Langsung ke konten utama

Bangka Bela dan asal mula Mantar





Pada zaman dahulu di Pulau Jawa terjadi suatu perubahan besar di kalangan masyarakat dan pemerintah. Keadaan alam dan masyarakat diliputi rasa kedemasan. Kekhawatiran dari sebagian masyarakat waktu itu terjadi karena sering dilanda kerusuhan, gempa bumi, dan berbagai bencana alam lainnya. Sebagian masyarakat tidak bisa bertahan lagi untuk hidup di daerah asalnya. Oleh karena itu muncullah gagasan yang disponsori oleh seorang bangsawan Jawa yang bernama Tuan Romeo. Jadi Tuan Romeo ini mengajak sebagian pengikutnya dan bangsa lain yang dikenalnya, seperti Bangsa Portugis yang ikut berjumlah tujuh orang, dan ada pula keturunan Cina yang ikut mendukung gagasan Tuan Romeo. Tujuannya adalah mengembara untuk mencari kehidupan yang lebih baik, aman, tenteram dan damai.

Tuan Romeo mulai meninggalkan tanah Jawa secara  diam – diam bersama pengikutnya menuju ujung Indonesia. Tepatnya pada saat Bulan Purnama, karena pada saat itu keadaan air laut tenang untuk menempuh perjalanan jauh. Setelah bermalam – malam mengarungi samudera tibalah saatnya perahu Tuan Romeo memasuki Selat Alas. Ketika itu suasana di lautan diliputi cuaca buruk. Awan mendung hujan turun deras disertai hembusan angin kencang. Gelombang besar berdatangan silih berganti. Laut nampak murka. Perahu tampak terombang ambing dan bergoyang, namun semua ingin mencapai dunia impian yang selalu menggebu – gebu dalam lubuk hati Tuan Romeo berserta pengikutnya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Akhirnya perahu Tuan Romeo karam seketika di pesisir pantai Tua Nanga, wilayah  Desa Mantar. Setelah perahu mereka karam. Tuan Romeo beserta pengikutnya mengadakan musyawarah. Namun kata sepakat dalam keadaan seperti itu sulit dicapai. Sebagian pengikut Tuan Romeo ingin melanjutkan perjalanan, sebagian yang lainnya ingin mencari kehidupan di sekitar pantai Tua Nanga. Sebagian pengikutnya yang ingin melanjutkan perjalanan dipimpin oleh seorang manteri bernama Mantri Muru. Adapun alasanya bahwa keadaan di sekitar pantai ini sangat gersang, tidak mungkin akan bisa hidup tentram. Sedangkan yang tidak mau melanjutkan perjalanan dipimpin oleh Tuan Romeo. Alasanya karena perahu tersebut sudah bocor mana mungkin dapat melanjutkan perjalanan.
     
Karena tidak ada kata sepakat antara Tuan Romeo dengan Mantri Muru, akhirnya terjadi perkelahian yang  dahsyat pada peristiwa tersebut juru mudi pengikut Tuan Romeo membunuh Mantri Muru dengan menggunakan ilmu sihir api, sehingga Mantri Muru meninggal dan dimakamkan di Pantai Tua Nanga (Limung Gading ). Selesai pemakaman maka berangkatlah rombongan yang dipimpin oleh Tuan Romeo menelusuri hutan pantai Tua Nanga untuk mencari sumber air, namun perjalanan mereka sia - sia belaka. Kemudian mereka mencoba untuk mendaki bukit - bukit di sekitarnya, karena ketakutan mereka berjalan tanpa mengenal lelah lagi. Akhirnya mereka menemukan sumber air di atas bukit, hanya jumlahnya masih kurang mencukupi. Namun mereka tetap tinggal sementara di sekitar mata air tersebut. Sekitar dua bulan kemudian Tuan Romeo meninggal dunia dan dimakamkan di tempat itu juga. Untuk mengabdikan nama Tuan Romeo maka bukit tersebut diberi nama Olat Remo (Bukit Remo). Dan perahu mereka yang karam sekarang telah berubah menjadi batu yang dinamakan Bangka Bela.

Sepeninggalan Tuan Romeo, maka pengikutnya mulai berpencar satu sama lainnya untuk mencari sumber kehidupan masing - masing, terutama yang dapat dipergunakan sebagai daerah pertanian. Ada yang menuju ke arah selatan Olat Remo, yaitu sebagian keterunan Cina, yang dipimpin oleh Schong Hyang dan menetap di wilayah Sekongkang sekarang ini. Sekongkang asal katanya Schong Hyang. Sebagian yang lain menuju ke arah utara Olat Remo. Mereka ini terdiri keterunan bangsa Portugis dan Jawa. Mereka mengembara naik gunung turun gunung untuk mencari tempat kehidupan yang layak untuk dihuni. Akhirnya mereka sampailah di puncak gunung yang datar dan sumber air yang dapat menghidupkan mereka. Daerah itu dinamakan Ai Mante.

Mantar asal katanya Mount Taint (mount = gunung, tain = datar). Jadi Mantar artinya di atas gunung yang datar. Sampai saat ini keterunan Bangsa Portugis itu masih berada di daerah Mantar yang kulitnya bule. Orang Sumbawa mengatakan belo. Jumlah mereka dari keterunan Portugis tetap tujuh orang (laki dan perempuan). Kalau di antara tujuh orang keterunan Portugis ini ada perubahan, maka Ai Mante mengalami perubahan warna, yaitu kemerah - merahan. Ini menandakan bahwa keterunan Portugis itu akan ada yang lahir, sehingga jumlahnya akan menjadi delapan orang. Inipun tidak dapat bertahan lama, di antara delapan orang tadi pasti ada yang akan meninggal satu orang. Ini berarti bahwa keterunan Bangsa Portugis di wilayah Desa Mantar sampai saat ini tetap berjumlah tujuh orang, sebanyak ketika mereka pertama datang.


Posisinya yang berada di ketinggian membuat Mantar mendapat julukan sebagai Negeri di Atas Awan. Kamu bisa melihat Pulau Lombok dengan Puncak Gunung Rinjani di kejauhan serta hemparan lembah hijau di kaki bukit yang menakjubkan. Belum lagi pulau-pulau kecil di sekitarnya yang bertebaran terhbung dengan lautan. Seperti Pulau Kenawa, Pulau Mendaki, Pulau Paserang, Pulau Belang, Pulau Ular, Pulau Nako dan Pulau Kalong.
Paralayang adalah salah satu cabang olahraga yang penuh tantangan. Kamu bisa terbang di atas Mantar, melaju bersama angin dan menikmati pemandangan yang tak terlupakan. Landasan Paralayang Mantar merupakan salah satu spot terbaik dunia selain di Palu Sulawesi Tenggara. Itulah mengapa di tahun 2017 diadakan ajang Mantar Paragliding XC Open yang ketiga pada 18-24 Juli 2017, mempertemukan atlet lokal dan mancanegara perwakilan Asia hingga Eropa.
Potensi Mantar sebagai destinasi wisata disadari oleh banyak pihak, termasuk pemerintah. Untuk meningkatkan jumlah pengunjung maka fasilitas juga dikembangkan. Akses jalan terus mengalami perbaikan. Sebelumnya dari pusat Kabupaten Sumbawa Barat, perjalanan ke Mantar butuh waktu selama 1 jam. Kini hanya butuh waktu 30 menit. Penjual kuliner khas seperti sepat dan singngang ada di mana-mana. Kalau ingin menginap, bisa mengandalkan rumah-rumah penduduk yang berfungsi juga sebagai homestay.





 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kompetisi Vs Pandemi

Mengikuti kompetisi sudah menjadi kebiasaanku sejak SD hingga sekarang. Meski jarang menang, tetapi sudah ikut berpartisipasi saja rasanya bahagia sekali. Ketika pandemi Covid 19 terjadi pada bulan Maret tahun 2020, hikmahnya kita lebih gampang mengikuti lomba seperti menulis Esai,  artikel, opini, KTI, cerpen, puisi, seminar, lomba desain, photografi, pelatihan, fellowship, nulis buku, beasiswa dan lain-lain. Jika dihitung, jumlah project menulis kala pandemi yang aku ikuti sekitar 30 lebih dari non Fiksi hingga Fiksi tapi yang menang bisa dihitung jari. Namun dari effort tersebut, banyak yang kita dapatkan yaitu kiriman buku gratis dari funding internasional dan nasional,  teman baru, relasi, wawasan, update teknologi aplikasi, hadiah menarik dan lain-lain serta jangan lupakan hadiah uang dan pulsa🤭😉. Selanjutnya, tahun 2021 bersiap untuk kompetisi lagi. Jika ada yang termotivasi dengan tulisan ini, maka tetap semangat, optimis, jangan pernah insecure, iri hati, dengki dan...

Lalu Dia Lala Jinis Kisah Romeo Juliet Alas-Sateluk

Resensi By: Susi Gustiana Betapa bahagia  mencium aroma buku , pikiranku menari 'seolah menemukan harta karun'.    Buku Lalu Dia dan Lala Jinis  adalah cerita rakyat Sumbawa yang di tulis oleh bapak Dinullah Rayes. Nama Rayes merupakan marga dari keturunan kedatuan Alas. Cerita ini bersemi dihati penduduk terutama dari bagian barat tepatnya di kecamatan Alas. Kisah kasih diantara dua pasang anak muda romeo dan Juliet Sumbawa ini diriwayatkan oleh orang tua dengan menggunakan bahasa yang puitik melalui lawas. Lawas samawa merupakan puisi lisan tradisional pada umumnya tiap bait terdiri dari 3 baris. Dipengantar awal buku penulis menyebutkan bahwa kisah ini ditembangkan oleh orangtua yang   mahir balawas (menembangkan syair) dengan suara merdu menawan dan mempesona bagi siapapun yang mendengar. Tradisi di Sumbawa bagi orang yang bisa mendongeng atau bercerita itu disebut Badia. Tau Badia (orang/seniman yang menyampaikan cerita) sering diund...

Tugu Simpang 5 Aceh!!!! Begitu ‘Sempurna’

Kalian tahu tidak lagu sempurna dari Andra and The Backbone mungkin itu tepat untuk menggambarkan monument ini. “Belum ke Aceh namanya jika belum mengunjungi salah satu tugu atau monumen yang sangat ikonik dan keren ini” kata Pak Marzuki guide kami selama di Aceh. Yupz…..Namanya tugu simpang 5, oleh ibu-ibu rombongan dari Sumbawa yang antusias untuk mengambil gambar berselfia ria bahwa   di monumen ini. Menurut mereka tugu simpang 5 juga disebut tugu selamat datang. Karena lokasinya berada di pusat kota dan punya nilai filosofi yang sangat mendalam. Dalam catatan sejarah, tugu ini berada di lima persimpangan jalan protokol yang selalu padat, yaitu jalan Tgk. H. M. Daud Beureuh, T. Panglima Polem, Sri Ratu Safiatuddin, Pangeran Diponegoro, dan jalan Teungku Angkasa Bendahara. Di lihat dari desainnya, ada 4 eksplorasi konsep dari  tugu Simpang Lima Aceh  ini, yaitu axis-oriented (sumbu), urban oase, multi-purposes building, dan landmark kota Banda Aceh. T...