ditandai munculnya berbagai kelompok Studi, lembaga swadaya masyarakat
ataupun aktivitas-aktivitas lainnya. Begitupun yang terjadi dalam perkembangan
pers mahasiswa di tanah air. Maraknya penerbitan mahasiswa mulai muncul di
berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Semenjak kebekuan IPMI (Ikatan Pers
Mahasiswa Indonesia) di tahun 1982, praktis aktivitas penerbitan mahasiswa
tidak banyak muncul. Namun kegiatan-kegiatn off print seperti halnya pelatihan
dan pendidikan jurnalistik mahasiswa ataupun diskusi masih bisa dilakukan oleh
beberapa perguruan tinggi. Momentumnya adalah menjelang tahun 1986 aktivitas-aktivitas
ini mulai marak dilakukan dengan skala yang lebih luas, mempertemukan
pegiat-pegiat pers mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Sebagai sebuah
akumulasi persoalan-persoalan yang dibahas dan dipecahkan oleh para pegiat pers
mahasiswa yang sering bertemu dalam forum-forum tersebut, tercetus keinginan
untuk kembali mengkonsolidasikan potensi kekuatan pers mahasiswa di berbagai
daerah dalam mendorong bangkitnya aktivitas pers mahasiswa, serta
mendefinisikan dan mengaskn kembali peranan yang harus dipegang pers mahasiswa
dalam menghayati persoalan-persoalan yang dihadapi kontekstual dengan fenomena
sosial yang berkembang.
Dari berbagai sumber yang sempat
dilansir dan disarikan dari beberapa media mahasiswa, tersirat keinginan dari
sekian pegiat pers mahasiswa saat itu tentang terbentuknya sebuah wadah di
tingkat nasional yang diharapkan dapat menjawab persoalan-persoalan yang
dihadapi pers mahasiswa. Secara kronologis fase-fase konsolidasi pers mahasiswa
Indonesia dalam rangka menggalang komitmen dan mendorong upaya jaringan
komunikasi dann sosialisasi pers mahasiswa bisa dicermati dari tulisan di bawah
ini :
Dari Pers Mahasiswa Menuju PPMI
Setelah “Vacum” akibat pembredelan
sebagai buntut peristiwa Malari, 15 Januari 1974 dan strukturisasi kelembagaan
mahasiswa di bergbagi perguruan tinggi melalui NKK/BKK. Pers mahasiswa (persma)
pasca 1980-an kembali. Ditandai dengan terbitnya berbagai media mahasiswa
misalnya, Balairung – UGM – 1985, Solidaritas Universitas Nasional Jakarta –
1986, Sketsa Universitas Jenderal Soedirman 1988, Pendapa Universitas Sarjana
Wiyata Taman Siswa 1988, Akademika Universitas Udayana 1983- dan lain-lainya,
usaha-usah unutk menata kembali jaringan komunikasi dann penggalangan komitmenn
pers mahasiswa mulai dirintis.
Usaha-usaha itu meliputi :
Pendidikan Pers Mahasiswa Se Indonesia
: tanggal 27 – 29 Agustus 1987 diselenggarakan oleh majalah Balairung, tercetus
ide untuk kembali mewujudkan wadah pers mahasiswa. Juga terbentuk poros Yogya –
Jakarta sebagai koordinator menuju kongres yang dimandatkan kepada Rizal
Pahlevi Nasution (Universitas Moestopa) Abdulhamid Dipopramono (UGM)
Pertemuan dengan mantan aktivis
IPMI/Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (Diantaranya Adi Sasono, Makmur Makka,
Wikrama Abidin, Ina Mariani, Masmiar Mangiang, Razak Manan) tanggal 19-22
September 1987 di Jakarta. Hasil dari pertemuann ini dibentuk panitia ad-hoc
konsolidasi pers mahasiswa yang terdiri dari : Rizal Pahlevi Nasution, Imran
Zein Rollas, M.Imam Aziz, dan Abdulhamid Dipopramono. Disepakati untuk
melakukan sosialisasi ide kelembagaan pers mahasiswa tingkat nasional.
Sarasehan Pengelola Pers Mahasiswa
Indonesia di Kaliurang – Yogyakarta tanggal 11 – 13 Oktober 1987 oleh lembaga
pers mahasiswa Universitas Nasional.
Pekan Orientasi Jurnalistik Mahasiswa
Nasional II di Jakarta, tanggal 17 – 27 Oktober 1988 oleh lembaga pers
mahasiswa Universitas Nasional
Sarasehan Pers Mahasiswa Nasional di
Bandar Lampung tanggal 26 – 27 Maret 1987 diselenggarakan oleh SKM Teknokra
Universitas Lampung.
Orientasi Pendidikan Jurnalistik
Mahasiswa di Jakarta tanggal 21 – 28 Mei 1988 oleh Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
Sarasehan Aktivis Pers Mahasiswa IAIN
se-Indonesia di Yogyakarta tanggal 11 – 12 April 1988 oleh IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Puwokerto Informal Meeting di
Purwokerto, tanggal 6 – 7 Agustus 1988 oleh SKM Sketsa Universitas Jenderal
Soedirman.
Pertemuan dengan pimpinan IPMI pusat di
Jakarta, 10 Agustus 1988 oleh tim kerja persiapan kongres.
Latihan Ketrampilan Pers Mahasiswa
tingkat Pembina se-Indonesia di Yogyakarta, tanggal 28 Agustus – 1 September
1988.
Panel diskusi Sarasehan Pers Mahasiswa
Indonesia di Purwokerto, 19 – 22 September 1988 di Universitas Jenderal
Soedirman (disebut : Pra kongres IPMI VI). Hasil penting dari sarasehan ini berupa
DEKLARASI BATU RADEN, yang diantaranya ditandatangani oleh 18 wakil aktivis
pers mahasiswa kota yang hadir. Deklarasi berbunyi : ” Sadar bahwa
demokrasi, keadilan dan kebenaran yang hakiki merupakan cita-cita bangsa
Indonesia yang harus selalu diupayakan secara berkesinambungan oleh seluruh
komponennya yang bertanggungjawab dan sebagai salah satu komponennya
bertanggungjawab dan memperjuangkan cita-cita tersebut secara kritis,
konstruktif dan independen. Dengan didorong semangat kebersamaan, dann disorong
oleh keinginan luhur untuk melestarikan dan mengembangkan pers mahasiswa di
Indonesia, maka seluruh aktivis pers mahasiswa menyatakan perlu dihidupkannya
kembali wadah nasioal yang bernama Ikatan Pers Mahasiswa Idonesia (IPMI)”.
Juga disepakati untuk menyelenggarakan
Kongres IPMI ke VI di Bandar Lampung tanggal 15 – 18 Februari 1989.
Kongres
IPMI ke VI di Bandar Lampung, 15 – 18 Rebruari 1989. Kegiatan ini gagal karena:
Pertama, legalitas pelaksanaan Kongres
tidak turun.
Kedua, kondisi daerah Bandar Lampung
muncul peristiwa GPK Warsidi. Ketiga, terdapat perbedaan persepsi tentang
persma di kalangan aktivis persm
Traianing Pers Mahasiswa se-Indonesia
di Kaliuranng, 6 – 10 Januari 1990 oleh Majalah Himmah Universitas Islam
Indonesia Yogykarta.
Balairung kembali mengadakan Pendidikan
dan Latihan Jurnnalistik Tinngkat Lanjut di UGM, 24 – 29 September 1990.
Selama tahun 1990, juga dilaksanakan
Temu Aktivis Persma di Pabelan – UMS dan Universitas Jember.
Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa
Tingkat Pembina dan Temu Aktivis Penerbitan Mahasiswa,
tanggal 3 – 9 Februari 1991 oleh
Balairung UGM. Kegiatan ini menghasilkann keputusan :
Menerima tanpa catatan semua hasil
rumusan komisi I dan II Temu Aktivis Persma Se- Indonesia.
Pembentukan Panitia Ad Hoc yang
bertugas mempersiapkan forum pertemuan berikutnya sebagai tindak lanjut butir I
Panitia Ad Hoc secara otomatis menjadi Steering Comitee (SC).
Panitia Ad Hoc (SC) Pra-Kongres Terdiri
atas : Koordinator: Tri Suparyanto, Pendapa – Tamansiswa Sarjanawiyata
(Delegasi DIY) Wakil: Okky Satrio, Komentar – Univ. Mustopo (Delegasi DKI
Jakarta) Anggota: Zainul Aryadi, Kreatif – IKIP Medan (Delegasi DI Aceh, Sumut,
Riau, Sumbar), Ariansyah, Teknokra Univ. Lampung ( Delegasi Lampung, Jambi,
Sumsel, dan Bengkulu), Tugas Supriyanto, Isola Pos IKIP Bandung (Delegasi Jawa
Barat), Adi Nugroho, Manunggal Univ. Diponegoro (Delegasi Jawa Tengah), Heyder
Affan Akkaf – Mimbar Univ. Brawijaya (Delegasi Jawa Timur), I Gusti Putu Artha,
Akademika – Univ. Udayana Bali (Delegasi Bali, NTB, NTT, dan Timor-Timur),
Mulawarman, Identitas – Univ. Hasanudin (Delegasi Sulsel, Sulteng, Sultra,
Sulut) Alimun Hakim,Kinday – Univ. Lambung Mangkurat (Delegasi Kalteng,
Kaltim), RH. Siahainena, Unpati Univ. Patimura (Delegasi Maluku dan Irian Jaya).
Hasil rapat terbatas SC/Panitia Ad Hoc
menetapkan IKIP Bandung Penyelenggara Pra Kongres, dan sebagai alternatif kedua
Universitas Udayanna – Denpasar Bali.
Rapat Konsolidasi terbatas Steering
Comitee di IKIP Bandung tanggal 22 Maret 1991. Hasil, Pra Kongres Persma se
Indonnesia diselenggarakan di IKIP Bandung
Sarasehan Penerbitan Mahasiswa
Indonesia di IKIP Bandung, 8 – 10 Juli 1991, dibatalkan setelah peserta tibadi
Bandung, pembatalan dilakukan oleh Dirjen Dikti. Tetapi pertemuan sempat
berjalan dan menghasilkan beberapa keputusan yang sampai ditingkat komisi:
Komisi I : menghasilkan rancangan
Anggaran Dasar dan Anggarann Rumah Tangga Perhimpunan Penerbit Pers mahasiswa
Indonesia.
Komisi II : Membahas tentang Program
Kerja.
Komisi III : Memutuskan tanggapan
terhadap Surat Dirmawa nomor: 574/D5.5/U/1991.
Latihan Ketrampilan Penerbitan kampus
Mahasiswa Tingkat Pembina Se- Indonesia tahun 1991 di Bandar Lampung, Univ.
lampung, 19 – 23 November 1991. Hasil yang penting: Mendesak SC yang terbentuk
di Wanagama untuk melaksanakan pertemuann bagi terbentuknya wadah penerbitann
kampus mahasiswa sesegera mungkin. Jika tuntutan tidak dipenuhi maka, Pertama,
SC harus mempertanggungjawabkan tugas yang telah dimandatkan kepada seluruh
aktivis penerbitan kampus se- Indonesia. Kedua, SC harus menyerahkan mandat
yang ada kepada aktivis penerbitan kampus se- Indonesia.
Sarasehan Penerbitan Mahasiswa
Indonesia di Universitas Gajayana Malang tanggal 20 Desember 1991. Hasilnya di
antaranya, rancangan program kerja PPMI. Selama 10 bulan SC terus mengadakan
konsolidasi dan sosialisasi serta usaha-usaha pertemuan tingkat nasional.
Muncul kemudian beberapa forum komunikasi, di antaranya PPMY (perhimpunan
Penerbit Mahasiswa Yogyakarta), FKPMM (Forum Komunikasi Penerbit Mahasiswa
Malang), dan Ujung Pandang juga terbentuk.
Setelah melewati proses panjang dan
lewat negosiasi dann perjalanan keliling Jawa oleh pegiat persma Malang,
akhirnya dapat diselenggarakan Lokakarya Penerbitan Mahasiswa Se-Indonesia di
Malang. Sehari sebelumnya, 14 Oktober 1992 diselenggarakan Pertemuan Steering
Comitee di Malang. Hasilnya :
Menyepakati dan menyetujui dibentuk
wadah tingkat nasional bernama PPMI.
Kongres I akan diselenggarakan di
kota-kota dengan alternatif Palu, Semarang, Yogyakarta Mataram, Denpasar,
Banjarmasin.
Hasil-hasil Lokakarya Penerbitan
Mahasiswa Se-Indonesia segera dilaporkan secepat mungkin untuk kelancaran
Kongres.
Panitia Lokakarya, SC Nasional, dan
Panitia Kongres segera mengadakan konsolidasi dan mengkoordinasi lembaga
penerbitan mahasiswa serta pihak-pihak terkait untuk melaksanakan Kongres I.
Hasil-hasil Lokakarya Penerbitan
Mahasiswa Se-Indonesia:
1. Menyepakati terbentuknya wadah
tingkat nasional yang bernama “Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Indonesia” yang
disingkat PPMI tanggal 15 Oktber 1992 Pukul 16.29 WIB yang disahkan pada sidang
pleno 17 Oktober 1992.
Menerima hasil rumusan Sidang Komisi I
LPMI (Lokakarya Penerbit Mahasiswa Indonesia yang membahas AD/ART PPMI.
Menerima hasil rumusan Sidang Komisi II
LPMI yang membahas Program Kerja PPMI.
Menerima hasil sidang komisi III yang
membahas Kurikulum Pendidikan dan latihan (Diklat)Jurnalistik Mahasiswa.
Menerima hasil-hasil sidang komisi IV
membahas tempat pertemuan lanjutan PPMI. Kota yang dijadikan tempat penyelenggaraan
pertemuan dean berdasarkan prioritas adalah :
Denpasar – Bali
Semarang – Jawa Tengah
Banjarmasin – Kalimantan Selatan
Yogyakarta – DIY
Palu – Sulawesi Tengah
Jakarta DKI Jakarta
Dili – Tomor-Timur
Kongres I yang sekiranya akan diselenggarakan
pada bulan April – Mei 1993, maka untuk mempersiapkan Kongres tersebut dibentuk
Panitia Ad Hoc yang bertindak sebagai SC Kongres I, yakni:
Koordinator : Tri Suparyanto/Pendapa –
Univ. Sarjanawiyata Tamanansiswa
(Delegasi Daerah Istimewa Yogyakarta),
Anggota :
Tugas Suparyanto/Isola Pos – IKIP
Bandung (Delegasi Jabar)
Arief Adi Kuswardono/Manunggal – Undip
(Delegasi Jateng) —- TEMPO
Wignyo Adiyoso/Ketawang Gede – UNIBRAW
(Delegasi Jatim) —- BAPPENAS
Okky satrio/Komentas – Univ. Mustopo
(Delegasi Jakarta),
Aldrin Jaya Hirpathano/Teknokra -UNILA
(Delegasi Sumbagsel),
I Wayan Ananta Widjaya/Akademika – UNUD
(Delegasi Bali, NTT,NTB, TIMTIM), BALI POST
M. Ridha Saleh/Format – Univ. Tadulako
(Delegasi Sulawesi),
Alimun Hakim/Kinday – Univ. Lambung
Mangkurat (delegasi kalimantan),
Yon Soukotta/Unpati Univ. Patimuraa
(Delegasi Maluku dan Irian Jaya).
Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan
Kongres I untuk menentukan derap langkah Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Indonesia.
II. Menuju Perhimpunan Penerbit
Mahasiswa Indonesia
Lokakarya Penerbitan Mahasiswa Se-
Indonesia di Malang telah menorehkan pena emas bagi perjalanan ke depan
aktivitas pers mahasiswa di Indonesia. Terutama telah disepakatinya sebuah
organ baru – wadah pers mahasiswa Indonesia yaitu Perhimpunan Penerbit
Mahasiswa Indonesia (PPMI). Sebuah wadah alternatif dan bukan satu-satunya
wadah pers mahasiswa di Indonesia, diharapkan mampu mengakomodir dan menyikapi
setiap persoalan dan perkembangan yang menyangkut kehidupan pers mahasiswa dann
masyarakat pada umumnya. Sebuah sandaran bagi pemupukan arah gerakan pers
mahasiswa yang juga diharapkan mampu merespon fenomena sosial politik yang
berkembang serta menegaskan sikap sebagai bagian dari elemen gerakan mahasiswa
pada umumnya. Beberapa pandangan dan harapan ditumpukan pada organisasi ini
untuk memperteguh visi dan misi gerakan pers mahasiswa di Indonesia.
Perkembangan yang terjadi di era 80-an
hingga 90-an, ditandai dengan maraknya kemunculan penerbitan mahasiswa di
berbagai perguruan tinggi. Hal ini seiring dengan laju perkembangan sosial
kontemporer pada dimensi masyarakat di Indonesia. Namun di antara kemajuan
tersebut ternyata di sisi-sisi lain nampak terdapat kehidupan yang
memprihatinkan. Banyak kesenjangan yang terjadi di tubuh masyarakat. Pengaruh
strukturalisasi yang represif orde baru dengan ideologi pembangunannya
diberbagai bidang telah menciptakan sebagian besar masyarakat yang tidak
perduli terhadap perkembangan sosialnya. Sementara itu penguasa orde baru
dengan kekuatan militeristiknya semakin kokoh melakukan konsolidasi
kekuasaanya. Mahasiswa sebagai salah satu tumpuan harapan bangsa yang terdidik
dalam nuansa inteletual kampus dan mempunyai potensi kritis dan diharapkan
mampu berpikir obyektif intelektual hendaklah peka dalam merespon segala
ketimpangan-ketimpangan yang terjadi pada masyarakat, serta menyikapi berbagai
kebijakkan negara yang telah membuat berbagai kesenjangann yang terjadi.
Tatanan demokratis harus ditegakkan dan diupayakan melalui transformasi sosial
yang sinergis dengan wacana demokratisasi berkehidupan.
Dalam tujuan pendirian PPMI, dua
tekanan yang hendak dicapai adalah :
Pertama, Mewujudkan cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia seperti yang dimaksud dalam pembukaan UUD
1945.
Kedua, Membina daya upaya perhimpunan
untuk turut mengarahkan pandangan umum di kalangan mahasiswa dengan
berorientasi kemasyarakatan, dan bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pers Mahasiswa bukanlah sama dengan
pers umum yang mencover berita-berita yang bersifat informatif saja, namun pers
mahasiswa diharapkan mampu mengkaji permasalahan sosial yang diberitakan dengan
analisis keilmuan dan kemasyarakatan secara kritis akademis serta obyektif.
Pers Mahasiswa harus berani memberitakan fakta yang benar dan jujur kepada
masyarakat dengan tidak meninggalkan kandungan nilai-nilai humanitas yang harus
tetap dipegangnya. Beberapa pandangan dari para perintis PPMI menginginkan
bahwa PPMI diharapkan mampu mendorong tercapainya pers mahasiswa yang simultan
dengann fungsi mahasiswa (sebagai intelektual yang kritis, obyektif, terbuka
dan etis. Kemudian untuk mensosialisasikan format gerakan dalam perhimpunan
ini, PPMI dalam kinerjanya hendaknya terus menerus melakukan konsolidasi ke
tiap-tiap penerbitan pers mahasiswa diberbagai daerah. Hal ini tentunya
memerlukan waktu dan tenaga yang panjang dan merupakan tantangan yang tidak
ringan untuk diselesaikan PPMI dalam waktu singkat dan membutuhkan partisipasi
dari pegiat PPMI dalam mengupayakannya.
KONGRES PERHIMPUNAN PENERBIT MAHASISWA
INDONESIA (PPMI) I
Tak pelak sudah, fase-fase yang berliku
telah dilalui, konsolidasi, sosialisasi, perdebatan dan perumusan berbagai
format kelembagaan pers mahasiswa akhirnya telah sampai pada titik kulminasi –
pertemuan aktisvis pers mahasiswa pers mahasiswa akhirnya telah berhasil
membuahkan suatu tekat untuk berjuang bersama dalam satu integralitas gerakan
yang membuahkan deklarasi Kaliurang dan terbentuknya kepengurusan Perhimpunan
Penerbit Mahasiswa Indonesia pada kongres I PPMI – September 1993. Rommy Fibri
dari Universitas Gajah Mada akhirnya terpilih menjadi Sekretaris Jenderal PPMII
(yang pertama) untuk mengemban amanat sosialisasi organisasi lebih lanjut.
Sebuah perjalanan ke depan yang tentunya akan menghadapi sekian persoalan yang
tidak ringan untuk diselesaikan. Fenomena politik yang tidak menentu, banyaknya
pembrdelan terhadap pers Indonesia, tak terkecuali pers mahasiswa, menjadi
agenda yang senantiasa harus direspon PPMI untuk melakukan advokasinya. Selain
itu PPMI sebagai wadah alternatif pers mahasiswa diharapkan mampu memberikan
dorongan terhadap pertumbuhan beberapa pers kampus mahasiswa di berbagai
wilayah yang belum tersentuh sosialisasi PPMI.
Tercatat beberapa nama presidium/
Mediator PPMI yang diberikan amanah untuk mengemban tugas menorehkan sejarah
dan melakukan sosialisasi PPMi ke berbagai wilayah di antaranya :
Presidium / Mediator Perhimpunan
Pers Mahasiswa (PPMI)
Periode I 1993 – 1995
Sekretaris Jenderal : Romy Fibri (
Dentisia – FKG UGM)
Mediator DKI Jakarta : E.S – Tyas
A.Zain
Mediator Jawa Barat : Andreas ” Item ”
Ambar
Presidium Jawa Tengah : Hasan Aoni Aziz
(SKM Amanat IAIN Wali Songo Semarang)
Mediator Kalimantan Barat : Nur
Iskandar (Mimbar Untan – Universitas Tanjung Pura)
Presidium Jawa Timur : Asep Wahyu SP
(UAPKM – MM. Ketawang Gede – UAPKM UNIBRAW Malang)
Presidium Wilayah Bali : I Gede Budana
(PKM AKADEMIKA UNUD Bali)
Mediator Sulawesi, Maluku
dan Indonesia Timur : M. Hasyim
Presidium Perhimpunan Pers Mahasiswa
(PPMI)
Periode II 1995 – 1997
Sekretaris Jenderal : Dwidjo Utomo
Maksum (UKPKM-Tegalboto Universitas Jember)
Presidium Lampung : Mohammad Ridwan
Presidium Jawa Timur : Ahmad Amrullah
(LPM – Ecpose FE -UNEJ)
Presidium Bali : I Made Sarjana (PKM
Akademika UNUD)
Presidium Sulawesi Selatan : Arqam
Azikin – Universitas Hassanudin
Presidium Sulawesi Tengah : Mohammad
Iqbal (Universitas Tadulako)
Presid. Sulawesi Tenggara : Muhrim Bay
Presidium Yogyakarta : Anton Yuliandri
( Himmah UII) —–
Mediator Jawa Tengah :Nana Rukmana
(UniversitasJenderal Soedirman – Purwokerto)
Mediator Jawa Barat : Dewan Kota
Bandung
Mediator Kalimantan Barat : Syafarudin
Usman
Presidium / Mediator Perhimpunan Pers
Mahasiswa (PPMI)
Periode III 1997 – 1998
Sekretaris Jenderal : Eka SatiaLaksmana
(Tabloid Jumpa – UPM Universitas Pasundan- Bandung)
Mediator Jawa Timur : Dwi Muntaha (UKMP
– Civitas UNMER – Malang)
Mediator Yogyakarta : Ade (GEMA Intan )
Presidium Sumatra Selatan : Komariah
(IAIN Raden Patah – Palembang)
Presidium Sulawesi Selatan : Suparno
(Catatan Kaki – Univ. Hasanuddin Ujungpandang)
Presidium / Mediator Perhimpunan Pers
Mahasiswa (PPMI)
Periode IV 1998 – 2000
Sekretaris Jenderal : Edie Soetopo (
Ekspresi – BPKM IKIP Yogyakarta)
Presidium Jawa Timur : M. Abdul Kholik
(Arrisalah – IAIN Sunan Ampel Surabaya)
Presidium Nasional Perhimpunan Pers
Mahasiswa Indonesia(PPMI)
Periode V
Koordinator : Saiful Muslim ( KKM Media
Universitas Mataram)
PresiNas Jatim : Agus Susantoro (UKPKM
– Tegalboto Universitas Jember)
PresNas JaTeng + DIY : Noer Mustari
(Pabelan Pos – Univ. Muhammadiyah Solo)
PresNas Jawa Barat + DKI : Agutine
Melanie ( UPM Isola Pos – UPI Bandung)
PresNas Palembang +sekitarnya : Adi
Helmy Nando
PresNas Aceh : Darmadi ( IAIN Araniri
Aceh )
Presnas Mataran +Bali : Saiful Muslim
(KKMmedia Universitas Mataram)
Staff Nasional PPMI : Iwan Kurniawan (
LPM Wahana Care taker PPMY), Indra Ramos (LPM HIMMAH,Supatno (Pabelan Pos),
M.Jaelani (LPM HIMMAH UII).
Belajar dari sejarah, belajar dari masa
lalu merupakan suatu hal yang sangat bermanfaat untuk merumuskan sesuatu yang
baru. Tiap jaman mempunyai realitas yang berbeda. Untuk itu, kita harus selalu
mencoba untuk melakukan evaluasi dari segala sesuatu yang pernah terjadi buat
pers Mahasiswa masa lalu dan mencoba melontarkan beberapa gagasan sehingga
akhirnya pers mahasiswa Indonesia kini dan akan datang dapat merumuskan sesuatu
yang baru berdasarkan realitas yang bekembang dan hidup dengan maksud menatap
suatu masa depan.
Harapan terhadap PPMI yakni Pers
Mahasiswa kini harus hidup di dunia BERPIKIR kita sebagai aktivis pers
mahasiswa indonesia sesuai dsengan potensi intelektual masing-masing. Dunia
berpikir dan dunia intelektual bukanlah bentuk menara gading, asalkan selalu
kondusif dengan situasi masyarakat dan setia pada penderitaan rakyat, negara
dan semesta manusia. Semoga Kita tidak bosan untuk selalu mencoba mengasah PPMI
dengan pemikiran melalui pendekatan-pendekatan kritis dan futuristik. Dan bila
kita memiliki ilmu dan teknologi, maka kitalah yang memiliki masa.
Dan, senantiasa Pers mahasiswa mampu
memfungsikan secara arif konsepsi “Critism of what exist” yang memang terlanjur
akrab dalam lingkungan intelektual kita. Semoga Pers Mahasiswa indonesia
menjadi wahana polaritas, dimana kesatuan ataupun keanekaragaman dianggap
sebagai kutub-kutub dari esensi yang sama, yang harus ada secara bersama.
VIVA PERS MAHASISWA ………
“Pecahan jambangan dan cinta yang
menyatukan keping-kepingnya adalah lebih kuat dari cinta yang menerima begitu
saja keadaanya. Ketika benda itu masih merupakan keseluruhan perekat yang
menyatakan keping-keping itu adalah segel dari bentuk aslinya”.
(Derek Walcott penerima nobel
kesusastraan 1993)
Kode Etik Persatuan Pers Mahasiswa
Indonesia
Kode
etik adalah suatu aturan kerja yang tidak begitu ketat namun mencerminkan
semangat kesatuan wartawan kapan dan dimanapun bekerja. Sekaligus pula pegangan
sebagai sebuah bekerja dalam di suatu sisi sehingga dapat melindungi diri,
dilindungi oleh kode etik ini dan juga melindungi sumber berita. Bagi seorang
wartawan sama dengan profesi lainnya adalah penting kode etik, wartawan dalam
tugasnya tidak hanya mencari berita akan tetapi lebih dari itu adalah dalam
semangat untuk memberikan informasi, serta pendidikan (edukasi) kepada
masyarakat.
Kode
etik yang dapat menunjukkan seorang yang profesional atau bukan, terlihat
dari bagaimana dia bekerja. apakah dalam memburu beritanya dia memegang kode
etik atau semua cara dihalalkan. Seringkali kode etik ini dicampakkan karena
memang sikap tidak profesional wartawan itu sendiri. Selain dapat merugikan
diri sendiri, wartawan yang tidak bekerja sesuai kode etik tidak dihargai dalam
pergaulan lebih luas.
Jadi
kenalilah kode etik itu guna sebagai pegangan atau pedoman dalam mencari
berita. Berikut ini adalah 11 hal yang tercantum dalam kode etik PPMI:
- Pers mahasiswa mengutamakan
idealisme.
- Pers mahasiswa menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia.
- Pers mahasiswa proaktif dalam
usaha mencerdaskan bangsa, membangun demokrasi dan mengutamakan
kepentingan rakyat.
- Pers mahasiswa dengan penuh
rasa tanggung jawab menghormati, memenuhi dan menjunjung tinggi hak rakyat
untuk memperoleh informasi yang benar dan jelas.
- Pers mahasiswa harus
menghindari pemberitaan diskriminasi yang berbau sara.
- Pers mahasiswa wajib menghargai
dan melindungi hak nara sumber yang tidak mau disebut nama dan
identitasnya.
- Pers mahasiswa menghargai off
the record terhadap korban kesusilaan dan atau pelaku kejahatan/tindak
pidana dibawah umur.
- Pers mahasiswa dengan jelas dan
jujur menyebut sumber ketika menggunakan berita atau tulisan dari suatu
penerbitan, repro gambar/ilustrasi, foto dan atau karya orang lain.
- Pers mahasiswa senantiasa
mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan harus objektif serta
proporsional dalam pemberitaan dan menghindari penafsiran/kesimpulan yang
menyesatkan.
- Pers mahasiswa tidak boleh
menerima segala macam bentuk suap, menyiarkan atau mempublikasikan
informasi serta tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya
untuk kepentingan pribadi dan golongan.
- Pers mahasiswa wajib
memperhatikan dan menindak lanjuti protes, hak jawab, somasi, gugatan dan
atau keberatan-keberatan lain dari informasi yang dipublikasikan berupa
pernyataan tertulis atau ralat.
Sejarah Singkat Pergerakan Pers Mahasiswa
Indonesia (1908-1998)

Kelahiran Pers di Indonesia tidak bisa dipisahkan
dari semangat perjuangan. Tidak seperti di belahan dunia lain, Pers di
Indonesia lahir dengan semangat menentang penindasan dan pembelaan rakyat.
Tirto Adi Soerjo, sang pelopor jurnalistik di Indonesia, menerbitkan Medan
Prijaji dengan membahas kasus-kasus yang menimpa rakyat miskin, membedah
peraturan hukum Hindia Belanda sehingga kalangan pribumi tidak gampang dijerat
dan dibodohi, hingga pemuatan karya sastra yang menyuarakan kepentingan rakyat
(dimana tidak jarang diadaptasi dari sebuah kisah nyata). Sementara itu Pers
mahasiswa yang lahir bertahun-tahun setelah itu, membawa sebuah semangat anti
penindasan kolonialis dan menyeru perjuangan demi kemerdekaan.
SEJARAH PERS MAHASISWA
Pers Mahasiswa pada Rezim Kolonial Hindia
Belanda (1908-1941)
Pers Mahasiswa, bila kita definisikan secara luas
sebagai sekompok mahasiswa yang melakukan praktek jurnalistik, sudah hadir
puluhan tahun sebelum universitas di Indonesia berdiri.Ini disebabkan hingga
tahun 1920an belum ada perguruan tinggi yang didirikan rezim kolonial Hindia
Belanda. Mereka yang kemudian dikirim berkuliah di Belanda adalah segelintir
kalangan pemuda terkena politik etis adalah golongan pribumi kaya saja. Dari
segelintir kalangan itulah kemudian berkumpullah mahasiswa-mahasiswa yang
memiliki kesadaran perjuangan dan mendirikan organisasi sosial Indische
Vereniging pada tahun 1908 dimana organisasi ini kemudian berkembang menjadi
Perhimpoenan Indonesia (PI).
PI ini sedari awal menyerukan persatuan dengan
dasar nasionalisme untuk mengusir cengkraman kolonialisme di Indonesia.
Tuntutannya yang dimuat di terbitannya yaitu majalaj Hindia Poetra,
bergerak dinamis mulai dari kritiknya terhadap Volksraad (parlemen
yang dibuat Hindia Belanda) agar sepenuhnya diubah menjadi parlemen rakyat
secara penuh (bukan hanya penasehat birokrat), kritik terhadap sewa tanah
industri gula di Hindia Belanda yang menindas kaum tani, sampai berubahnya Hindia
Poetra menjadi Indonesia Merdeka yang membedah secara detil
pertanyaan-pertanyaan kemerdekaan. Indonesia Merdeka juga termasuk
salah satu media yang pertama kali menyeru agar semua wilayah bekas jajahan
Hindia Belanda dengan mendirikan nasion yang merdeka di bawah nama Indonesia.
Hal demikian bisa dilihat buktinya secara khusus
dalam salah satu edisi Indonesia Merdeka yang memuat Manifesto 1925.
Manifesto 1925 ini menyatakan bahwa (1) Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah
oleh pemerintah yang dipilih mereka sendiri; (2) Dalam memperjuangkan
pemerintahan; (2) Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak
diperlukan bantuan dari pihak manapun dan; (3) Tanpa persatuan kukuh dari
pelbagai unsur rakyat tujuan perjuangan itu sukar dicapai.[1]
Karena ketegasan sikapnya di tengah rezim kolonialisme Hindia Belanda yang
masih tegak berdiri saat itu maka majalah Indonesia Merdeka itu pun
terpaksa ditulis tanpa mencantumkan nama-nama asli dan disebarkan secara
sembunyi-sembunyi, baik di Belanda maupun hingga sampai ke tanah air karena
rezim kolonial saat itu sudah membentuk divisi khusus dalam kepolisian dengan
nama Politiek Inlichtingen Dienst yang bertugas melakukan investigasi
terkait kejahatan politik.[2]
Indonesische Vereniging
Selain itu secara organisasional, sejak awal PI
tidak mengenal eksklusifitas dalam berorganisasi dan berjuang. Ini terbukti
dari kerjasama PI dengan organisasi-organisasi lain seperti organisasi
perjuangan internasional antara lain Liga Penentang Imperialisme dan Penindasan
Kolonial, Komintern, dan sebagainya. Bahkan tokoh PI yang terkemuka yaitu Moh.
Hatta menyampaikan orasinya menuntut kemerdekaan Indonesia pada agustus 1926 di
Prancis pada kongres keenam Liga Demokratik Internasional untuk Pedamaian.
Selain Mohammad Hatta banyak tokoh PI yang berperan besar tidak hanya dalam
pergerakan namun juga di hari-hari awal republik. Mereka diantaranya adalah
Sutan Sjahrir, Sutomo, dan Ali Sastroamidjojo.
Selain di Belanda, di tanah air juga mulai
bermunculan organisasi-organisasi pemuda-pelajar-mahasiswa yang berbentuk
kelompok studi. Dari kelompok studi ini ada dua kelompok yang terkemuka. Pertama,
Indonesische Studie Club atau Kelompok Studi Indonesia, kelompok studi
yang dibentuk 23 Oktober 1924 di Surabaya oleh Soepomo dan kawan-kawan
mahasiswa yang telah menyelesaikan studi di Belanda dan kembali ke tanah air. Kedua,
Algemene Studie Club atau Kelompok Studi Umum yang digagas 11 Juli
1925 oleh pemuda-mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.[3]
Meskipun secara redaksional kedua organisasi tersebut hanya memakai nama Club
atau kelompok namun mereka memiliki program perjuangan yang nyata dan
progresif. Pertama, kelompok studi Mempelajari kondisi dan
problem-problem konkret yang berhubungan dengan negeri dan rakyat, kemudian
mengadakan ceramah-ceramah dan kursus-kursus tentangnya. Misalnya, yang
berhubungan dengan buruh; upah, kesejahteraan dan jam kerja; tentang perumahan
rakyat; hal kondisi organisasi politik; keuntungan atau kerugian dengan adanya
pemilihan anggota Gementeraad (Dewan Kota); Arti pergerakan,
pendidikan nasional, parlemen, statistik perdagangan, gerakaan persatuan,
kooperasi dan non-kooperasi, kerjasama diantara organisasi-organisasi politik
dan lain-lain. Kedua, kelompok studi membentuk komite dan pengumpulan
bahan mengenai masyarakat koloni terutama Hindia Belanda, kemudian
menyebarkannya dalam bentuk brosur-brosur atau surat kabar atau majalah,
seperti Soeloeh Ra’jat Indonesia dan Soeleoeh Indonesia. Ketiga,
kelompok studi mencari alternatif bagi perbaikan terhadap problem-problem
konkrit tersebut dan kemudian dilakukan tindakan nyata. Keempat,
kelompok studi menyelenggarakan forum-forum yang ditujukan pada sasaran
masyarakat luas, pertemuannya bersifat terbuka dan diadakan di gedung-gedung
pertemuan umum yang di hadiri oleh kalangan pergerakan dan masyarakat luas.
Bahkan pada tahun 1925 dimana terjadi pemogokan buruh bengkel dan elektrik di
Surabaya, kelompok studi ini memberikan dukungannya.[4]
Kemunculan dua kelompok studi ini berhasil
mendorong perkembangan pergerakan pemuda. Hal ini ditandai dengan semakin
banyaknya organisasi pemuda-mahasiswa yang didirikan. Baik sebagai sayap pemuda
dari organisasi massa/partai yang ada maupun sebagai organisasi sendiri.
Meskipun memiliki latar belakang ras, agama, dan pandangan politik yang
berbeda-beda, organisasi-organisasi tersebut sering mengadakan kontak dan
pendiskusian satu sama lain. Sebagai hasil perkembangannya muncullah gagasan
untuk merintis persatuan antar organisasi pemuda-mahasiswa tersebut. Gagasan
maju ini dikemukan secara organisasional oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar
Indonesia (PPI). PPI yang menggalang berbagai organisasi pemuda berhasil
menyelenggarakan Kongres Pemoeda I di tahun 1926 untuk menjalin persatuan
bangsa Indonesia dan memupus sentimen provinsialisme bahkan menyelenggarakan
Kongres Pemoeda II di tahun 1928 yang mengikrarkan Soempah Pemoeda.[5]
Represi Rezim Kolonial Hindia Belanda
terhadap Pergerakan Pemuda-Pelajar-Mahasiswa
Berselang dua tahun kemudian terjadilah peleburan
organisasi-organisasi pemuda-mahasiswa tersebut menjadi satu organisasi pemuda
nasional bernama Indonesia Moeda (IM). IM ini memiliki massa luas karena tak
hanya terdiri dari pelajar dan mahasiswa saja namun juga menggalang pemuda
secara luas. Melihat perkembangan pergerakan pemuda khususnya pergerakan IM
yang gencar mengobarkan propaganda anti-kolonialisme, rezim kolonial mulai
mengambil tindakan represif terutama pada IM cabang Surabaya yang dikenal lebih
militan daripada cabang-cabang lainnya. Tindakan itu berwujud berupa perintah
agar kepala sekolah kepala sekolah menengah menjatuhkan Schoolverbood atau
mengeluarkan pemuda-pemuda yang terbukti bergabung dengan IM. Persatuan IM
akhirnya kemudian pecah akibat persengketaan apakah gerakan pemuda harus
bersikap lunak hati-hati ataukah bertindak radikal-militan. Sayap
radikal-militan kemudian memutuskan keluar dan mendirikan Soeloeh Pemoeda
Indonesia (SPI) dan Pergerakan Pemoeda Revoloesioner (Perpiri). Sayangnya
karena keradikalannya, kedua organisasi ini kemudian juga harus tiarap
berhubung rezim kolonial Hindia Belanda semakin represif pasca pemberontakan
bersenjata 1926-1927 yang diprakarsai kelompok Prambanan dari PKI.[6] Sementara itu kelompok studi umum yang berubah menjadi Partai
Nasional Indonesia di tahun1927, karena tetap menjalankan praktek dan
propaganda anti kolonialisme, maka Soekarno dan pimpinan-pimpinan lainnyanya
ditangkap pada 1929, serta PNI akhirnya dibubarkan di tahun 1931 oleh rezim
kolonial Hindia Belanda.[7]
Pers Mahasiswa di Rezim Kolonial Fasis
Jepang (1942-1945)
Fasisme muncul dengan tiga kekuatan besarnya
yaitu Jerman, Italia, dan Jepang. Kontradiksi yang muncul antar imperialis
dengan blok sekutu di satu pihak dan blok fasis di phak lain, berujung pada
meledaknya PD II. Perang ini pada dasarnya adalah perang Imperialis karena
perebutan wilayah dan daerah jajahan antara satu imperialis dengan imperialis
lainnya. Perang yang bermula di Eropa ini kemudian lantas menjalar ke Afrika,
Asia, dan Amerika. Di tanah air, rezim kolonial Belanda terusir pada tahun 1942
oleh imperialis yang berwujud kekuatan fasis militeris dari negeri Jepang.
Fasis Jepang masuk di Indonesia dan melarang
semua kagiatan politik serta membubarkan semua organisasi pelajar dan mahasiswa
serta partai politik yang ada. Perguruan tinggi juga banyak yang ditutup. Tidak
ada organisasi maupun yayasan pendidikan yang boleh berdiri kecuali organisasi
bentukan rezim fasis Jepang. Mahasiswa di tanah air yang hanya berjumlah 387 sampai
637 orang menghadapi represi tinggi dari rezim fasis yang ada. Sebagian
kemudian tetap bergerilya di bawah tanah bergabung dengan front anti fasis yang
juga menyebarkan selebaran-selebaran gelap dan sebagian berkegiatan dengan
membentuk kelompok-kelompok diskusi.
Pers Mahasiswa di Era Revolusi
(1945-1949)
Dari tahun 1945-1948, Mahasiswa dan Pemuda
terlibat secara fisik dalam usaha mempertahankan Republik Indonesia. Mahasiswa
selain bergabung dalam organisasi pemuda perjuangan yang membela republik Indonesia
seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang diketuai Wikana, Pemuda Republik
Indonesia (PRI) yang berdiri di Surabaya, mahasiswa juga menyatukan diri ke
dalam milisi-milisi rakyat dan siap berperang serta mempropagandakan
kemerdekaan Indonesia sekaligus.[8]
Meskipun keberadaan perguruan tinggi di Indonesia
telah muncul pada tahun 1946 namun pertumbuhannya tidak paralel dengan
pertumbuhan pers mahasiswa secara khusus. Hal ini salah satunya disebabkan
karena perguruan tinggi-perguruan tinggi yang diresmikan pada tahun 1949
didirikan oleh rezim pendudukan Belanda yang hendak mencaplok Indonesia kembali
sebagai tanah jajahannya. Selain itu, seperti yang telah disebutkan di paragraf
sebelumnya, pemuda-mahasiswa bersama rakyat juga menghadapi gempuran militer
dan sedikitnya dua agresi militer dari pihak Belanda.
Pers Mahasiswa di Rezim Demokrasi Liberal
(1950-1962)
Barulah pada dekade 1950an dimana kemerdekaan
Indonesia diterima secara luas oleh pihak internasional dan pemerintahan
Indonesia cukup stabil kedaulatannya, maka berdirilah (atau dinasionalisasi)
pula perguruan tinggi-perguruan tinggi milik RI yang akan mendorong tumbuhnya
kembali organisasi-organisasi mahasiswa, termasuk Persma. Sehingga pada
kelanjutannya tidak hanya berdiri berbagai organisasi Persma namun juga
muncullah berbagai macam konsolidasi antar berbagai organisasi Persma yang
berdomisili dibawah kampus ataupun fakultas tersebut.
Agus Gussan Nusantoro, seorang mantan aktivis
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) sempat mencatat perkembangan
tersebut dalam tulisannya yang berjudul Sejarah Pers Mahasiswa Indonesia.
Dekade 1950an yang juga terkenal sebagai era demokrasi liberal tersebut
menandai kemunculan suatu organisasi yang menghimpunan pers dan jurnalis
mahasiswa. Tepatnya pada konferensi I bagi Pers Mahasiwa Indonesia,
diprakarsailah organisas-organisasi tersebut. Sehingga didirikanlah Ikatan
Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) dengan diketuai T
Yacob dan Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI)
dengan diketuai Nugroho Notosusanto. Lebih lanjut Agus menuturkan bahwa Persma
sempat berpartisipasi mengikuti Konferensi Pers Mahasiswa Asia. Dimana di acara
internasional tersebut partisipannya meliputi delegasi dari Australia,
Hongkong, India, Indonesia, Jepang, Selandia Baru, Pakistan, dan Filipina.
Selain itu sempat diadakan pula kerjasama dengan Pusat Informasi Mahasiswa
Jepang atau Student Information of Japan serta Serikat Editor Kampus
Filipina atau College Editors Guild of the Philipphines dalam suatu
bentuk perjanjian segi tiga.[9]
Masih menurut Agus, selanjutnya pada 16-19 Juli
1958 dilaksanakan Konferensi Pers Mahasiswa II yang menghasilkan peleburan IWMI
dan SPMI menjadi IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia). Hal ini disebabkan
bahwa peserta konferensi memandang bahwa perbedaan antara kegiatan perusahaan
pers mahasiswa dan dan kegiatan kewartawanan sulit dibedakan dan dipisahkan
sehingga lebih baik disatukan.[10]
Pers Mahasiswa di Rezim Demokrasi
Terpimpin (1962-1965)
Zaman demokrasi liberal hingga demokrasi
terpimpin selain diwarnai dengan semangat nasionalisme, anti imperialisme, juga
diwarnai persaingan ideologis dan antar faksi mulai dari tingkat atas di
pemerintahan sampai di kampus. Dalam sistem politik terpimpin ini, pemerintah
melakukan kontrol ketat terhadap kehidupan Pers. Bagi media Pers yang tidak
mencantuman MANIPOL USDEK dalam dasar organisasinya akan mengalami pemberangusan.
Persma sendiri yang begitu banyak dan beraneka
ragam terjebak situasi. Di satu sisi ada dinamika penentangan terhadap
imperialisme global, di satu sisi ada krisis ekonomi, di satu sisi ada
persaingan ideologis, di sisi lain ada pemberontakan dimana-mana, di sisi lain
Soekarno dan elit politiknya hidup dengan mewah, sementara di sisi lain
mayoritas rakyat Jakarta tinggal di pemukiman miskin dan kumuh. Kebingungan ini
bertambah parah setelah pemberlakuan peraturan Presiden Soekarno tentang MANIPOL
USDEK. Dimana IPMI sebagai lembaga yang Independen mengalami krisis eksistensi
karena dalam tubuh IPMI sendiri terdapat kalangan yang menginginkan tetap
independen, menyuarakan aspirasi rakyat dan ada yang mengarah ke pola partisan
(memihak parpol/kelompok tertentu).
Tarik menarik pendapat untuk penentuan sikap IPMI
ini sedikit banyak menyerupai polemik yang terjadi di organisasi mahasiswa lain
yang berlangsung sejak lama. Dengan kata lain tidak murni perbedaan pendapat
namun sudah merupakan refleksi tarik menarik antara kepentingan kelompok kiri
dan kelompok kanan. Kelompok kiri di kalangan mahasiswa secara dominan diwakili
oleh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Central Gerakan Mahasiswa
Indonesia (CGMI), dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Sedangkan
posisi kanan direpresentasikan secara dominan oleh kelompok Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos), dan Perhimpunan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Kelompok kiri kerap mengangkat wacana
tentang penentangan terhadap kapitalisme, neokolonialisme-imperialisme,
feodalisme, dan fasisme, serta mengusung cita-cita masyarakat sosialisme
Indonesia (sebuah posisi yang sejalan dengan haluan politik pemerintah saat
itu). Sedangkan kelompok kanan di sisi lain memandang hal tersebut sebagai
bahaya komunisme, disertai anggapan dan cap atheisme/kafir dan bersifat
kediktatoran. Hal ini bukan saja dipengaruhi oleh kondisi nasional namun juga
internasional dimana dunia tengah berada dalam perang dingin dan persaingan antara
blok barat dan blok timur.
Pertentangan ini kemudian berpuncak dan
mengguncang rezim Demokrasi Terpimpin dengan meletusnya peristiwa G30S. Semua
surat kabar dilarang terbit kecuali Berita Yudha milik Angkatan Darat.
Peristiwa G30S dan propaganda Angkatan Darat di bawah Klik Soeharto kemudian
berhasil menyeret IPMI sebagai Lembaga Pers Mahasiswa Indonesia untuk terlibat
kampanye secara penuh dalam usaha pelenyapan Demokrasi Terpimpin dan akhirnya
melahirkan Aliansi Segitiga (Aktivis Mahasiswa (termasuk aktivis Pers
Mahasiswa), Militer dan Teknokrat).
Mahasiswa berunding dengan
tentara
Kelompok mahasiswa khususnya dari kalangan sayap
kanan kemudian diorganisir oleh Mayjen Dr. Syarief Thayeb selaku wakil militer
yang menjabat Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP). Elemen yang
pertama kali dikumpulkan mayoritas adalah organisasi-organisasi ekstra kampus
yang pada masa demokrasi terpimpin bersebrangan sikap dengan konsepsi Nasakom
dan Demokrasi Terpimpin serta berbasis keagamaan. Mereka antara lain terdiri
dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Perhimpunan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Mereka disusul dengan organisasi
mahasiswa lainnya yaitu Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL)[11], Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa
(IPMI).
Secara internal langkah politis ini diresmikan
pada Musyawarah Kerja Nasional dan Simposium IPMI se-Indonesia pada 25 hingga
30 September 1966 dengan bertempat di kota Bandung. Jadi secara organisasional,
keputusan dibuat terlebih dahulu antara pimpinan-pimpinan IPMI dengan Angkatan
Darat (AD) dan organisasi-organisasi mahasiswa lainnya baru konsolidasi
internal dijalankan untuk menjelaskan langkah politik tersebut. Secara lebih
detil, langkah politik itu adalah menempatkan IPMI di bawah KAMI sebagai biro
penerangan. Sebagai imbalan atas tindakan ini, IPMI, dan anggotanya, diakui
Departemen Penerangan RI sejajar dengan organisasi pers lainnya.
Maka dengan keistimewaan tersebut (dan sebagai
bagian dari KAMI), IPMI menerbitkan produk yang secara khusus menentang
demokrasi terpimpin. Dengan koordinasi tingkat nasional dan anggota-anggota
tersebar di berbagai daerah, satu persatu muncullah terbitan mahasiswa di
berbagai kota dan kampus yang berbeda-beda. Baik terbitan KAMI secara resmi
maupun terbitan lokal dari anggota-anggotanya. Mulai dari terbitan mingguan Mahasiswa
Indonesia dan Harian KAMI di Jakarta pada 1965. Disusul dengan Mahasiswa
Indonesia edisi Bandung dan mingguan Mimbar Demokrasi yang terbit
30 September 1966. Mahasiswa Indonesia edisi Yogyakarta dan Muhibbah
Universitas Islam Indonesia (UII) terbit tahun 1967. Tahun berikutnya terbit Mimbar
Mahasiswa di Banjarmasin dan Mingguan KAMI di Kalimantan Barat.
Masih di tahun 1968, Mingguan KAMI edisi Jawa Timur diluncurkan di
Surabaya dan Gelora Mahasiswa Indonesia di Malang.
Semua terbitan yang berbeda-beda itu, baik yang
merupakan produk dari KAMI maupun terbitan lokal dan provinsial berada dalam
satu haluan suara:anti demokrasi terpimpin. Prinsip anti Soekarno, anti
Nasakom, dan anti komunisme. Sedangkan di sisi lain terkait pembantaian
terhadap orang yang dituduh sebagai komunis nyaris tidak diangkat sama sekali
baik oleh aktivis pers mahasiswa maupun aktivis mahasiswa pada umumnya yang
kelak dicatat dalam buku-buku sejarah sebagai angkatan 66 ini.
Pemuda yang dituduh komunis
menjadi bulan-bulanan massa
Pers Mahasiswa di Rezim Orde Baru
(1966-1998)
Kesalahan politik dari organisasi-organisasi
mahasiswa anti demokrasi terpimpin harus dibayar mahal. Kebebasan akademik dan
kebebasan berorganisasi dibawah rezim yang baru selanjutnya kembali diberangus.
Taring Orba ini mulai ditunjukkan saat menghadapi dua momentum pergerakan
mahasiswa yaitu gerakan Golongan Putih (Golput) tahun 1971 untuk menentang
kecurangan Golkar, gerakan protes tahun 1972 terhadap pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) yang menggusur pemukiman rakyat miskin, gerakan menolak
kenaikan harga beras pada tahun 1973, dan memuncak pada tahun 1974 dimana
melutus peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) dimana demonstrasi memprotes
kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka, berujung pada kerusuhan massal dan
penangkapan mahasiswa.
Media massa baik umum maupun media Persma juga
terkena dampak negatif dari peristiwa Malari ini. Pada hari pertama meletusnya
Malari dilakukanlah pembredelan terhadap Nusantara dan Mahasiswa
Indonesia. Kemudian pada 21 Januari 1974 Harian KAMI dibredel
bersama dengan Indonesia Raya, Abadi, dan The Jakarta Times. Dua
hari kemudian tepatnya pada23 Januari 1974 giliran Pedoman dan Ekspress
yang dibredel. Pembredelan itu dilakukan dengan pencabutan Surat Ijin Terbit
dengan dalih karena media yang bersangkutan terus melakukan provokasi-provokasi
yang mengganggu ketertiban dan keamanan.[12]
Sejak saat itu rezim fasis Orde Baru mulai
menjalankan kekangan berorganisasi terhadap Persma yang secara garis besar
dilakukan dalam tiga macam tindakan. Pertama, rezim membentuk organisasi
tandingan yaitu Badan Kerjasama Pers Mahasiswa Indonesia (BKPMI). Kedua,
organisasi-organisasi mahasiswa bertingkat nasional kemudian juga dipaksa
disubordinatkan ke bawah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI)[13], termasuk juga IPMI. Ketiga, setiap produk Persma harus
memiliki izin terbit untuk diakui legalitasnya.[14]
Momentum pergerakan memasuki tahapan baru pada
sekitar awal tahun 1978 dimana Dewan Mahasiswa ITB menerbitkan Buku Putih
Perjuangan Mahasiswa 1978 yang dinyatakan sebagai “kritik Indonesia sistematis
pertama terhadap kebijakan Rezim Orde Baru” Buku ini mencerca pemerintah karena
korupsi yang meluas, kebijakan ekonomi yang memfasilitasi kepentingan
memperkaya diri sendiri dengan biaya kesejahteraan sosial, represi terhadap
suara politik independen dan kehilangan hubungan dengan rakyat. Spanduk yang
dibentangkan mahasiswa di ITB bertuliskan, “tidak mempercayai dan tidak
menginginkan Soeharto kembali menjadi presiden.”. Menjelang pertemuan parlemen
untuk untuk pemilihan presiden tahun 1978, pemimpin Dewan Mahasiswa (Dema) di
Universitas di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Palembang, dan Medan
mengeluarkan pernyataan bersama menuntut secara tegas penggantian Soeharto,
orientasi ulang sistem ekonomi dan politik, dan penegakan negara hukum.
Mahasiswa juga mengkritik aliansi dekat antara Golkar dan Tentara. Akibatnya
Rezim Orba merepresi dengan kekuatan militer dan memenjarakan pimpinannnya
selama bertahun-tahun. ITB bahkan sempat dikepung panser dan di UGM mahasiswa
dikejar sampai kampus. Gerakan mahasiswa yang berfokus di kampus masing-masing
itu kemudian habis ditumpas.[15]
Kekosongan gerakan mahasiswa kemudian diisi
dengan marak berdirinya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada 1983 yang mana
sebagian besar penggeraknya merupakan mantan aktivis mahasiswa. LSM ini
kemudian tumbuh subur karena diuntungkan baik gerakan mereka tidak dianggap
membahayakan maupun karena gerakan LSM ini mendapat kucuran dana dari luar
sehingga para penggeraknya sedikit banyak berada dalam posisi cukup mapan.
Sedangkan disisi lain di dekade 1980an yang sama juga kembali muncul
kelompok-kelompok studi. Meskipun kelompok studi ini berhasil mengadakan
pembedahan terhadap permasalahan masyarakat Indonesia namun kontribusi
konkretnya sangat kurang. Terbukti baik kelompok studi maupun LSM tidak
mengambil sikap yang jelas ketika muncul tragedi Tanjung Priok.[16]
Kondisi kontraproduktif di dekade 1980an itu
sempat dipecahkan dengan aksi massa yang dilancarkan oleh mahasiswa-mahasiswa
Ujung Pandang. Tindakan turun ke jalan pada tahun 1987 itu dilakukan dalam
rangka memprotes rezim Orba terkait peraturan lalu lintas, judi, dan
keterpurukan ekonomi.[17] Meskipun aksi ini direpresi dengan brutal sehingga
menyebabkan banyaknya korban berjatuhan, namun disisi lain berhasil mengobarkan
kembali perjuangan mahasiswa termasuk mendorong perjuangan pers mahasiswa yang
ditandai dengan semakin banyaknya penerbitan ilegal, penyebaran terbitan persma
secara meluas dengan diam-diam, bahkan pendiskusian media-media mahasiswa
tersebut dalam kelompok-kelompok diskusi rahasia dari kalangan mahasiswa.
Sedangkan disisi lain, secara legal,
aktivitas-aktivitas penerbitan dan beberapa forum pelatihan dan pendidikan
jurnalistik di tahun mulai marak diadakan hingga tahun 1989 oleh beberapa
perguruan tinggi dalam rangka menghidupkan kembali dinamika intelektual kampus.
Dari sekian forum-forum pelatihan jurnalistik mahasiswa tersebut, tersirat
tentang sebuah keinginan akan sebuah wadah bagi tempat berdiskusi
(tukar-menukar pengalaman) para pegiata pers mahasiswa dalam rangka untuk
meningkatan mutu penerbitan mahasiswa sendiri ataupun untuk menjawab
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pers mahasiswa. Maka mulai tahun 1986,
forum-forum pertemuan para pegiat/aktivis pers mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi mulai marak terjadi. Tak pelak lagi gelombang aspirasi dan
akumulasi persoalan yang digagas oleh para aktivis pers mahasiswa mulai muncul
dan mewarnai berbaai forum pertemuan aktivis pers mahasiswa sehingga berpuncak
pada didirikannya Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada 15 Oktober
1992.[18]
Sarasehan Penerbitan
Mahasiswa
Pasca pendirian PPMI, pembredelan terhadap Persma
kian sering dilancarkan. Media Persma yang terkena pembrangusan ini antara
lain: Vokal IKIP PGRI Semarang yang dibreidel pada 1992, Dialoque FISIP Unair
Surabaya dan Arena IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, serta Focus Equilibrium FE
Universitas Udayana Bali yang mana ketiganya dibreidel pada tahun 1993. Arena
sendiri dibredel karena memuat artikel tentang bisnis Keluarga Cendana. Setahun
kemudian pembreidelan menimpa Pers umum yaitu Tempo, Detik, dan Editor yang
diberangus pada 21 Juni 1994.[19]
Tiga tahun kemudian pembredelen kembali terjadi
terhadap majalah Paradigma, sebuah majalah yang didirikan mahasiswa dari
berbagai universitas di Yogyakarta yang tidak sepakat dengan control oleh
universitas dan pemerintah. Akhirnya pada 25 September 1997, mereka didatangi
sebuah tim beranggotakan 12 pejabat pemerintahan yang terdiri dari perwakilan
Korem, kejaksaan, direktorat sosial dan politik Kementrian dalam negeri dan
Kementrian Penerangan. Mereka meminta copy dari tiga terbitan terakhir
Paradigma untuk memeriksa apakah ada yang bertentangan dengan kebijakan
pemerintah. Selain itu MUHIBAH, pers mahasiswa Universitas Islam Indonesia UII,
Balairung (UGM), Arena (IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Hayam Wuruk (Fak.
Sastra Undip Semarang) kerap ditekan birokrat kampus dan terancam berhenti
terbit. Balairung disensor pada 1993 karena menyeru interpretasi terbuka atas
Pancasila serta disensor pada 1995 karena mengkritik Dwi Fungsi ABRI. Sintesa,
FISIP dibreidel karena pada 1992 memuat artikel yang menyatakan 70% mahasiswa
percaya bahwa konstitusi Indonesia harus diganti.[20]
Pasca peristiwa 27 Juli, gerakan mengalami
kekosongan sesaat. Beberapa aktivis pers di UGM berusaha memecah kebekuan dan
menghidupkan kembali perlawanan. Muncul momentum saat penggrebekan terhadap
majalah Suara Independen, media alternatif bawah tanah dari
jurnalis-jurnalis yang tergabung di AJI. Mahasiswa yang tergabung dalam lembaga
pers Majalah Administrator, Majalah Pijar (Filsafat UGM), dan Dian Budaya
(sastra UGM) membentuk Komite Anti Penindasan Pers. Komite ini mengadakan aksi
pada 7 November 1996 sebagai protes atas penggrebekan aparat ke majalah Suara
Independen. Ketika aksi baru dibuka, puluhan intel langsung menyerbu,
memukuli, membubarkan dan memburu peserta aksi. Rektor UGM, Soekanto,
berteriak-teriak dari Gdg. Rektorat menyuruh melakukan penangkapan. [21]
Aksi-aksi solidaritas kemudian muncul dan selalu
diiringi dengan pemburuan dan penangkapan mahasiswa. Pada 29 Januari 1997
aparat militer semakin gencar menangkapi mahasiswa, hari itu jumlah mahasiswa
yang ditangkap sebanyak 24 orang. Badan Pengembangan Pers Mahasiswa (BPPM) UGM
kemudian menyerukan pada 30 Januari agar mahasiswa yang ditangkap segera
dibebaskan. Gerakan-gerakan mahasiswa kemudian semakin meningkat dan berpuncak
pada tahun 1998 dengan mengecam praktek Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) serta
menuntut dilaksanakannya reformasi terhadap Orde Baru. Gerakan mahasiswa waktu
itu dikenal dengan tiga tuntutannya yaitu:1)Bubarkan Golkar, 2)Adili Soeharto,
3)Sita harta koruptor. Pergerakan ini menemui represi yang luar biasa besar,
baik berupa penangkapan, penculikan, penembakan, dan kerusuhan, yang terwujud
mulai dari Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi
Semanggi I dan II , maupun Tragedi Lampung[22].Selanjutnya
pada 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya yang menandai
berakhirnya kekuasaannya sebagai pimpinan tertinggi dari rezim fasis Orde Baru
selama 32 tahun lamanya.
Mahasiswa menyaksikan
pengunduran diri Soeharto melalui TV
[1]
Lihat Manifesto 1925:Prolog dari Belanda. Halaman 26-28. Artikel
majalah Tempo edisi khusus 80 tahun Sumpah Pemuda. Edisi 27 Oktober-2 November
2008
[2]
1910-1940: New Nationalism, An Online Timeline of Indonesian
History, http:://www.gimonca.com/sejara/sejarah07.html
[3]
1928, Gerakan Mahasiswa di Indonesia,
http:://id.wikipedia.org/gerakan_mahasiswa_di_indonesia.html
[4]
Farid, Nur, Gerakan Mahasiswa Indonesia, tanpa penerbit.
[5]
Purwanto, Lukito, Sumpah Pemuda dan Persatuan-Persatuan Pergerakan Menuju
Indonesia Merdeka, Malang: LPM Mimesis, 2008.
[6]
Farid, Nur, Gerakan Mahasiswa Indonesia, tanpa penerbit
[7]
Sedjarah Nasional, dokumen sejarah perjuangan dan pergerakan Indonesia pra-Orde
Baru, tanpa penerbit, tanpa tahun
[8]
Mahendra, Ignatius, Bergerak Bersama Rakyat:Sejarah Pergerakan di Indonesia,
Resistbook
[9]
Nusantoro, Agus Gussan, Sejarah Pers Mahasiswa Indonesia
[10]
Ibid
[11]
SOMAL sendiri menurut Nur Farid, seorang aktivis lulusan Fakultas Hukum dan
mantan direktur Yayasan Cakrawala Timur-Surabaya, merupakan organisasi bentukan
Gemsos dan HMI ketika PSI dan Masjumi mulai dilarang terkait keterlibatannya
dalam pemberontakan PRRI/Permesta. “Dalam tahun 1961 organisasi-organisasi
lokal tersebut membentuk Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL). Dalam
banyak kesempatan SOMAL selalu menegur PPMI agar jangan terlalu terlibat dalam
isue/peristiwa politik, dan orang akan dapat membaca, dalam pernyataan SOMAL
ada semacam hubungan antara aspirasi SOMAL dengan senat-senat mahasiswa yang
tergabung dalam Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI).”
[12]
Mahendra, Ignatius, Bergerak Bersama Rakyat:Sejarah Pergerakan di Indonesia,
Resistbook
[13]
Salah satu orang yang gencar mengampanyekan KNPI adalah Akbar Tanjung, mantan
aktivis 66 yang kemudian duduk di lingkaran kekuasaan sebagai anggota Golkar
[14]
Litbang Nasional PPMI 2008-2010, Catatan-Catatan yang Belum Selesai,
Yogyakarta:Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Mei 2010.
[15]
Mahendra, Ignatius, Bergerak Bersama Rakyat:Sejarah Pergerakan di Indonesia,
Resistbook
[16]
Gerakan Mahasiswa Indonesia, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi,
Jawa Tengah: Januari 2009.
[17]
Ibid
[18]
Dokumen PPMI, tanpa tanggal, tak diterbitkan
[19]
Magriby, Prayudha, Pers Mahasiswa Dekade 1990-an – Berani atau Dibredel!, 2011,
http://www.gosrok.blogspot.com
[20]
Mahendra, Ignatius, Bergerak Bersama Rakyat:Sejarah Pergerakan di Indonesia,
Resistbook
[21]
Ibid
[22]
1998, Gerakan Mahasiswa di Indonesia,
http:://id.wikipedia.org/gerakan_mahasiswa_di_indonesia.html
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 1999
NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG
PERS
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
- bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud
kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapata sebagaimana tercantum dalam
Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin;
- bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat
sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak
asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan
keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan
kehidupan bangsa;
- bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa,
penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas,
fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan
kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan
perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari
manapun;
- bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
- bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21
Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, b, c, d, dan e, perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers;
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan
Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia;
Dengan
persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG
PERS.
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam Undang-undang ini, yang
dimaksud dengan :
- Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa
yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam
bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik
maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media
elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
- Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang
menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media
elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara
khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
- Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani
media cetak, media elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum
dalam memperoleh informasi.
- Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan
kegiatan jurnalistik.
- Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan
organisasi perusahaan pers.
- Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh
perusahaan pers Indonesia.
- Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh
perusahaan asing.
- Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian
atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau
tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak
manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak
berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
- Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah
penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau
melawan hukum.
- Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk
menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita
yang harus dirahasiakannya.
- Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk
memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang
merugikan nama baiknya.
- Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi
atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik
tentang dirinya maupun tentang orang lain.
- Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi
atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang
tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
- Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi
kewartawanan.
BAB
II
ASAS,
FUNGSI, HAK, KEWAJIBAN DAN
PERANAN
PERS
Pasal
2
Kemerdekaan pers adalah salah satu
wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan,
dan supremasi hukum.
Pasal
3
- Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
- Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers
nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Pasal
4
- Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga
negara.
- Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,
pembredelan atau pelarangan penyiaran.
- Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional
mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan
informasi.
- Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan
hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Pasal
5
- Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan
opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat
serta asas praduga tak bersalah.
- Pers wajib melayani Hak Jawab.
- Pers wajib melayani Hak Tolak.
Pasal
6
Pers nasional melaksanakan
peranannya sebagai berikut :
- memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
- menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong
terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat
kebhinekaan;
- mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang
tepat, akurat dan benar;
- melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
- memperjuangkan keadilan dan kebenaran;
BAB
III
WARTAWAN
Pasal
7
- Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.
- Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Pasal
8
Dalam melaksanakan profesinya
wartawan mendapat perlindungan hukum.
BAB
IV
PERUSAHAAN
PERS
Pasal
9
- Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak
mendirikan perusahaan pers.
- Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum
Indonesia.
Pasal
10
Perusahaan pers memberikan
kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham
dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Pasal
11
Penambahan modal asing pada
perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Pasal
12
Perusahaan pers wajib mengumumkan
nama, alamt dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang
bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Pasal
13
Perusahaan iklan dilarang memuat
iklan :
- a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan
atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan
dengan rasa kesusilaan masyarakat;
- b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat
aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
- peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Pasal
14
Untuk mengembangkan pemberitaan ke
dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara Indonesia dan negara dapat
mendirikan kantor berita.
BAB
V
DEWAN
PERS
Pasal
15
- Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan
meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
- Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
- melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak
lain;
- melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan
pers;
- menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik
Jurnalistik;
- memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian
pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan
pers;
- mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan
pemerintah;
- memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam
menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas
profesi kewartawanan;
- mendata perusahaan pers;
- Anggota Dewan Pers terdiri dari :
- wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
- pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi
perusahaan pers;
- tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau
komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan
organisasi perusahaan pers;
- Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh
anggota.
- Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
- Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun
dan sesudah itu hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.
- Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari :
- organisasi pers;
- perusahaan pers;
- bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak
mengikat.
BAB
VI
PERS
ASING
Pasal
16
Peredaran pers asing dan pendirian
perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB
VII
PERAN
SERTA MASYARAKAT
Pasal
17
- Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan
kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
- Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
berupa :
- Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran
hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
- menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam
rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
BAB
VIII
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
18
- Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja
melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00
(Lima ratus juta rupiah).
- Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
- Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat
(2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).
BAB
IX
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
19
- Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan
perundang-undangan di bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga
yang ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang
ini.
- Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya
undang-undang ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang
ini dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya
undang-undang ini.
BAB
X
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
20
Pada saat undang-undang ini mulai
berlaku :
- Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815)
yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang
Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1982 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia);
- Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang
Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu
Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 23, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang
menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian,
majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala;
Dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
21
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Pada tanggal 23 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MULADI
Salinan sesuai dengan aslinya.
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II
PR
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II
PR
Edy Sudibyo






Komentar
Posting Komentar