Biografi Kapolri Dulu-Sekarang
1.
Komisaris
Jenderal (Pol.) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo
"Jangan
mengeluhkan tugas yang diemban". R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo.
(
dikutip dari buku Museum Polri 2009 )
R.
Said Soekanto Tjokrodiatmodjo lahir di Kampung Sawah, Bogor, Jawa Barat, pada 7
Juni 1908. Ayahnya, Raden Ngabehi Martomihardjo, adalah seorang Asisten Wedana
di Jasinga, Bogor, sementara ibunya bernama Raden Ajeng Kasmirah. Keluarga
Soekanto tinggal di lembah Sungai Cisadane yang subur. Soekanto dididik
disiplin Barat oleh ayahnya dan ajaran Islam oleh budenya. la tumbuh menjadi
pribadi yang kuat, tabah, teliti, dan tidak mudah menyerah. Sebagai anak
pertama, ia memang diharapkan bisa memberi contoh untuk adik-adiknya.Pendidikan
formal Soekanto dimulai ketika masuk Frobel School (Taman Kanak-kanak Belanda).
Dua tahun kemudian, ia melanjutkan ke Sekolah Rakyat Belanda yakni Europeesche
Lagere School (ELS) di Bogor hingga kelas dua. Saat kelas tiga, ia diminta ikut
pamannya yang tinggal di Tangerang.
Tempat
barunya dikitari perkebunan yang luas sehingga Soekanto kecil sempat punya
cita-cita menjadi insinyur pertanian. Minat bacanya meningkat pesat, terutama
untuk artikel koran tentang alam Nusantara. Keindahan alam juga menumbuhkan
minatnya menggambar. Nilai menggambarnya selalu bagus, bahkan pernah sembilan.
la senang juga akan musik, menyanyi, dan bermain catur. Soekanto gampang akrab
dengan semua kalangan. la dan teman-temannya sering mandi di Cisadane. Kala
senggang, ia keluar masuk hutan berburu berbekal senapan angin pamannya.
Setamat ELS, Soekanto pindah ke Bandung untuk melanjutkan ke HBS.
Sayang,
biaya pendidikan dan hidup yang tinggi di Bandung memaksa Soekanto kembali ke
Bogor. la tidak putus sekolah. la meneruskan HBS di Jakarta, supaya lebih hemat
la dapat pergi pulang Bogor-Jakarta dengan kereta api, dan dari Stasiun Gambir
ke sekolahnya menggunakan sepeda. Soekanto ikut kepanduan semasa di HBS,
Kegiatan ini mendatangkan kesadaran nasionalisme. Sayang, semangatnya
bersekolah kurang sebanding dengan hasilnya. Soekanto lulus HBS lebih lama dari
yang seharusnya hanya lima tahun. Pada 1929, setelah lulus HBS, ia melamar ke
Sekolah Aspiran Komisaris Polisi (Aspirant Commisaris Van Poiitie). Sayang
ditolak. Tapi, ia mendapat kesempatan mengikuti pendidikan Hoofd Agent (kursus
agen polisi). Giliran Soekanto yang menolak. Setahun kemudian ia menerima
telegram dari Sekolah Aspiran Komisaris Polisi. la sangat mensyukurinya karena
pada saat itu sulit bagi pribumi bersekolah di situ.
Soekanto
merupakan siswa Angkatan VIII dan ia harus menyelesaikan pendidikan selama tiga
tahun. Prestasinya dalam pelajaran menembak sangat menonjol saat itu. Ketika
naik ke tingkat dua, Soekanto menikah dengan Hadidjah Lena Mokoginta, anak Raja
Bolaang Mongondow, pada 21 April 1932 di Selabintana, Sukabumi. Pernikahan itu
menambah semangatnya untuk segera lulus. Pada 1 Agustus 1933, Soekanto lulus
dengan pangkat Komisaris Polisi Kelas III. Ini membanggakannya karena sebagai
pribumi dia dapat memerintah anak buah yang berkebangsaan Belanda. Kejadian ini
langka pada saat itu. Soekanto sering berpindah tempat tugas. Pos pertamanya
adalah Semarang. la banyak mendapat tugas reserse di sini.
Salah
satu prestasinya, adalah pengungkapan pembunuhan orang Belanda. Tempat tugas lain
yang meninggalkan kesan adalah Kalimantan Timur dan Selatan pada 1940. Saat itu
beredar bebas rompi yang kata penjualnya sakti anti peluru. Sebagai Komisaris
Polisi, Soekanto membongkar penipuan ini dengan cara memakaikan rompi itu ke
kambing lalu menembaknya. Si kambing sial langsung menemui ajal, demikian juga
penipuan yang terjadi. Tahun 1942 Jepang masuk ke Hindia Belanda. Soekanto
diangkat menjadi Itto Keishi (Komisaris Tingkat I), berkedudukan di Jakarta. la
mengusulkan pembentukan pendidikan kepolisian khusus. Jepang setuju, sehingga
berdirilah Jakarta Shu Keisatsu Ga/c/co. Tetapi ia tak bisa berlama-lama.
Karena diisukan berdarah Belanda, ia dipindahkan Jepang ke sekolah polisi Jawa
Keisatsu Ga/c/co di Sukabumi sebagai instruktur.
17
Agustus 1945, Soekarno - Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Berita
ini sampai ke sekolah polisi di Sukabumi. Soekanto langsung menurunkan bendera
Jepang dan bersama anak didiknya merebut senjata mereka. Pada 29 September
1945, Presiden Soekarno menunjuk Soekanto membentuk Polisi Nasional. Ini tugas
berat: Republik masih labil, personel kurang, dan Sekutu datang. Mengingat
suasana kurang aman, kantor Jawatan Kepolisian Negara pun dipindahkan ke Purwokerto.
Di Purwokerto
inilah kepolisian berkembang, ditandai dengan berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu
Kepolisian dan dibentuknya satuan polisi yang mampu bergerak cepat dan berfungsi
sebagai pasukan pemukul, Mobrig (Mobile Brigade) yang dipimpin oleh IP I M.
Jasin, Wakil Presiden Mohammad Hatta kemudian memerintahkan Soekanto bersekolah
ke Amerika guna mempelajari bentuk, susunan, dan perlengkapan kepolisian
mereka. Akibat Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan Republik Indonesia
Serikat (RIS), kepolisian negara pun terbagi-bagi atas negara bagian.
Kewenangannya tidak lagi di bawah Menteri Dalam Negeri, tetapi Perdana Menteri.
Pada Maret 1950, RIS bubar dan kembali menjadi
Republik Indonesia, Kepolisian pun berganti nama menjadi Jawatan Kepolisian
Negara. Soekanto lantas membentuk 11 kepolisian provinsi dan membangun gedung
Jawatan Kepolisian Negara di Jalan Trunojoyo, Jakarta. Seiring waktu, tugas
kepolisian pun semakin bertambah. Polisi tidak saja dituntut menjaga keamanan
di darat, tetapi juga di air dan udara, serta menangkal ancaman kejahatan
lintas negara. Untuk mengatasinya dibentuklah Polisi Perairan, yang di dalamnya
ada Seksi Udara, Polisi Perintis, Polisi Kereta Api, Polisi Wanita. Pada 1950,
seksi Public Relation dibentuk dengan tugas menjalin hubungan dengan masyarakat
dan semua instansi yang ada di dalam maupun luar negeri.
Pada
1952, Indonesia bergabung dengan interpol yang berpusat di Paris, kelanjutannya
Jawatan Kepolisian Negara ditunjuk sebagai Central National Beureau (NEC).
Soekanto juga merumuskan Pedoman Hidup Kepolisian Negara, yang dikenal dengan
Tri Brata Kepolisian Negara, yaitu 1) Polisi itu abdi utama nusa dan bangsa, 2)
Polisi itu warga Negara yang utama dari negara, 3) Polisi itu wajib menjaga
ketertiban pribadi rakyat.
Sebagai Kepala Kepolisian Negara
yang pertama, Soekanto memiliki gagasan agar kepolisian berdiri sendiri di
dalam satu kementerian agar bisa independen, profesional, serta tidak
diintervensi oleh politik. Cita-cita R.S. Soekanto adalah menyamakan persepsi
yang sifatnya visioner sesuai dengan misi Polri sebagai penegak hukum,
pengayom, dan pelindung masyarakat. Dengan kata lain polisi menjadi otonom
untuk mengatur dan membangun dirinya, ini merupakan ciri atau karakter dari
seorang profeional. Baginya, titik berat tugas tugas polisi semestinya pada
segi pencegahan, sesuai dengan prinsip polisi modern. Soekanto juga menekankan
dispilin tugas yang tinggi. la juga membangun korps kepolisian negara yang
dihormati serta disegani oleh masyarakat bukan karena persenjataannya,
melainkan karena watak dan kepribadiannya. Menjabat dari 29
September 1945 hingga 14 Desember 1959. Soekanto adalah
mertua dari Sawito Kartowibowo, seorang tokoh yang namanya mencuat pada
tahun1976 dalam Perkara Sawito. Namanya diabadikan dalam nama
sebuah rumah sakit di Jakarta, Rumah Sakit Polri
Soekanto di Kramat Jati.
“BAPAK
POLISI INDONESIA” YANG JUJUR ITU TELAH TIADA
TEMBAKAN
salvo meletus memecah keheningan di pemakaman Tanah Kusir, Rabu siang
(25/8/1993). Bendera merah putih yang menyelubungi peti mati, dipegang oleh
empat perwira tinggi dari AD, AL, AU, dan Polri pelan-pelan diangkat.
Tepat pukul 13.08, jenazah yang terbungkus kain kafan putih dalam peti,
dipindahkan ke liang kubur dan akhirnya bersatu dengan tanah merah. Maka
bersatulah jasad Jenderal Polisi (Purn) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo,
Kepala Kepolisian Negara (KKN) pertama dengan istri tercintanya, Ny Hadidjah
Lena Soekanto-Mokoginta yang meninggal lebih dulu pada 1 Maret 1986.
Meskipun Soekanto memiliki Bintang Mahaputra Adiprana kelas II yang artinya
berhak dimakamkandi Taman Makam Pahlawan Kalibata, namun ia sudah memberi
wasiat kepada keluarganya agar jika ia meninggal dunia, hendaknya dimakamkan
satu lubang dengan jasad sang istri terkasih.
Raden
Said Soekanto Tjokrodiatmodjo memang telah tiada. “Bapak Polisi Indonesia” ini meninggal
dunia dengan tenang pada usia 85 tahun di RS Polri Kramatjati Jakarta Timur,
Selasa malam (24/8) pukul 23.38 WIB, setelah sekitar empat bulan dirawat di
sana karena
sakit.
Ia meninggalkan seorang putri, Ny Umi Khalsum Arimbi dan dua orang cucu, Nanda
dan Mena.
Sebelum
dimakamkan, jenazahnya disemayamkan satu setengah jam di Gedung Utama Mabes
Polri di Jl Trunojoyo Jaksel –gedung markas Polri yang diresmikan Soekanto pada
17 Agustus 1952 silam–, saat ia masih menjabat Kepala Kepolisian Negara. SOEKANTO
adalah potret polisi yang “langka” untuk ukuran masa kini. Ketika menjabat KKN
(1945-1959), ia dikenal sebagai orang jujur
dan sederhana. Bahkan sampai akhir hayatnya pun, peletak dasar-dasar kepolisian
ini hanya memiliki sebuah rumah sederhana di Kompleks Polri Ragunan, Pasar minggu,
Jaksel. Ketika pensiun, Soekanto bahkan tinggal di rumah sewa di Jl Pengangsaan
Timur No 43 Jakpus.
Yang
menjadi “obat” bagi pihak keluarga –seperti diungkapkan wakil keluarga di pemakaman
Tanah Kusir–, penghormatan seluruh jajaran Polri terhadap Almarhum Soekanto
sangat mengharukan. Ratusan pelayat termasuk sejumlah mantan Kapolri dan
pejabat tinggi Polri, hadir di Tanah Kusir, memberi penghormatan terakhir
kepada Almarhum Soekanto. Antara lain mantan Menteri/Panglima Angkatan
Kepolisian RI Soetjipto Danoekoesoemo (1963-65), mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso
(1968-1971), Mohammad Hasan (1971-1974), Awaloedin Djamin (1974-1978). “Soekanto
orang paling sederhana. Lihatlah, ketika meninggal, ia tidak punya apa-apa.
Padahal ia berkuasa sebagai Kepala Kepolisian Negara selama 15 tahun. Dia tak
ada duanya. Disegani dan memiliki kharisma yang besar terhadap semua jajaran
Polri. Soekanto pantas disebut sebagai Bapak Kepolisian Indonesia,” komentar
mantan Kapolri Jenderal Pol (Purn) Awaloedin Djamin yang pernah menjadi Sekretaris
Soekanto (1955-1959).
Bersama-sama
dengan Prof Djoko Soetono SH, Prof Supomo, dan Sultan Hamengkubuwono IX,
Soekanto mendirikan Akademi Polisi di Mertoyudan dan akhirnya menjadi Perguruan
Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Jakarta. Ide dasar lembaga pendidikan polisi
ini untuk menciptakan polisi yang pandai, modern, tanggap pada kemajuan zaman. Selain
itu Soekanto memprakarsai pembentukan Brigade Mobil (Brimob), pasukan khusus
Polri dan mendirikan pusat pendidikan Brimob di Porong, serta Satuan Polisi
Perairan dan Udara. Salah satu kasus besar yang pernah diungkapnya adalah
jatuhnya pesawat RRC, Kashmir Princess di Natuna, masa Afro-Asia.Pembangunan
gedung Mabes Polri yang diresmikannya tahun 1952, adalah prakarsa dia. Gedung
di Jl Trunojoyo yang sampai sekarang masih digunakan sebagai Markas Besar Polri
ini merupakan gedung dengan kerangka besi pertama di Indonesia. Ia juga
memprakarsai pembangunan Wisma Bhayangkari dan rumah dinas KKN.
Motto
Polri, Tri Brata dan Catur Prasetya, yang diciptakan Prof Djoko Sutono SH,
digunakan dan diresmikan tahun 1955 ketika Soekanto menjadi KKN. Soekanto
pernah mengirimkan perwira Polri dalam jumlah besar-besaran untuk belajar
kepolisian di Amerika Serikat. Termasuk di antaranya Hoegeng Iman Santoso,
Awaloedin Djamin, Mohammad Hasan, Widodo Budidarmo, yang semuanya menjadi Kapolri.
Soekanto juga dikenal sebagai Bapak Orhiba (Olah Raga Hidup Baru), modifikasi
yoga. Dengan Orhiba inilah, Soekanto membuktikan dapat bertahan hidup dengan
fisik yang kuat sampai usia 85 tahun. Said Soekanto diangkat KKN pada 29
September 1945 oleh Presiden RI Sukarno. Ketika Februari 1946, pusat
pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta, markas kepolisian negara pindah ke
Purwokerto. Juli 1949, Soekanto yang saat itu ada di New York, diperintahkan
oleh Wapres Mohammad Hatta ikut menghadiri Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Belanda.
Setelah penyerahan kedaulatan RI akhir 1949, ia diangkat jadi Kepala Kepolisian
RIS. Tahun 1950, kembali menjadi KKN. Bulan Juli 1957, Soekanto menjabat
Menteri Muda Angkatan Kepolisian RI dan pensiun pada 31 Desember 1959 dengan
pangkat pangkat terakhir Komisaris Jenderal Polisi atau Letnan Jenderal. Tahun
1968, Soekanto dinaikkan pangkatnya jadi Jenderal Polisi Purnawirawan, dan pada
Agustus 1973, ia diangkat sebagai anggota DPA-RI
KAPOLRI
Letjen (Pol) Banurusman Astrosemitro, inspektur upacara pada pemakaman militer
di Tanah Kusir berucap, “Seluruh jajaran Polri merasa kehilangan. Sebagai
sesepuh Polri, almarhumSoekanto selalu memegang teguh setiap prinsip perjuangan
dengan
loyalitas
dan dedikasi yang tinggi.”
Bahkan
mantan Kapolri Jenderal Pol (Purn) Hoegeng Iman Santoso yang dikenal sebagai
polisi yang lurus pun mengatakan, “Pak Kanto orang yang patut dicontoh. Dia
meletakkan jiwa kepolisian, polisi harus jujur dan mengabdi masyarakat.” Menurut
Hoegeng yang hadir di pemakaman Tanah Kusir, jasa Soekanto di kepolisian sangat
besar. “Tanpa Pak Kanto, polisi sudah berantakan,” kata mantan Kepala
Kepolisian RI (1968-1971). Hoegeng bertemu dengan Soekanto ketika ia menjadi
siswa sekolah polisi pada zaman penjajahan Jepang, tahun 1942-1943. “Di zaman
Jepang, Pak Kanto yang jadi instruktur, sudah mendidik kami dengan jiwa keindonesiaan.
Saya ingat, Pak Kanto pernah marah pada saya. Tanpa kemarahan Pak Kanto, saya
tidak begini ini,” tuturnya.
Teman
seperjuangannya, Mayjen Pol (Purn) Mohammad Jassin (73), mantan Deputi Soekanto
dan mantan Panglima Mobil Brigade Indonesia (1952-59) menyebutkan, “Soekanto
seorang pejuang besar dan berdisiplin tinggi. Ia selalu berucap, tanpa
disiplin, aparat akan rusak.”
Deops
Kapolri Mayjen (Pol) Koesparmono Irsan yang sempat dilantik oleh Soekanto
ketika jadi taruna polisi di Sukabumi tahun 1959, mengatakan ia mengenal
Soekanto dari ayahnya yang juga polisi. “Dari cerita ayah, Pak Kanto orangnya
lurus, selalu berpegang pada aturan-aturan yang ada, tidak ingin menyimpang
sedikit juga. Kesetiaan kepada bangsa dan negara tak diragukan. Beliau tak suka
bermewah-mewah, kejiwaannya dalam sekali,” kata Koesparmono.
Mantan
Kapolri Jenderal Pol (Purn) Mohammad Hasan mengatakan, “Soekanto seorang polisi
bermoral tinggi.” Sedangkan Mayjen Pol (Purn) Soewondo Pranoto (79), mantan
Kepala Polisi Surabaya (1952- 58) menilai, Soekanto sangat percaya pada orang
yang sudah ditunjuknya. “Bawahan yang sudah diberi kepercayaan harus berusaha
sendiri
untuk mengerjakan tugas dengan baik dan disiplin,” katanya.
Asrena
Polri Mayjen (Pol) Drs Aji Komaruddin, Kapolda Metro Jaya Mayjen (Pol) Drs Moch
Hindarto, mantan Deputi bidang Operasi Mayjen Pol (Purn) IGM Putera Astaman
yang ditanya Kompas terpisah juga menjawab senada. Mereka mengagumi Said
Soekanto sebagai seorangpolisi yang teladan, tak ada duanya. “Dialah teladan
dan kebanggaan Polri.”
Dan
seperti kata Kapolri Letjen (Pol) Banurusman, “Adalah bebanbagi segenap jajaran
Polri untuk melanjutkan perjuangan almarhum, dan mewujudkan cita-cita
menciptakan polisi yang bersih, berwibawa, pandai dan modern.” Selamat jalan
Pak Said Soekanto…!
2.
Komisaris
Polisi Raden Soekarno Djojonegoro
Lahir
di Banjarnegara, Jawa Tengah, 15
Mei 1908 – meninggal di Jakarta, 27 November 1975
Pada umur 67 tahun. ia diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia (dulu bernama Kepala Kepolisian Negara) dari 15
Desember 1959 hingga 29 Desember 1963. Ia adalah anak
keempat Bupati Banjarnegara, Raden Adipati Djojonagoro II. Karier
kepolisiannya dimulai pada tahun 1928, setelah ia menamatkan pendidikannya
di Osvia.
Jabatan pertamanya adalah
AIB di Jatibarang. Ia kemudian menjadi Mantri Polisi Residen Jepara Rembang
(1931), Asisten Wedana Banyumas (1934), Asisten Residen Lampung (1935), Mantri
Polisi Kedungwuni, Pekalongan (1936), Asisten Wedana Polisi Tegal (1941),
Kepala Seksi IV Polisi Kota Semarang (1942), Kepala Polisi Salatiga (1943),
Kepala Polisi Istimewa Kota Semarang (1944), Keibikatyo Kota Semarang (1944),
Kepala Polisi Kendal (1945), Kepala Umum Kantor Besar Polisi Semarang (1945),
Kepala Polisi Karesidenan Pekalongan (Februari 1950), Kepala Polisi Karesidenan
Surabaya (Agustus 1950),Kepala Kepolisian Provinsi Jawa Timur (Desember
1950), dan Ajun Kepala Kepolisian Negara (November 1959). Pada 15
Desember 1959, Djojonegoro dilantik menjadi Kepala Kepolisian Negara
menggantikan Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo.
Beberapa
peristiwa semasa ia menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara:
§ 1960 -
Kepolisan Negara bergabung dalam ABRI
§ 1
Juli 1960 - empat janji prajurit kepolisian, "Catur Prasetya"
diikrarkan
§ April 1961 -
Catur Prasetya resmi dijadikan pedoman kerja kepolisian RI
selain Tribrata sebagai pedoman hidup.
§ 1962 -
Kepolisian Negara Republik Indonesia berubah nama menjadi Angkatan Kepolisian
RI (AKRI)
Masa
kepemimpinannya ditandai konflik dengan Belanda dan pemberontakan-pemberontakan
yang dilakukan PKI, DI/TII, APRA dan lain-lain, namun hal-hal
tersebut ditanganinya dengan baik. Ia digantikan Ajun Komisaris Besar Polisi
Soetjipto Danoekoesoemo pada 30 Desember 1963 dan segera
diangkat menjadi Menteri Penasihat Presiden untuk Urusan Dalam Negeri. Djojonegoro
memasuki masa pensiun mulai 31 Juli 1966. Hari-harinya dinikmatinya dengan
berkumpul bersama keluarga.
Djojonegoro
meninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia
meninggalkan istrinya, R.A. Sukatinah, dan lima orang anak. Sesuai permintaannya,
jenazahnya dimakamkan di makam khusus untuk pemakaman keluarga Djojonagoro,
"Suwondo Giri" di Banjarnegara.
3.
Inspektur
Jenderal Soetjipto Danoekoesoemo
lahir
di Tulungagung, Jawa Timur, 28 Februari 1922. Diangkat
menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dari 30
Desember 1963 hingga 8 Mei 1965. Masa kecilnya dihabiskan
di bangku HIS, MULO dan SMA-C. Ia kemudian mengikuti
pendidikan di Kotoka I (Sekolah Bagian Tinggi Kepolisian) Sukabumi (1943).
Setelah tamat, Danoekoesoemo diangkat menjadi Komandan Batalyon Polisi Istimewa
Surabaya(1945).
Soetjipto
kembali mengikuti pendidikan Hersholing Mobrig di Sukabumi
(1950). Setelah itu, ia diangkat menjadi Wakil Koordinator dan
Inspektur Mobile Brigade Polisi Jawa Timur (1951), dan Wakil Koordinator
dan Inspektur Mobrig Polisi Jawa Tengah (1954). Ia lalu dikirim
ke Italia untuk memperdalam untuk memperdalam ilmu kepolisian. Akhir
tahun 1960, dia ditempatkan sebagai Ajun Komisaris Besar Polisi Kastaf pada
Markas Pimpinan Komandan Mobrig Polisi Pusat.
Tahun
1961, Soetjipto menempuh pendidikan militer-kepolisian di Advance Army
School, Fort Benning,Amerika Serikat, dilanjutkan dengan pendidikan
di Army Command & General Staff College, Fort Leavenworth,
serta kursus pertahanan sipil di New York. Sekembalinya ke Indonesia, ia
dipromosikan menjabat Komandan Mobrig Polisi Pusat (1962). Dua tahun kemudian,
Soetjipto dilantik menjadi Kepala Kepolisian Negara (1964) menggantikan
Jenderal Pol.Soekarno Djojonagoro.
Beberapa
peristiwa semasa menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara:
§ 19
Maret 1965 - Sekolah Staf dan Komando Angkatan Kepolisian (Seskoak)
di Lembang, Bandung, didirikan.
§ 15
Maret 1965 - pemberlakuan KUHP Tentara, HAP Tentara dan KUDT bagi
anggota Polri
Ia
digantikan R. Soetjipto Joedodihardjo pada 9 Mei 1965.
Selepas itu, ia menjadi Duta Besar Rl untuk Bulgaria (1966-1969) dan
lalu menjadi anggota DPRGR dan MPRS (1970), serta Anggota DPR-MPR RI
selama empat tahun (1971-1974).
Presiden
Soekarno memberikan kepercayaan kepada dia untuk menjabat sebagai Menteri
Angkatan Kepolisian (Men/Pangak) selama 17 bulan, mulai akhir tahun 1963 sampai
awal tahun 1965. Dalam masa jabatannya ini, ia berusaha memperkokoh fondasi
kepolisian dan mengadakan pembenahan di lingkungan kepolisian.
Soetjipto
lahir pada tanggal 28 Februari 1922 di Campurdarat, Tulungagung. Setahun
setelah kelahiran Soetjopto, ayahnya dipecat sebagai pegawai Jawatan Pegadaian
Negeri Tulungagung. Soetjipto adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya
bernama Danoe Wirjodihardjo dan ibunya bernama Siti Kopah (Siti Fatimah).
Soetjipto tumbuh dan berkembang dalam keadaan prihatin, serba kekurangan, dan
penuh kesederhanaan. Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan keluarga yang taat
beragama. Ayahnya aktif dalam Sarekat Islam (SI). Ayahnya ditangkap Belanda
karena keterlibatannya dalam SI. Dalam jiwa Soetjipto, tertanam apa yang selalu
diberitahukan ayahnya bahwa orang Belanda dan Cina adalah orang jahat. Dalam
kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Soetjipto berhasil masuk ke HIS di
Nganjuk pada umur tujuh tahun.
Ketika
duduk di kelas 3, Soetjipto mengalami goncangan besar ketika ibunya meninggal
dunia. Ia kehilangan orang yang selama ini memberikannya kasih sayang dan orang
yang menjadi tiang penyangga ekonomi keluarga. Kemudian Soetjipto dititipkan
kepada keluarga Mangoendihardjo. Tahun 1935, ia pindah ke HIS Kediri untuk
tinggal bersama ayahnya. Di HIS Kediri, Soetjipto tidak bertahan lama. Pada
saat kelas 6, ia dikeluarkan karena telah lama menunggak bayaran sekolah. Ia
kemudian diajak oleh kakak iparnya untuk bersekolah di HIS Ponorogo. Ia dapat
menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1936. Setelah lulus HIS, ia melanjutkan
ke MULO swasta, yakni Neutrale MULO. Karena prestasinya di Neutrale MULO, ia
berkesempatan masuk ke MULO negeri di Madiun. Ia lulus dari MULO Madiun pada
tahun 1939. Setelah lulus dari MULO, ia diterima sebagai pegawai di Jawatan
Penataran Angkatan Laut Belanda. Setelah setahun bekerja, ia diangkat menjadi
asisten kepala bagian sampai kedatangan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, ia
tertarik masuk PETA, Kotoka (Sekolah Tinggi Bagian Polisi), dan pegawai kereta
api. Ia pun memilih untuk masuk Kotoka. Setelah lulus ujian masuk Kotoka, ia
pindah ke Sukabumi dimana sekolah tersebut berada. Tahun 1943 Soetjipto
bertugas di Surabaya. Tidak lama kemudian ia dipindahkan ke Hoofd Bureau bagian
intel. Pada tahun 1944, Soetjipto diberi tugas untuk melatih pasukan
Seinendan/Keibodan Surabaya. Pada pertengahan 1963 Presiden Soekarno membentuk
tim untuk mencari Men/Pangak yang baru. Tim yang diketuai oleh Dr. Cahaerul
Saleh tersebut, kemudian mengusulkan nama Ajun Komisaris Besar Polisi Soetjipto
Danoekoesoemo, seorang perwira polisi komandan Brimob yang waktu itu memiliki
12 satya lencana. Berdasarkan jenjang kepangkatan yang dimilikinya sebenarnya
ia belum pantas untuk menduduki posisi Men/Pangak. Pada tanggal 26 September
1963, Presiden memanggil Soetjipto ke Istana Negara. Presiden menanyakan
tentang perihal pengangkatannya menjadi Men/Pangak. Pada tanggal 4 Januari 1964
di Istana Bogor, Soetjipto Danoekoesoemo dilantik secara resmi oleh Presiden
Soekarno menjadi Men/Pangak baru menggantikan Soekarno Djojonagoro.
Demi
kelancaran tugas di jabatannya yang baru, Presiden Soekarno kemudian menaikkan
pangkatnya tiga tingkat menjadi Inspektur Jenderal Polisi. Meskipun kenaikan
pangkatnya tersebut menimbulkan ketidakpuasaan di kalangan polisi sendiri, tapi
Soetjipto mampu membuktikan bahwa dirinya dapat menajalankan tugas dengan baik.
Selama memegang jabatannya, ia berusaha melahirkan konsep-konsep baru dalam
rangka memajukan kepolisian RI. Kebijaksanaan yang dibuatnya ketika menduduki
posisi Men/Pangak adalah mengadakan perubahan struktur organisasi. Melalui SK
No. Pol: 11/SK/MK/1964 dibuat keputusan untuk menambah jumlah deputi menteri dalam
kepolisian menjadi lima. Untuk menyesuaikan perkembangan sistem organisasi,
maka diadakan perubahan nama-nama jabatan kepolisian di daerah. Contoh: Kepala
Kepolisian Komisariat diganti menjadi Panglima Daerah Kepolisian, Kepala Polisi
Distrik berubah menjadi Komandan Daerah Distrik Kepolisian, dsb. Soejipto
merasa perlu mengubah status antara sipil dan militer dalam UU Kepolisian No.
13/1961 Pasal 3, menjadi unsur angkatan yang sepenuhnya terintegrasi ke dalam
ABRI. Usaha tersebut berhasil dengan dikeluarkannya SK Presiden No. 290/1964
tentang “Penegasan Kedudukan, Tugas, dan Tanggung Jawab Angkatan Kepolisian RI
sebagai Unsur Angkatan Bersenjata”. Di dalam bidang pendidikan kepolisian,
Soetjipto merasa perlu untuk meningkatkan kualitas para personil polisi,
terutama menyangkut tugas-tugas pokok polisi.
Sehubungan
dengan hal itu, maka ia merencanakan pembentukan Sekolah Staf dan Komando
Kepolisian (Seskoak), yang dalam pekembangannya menjadi Seskopol, lalu sekarang
menjadi Sespimpol. Berdasarkan SK Men/Pangak No. 11/SK/MK/1964 maka mulai
dibentuklah Tim Kerja Pembentukan Seskoak. Di luar kepolisian, ia sempat
mendirikan sebuah sekolah dasar di daerah Jombang, Jawa Timur.
4.
Soetjipto
Joedodihardjo
lahir
di Jember, Jawa Timur, 27
April 1917 – meninggal 26 Maret 1984 diusia 66 tahun. Menjabat
sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dari 9
Mei 1965 hingga 8 Mei 1968. Pada masa kecilnya ia belajar di
HIS, KAE, MULO dan menamatkan Mosvia pada
tahun 1939. Ia berasal dari keluarga pamong praja yang sederhana. Ia adalah
anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan M. Ng. Mochamad Joesoef dan
Habibah Joedodihardjo. Adik perempuannya bernama Kamariyah. Berangkat dari
keluarga yang taat beragama, membentuk sosoknya yang jujur, sabar dan
bertanggung jawab. Ia adalah Kapolri (yang kala itu masih bernama
Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian—Men/Pangak) yang keempat sejak kemerdekaan
Indonesia. Bisa disebut, ia adalah Kapolri (Men/Pangak) dua zaman; zaman Orde
Lama dan Orde Baru. Zaman ketika terjadi transisi dari kedua Orde itu. Ia
menjadi Men/Pangak dalam masa yang penuh gejolak dan berbagai peristiwa
penting.
Pendidikannya
diselesaikannya dengan baik walau pun tidak mulus, melainkan banya rintangan. Ia
masuk Hollands Inlandsche School (HIS). Ini pun berkat kerja keras orang tuanya
dan diangkatnya ia sebagai anak angkat oleh pamannya yang seorang wedana
bernama R. Wiro Projo. Jiwa nasionalismenya mulai muncul di sekolah ini,
bersama teman-teman sekolahnya yang berasal dari kaum pribumi. Karena ketekunan
dan disiplin yang ditanamkan keluarga, ia lulus dan melanjutkan sekolah ke MULO
(Meer Uitgebreid Lager Onderwijs).
MULO yang
setingkat SMP sekarang itu mewajibkan penguasaan bahasa asing bagi
murid-muridnya sekurang-kurangnya dua. Tekad untuk mengabdikan diri dan
mempersembahkan sesuatu untuk bangsa dan negara menyebabkan M. Ng. Soeptjipto
Joedodihardjo tamat pada waktunya dengan prestasi yang menggembirakan. Ia pun
melanjutkan pendidikan di MOSVIA (Middelbare Opleiding School Voor inlandsche
Ambtenaren). Sekolah ini adalah sekolah yang sangat bergengsi di zaman itu.
Tidak semua orang bisa bersekolah di sini. Pendidikan yang diikuti M. Ng.
Soeptjipto Joedodihardjo di sekolah ini memungkinkan dirinya mengabdikan ilmu pada
bangsa dan negara hingga menjabat Men/Pangak. Ia menyelesaikan pendidikan di
MOSVIA tepat waktu yakni tahun 1939.Karier setelah pendidikannya dimulai dari
Ambtenaar sebagai pemangku jabatan AIB Tanggul Besuki. Tahun 1940, ia pindah ke
kota kelahirannya, Jember, sebagai AIB di tempat itu. Pada 1941 ia menjabat
Mantri Polisi Situbondo dan pada tahun yang sama menjadi Mantri Polisi
Surabaya. Tahun 1942, sebagai Mantri Polisi Bondowoso dan Kalisat/Jember. Tahun
1943 menjadi Itto Keibu di Bondowoso. Tahun 1944 ia pergi ke Taiwan untuk
mendapat latihan ilmu kepolisian. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah kesempatan
M. Ng. Soeptjipto Joedodihardjo untuk mewujudkan mimpinya; membaktikan ilmu dan
tenaganya untuk bangsanya sendiri. Di Besuki M. Ng. Soeptjipto Joedodihardjo
memimpin perlawanan dan pelucutan Jepang dan Jepang tunduk. Jepang pun
menyerahkan senjata dan diterima oleh, salah satunya, Kepala Tokubetsu
Keisatsutai Soetjipto Joedodihardjo.
Berkat
perjuangannya, ia mendapat kenaikan pangkat menjadi Inspektur Polisi Kelas I
pada Pasukan Istimewa Besuki. Pada penyusupan tentara NICA oleh Sekutu, di
daerah sekitar Besuki M. Ng. Soeptjipto Joedodihardjo tampil sebagai pemimpin
untuk melawan mereka. Daerah Keresidenan Besuki masuk sebagai daerah target
perluasan wilayah Belanda kala itu. Maka, mau dan tak mau Kesatuan Mobrig
Besuki di bawah kepemimpinan Inspektur Polisi Kelas I M. Ng. Soetjipto
Joedodihardjo melakukan perlawanan dan berhasil mematahkan serangan Belanda.
Atas jasanya itu, M. Ng. Soetjipto Joedodihardjo dipromosikan sebagai Wakil
Komandan Mobrig Polisi Jawa Timur di Surabaya (1947).
Tak lama
kemudian ia pun mendapat kenaikan pangkat menjadi Komisaris Polisi (KP) II.
Pada masa sebagai Wakil Komandan Mobrig Polisi Jawa Timur ini, salah satu
prestasinya adalah berhasil menumpas pemberontakan PKI di Madiun 1948. Setelah
keberhasilan itu, Komisaris Polisi TK. II M. Ng. Soetjipto Joedodihardjo
mengemban tugas berat yakni Komandan Mobrig Polisi Jakarta Raya (1950). Lantas
ia pun menjadi Komandan Mobrig Polisi Jawa Timur. Ia diakui dan dipuji
pemerintah dan pimpinan Polri karena berhasil ikut menumpas Angkatan Perang
Ratu Adil (APRA) di Bandung. Ia pun dipromosikan untuk menduduki jabatan di
Jawatan Kepolisian Negara dengan pangkat Komisaris I. Pada 4 Juli 1950, Dewan
Guru Besar Angkatan Kepolisian merubah Akademi Polisi menjadi Perguruan Tinggi
Ilmu Kepolisian. M. Ng. Soetjipto Joedodihardjo pun diangkat dan ditetapkan
sebagai Lektor PTIK pada 1960. Ketekunan, ketegasan dan perjalanan kariernya
yang berprestasilah yang menghantarkannya ke kedudukan ini. Jiwa M. Ng.
Soetjipto Joedodihardjo mungkin sudah tertanam dan mendarah daging dengan
kesatuan Mobrig. Ini terbukti dengan diangkatnya dia sebagai Komandan
Komandemen Mobrig Pusat pada 1960. Mobrig ini lantas dirubah namanya oleh Bung
Karno menjadi Brigade Mobil (Brimob).
Soetjipto kemudian
menjadi ambtenaar (pegawai negeri) dengan menjabat sebagai
AIB Tanggul/Besuki (1939). Kemudian AIB di kota
kelahirannya, Jember, tahun 1940. Sesudah itu kariernya berjalan dengan
mantap dan terus menanjak. Ia berturut-turut menjadi Mantri
Polisi Situbondo (1941), Mantri Polisi Surabaya (1941),
Mantri Polisi Bondowoso (1942), Mantri
Polisi Kalisat/Jember (1942), dan Itto Keibu Bondowoso
(1943). Dari sini, dia mendapat latihan ilmu kepolisian
di Taiwan (1944). Sebulan menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI, dia
masih menjadi Itto Keibu di Bondowoso.
Dua bulan setelah Kemerdekaan RI,
tepatnya pada tanggal 1 Oktober 1945, Soetjipto menjadi Inspektur
Polisi Kelas I pada Pasukan Polisi Istimewa Besuki (1945).
Prestasinya menanjak, ketika dia ditarik ke Surabaya sebagai Wakil
Komandan Mobrig Polisi Jawa Timur (1947). Kemudian menjadi Komandan
Mobrig Polisi Jakarta Raya (1950), Komandan Mobrig Polisi Jawa Timur (1950),
Komisaris Polisi Kelas I pada Jawatan Kepolisian Negara (1954), Lektor PTIK
(1960), Komandan Komandemen Mobrig Pusat (1960), Asisten II Kastaf Komisaris
Jenderal MBPN (1962), Kepala Pusat Pertahanan Sipil (1962).
Menginjak tahun 1962, Soetjipto sempat
dikirim ke AS untuk satu setengah bulan. Dan, tahun ini pula, ketika
Indonesia menjadi tuan rumahAsian Games IV, Komisaris Besar Polisi Soetjipto
ditunjuk menjadi Pimpinan Harian Organizing Committeenya. Tiga tahun kemudian,
1965, dia diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara untuk masa jabatan sampai
1968. Semasa kepemimpinan Joedodihardjo ini, mulai berdiriAkademi Angkatan
Kepolisian (1 Oktober 1965). Namun, pada 16 Desember 1965,
pendidikan akademi itu disatukan ke dalam pendidikanABRI, dan namanya menjadi AKABRI Bagian
Kepolisian.
5.
Menjadi Menteri/Pangak RI
Masa kepemimpinan Kapolri R. Soetjipto
Joedodihardjo penuh dengan gejolak. Sebab inilah masa transisi dari Orde
Lama ke Orde Baru. Pada 9 Mei 1965,
Presiden Soekarno melantik Raden Soetjipto Joedodihardjo menjadi
Menteri/Pangak RI berpangkat Inspektur Jenderal Polisi. Nama Departemen
Angkatan Kepolisian (Depak) diubah menjadi Kementerian Angkatan Kepolisian (Kemak).
Perubahan ini sehubungan dengan keluarnya Keputusan Presiden 27
Maret 1966 tentang susunan Kabinet Dwikora yang
disempurnakan lagi (Dwikora III). Namun namanya berubah lagi menjadi Depak,
pada 21 Agustus 1966. Hal ini dilakukan menyusul pembentukan
organisasi Kabinet Ampera. Struktur organisasi kepolisian pun beberapa
kali berubah karena kondisi dan situasi politik ketika itu agak memanas.
Jabatannya sebagai Menteri/Panglima
Angkatan Kepolisian digantikan oleh Drs. Hoegeng Imam Santoso. Kemudian ia
mulai memasuki masa persiapan pensiun. Pada 1 November 1972, dia
pensiun dari jajaran kepolisian. Pada tanggal 26 Maret 1984,
Joedodihardjo meninggal dunia.
5.
Hoegeng
Imam Santoso
lahir
di Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921 – meninggal
14 Juli 2004 pada umur 82 tahun. Ia adalah salah satu
tokoh militer Indonesia dan juga salah satu
penandatangan Petisi 50. Dia masuk pendidikan HIS pada usia enam
tahun, kemudian melanjutkan ke MULO (1934) dan menempuh sekolah
menengah di AMS Westers Klasiek (1937). Setelah itu, dia belajar ilmu
hukum di Rechts Hoge School Batavia tahun 1940. Sewaktu pendudukan Jepang,
dia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai
(1943). Baru dia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang
Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi Tentara
Laut Jawa Tengah (1945-1946). Kemudian mengikuti pendidikan Polisi
Akademi dan bekerja di bagian Purel, Jawatan Kepolisian Negara.
Mas
Hoegeng di luar kerja terkenal dengan kelompok pemusik Hawaii, The Hawaiian
Seniors. Selain ikut menyanyi juga memainkan ukulele. Sering terdengar di Radio
Elshinta dengan banyolan khas bersama Mas Yos.
6.
KariBanyak
hal terjadi selama kepemimpinan Kapolri Hoegeng Iman Santoso. Pertama, Hoegeng
melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut Struktur Organisasi di
tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru lebih terkesan lebih
dinamis dan komunikatif. Kedua, adalah soal perubahan nama
pimpinan polisi dan markas besarnya. Berdasarkan Keppres No.52 Tahun 1969,
sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi Kepala
Kepolisian RI (Kapolri). Dengan begitu, nama Markas Besar Angkatan Kepolisian
pun berubah menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabak). Perubahan itu membawa
sejumlah konsekuensi untuk beberapa instansi yang berada di Kapolri. Misalnya,
sebutan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolisian
RI atau Kadapol. Demikian pula sebutan Seskoak menjadi Seskopol. Di bawah
kepemimpinan Hoegeng peran serta Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional,
International Criminal Police Organization (ICPO), semakin aktif. Hal itu
ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau
(NCB) Interpol di Jakarta.
Tahun
1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada
Military Police School Port Gordon, George, Amerika Serikat. Dari situ,
dia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu
menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatera Utara (1956)
di Medan. Tahun 1959, mengikuti pendidikan Pendidikan Brimob dan
menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala
Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran Negara (1965), dan menjadi Menteri
Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966. Setelah Hoegeng pindah ke markas Kepolisian
Negara kariernya terus menanjak. Di situ, dia menjabat Deputi Operasi Pangak
(1966), dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi juga masih dalam 1966. Terakhir,
pada 5 Mei 1968, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (tahun 1969,
namanya kemudian berubah menjadi Kapolri), menggantikan Soetjipto
Joedodihardjo. Hoegeng mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 2 Oktober 1971,
dan digantikan oleh Drs. Mohamad Hasan.
Semasa menjabat Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Kapolri), dia pernah membongkar kasus penyelundupan
mobil mewah. Dia pula orang pertama mencetuskan dan menganjurkan memakai helm
bagi pengendara sepeda motor, serta menganjurkan kaki mengangkang bagi
pembonceng sepeda motor. Ketika itu, dia banyak mendapat kritik. Walau kemudian,
setelah ia pensiun, anjurannya berbuah dimana pengendara sepeda motor menjadi
sadar betapa pentingnya memakai helm.Dia seorang yang jujur dan konsisten dalam
melakukan kewajibannya sebagai polisi (kapolri). Namun ironisnya, akibat
kejujuran dan keteguhannya melaksanakan tugas, dia malah diberhentikan oleh
Presiden Soeharto dari jabatan Kapolri sebelum selesai masa jabatan yang
seharusnya tiga tahun. Bermula dari rencananya untuk menangkap seorang
penyelundup besar, yang buktinya di Mabes Polri sudah cukup untuk ditahan.
Namun karena si penyelundup itu disebut-sebut dekat dengan Cendana, maka ia
ingin lebih dahulu melaporkan penangkapan tersebut kepada Presiden Soeharto.
Lalu, ketika sampai di Cendana, ia kaget karena si penyeludup itu tengah berbincang-
bincang dengan Soeharto. Sejak saat itu, ia sangat sulit mempercayai Presiden
Soeharto.Dia merasa, hal itulah yang mempercepat pemberhentiannya sebagai
Kapolri. Walaupun alasan yang dikemukakan oleh Soeharto adalah untuk
regenerasi. Alasan yang dibuat-buat. Sebab ketika dia menanyakan siapa
penggantinya, Soeharto menyebut Mohammad Hassan, yang ternyata berusia lebih
tua darinya. Dia seorang polisi yang jujur dan bersih dari korupsi. Terbukti,
memasuki masa pensiun, ia tidak punya simpanan apa pun. Untunglah para
kerabatnya menghadiahinya rumah dan mobil, tanpa diminta. Saat memasuki pensiun
itu, ia pun ditawari menjadi duta besar di Belgia, namun ditolakkarena merasa
tidak cocok, dan lebih suka tinggal di negeri sendiri.Lalu, ia pun menghabiskan
hari-harinya dengan melukis dan bermain musik. Dia memang menyukai musik irama
Lautan Teduh sejak muda. Maka setelah pensiun dia bersama istri dan rekan-
rekannya mendirikan grup musik The Hawaiian Senior, 1975. Mereka sering tampil
di layar TVRI dalam acara Gema Irama Lautan Teduh. Acara itu kemudian dilarang
pemerintah sebab dianggap bukan musik Indonesia. Namun banyak orang beranggapan
alasan sesungguhnya pelarangan itu adalah karena sejak Juni 1978, Hoegeng
bergabung dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) yang didirikan atas
inisiatif AH Nasution dan Proklamator Mohammad Hatta sebagai penasihat. LKB itu
bertujuan melakukan pengawasan dan koreksi terhadap penyelenggaraan negara dan
kekuasaan pemerintahan secara konstitusional. Ia pun terpaksa meninggalkan hobi
menyanyi itu. Kemudian sejak Mei 1980, ia bergabung dalam kelompok lima puluh
warga negara RI, antara lain Mohammad Natsir, AH Nasution, Syafruddin
Prawiranegara, H Ali Sadikin, Burhanuddin Harahap, SK Trimurti, Manai Sophian,
Ny D Wallandouw, yang menandatangani “Pernyataan Keprihatinan” terhadap cara
penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan Soeharto, yang kemudian
populer disebut “Petisi 50″.Mantan Menteri Iuran Negara (1966-1967), itu tak
hanya ikut menandatangani, tetapi terlibat aktif dalam Kelompok Kerja Petisi
50, yaitu suatu lembaga kajian tentang masalah kehidupan bangsa dan negara yang
didirikan Yayasan LKB. Dia rajin menghadiri pertemuan mingguan yang berlangsung
di kediaman Ali Sadikin, di Jalan Borobudur 2, Jakarta Pusat.Kisah menarik
lainnya, ketika Presiden Soekarno mengkaryakannya menjadi Kepala Jawatan
Imigrasi (Direktur Jenderal Imigrasi). Sehari sebelum pelantikan, ia meminta
isterinya, Merry (Marie Roselina), untuk menutup toko kembang isterinya itu di
Jalan Cikini. Alasannya, karena ia akan dilantik menjadi Kepala Jawatan
Imigrasi. “Apa hubungan dengan toko kembang?” tanya isterinya. “Nanti semua
orang yang berurusan denganimigrasi akan memesan kembang pada toko kembang Ibu
Merry dan ini tidakadil untuk toko-toko kembang lainnya,” jelas Hoegeng.
Isterinya pun memahami dan menutup toko kembangnya.Saat dikaryakan dari
kepolisian ke Imigrasi itu, ia pun menolak diberi mobil dinas baru karena mobil
jip dinas kepolisian yang dipakainya yang juga milik negara dirasa sudah cukup
baginya.Begitu juga ketika menjabat Menteri Iuran Negara. Ia diminta pindah
dari rumah pribadi di Jalan Prof Moh Yamin ke rumah dinas yang lebih besar.
Permintaan pindah rumah itu ditolak dengan alasan rumah yang ditempatinya sudah
cukup representatif sehingga negara tidak perlu lagi mengeluarkan biaya
untuknya. Menurutnya, sebagai Menteri Iuran Negara dia bertugas mencari uang
untuk negara, bukan sebaliknya, menghabiskan uang negara untuk rumah dan
fasilitas yang bukan-bukan.Dia telah menerima banyak tanda jasa, antara lain,
Bintang (BT) Gerilya, BT Dharma, BT Bhayangkara, BT Kartika Eka Paksi Tingkat
I, BT Jasasena, Swa Buawa, Panglima Setya Kota, Sapta Marga, Prasetya
Pancawarsa, Satya Dasawarasa, Yana Utama, Penegak dan Ksatria Tamtama. Ia juga
dianugerahi LBH Award, saat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu
memperingati HUT 32 tahun.Perihal asal-usul namanya, Hoegeng. Semasa kecil, ia
biasa dipanggil ‘Bugel’ karena badannya tambun. Kemudian menjadi ‘Bugeng’ dan
akhirnya menjadi Hoegeng sampai akhir hayatnya. Ayahnya, Sukarjo Karjohatmojo,
seorang hoofd Jaksa, yang memeiliki rasa sosial dan kemanusiaan yang tinggi.
Sang Ayah sengaja mendirikan rumah untuk orang-orang miskin dan telantar.
Hoegeng kecil sering diajak ayahnya ke rumah penampungan orangterlantar itu.
Saat itu, Sang Ayah membisikkan, ”Kelak, bila kau jadi orang berpangkat dan
berkuasa, ingatlah: kekuasaan itu laksana pedang bermata dua.”Pria yang
menikahi Marie Roselina, dikaruniai tiga anak yakni Reni Soeryanti, Aditya
Soetanto dan Sri Pamujining Rahayu, ini setelah pensiun, selain melukis, ia
tercatat sebagai anggota ORARI. Ia juga seorang tokoh yang dalam keadaan sulit
berada di depan untuk menegakkan demokrasi dan kejujuran. Saat banyak tokoh
masih manggut-manggut kepada kekuasaan otoriter, ia maju ke depan menyuarakan
demokrasi dan kebenaran. Sampai akhir hayatnya, ia tetap teguh pada prinsip dan
menjadi teladan bagi semua anak bangsa, khususnya bagi Kepolisian Republik
Indonesia.
6.
Jenderal Purnawirawan Mohamad
Hasan
Muara Dua, Palembang, 1920 – 23
Februari 2005) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia pada tahun 1971–1974. M. Hasan pernah menjadi
anggota MPR dan Duta Besar Indonesia
untuk Malaysia (1974-1978). Ia juga telah menerima 17 bintang tanda
jasa. Ia meninggal dunia pada 23 Februari 2005 karena menderita sesak napas dan
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Hasan
meninggalkan seorang istri, Nani Hasan dan sembilan anak.
7.
Widodo
Budidarmo
lahir
di Surabaya, Jawa Timur, 1 September 1927; meninggal saat umur
84 tahun) adalah mantan Kapolri periode 1974 - 1978. Dia mengenyam pendidikan
umum di HIS (1934-1941), lalu melanjutkan ke Sekolah Teknik
(1942-1946). Semasa dalam pendidikan sekolah menengah itu, dia sudah aktif
mengangkat senjata untuk ikut dalam Perang Kemerdekaan di Jawa Timur.
Betapa pun, dia masih dapat menyelesaikan SMA-nya tahun 1950.
Pada
tanggal 4 Juni 1955, Widodo menikah dengan Darmiati Poeger. Dan dikaruniai tiga
orang anak; Martini Indah (1957), Agus Aditono (1959) dan Destina Lestari
(1961). Anak pertama menikah dengan Alex Tangyong dan dikaruniai seorang putra
- Johann F. Tangyong (1983). Anak bungsunya menikah dengan Johannes Tangyong
dan dikaruniai dua orang anak - David Y. Tangyong (1989) dan Kezia A. Tangyong
(1992).Widodo kemudian memasuki karier kepolisian, dan belajar
di PTIK hingga lulus pada 1955. Setelah itu, dia menjabat Kabag
Organisasi Polisi di Purwakarta selama tiga tahun, 1956-1959. Selama
masa itu pula dia ikut dalam Operasi Penumpasan Gerombolan
DI/TII di Jawa Barat.
Ada
satu prestasi Kapolri Widodo Budidarmo yang harus dicatat dalam lembar
perjalanan kepolisian, yaitu ketika Polri sepakat mendirikan Kantor Bersama 3
Instansi (Samsat) di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Ketiga instansi itu
masing-masing adalah Polri, Pemda DKI Jakarta dan Perum AK Jasa Raharja
mencapai kata sepakat untuk membuka kantor seatap di Polda. Program bersama ini
dioperasikan dalam rangka pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, seperti STNK,
BPKB dan lain-lain. Di masa Widodo pula Pemerintah mengeluarkan UU No. 9
tentang Narkotik, tertanggal 26 Juli 1976. Juga, pada masa Kapolri Widodo pula
diterbitkan sebuah Skep Kapolri yang khusus mengenai Satama Satwa guna
menunjang langkah-langkah operasional Polri (1977).
Pada
awal 1960, dia pergi ke AS untuk memperdalam ilmu militernya di US Coast Guard
Officers Candidate School, dan rampung tahun 1960. Pulang dari AS, Widodo
menjabat Kabag Operasi Polisi Jakarta Raya (1960). Lantas berbagai jabatan
disandangnya, berturut-turut menjadi Panglima Korps Perairan dan Udara (1964),
Panglima Daerah Kepolisian II Sumatera Utara (1967), dan Kadapol VII Metro Jaya
periode 1970-1974. Di sini, Kadapol Widodo bertanggung jawab atas operasi
pengamanan langsung Pemilu 1971 di Jakarta, yang ketika itu agak bersuasana
panas. Bahkan setelah Pemilu, dia juga harus mengamankan Sidang Umum MPR-RI
yang berlangsung di Jakarta. Dalam hal ini, Widodo pun diangkat menjadi Anggota
MPR-RI.
Selepas
menjabat Kadapol Metro Jaya, pada 25 Juni 1974, Widodo dilantik oleh Presiden
Soeharto untuk menjadi Kapolri. Dia memangku jabatan Kapolri selama periode
1974-1978. Pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Widodo, waktu itu tanggal
26 Juni 1974 di Istana Negara oleh Presiden Soeharto, bersamaan dengan
pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Kasal Laksdya TNI R.S. Soebijakto.
Yang menarik dicatat, perihal Widodo ini, adalah soal keterlibatannya secara
aktif turut angkat senjata dalam Perang Kemerdekaan di Jawa Timur, ketika dia
baru berusia 18 tahun. Demikian pula sewaktu terjadi berbagai pemberontakan di
dalam negeri, dia ikut pula dalam upaya Operasi Penumpasan Gerombolan DI/TII,
Penumpasan G.30.S/PKI dan beberapa operasi lainnya.Peng
Pertengahan
Mei 1973 akan selalu diingat keluarga Jenderal Pol Widodo Budidarmo. Ketika
itu, keluarga Widodo berduka setelah sopir keluarga mereka, Sugianto tertembak
pistol yang dipegang Tono, putra Widodo yang saat itu baru duduk di bangku SMP.
Peristiwa itu terjadi saat Widodo masih menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya
dengan pangkat mayor jenderal polisi. Ketika itu Tono dan Sugianto menjemput
adiknya Tina di Masjid Al Azhar, Jakarta Selatan.
Sebelum berangkat, rupanya Tono masuk ke kamar kerja Widodo di rumah
dinas. Saat itu, tidak seperti biasanya,
Widodo lupa mengunci ruang kerjanya. Tono melihat sepucuk pistol di laci meja
kerja ayahnya. Pistol itu dibawanya.
Dalam perjalanan, pistol itu diperlihatkan kepada Sugianto yang kemudian memberi Tono sebutir peluru. Saat menunggu Tina, di jok belakang Tono memainkan pistol itu. Ia ingin tahu cara kerja pistol itu. Dia putar-putar dan gerakkan hingga tiba-tiba pistol itu menyalak. Tono terperanjat dan panik saat melihat darah keluar dari tubuh Sugianto yang duduk di jok sopir. Orang-orang di sekitar langsung mengerubungi mobil. Nyawa Sugianto tak bisa diselamatkan. Peristiwa itu membuat Widodo terkejut dan sedih. Dia yakin peristiwa itu akan menjadi berita di koran-koran. Sebagai orangtua dia juga membayangkan dampak buruk peristiwa itu bagi Tono. Apa langkah Widodo berikutnya? Dia langsung mengumpulkan stafnya. Dia meminta masukan terhadap kasus yang menimpa anaknya. Ada staf yang menyarankan agar kasus ini ditutup-tutupi dengan alasan bisa memengaruhi karir Widodo.
Dalam perjalanan, pistol itu diperlihatkan kepada Sugianto yang kemudian memberi Tono sebutir peluru. Saat menunggu Tina, di jok belakang Tono memainkan pistol itu. Ia ingin tahu cara kerja pistol itu. Dia putar-putar dan gerakkan hingga tiba-tiba pistol itu menyalak. Tono terperanjat dan panik saat melihat darah keluar dari tubuh Sugianto yang duduk di jok sopir. Orang-orang di sekitar langsung mengerubungi mobil. Nyawa Sugianto tak bisa diselamatkan. Peristiwa itu membuat Widodo terkejut dan sedih. Dia yakin peristiwa itu akan menjadi berita di koran-koran. Sebagai orangtua dia juga membayangkan dampak buruk peristiwa itu bagi Tono. Apa langkah Widodo berikutnya? Dia langsung mengumpulkan stafnya. Dia meminta masukan terhadap kasus yang menimpa anaknya. Ada staf yang menyarankan agar kasus ini ditutup-tutupi dengan alasan bisa memengaruhi karir Widodo.
Setelah
berpikir, Widodo pun ambil keputusan. Dia tidak akan menutupi kasus itu. Dia
memilih bertanggung jawab dan menyelesaikan kasus ini secara hukum. Widodo
kemudian menyerahkan kasus ini agar diperiksa aparat Polsek Kebayoran Baru,
Jaksel. Widodo kemudian menggelar jumpa pers untuk menjelaskan kejadian itu. Di
depan pers, dia kembali menegaskan sikapnya, menyerahkan kasus ini untuk
diproses hukum. "Kalau pers akan memberitakan peristiwa ini terserah.
Hanya saja, saya pesankan agar objektif. Ini hanya suatu kecelakaan. Jangan
sampai nanti anak saya dicap sebagai pembunuh dan sebagainya sehingga
mempengaruhi pertumbuhannya," kata Widodo seperti dikutip dari buku
biografinya, Karena Kuasa dan Kasihnya terbitan Praja Bhakti Nusantara dan Q
Communication tahun 2004.
Selanjutnya
Widodo melaporkan peristiwa itu kepada atasannya Kapolri Jenderal Polisi M
Hasan, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, dan Menhankam/Pangab Jenderal M
Panggabean. Widodo juga melapor kepada Presiden Soeharto. Dia mengaku lalai dan
siap meletakkan jabatannya. Tetapi, semua menyatakan apa yang dialami Widodo
adalah musibah yang harus diambil hikmahnya. Tono kemudian diadili di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dia dihukum masa percobaan selama setahun.
Peristiwa itu terbukti tidak menghalangi karier Widodo Budidarmo. Dia bahkan
dipromosikan untuk menjabat sebagai Kepala Polri tahun 1974.
Untuk semua jasanya selama mengabdi
kepada negara, Widodo dianugerahi sejumlah tanda jasa. Dia menerima Bintang
Dharma, Bintang Bhayangkara (I dan III), Bintang Swa Buana Paksi Utama, Bintang
Yudha Dharma Utama dan Bintang Jalasena Utama. Dia juga memperoleh penyematan
sejumlah Satya Lencana, seperti SL Karya Bhakti, SL Yana Utama, SL Panca Warsa,
SL Perang Kemerdekaan (I dan II), SL COM V, SL Penegak dan SL Veteran Pejuang
RI. Sedangkan dari luar negeri, dia menerima Commandeur Met de Zwaarden,
Diplomatic Service Merit Heung in Medal dan Bintang Panglima Setia Mahkota
Pemerintah Malaysia.
Pada
saat menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya, terjadi suatu peristiwa yang kemudian
menunjukkan sikap terbuka dan tidak pandang bulu dalam menghadapi hukum dan
keadilan. Pada tahun 1973 terjadi musibah dalam keluarga Widodo Budidarmo.
Puteranya yang bernama Tono, yang baru duduk di kelas II SMP, secara tidak
sengja menembak sopir keluarga tersebut. Meskipun anak buah dan staf
menyarankan agar peristiwa tersebut ditutupi, namun Widodo Budidarmo justru
mengambil keputusan untuk membuka peristiwa penembakan tersebut kepada publik
dalam sebuah jumpa pers dan menyerahkan putranya kepada Polsek Kebayoran Baru
untuk diproses secara hukum. Dalam pengadilan di Jakarta Selatan kemudian Tono
dijatuhi hukuman satu tahun masa percobaan. Sikap Widodo tersebut kemudian dipuji
oleh pers sebagai sikap penegak hukum sejati.
8.
Awaloedin
Djamin
"...
Bila sekarang ada satu Bung Hatta dan satu Sutan Syahrir, di masa yang akan
datang akan ada beratus-ratus Hatta dan beribu-ribu Syahrir." (Awaloedin
Djamin)
lahir
di Padang, Sumatra Barat, 26 September 1927; meninggal pada
usia 84 tahun. Menjabat Kapolri periode 1978 1982.
Setamat SLTA, dia melanjutkan studinya di Fakultas Ekonomi (1949-1950).
Masuk menjadi prajurit polisi, kemudian menempuh pendidikan di PTIK hingga
lulus tahun 1955. Dia lalu ditempatkan pada bagian Sekretariat Jawatan
Kepolisian Negara (1955) dan menjabat Kasi Umum Sekretariat Jawatan Kepolisian
Negara (1958). Kemudian dia memperdalam studinya di University of
Pitsburgh dan dilanjutkan ke University of Southern
California, Amerika Serikat, hingga menggondol gelar PhD pada 1962.
Sepulang
dari Amerika Serikat, Awaloedin menjabat sebagai Lektor Luar Biasa PTIK (1964).
Kemudian, berturut-turut menjadi Direktur Kekaryaan Depak (1964), Anggota
Musyawarah Pembantu Perencana Nasional (1965), Anggota DPRGR (1964-1966),
Menteri Tenaga Kerja Kabiriet Ampera (1966), dan Deputi Pangak Urusan Khusus
semasa Kapolri Hoegeng Iman Santoso (1968). Sebelum ditugaskan
sebagai Duta Besar RI untuk Jerman Barat (1976), terlebih
dulu dia menjadi D-rektur Lembaga Administrasi Negara (1970). Dan akhirnya, dia
dipanggil pulang ke Jakarta untuk dilantik
oleh Presiden Soeharto menjadi Kapolri, pada 26 September 1978.
Awaloedin
menjabat Kapolri selama empat tahun, dari tahun 1978 sampai tahun 1982. Selain
semasa ke-pemimpinannya organisasi Polri diarahkan pada kelembagaan yang
dinamis dan profesional, pada masa Awaloedin pula KUHAP UU No. 8 Tahun 1981
sebagai hasil karya bangsa Indonesia sendiri disahkan DPR-RI. KUHAP sebagai pengganti Het
Herziene Inlandsh Reglement (HIR), hukum acara pidana produk
kolonial Belanda yang dianggap telah usang dan tidak manusiawi. Dalam
hal ini, Polri berperan aktif menyumbangkan pokok-pokok pikiran untuk materi
KUHAP baru itu.
Hasratnya
dalam bidang pendidikan, ternyata belum sirna. Terbukti, Awaloedin masih pula
mengabdikan dirinya dalam pendidikan dan pengembangan profesi kepolisian.
Setelah tidak lagi menjadi Kapolri dia masih bersedia menjabat sebagai Dekan
PTIK yang notabene berada di bawah Kapolri. Tapi kecintaan kepada Polri dan
demi nusa dan bangsa membuat Awaloedin tidak mau terjebak dalam status simbol.
Maka dia memilih tetap menerima jabatan Dekan PTIK.
Awaloedin
menerima sejumlah penghargaan sebagai tanda jasanya. Diantaranya menerima Bintang
Dharma, Bintang Bhayangkara dan Bintang Mahaputra Adipradana. Juga Satya
Lencana Perang Kemerdekaan (I dan II), SL Karya Bhakti, SL Yana Utama, SL Panca
Warsa, SL Penegak dan SL Veteran Pejiiang RI. Dari luar negeri, dia menerima
Das Gross Rreuz (Pemerintah Jerman Barat). Awaloedin Djamin menghabiskan masa
kecil dan sekolah dasar hingga menengah atasnya di kota Padang.
Awaloedin
adalah sosok yang cukup punya banyak kelebihan. Selain sebagai polisi yang
piawai, ia juga adalah politisi yang handal dan akademisi yang briliant. Ia
lahir dari keluarga bangsawan di Padang pada 26 September 1927. Sehabis
meyelesaikan pendidikan setingkat SMA di Padang, ia melanjutkan studinya di
Universitas Indonesia, Jakarta (1949-1950) Putra pertama Marah Djamin ini
lantas masuk PTIK yang ditamatkannya pada tahun 1955.
Fokus
pemikiran dan kerjanya saat menjabat sebagai Kapolri adalah pembenahan
menyeluruh (Overall reform) untuk meningkatkan citra dan wibawa Polri di mata
masyarakat. Ia melakukanya dengan kebijakan terpadu yang dikenal dengan
“Program Pembenahan dan Peningkatan Citra Diri”.
Pada masa Awaloedin Djamin menjabat sebagai Kapolri ini, ia telah meletakkan dasar bagi organisasi Kepolisian modern. Tiga kebijaksanaannya semasa Kapolri yang patut dicatat dalam sejarah adalah pembenahan organisasi, pendidikan kepolisian dan kerja sama luar negeri. Pada masa jabatannya ini, ia dan jawatan polisi lainnya terlibat aktif dan menyumbangkan banyak hal untuk lahirnya KUHAP, UU No. 8, Tahun 1981 baru yang disahkan oleh DPR RI.
Pada masa Awaloedin Djamin menjabat sebagai Kapolri ini, ia telah meletakkan dasar bagi organisasi Kepolisian modern. Tiga kebijaksanaannya semasa Kapolri yang patut dicatat dalam sejarah adalah pembenahan organisasi, pendidikan kepolisian dan kerja sama luar negeri. Pada masa jabatannya ini, ia dan jawatan polisi lainnya terlibat aktif dan menyumbangkan banyak hal untuk lahirnya KUHAP, UU No. 8, Tahun 1981 baru yang disahkan oleh DPR RI.
Awaloedin
adalah orang yang low profile dan juga objektif. Hal ini terlihat dengan
pengakuannya sendiri ketika di masa akhir jabatannya bahwa masih banyak
kelemahan dalam tubuh Polri. Meskipun sesungguhnya program oferall reformnya
sungguh sangat berguna dan dampak dari perubahan itu telah dirasakan seluruh
jajaran polisi di seluruh wilayah negara RI. Awaloedin Djamin telah menerima
banyak penghargaan dan tanda jasa dari dalam mau pun luar negeri. Ia adalah
juga seorang Polisi yang mencintai buku. Ini terlihat dalam masa jabatannya
sebagai Kapolri juga ketika ia menekankan pentingnya seluruh anggota Polri
memahami sejarah Polri. Ia memprakarsai penulisan buku biografi pemimpin Polisi
RI yang pertama R.S. Soekanto dan memperjuangkan pengukuhan beliau sebagai
Bapak Polisi Indonesia.
Kerja
Awaloedin Djamin dalam bidang buku antara lain merevisi Sejarah Kepolisian di
Indonesia yang terbit tahun 1997, menjadi buku Sejarah Perkembagan Kepolisian
di Indonesia dari Zaman Kuno sampai Sekarang., dan terbit tahun 2006. Masa
pensiunnya sebagai Polisi tidak berlangsung lama. Ia pensiun dalam unur 55
tahun pada 11 Desember 1982. Namun ia langsung diserahkan tugas sebagai Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) serta Sekretaris Dewan Pembina Golkar bersama dengan
Cosmas Batubara, Harmoko, Abdul Gafur, dan Sapardjo. Ia juga tetap mengabdi
dalam bidang akademis sebagai Dekan PTIK dan Guru Besar Ilmu Administrasi
Negara di UI. Ia juga diminta memimpin Universitas Pancasila yang didirikan
tahun 1984. Ia aktif di berbagai organisasi seperi Kadin, SPSI, YTKI, Permanin,
Alumni Jerman, Gebu Minang, Persatuan Tarbiah Islamiah, Asosiasi Kriminologi
Indonesia, dan Perhimpunan Pustakawan Indonesia.
Di
tingkat internasional ia diangkat sebagai Executive Committee Member dari
International Association of university Presidents dan anggota EROPA. Dengan
beberapa teman, ia berinisiatif mendirikan The Indonesian Executive Servise
Corps. Setelah pensiun, ia terus mengabdi seperti kata pepatah: the Old Soldier
Never Die.
9.
Anton
Soedjarwo
(lahir
di Bandung, Jawa Barat, 21
September 1930 – meninggal di Jakarta, 18
April 1988 pada umur 57 tahun) adalah Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Kapolri) dari tahun 4 Desember1982 hingga
tahun 1986. Putranya, Rudi Soedjarwo, adalah
seorang sutradara film. Polisi bermotto kerja ini sejak kecil sudah
bercita-cita menjadi Polisi. Maka setelah menyelesaikan pendidikan SD di
Cilacap (1945), SMP di Poerworejo (1949), dan SMA di Magelang (1952). Anton
kemudian masuk sekolah inspektur polisi di Sukabima dan lulus (1954). Dia juga
mengikuti pendidikan Ranger SPMB, Porong 1960. Sekolah Infanteri Officer
Orientation, Fort Bening AS (1961), dan Susbanhan (1965), mengikuti pendidikan
para dasar Margahayu
Jenderal Polisi (Purn) Anton Soedjarwo adalah
Anggota Korps Brimob yang dinilai berperan penting dan bisa duduk sebagai
Kapolri. Dalam buku biografinya berjudul "Mengenang Jenderal Polisi Anton
Soedjarmo" terbitan Paguyuban Keluarga Besar Alumni Pendidikan Inspektur
Polisi ABCDE, 2002 dijelaskan sepak terjang Jenderal Polisi (Purn) Anton
Soedjarwo. Anton Soedjarwo bukan hanya dikenal di lingkungan
Polri saja, melainkan juga dikenal di lingkungan Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Fisiknya yang gagah dan tinggi besar serta berkumis lebat adalah
cirinya. Kehadirannya di berbagai medan tugas memberikan warna sendiri bagi
satuan personel yang dipimpinnya.
Pria kelahiran 21 September 1930 di Bandung
adalah Komandan Pertama Datasemen Pelopor yang sebelumnya bernama Batalyon
Ranger. Batalyon Ranger sendiri dibentuk untuk menanggulangi gerakan separatis
dan pemberontakan di dalam negeri. Saat menyandang pangkat Ajun Komisaris
Polisi (AKP) Anton Soedjarwo masuk dan dilatih dalam bagian Batalyon Ranger
yang juga angkatan pertama. Pendikan Ranger dilaksanakan selama 22 minggu dan
dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama selama 12 minggu latihan di Posong dan
tahap kedua adalah latihan di Watukosek, Jawa Timur selama 10 minggu.
Pasukan Brimob Ranger bersama dengan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) juga bertugas dalam operasi tempur merebut Irian Barat
pada tahun 1962.
Pada bulan
Mei tahun 1962 sejumlah pasukan Brimob Ranger ditempatkan di pulau Gorom,
sebuah pulau di Maluku Tenggara yang lokasinya amat berdekatan sekali dengan
Irian Barat. Bukan hanya itu pasukan Anton Soedjarwo juga berhasil melaksanakan
tugas dengan baik. Mereka berhasil melakukan infiltrasi ke dalam wilayah musuh.
Pada tanggal 17 Agustus tahun 1962 Bendera Merah Putih berhasil dikibarkan di
Rumbai, Irian Barat. Atas prestasi itu negara memberikan penghargaan kepada 53
orang personel Brimob Ranger berupa Tanda Kehormatan Bintang Sakti dari
pemerintah Republik Indonesia.
Setelah operasi Trikora selesai, atas
perintah dan petunjung Presiden Sukarno, nama Ranger diubah menjadi Pelopor.
Kemudian Anton Soedjarwo ditunjuk sebagai Komandan Batalyon pelopor pertama.
Pada tahun 1965 batalyon pelopor statusnya dinaikkan menjadi Resimen Pelopor
dengan komandan Anton Soedjarwo dibantu Soetrisno Ilham. Karier Anton Soedjarwo
dalam Kepolisian terus melonjak. Pada tanggal 4 Desember 1982 Anton Soedjarwo
diangkat sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Awaloedin Djamin. Sebelum
duduk sebagai Kapolri, Anton Soedjarwo juga pernah menjabat sebagai Kapolda
Metro Jaya dengan pangkat Mayor Jenderal Polisi.
10.
Letnan
Jenderal Polisi Mochammad Sanoesi
(lahir
di Bogor, Jawa Barat, 15
Februari 1935 – meninggal diJakarta, 26
Desember 2008 pada umur 73 tahun) adalah Kepala Kepolisian
Republik Indonesia sejak 7 Juni1986 hingga 19 Februari 1991.
Lulusan PTIK Angkatan VII ini kemudian dilantik menjadi Komisaris Polisi II.
Selanjutnya, dia belajar diInternational Police Academy, Amerika
Serikat (1969). Dia pun mengikuti pendidikan karier lainnya
di Polridan ABRI, seperti Seskopol (1970) dan Sesko ABRI-Gabungan
(1976). Namun, karier Sanoesi dalam dinas kepolisian dimulai sejak menjabat
sebagai Komandan Resort Kepolisian 1051 Madiun (1963-1968).
Lalu menjabat Kastaf Komdin
104 Kediri (1968-1972) dan Paban III/Litbang, Komandan Pusat Kesenjataan
Administrasi dan Kastaf Kobangdildat Polri (1972-1981).
11.
Biografi Kapolri
Moch Sanoesi mempunyai pandangan bahwa dalam menjalankan tugasnya Polri harus
mengoptimalkan seluruh potensi yang ada, baik yang dimilikinya sendiri maupun
yang ada pada masyarakat. Selain itu seluruh potensi yang ada juga harus
didinamisir agar mampu mendukung tugas-tugas Polri. Berangkat dari sanalah
kemudian Sanoesi sebagai Kapolri mencanangkan motto Optimasi dan Dinamisasi
yang kemudian terkenal dengan istilah Opdin. Dari pengalaman bertugas di
kewilayahan dan di bidang pendidikan itu, dia melihat untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia di lingkungan Polri diperlukan penyempurnaan
mekanisme dan sistem pendidikan Polri.
a. Lantas
dia pun mengajukan wawasan bahwa dalam melaksanakan tugas-tugasnya Polri mutlak
harus dilandasi dengan penggunaan ilmu dan teknologi. Maka, lahirlah falsafah
Vidya Satyatama Mitra, yang berarti, Pengetahuan adalah Sahabat Paling Setia.
Agar wawasan itu terus diingat, kemudian dilekatkan pada Pataka Kobangdildat
Polri berupa sasanti Widya Satyatama Mitra. Sewaktu Sanoesi menjabat Kadis
Litbang Polri (1981-1982), peran Iptek makin menjadi pengasah profesionalisme
Polri. Misalnya, waktu itu, Sanoesi mengajak sejumlah pakar berbagai disiplin
ilmu dari Universitas Indonesia untuk merumuskan deskripsi tentang masyarakat
dari dimensi Kamtibmas. Pendidikan dan Iptek itu pula yang menjadi modal dan
pengalaman berharga dalam mendinamisasikan tanggung jawabnya selaku Kapolda
Kalimantan Selatan dan Tengah (1982-1984). Di Kalimantan itu pun dia menjalin
dialog komunikatif dengan para tokoh masyarakat, terutama tokoh agama, dalam
memelihara Kamtibmas. Dia kemudian diangkat menjadi Asisten Kepala Staf Umum
ABRI Bidang Kamtibmas (Askamtibmas Kasum ABRI) pada 1984-1985, lalu menjadi
Kapolda Jawa Tengah (1985).
Ketika
menjabat Askamtibmas Kasum ABRI, Sanoesi diperintahkan menyusun Strategi
Pembinaan Kamtibmas jangka sedang (1984-1988). Naskah inilah yang kelak menjadi
embrio dari penggelaran Strategi Opdin (Optimasi dan Dinamisasi) sewaktu
Sanoesi menjabat Kapolri. Strategi Opdin ini juga dimaksudkan sebagai benang
merah kelanjutan dari kedua Strategi Kapolri sebelumnya, yaitu "Pola Dasar
Pembenahan Polri" oleh Kapolri Jenderal Pol DR Awaloedin Djamin MPA, dan
"Rencana Konsolidasi dan Fungsionalisasi (Rekonfu)" oleh Kapolri
Jenderal Pol Anton Soedjarwo. Semua itu didasarkan pada kesadarannya bahwa
proses pembangunan Polri dan citranya dalam masyarakat bukanlah merupakan proses
yang ditempuh secara terpenggal-penggal, melainkan merupakan suatu proses
pembangunan yang berkesinambungan dan konsisten.
Atas
segenap pengabdiannya, antara lain Sanoesi menerima Bintang Dharma, Bintang
Bhayangkara Utama, dan Bintang Yudha Dharma Nararya. Sementara dari dunia
internasional dia menerima Bintang Pratama Born (Thailand), Bintang Panglima
Satya Mahkota (Malaysia) dan Comandeur de la Legian D'honneur.
11.
Kunarto
Kunarto
lahir di Yogyakarta, 8 Juni 1940 dan meninggal
di Surabaya, 28 September 2011 pada umur 71 tahun. Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia periode 1991-1993. Ia masuk pendidikan polisi, PTIK angkatan IX
pada tahun 1961. Ia pernah menjabat sebagai ajudan mantan Presiden Soeharto
dari tahun 1979 hingga tahun 1986, kemudian Wakil Kepala Polda Metro Jaya dari
tanggal 1 September 1986 hingga Desember 1987 serta sebagai Kapolda Sumatera
Utara periode tahun 1987-1989.
Menikah
dengan Warsiyah dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Rino AdiKuswaryono dan
Hariadi Kuswaryono. Jenderal (Purn) Kunarto meninggal dunia di Rumah Sakit
Internasional Surabaya, 28 September 2011 pada pukul 04.00 WIB.
Jenazahsemayamkan di STIK-PTIK Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata Jakarta-Selatan dengan Acara Kemiliteran. Anak dari pasangan Ahmad
Djohar dan Parimah ini sejak sekolah dasar sudah bercita-cita untuk menjadi
polisi. Tahun 1960 Kunarto berhasil diterima di Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian (PTIK) Jakarta, setelah kurang lebih enam bulan menganggur
setamatnya dari SMA.
Kunarto
adalah seseorang yang tidak pernah patah semangat dan memiliki kemauan yang
kuat untuk selalu belajar dan sekaligus ingin menunjukkan bahwa ia mampu
berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara. Selama menuntut ilmu di PTIK,
Kunarto juga menerima beberapa ijasah pendukung, seperti pendidikan kewiraan
angkatan ke-2 di pusat pendidikan Brigade Mobil (Pusdik Brimob) Watukosek,
Porong, Jawa Timur pada tanggal 30 September 1963, Ijasah Bakaloreat I (B-I)
pada 14 Februari 1963, dan ijasah Bakaloreat II (B-II) tanggal 15 Mei 1964.
Prestasi lain yang Ia peroleh saat studi di PTIK, antara lain berhasil
mendapatkan Surat Keterangan Kebisaan Menembak, Ijasah Sarjana Muda Ilmu
Kepolisian No.427 tahun 1964/1965 tanggal 27 januari 1965 dan Ijasah Sekolah
Perang Khusus KKO-Para Dasar KKO-AL No.0795/Ra/66 tanggal 21 Juni 1966.
Selama
belajar di PTIK, Ia benar-benar tekun belajar dan berkarya di luar pendidikan
yang Ia terima. Tahun 1970 setelah tamat doktoral PTIK dan memperoleh Ijasah
Sarjana Lengkap Ilmu Kepolisian, Kunarto ditugaskan di Polda Metro Jaya sebagai
Sekretaris Pribadi Panglima Daerah Angkatan Kepolisian (Pangdak) VII/Metro Jaya
Inspektur Mayor Jenderal Polisi Drs.Sukahar, lalu digantikan oleh Mayjen Polisi
Drs.Widodo Budidarmo. Pada masa kepemimpinan Pangdak Mayjen Polisi Drs.Widodo
Budidarmo, Kunanto diangkat sebagai Dan Sikko 753/Pulogadung, Jakarta selama
satu tahun, dan kemudian sebagai Kepala Sekretariat Umum (Kasetum) Polda Metro
Jaya hampir dua tahun lamanya. Dalam perjalanan karirnya di kepolisian Kunarto
pernah menjadi ajudan Presiden Soeharto dari tahun 1986 hingga tahun 1986, dan
setelah berhenti sebagai ajudan presiden, Kunarto kemudian menjadi Wakapolda
Metro Jaya dan bertugas dari tanggal 1 September 1986 hingga Desember 1987.
Pada tanggal 11 April 1987 setelah melalui serangkaian pendidikan dan pelatihan
di Sekolah Kepolisian sesuai dengan surat perintah Pangab
No.Pol.SPRIN/325/IV/1987 Kunarto resmi mengenakan pangkat Brigadir Jenderal
Polisi. Kenaikan pangkat tersebut telah membawa Kunarto menempati jabatan
sebagai Kapolda Sematera Utara masa jabatan 1987-1989 dan sebagai Kapolda Nusa
Tenggara.
Keberhasilannya
menjalankan tugas sebagai Kapolda membuat pangkat Kunarto di naikkan menjadi
Mayor Jenderal Polisi pada tahun 1989 dan pada tahun 1991 Kunarto selanjutnya
diangkat menjadi letnan jenderal polisi. Berbagai prestasi dan pengalamana yang
dimiliki Kunarto, telah membawanya menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia
menggantikan Jenderal Polisi Drs. Moch. Sanoesi yang memasuki masa pensiun.
Presiden Soeharto melantik dan mengambil sumpah Letnan Jendral Polisi
Drs.Kunarto di Istana Negara. Serah terima jabatan Kapolri kemudian
diselenggarakan pada 27 Februari 1991 dengan Inspektur Upacara Panglima ABRI
Jenderal TNI Try Sutrisno. Menurut Kunarto hakikat serah terima jabatan Kapolri
tersebut memiliki tiga unsur, yaitu : melanjutkan, mengubah, dan memperbaharui
konsep yang sudah ada sebelumnya. Ketiga unsur tersebut merupakan dinamika
organisasi untuk mewujudkan hari esok yang lebih baik, meskipun demikian Ia
menganggap perlu adanya upaya untuk meningkatkan pelayanan polri kepada
masyarakat dengan berbagai permasalahannya.
Sebagai
Kapolri Ia memahami betul bahwa institusi yang dipimpinnya memiliki tugas dan
tanggung jawab yang sangat berat, terutama dalam upaya menciptakan rasa aman
dalam masyarakat. Atas adasar itulah Ia merasa terpanggil dan bertanggung jawab
untuk membuat suatu kebijakan yang dapat dijadikan arahan bagi setiap personel
polisi di seluruh tanah air dalam menjalankan tugas-tugasnya, yaitu : pertama,
turunnya angka kejahatan(Crime Total); Kedua, meningkatnya penyelesaian perkara
(Crime Clearance); Ketiga, meningkatnya kamtibcar lantas; Keempat, meningkatnya
kesadaran lingkungan (darling) dan kesadaran hukum (darkum) masyarakat yang
mengarah pada pembinaan keamanan Swakarsa; Kelima, meningkatkan disiplin
interen. Kelima arahan tersebut merupakan sasaran pokok yang harus dicapai
polisi dengan peningkatan profesionalisme di seluruh jajaran kepolisian Kunarto
merasa optimis bahwa tindak kejahatan, baik seara kualitas maupu kuantitas,
tentu dapat berkurang atau menurun.
Selama
menjalankan tugasnya sebagai Kapolri, Kunarto juga lebih mementingkan
pendekatan humanisme, dan tidak harus patuh pada aturan standar dan prosedural.
Selain itu, Ia juga menekankan pada perubahan citra polisi di masyarakat,
Kunarto berharap agar polisi dapat menampilkan diri sebagai sosok pengayom
masyarakat, penuh cinta kasih, dan menjauhkan diri dari sikap kekerasan
terhadap masyarakat. Pria yang dikenal sederhana, pendiam, bersahaja, dan murah
senyum ini menganggap bahwa masyarakat sebenarnya sayang kepada polisi, maka
sudah menjadi kewajiban jika polisi juga sayang kepada masyarakat. Keberadaan
polisi hendaknya jangan merugikan masyarakat, sebab warga masarakat tidak akan
melapor ke polisi jika tidak karena terpaksa atau dalam keadaan susah. Terhadap
orang yang susah tersebut, masak polisi tega memperlakukan secara tidak benar.
12.
Banurusman
Astrosemitro
(lahir
di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 September 1941; umur 70
tahun) adalah mantan Kapolri peridoe 1993 - 1996. Di kota kecil di kaki Gunung
Galunggung itulah Banu menghabiskan masa remajanya, dengan me-namatkan
pendidikan di SMA Negeri Tasikmalaya. Lalu, pada tanggal 1 September 1961, dia
masuk dinas kepolisian dengan mengikuti serangkaian pendidikan kepolisian,
hingga tamat pada Februari 1965 dengan pangkat Letnan Satu.
Pribadi
dan sosok Kapolri Banurusman Astrosemitro hampir tidak dapat dipisahkan dari
Polri. Ada beberapa alasan utama mengapa kesimpulan itu layak ditarik.
Pertama-tama Banurusman meniti kariernya dari bawah, yakni dari mulai pangkat
Letnan Satu. Tetapi kemudian terbukti dia bukan saja berhasil mencapai pangkat
tertinggi, Jenderal penuh, tetapi juga sekaligus berhasil menduduki jabatan
Kapolri. Kemudian, jejak pengabdian dan kiprahnya di Polri juga tidak dapat
diabaikan. Dia antara lain ikut membidani lahirnya manajemen operasional
Situpak (Situasi, Tugas, Pelaksanaan, Administrasi, Komando dan Pengendalian).
Begitu juga Banurusman lewat operasi intelejennya ikut memberantas dan
membersihkan kekuatan sisa-sisa G-30 S/PKI sewaktu bertugas Polda Metro Jaya. Pertimbangan
lain, keluarga Banurusman termasuk "Keluarga Polri." Istrinya sendiri
dulu ketika disunting bertugas sebagai Polisi Wanita (Polwan). Kini anak
lelakinya juga terjun sebagai anggota Polri. Apalagi terbukti lebih dari
separuh usianya memang dihabiskan untuk mengabdi kepada Polri. Dengan demikian
tidaklah berlebihan apabila pribadi dan sosok Banurusman melekat erat pada
Polri. Banurusman dilantik menjadi Kapolri ke-12 oleh Presiden Soeharto 6 April
1993 di Istana Negara, Jakarta. Banu, panggilan akrabnya, yang waktu itu
berpangkat Letnan Jenderal, menggantikan Jenderal (Pol) Drs. Kunarto. Empat
hari kemudian, di Mabes Polri, dilakukan upacara serah terima jabatan dari
Kunarto kepada Banu.
Mengawali
tugasnya sebagai Kapolri, Banu mengeluarkan kebijakan "Jati Diri
Polri," yang intinya berisi agar setiap prajurit Polri selalu mengingat
jati dirinya sebagai Polri. Dari kepemimpinan tampak jelas Banu bukanlah tipe
orang yang senang menonjolkan diri sendiri. Dia pun selalu mengakui dan
mengikuti hal-hal positif yang telah dirintis dan dikembangkan pendahulunya.
Itulah sebabnya moto yang dicanangkannya sebagai Kapolri pun "Tekadku
Pengabdian Terbaik, Sukses Melalui Kebersamaan, dan Suksesku adalah
Senyummu." Dari moto ini terlihat dia mempertahankan moto dari
pendahulunya yang memang sudah baik, dan menambahkannya sesuai dengan tuntutan pelayan
masyarakat dengan mencanangkan Strategi Peningkatan Pelayan Masyarakat. Banu
juga sadar dalam menjalankan tugasnya Polri memerlukan dialog yang terus
menerus dengan masyarakatnya. Maka Banu pun mengeluarkan konsep "Senyum,
Sapa dan Salam".
Tugas
pertamanya di kota Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Di kota itu pula dia sempat
menjabat Komandan Kompi B, Batalyon 935 Brimob. Dari Pare-Pare, tahun 1967 dia
hijrah ke Jakarta melanjutkan studinya di PTIK. Setamat PTIK tahun 1970, Banu
ditugaskan di Polda Metro Jaya sebagai Intelijen Zeni untuk membantu Kasi PKN.
Dalam hal ini, peran intelijen sungguh vital dalam upaya membersihkan sisa-sisa
pelaku G-30-S/PKI. Selain turut dalam pembersihan G-30-S/PKI, dia pun aktif
mengawasi Orang Asing dan gerakan-gerakan Ormas yang berfusi untuk menghadapi
Pemilu 1971.
Rupanya.
dalam perjalanan kariernya Banu sering memperoleh beban tugas yang berat dan
menantang. Tempaan pengalaman-pengalaman inilah yang kelak membuatnya memiliki
kepemimpinan yang matang. Misalnya dia juga ditugaskan sebagai Perwira Operasi
KP-3 Tanjung Priok, yang kala itu terkenal rawan dan penyelundupan merajalela.
Betapapun sederet tugas itu terasa berat, tapi dia tetap melaksanakannya dengan
baik dan penuh pengabdian. Tahun 1974 dia ditunjuk sebagai Spri Kasum ABRI.
Berikut
tahun 1975-1976, dia mengikuti Sespim pada Susreg II di Bandung. Setelah itu
menjabat Kabag Samapta di Komtares Malang. Tahun berikutnya, dia menjadi
Kapolres Banyuwangi selama dua setengah tahun. Kemudian menjabat Kasi Intelpam
di Polda Jawa Timur selama sembilan bulan. Banu lantas dipindahkan ke Polda
Sulselra di Ujungpandang dengan jabatan Asisten Intelijen, hingga tahun 1982.
Dari sana Banu kembali lagi ke Jawa Barat. Jabatan barunya waktu itu sebagai
Asintel Polda Jabar. Lalu menjadi Kapolwil Banten dari tahun 1985 sampai tahun
1986. Dari Banten, dia ditugaskan menjadi Kapolwil Cirebon. Kendati di Cirebon
hanya 10 bulan, namun dia sempat membuat prestasi gemilang dengan menggulung
sekelompok pelaku pencurian dengan kekerasan yang terjadi di Pom Bensin
Tuparev. Ternyata, kasus Tuparev ini merupakan buntut kegiatan ekstrem kanan
dengan kategori subversif.
Sejak
awal sudah terlihat Banurusman memang cemerlang. Dia selalu berupaya menelurkan
gagasan inovatifnya demi kemajuan Polri. Tidak heran bila dia turut aktif dalam
membidani manajemen operasional Situpak (Situasi, Tugas, Pelaksanaan,
Admi-nistrasi, Komando dan Pengendalian). Setelah menjelajah Pulau Jawa dan
Indonesia Timur (Sulawesi), Banu dipromosikan menjadi WakaPolda Sumatera Utara
di Medan. Selagi masih menjabat WakaPolda itu, dia dipanggil untuk mengikuti
pendidikan Lemhannas dan setelah rampung ditugaskan menjadi WakaPolda Metro
Jaya (1989-1990). Kemudian tugas baru selaku Dir Bimmas Polri sudah
menunggunya.
Selama
di Mabes Polri itu, dia termasuk salah seorang pemrakarsa terbentuknya Bintara
Pariwisata dan Babin Kamtibmas. Memasuki tahun 1991, Banurusman meninggalkan
Jakarta, dan menjabat Kapolda Jabar di Bandung. Setelah itu dia menjadi Kapolda
Metro Jaya, selama 1992 hingga awal 1993. Akhirnya, pada April 1993, Banurusman
dilantik oleh Presiden Soeharto menjadi Kapolri menggantikan pendahulunya,
Jenderal Polisi Drs Kunarto. Kini, Banu dikaruniai tiga orang anak, seorang
putra dan dua orang putri. Sang sulung, anak lelakinya, Urip Witnu Laksana,
kini mengikuti jejak ayah-nya menjadi prajurit Polri. Anaknya yang kedua dan
ketiga, masing-masing bernama Ratih Jelantik Pustikasari dan Pika Rustia
Cempaka. dan sudah dikaruniai 6 orang cucu. Dania laksana , Tania Laksana , Win
Wicaksana , almarhum Salwa , Nayla , Dan Davian Satya Danendra. dan salah
seorang cucunya yang bernama Tania Laksana juga menggeluti bidang hukum.
sekarang ia sedang berkuliah di Universitas Trisakti, Fakultas Hukum.
Banurusman
lahir pada tanggal 28 September 1941 di Desa Cibeuti, Kecamatan Kawalu,
Kabupaten Kota Tasikmalaya, dari pasangan suami isteri Abdul Wahid Astrosemitro
dan Hj. Siti Maryam Abdul Wahid. Keluarga Banurusman adalah potret keluarga
polisi yang sederhana. Ayah Banurusman adalah seorang anggota Polri yang berasal
dari kota Bangkalan, Madura. Sebagai keluarga polisi Abdul Wahid sudah pasti
menerapkan serta menanamkan nilai-nilai disiplin yang tinggi dalam kehidupan
sehari-hari mereka. Selain nilai-nilai disiplin, Banurusman juga mendapat
dasar-dasar ilmu agama dari pesantren yang banyak terdapat dilingkungan
sekitarnya di kota Tasikmalaya. Gemblengan ilmu agama di pesantren tersebut
sangat kuat dalam kehidupan pribadi banurusman ataupun keluarga.
Hal itu menjadikannya
dikenal banyak kalangan sebagai salah satu sosok jendral polisi yang sangat
agamis, yang tidak pernah lepas dari kewajibannya dalam menjalankan shalat lima
waktu. Selain itu, kebiasaan di masa menjadi santri di pesantren yang sampai sekarang
masih sering dilakukan adalah kebiasaan menjalankan puasa
senin-kamis.Banurusman mulai memasuki masa sekolah tepatnya pada tahun 1947.
Jenjang pendidikan dasar yang dijalani pertama kali olehnya adalah jenjang
sekulah rakyat (SR), SMP Negeri 1 Tasikmalaya, dan kemudian menamatkan
pendidikannya di SMA Negeri 1 Tasikmalaya dengan mengambil jurusan kelas “B”
(Ilmu Pasti). Sebelum masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Banurusman
sempat menjadi mahasiswa di Universitas Pajajaran, Fakultas Ilmu Pasti dan
Pengetahuan Alam (FIPPA) jurusan biologi selama empat bulan. Pengumuman
mengenai PTIK yang mencari pemuda-pemudi tamatan SMA “B” untuk dididik menjadi
perwira polisi, telah membuat Banurusman meninggalkan Universitas Pajajaran dan
kemudian mendaftar menjadi calon polisi. Banurusman mulai masuk didinas
kepolisian dengan mengikuti serangkaian pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian (PTIK) dan tamat Sarjana Muda dengan pangkat Letnan Satu Polisi
(Letupol) pada Bulan Februari tahun 1965. Banurusman memulai karir di
kepolisian sejak lulus pendidikan karyawan Brimob (Brigade Mobil) di pusat
pendidikan Brigade Mobil Watukosek, Porong, Provinsi Jawa Timur pada tahun
1963, yakni sebagai Kepala Seksi (Kasi) II Batalion 935 Pare-pare hingga tahun
1967 sebagai komandan kompi B (Danki) Batalion 935 Brimob di tempat yang sama.
Dari Pare-pare, kemudian pada tahun 1967 Banurusman hijrah ke Jakarta untuk
melanjutkan karirnya dengan melanjutkan studinya di PTOK. Setelah 3 tahun
berlalu, Banurusman menyelesaikan studinya di PTIK tingkat doktoral dan
bergelar Doktorandus Ilmu Kepolisian (Drs.) di depan namanya, dan tamat dari
PTIK pada tahun 1970. Pada tanggal 19 Juli 1970, Banurusman menikahi kekasihnya
seorang gadia asal Kalimantan Timur, Nona Mastiar, dan dari pernikahannya ini
Banurusman dianugerahi tiga orang anak. Dalam membina keluarganya, Banurusman
yang memang dasarnya seorang santri, selalu menyelaraskan pendidikan umum
dengan pengetahuan agama, khususnya terhadap anak-anaknya. Menurut pria yang
beristrikan seorang mantan Polisi Wanita (Polwan) ini, pendidikan yang tinggi
tanpa didasari agama yang kuat akan sia-sia ilmunya tersebut. Setamatnya dari
PTIK, Banurusman ditugaskan di Polda Metro Jaya sebagai Intelejen Zeni untuk
membantu kepala seksi (Kasi) PKN, disini peran intelejen sangat vital sekali
dalam upaya membersihkan Gerakan 30 September, Ia pun ikut aktif mengawasi
orang asing (WNA) serta gerakan-gerakan organisasi massa (ormas) yang berfusi
untuk menghadapi pemilu pada tahun 1971. Pada tahun-tahun selanjutnya, karir
Banurusman semakin cemerlang dan menanjak, hal tersebut selain ditunjang oleh
pendidikan formalnya di PTIK juga dari berbagai kursus yang diikutinya baik di
lingkungan kepolisian maupun lingkungan ABRI pada saat itu. Tahun 1974 hingga tahun
1975, Banurusman sempat ditunjuk sebagai sekretaris pribadi Kepala Staf Umum
Departemen Pertahanan dan Keamanan (Spri Kasum Dephankam). Pada tahun 1976
hingga 1977 Ia menjabat sebagai Kepala Bagian (Kabag) samapta komando Antar
Resort (Komtarres) Malang setelah selesai mengikuti sekolah staf dan komando
ABRI bagian kepolisian Sus Reg II (Sesko ABRI bagian Kepolisian Kursus Reguler
Agk ke-2) di Bandung. Pada tahun berikutnya Ia menjadi Kapolres Banyuwangi
selama hampir kurang dua tahun, kemudian menjabat kepala seksi (Kasi) Interpam
di Polda JawaTimur selama sembilan bulan. Banurusman kemudian dipindahkan ke
Polda Sulawesi Selatan dan tenggara (Sulselra) di Ujung Pandang dengan jabatan
Asisten Inteijen hingga tahun 1982, dari sana Banurusman kembali lagi ke Jawa
Barat, dengan jabatan barunnya sebagai AS Intel Polda Jawa Barat yang di
pegangnya selama dua tahun.
Tahun
1985 hingga tahun 1986, Banurusman menduduki jabatan sebagai Kepala Polisi
Wilayah (Kapolwil) Banten. Dari Banten, Ia ditugaskan kembali sebagai Kapolwil
Cirebon. Kendati hanya 10 bulan Banurusman menjabat sebagai Kapolwil Cirebon,
Ia sempat membuat prestasi yang sangat gemilang dengan mampu menggulung
kelompok pelaku pencurian dengan kekerasan (curas) yang terjadi di Pom Bensin
Tuparev.
13.
Jenderal
Polisi Drs. Dibyo Widodo
(lahir
di Purwokerto, Jawa Tengah, 26 Mei 1946; umur 65 tahun)
adalah Kapolri ke 13 yang mempertegas peran kepolisian sebagai
pengayom masyarakat. Hal ini sesuai dengan latar belakang tugas yang
diemban oleh lulusan PTIK tahun 1975, yang tidak bergeser dari berbagai
permasalahan yang selalu muncul di masyarakat. Selama periode kepemimpinannya
yang ditandai dengan akan adanya peristiwa penting bagi bangsa dan negara
yakni Pemilihan Umum tahun 1997, menunjukkan bahwa ia memang dituntut
oleh tugas yang memerlukan disiplin tinggi maupun kerjasama tim yang solid.
Garis
kebijakan yang
dikeluarkan sejak dilantik tanggal 18 Maret 1996 lalu tertuang
dalam butir-butir kebijakan, yaitu: Sosialisasi Gerakan Displin National,
Pembentukan/Kerjasama Tim, Konsistensi Pendekatan Hukum, Pelayanan Terbaik dan
Amankan dan Sukseskan Pemilu 1997 & Sidang Umum MPR 1998, yang diarahkan
untuk mewujudkan penampilan peroranjyan/individu, penampilan satuan dan
pennmpilan operasional. Pengalaman lapangan yang luas termasuk daerah yang
potensi konfliknya cukup tinggi semacam Surabaya dan Medan, cukup untuk memberi
bekal bagi seorang pemimpin dengan beban yang tidak kecil.
Dibyo
Widodo memulai kariernya di kepolisian sejak tanggal 1
Desember 1968 dengan pangkat Inspektur Polisi tingkat II. Mengawali
tugas sebagai Perwira Operasi di Komres 1012 Surabaya, kemudian
mempersunting Dewi Poernomo Aryanti sebagai isterinya, pasangan tersebut kini
dikarunia tiga orang anak, satu diantaranya seorang puteri. Sebagai sosok yang
menyusuri kariernya mulai dari jenjang bawah, putra pertama pasangan Drs
Soekardi dan Toerniati Sukardi ini pernah menduduki 32 jabatan sebelum sampai
puncak kariernya sebagai Kapolri. Hal ini dilalui dengan ketekunan menapaki
berbagai jenjang pendidikan maupun kursus dan penataran. Pendidikan umumnya
sendiri adalah sampai tingkat SMA pada tahun 1965 yang kemudian dilanjutkan
dengan pendidikan di Akademi Angkatan Kepolisian (1968), Bakaloreat PTIK
(1972), Doktoral PTIK (1975), Sesko ABRI Bagpol (1981), Lemhannas (1993).
Penyandang
brevet Para Brimob Polri, Selam Polri, Selam Angkatan Laut, dan Pandu
Udara dari Kopassus Angkatan Darat ini, punya komitmen untuk meningkatkan
operasional kepolisian dalam memberantas kejahatan dengan tetap memperhatikan
garis-garis kebijakan pendahulunya. Catatan prestasi operasionalnya cukup
menonjol ketika bertugas di Operasi Seroja Timor Timur, namun sebenarnya
lonjakan kariernya tercatat setelah menyelesaikan tugas sebagai
Kapolres Deli Serdang tahun 1986 dan kemudian diangkat
sebagai ADC Presiden RIsampai tahun 1992. Berturut-turut setelah
itu ia menjabat sebagai Irpolda Sumut, Wakapolda Nusa Tenggara,
Wakapolda Metro Jaya, Kapolda Metro Jaya clan kemudian Kapolri.
Semasa
menjabat Kapolda Metro Jaya banyak langkah-langkah taktis dilakukan maupun
tindakan tegas yang acapkali membuat berdebar anak buahnya karena sikapnya yang
menindak segala bentuk penyimpangan di lingkungan Polri maupun dalam menghadapi
gangguan kamtibmas di ibukota tak segan-segan bertindak keras tanpa
pandang bulu. Untuk melayani dengan cepat segala keluhan masyarakat muncullah
gagasan pembentukan satuan Unit Reaksi Cepat atau lebih dikenal dengan
singkatan URC, dimana setiap ada laporan dari masyarakat, dalam tempo singkat
satuan Polri segera tiba di tempat kejadian. Satuan khusus ini didukung oleh
kendaraan roda empat dan roda dua dengan anggota yang terlatih dan handal
sehingga mampu menjadi tulang punggung kesatuan Polri dalam mengantisipasi
setiap gangguan kamtibmas sehingga masyarakat benar-benar merasa aman dan
tenteram.
Kehadiran
URC di TKP dengan cepat pertama-tama adalah pengamanan TKP dengan memberikan
pita kuning bertanda "DILARANG MELINTAS GARIS POLISI" sehingga semua
data, baik berupa sidik jari maupun bukti-bukti yang lain belum terjamah oleh
orang lain. Hal ini memudahkan petugas Laboratorium Forensik dalam
mengidentifikasi setiap bukti yang ada, dan dengan cepat pula dianalisis untuk
mengungkap kejadian guna pengusutan selanjutnya.
Pada
masa kepemimpinannya, Polda Metro jaya benar-benar dibuat tidak pernah tidur
dan seolah-olah setiap jengkal tanah di wilayah Jabotabek ini selalu terdengar
langkah anggota Polri berjalan seirama detak jarum jam. Sebelum menduduki
tampuk pimpinan tertinggi Polri, jauh-jauh hari masyarakat telah meramalkan
bahwa nanti Jenderal ini pasti segera berpindah kantor dari Semanggi ke
Trunojoyo. Namun semua orang juga tak mengira akan secepat itu penyerahan
tongkat komando dari Jenderal Polisi Drs. Banurusman kepada Letjen.Pol. Drs.
Dibyo Widodo, sehingga masyarakat pun kembali dibuat seolah seperti kejadian
yang tiba-tiba. Dengan pengalaman yang lengkap inilah Jenderal Dibyo Widodo
mampu melangkah ke jenjang tertinggi di lingkungan Polri.
14.
Jenderal
Pol (Purn.) Roesmanhadi
(lahir
di Madura, Jawa Timur, 5 Maret 1946; umur 65 tahun) adalah
mantan Kapolri periode 1998 sampai dengan 2000. Sebelumnya ia adalah Perwira
Tinggi Mabes ABRI sebagai Staf Ahli Menhankam Bidang Kamtibmas.
Pendidikan militer yang pernah ditempuh
oleh Roesmanhadi adalah, PTIK angkatan 11, Sespim Polisi tahun 1980, Sesko ABRI
tahun 1990 dan kursus Lemhannas pada tahun 1992.
Jabatan pertama yang
diemban Roesmanhadi setelah lulus PTIK adalah Irdin Res 86 Bandung Polda Jabar
pada tahun 1969, kemudian meningkat terus hingga jabatan terakhir sebagai Staf
Ahli Menhankam Bidang Kamtibmas yang diembannya sejak 15 Oktober 1997. Roesmanhadi
juga pernah menjabat Wakapolda Kalbar pada tahun 1991, Wakapolda Jatim pada
tahun 1992, Kapolda Sumatera Utara pada tahun 1993, Kapolda Jatim pada tahun
1995, Demin Kapolri pada tahun 1996.
15.
Jenderal
Polisi Suroyo Bimantoro
(lahir 1
November 1946; umur 65 tahun) adalah Kapolri yang dipilih
oleh PresidenAbdurrahman Wahid, akan tetapi ditentang oleh kalangan Polri.
Polemik ini dipicu karena diadakannya kembali jabatanWakil Kepala Kepolisian
Republik Indonesia atau wakapolri oleh presiden Abdurrahman
Wahid. Kemudian gerakan ini terakomodir oleh para perwira menengah Polri yaitu
antara lain Kolonel (Pol) Alfons Lemau yang ingin perubahan dalam tubuh Polri
dalam bentuk jabatan Wakapolri ditiadakan. Pada tanggal 21 Juli
2001 Presiden Abdurrahman Wahid memberhentikan Suroyo Bimantoro
sebagai Kapolri karena telah diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Malaysia dan
Melantik Wakapolri Letnan Jenderal (Pol) Chairudin Ismail Sebagai
penggantinya.
Suroyo
Bimantoro lahir di Gombong, Kebumen Jawa Tengah pada 3 November 1964 sebagai
anak kedua dari Sembilan bersaudara. Bimantoro menempuh pendidikan dasar di
Banjarnegara (Banyumas) dari tahun 1953-1959. Sejak kecil Bimantoro dikenal
oleh kawan-kawannya sebagai teman yang gemar belajar, oleh karena itu pada saat
ujian akhir sekolah dasar ia meraih rangking II dari sekolahnya. Setelah lulus
sekolah dasar, Bimantoro melanjutkan ke SLTP pada tahun1959-1962. Pada ujian
akhir sewaktu SLTP Bimantoro berhasil meraih rangking pertama untuk seluruh SMP
di Gombong.
Selanjutnya
ia meneruskan jenjang pendidikannya ketingkat SLTA (SMA VI) di Yogyakarta.
Selepas SMA, ia mengikuti tes di Kedokteran UI dan Teknik Kimia UGM. Namun
karena ayahnya meninggal pada 29 Agustus 1965 maka dengan terpaksa panggilan
dari dua universitas tersebut ditolaknya. Hal ini terjadi karena ia sadar bahwa
biaya kuliah dan kost tidak mungkin dipenuhinya. Setelah menganggur selama satu
tahun ia kemudian mendaftar ke Akademi Kepolisian Semarang. Yang menjadi
motivasinya mendaftara adalah sekolah itu tidak memungut biaya dan setelah
lulus akan diangkat menjadi Inspektur Dua (Perwira). Ia lulus dari Akademi
Kepolisian pada tahun 1970 pada peringkat ke-8 dan masuk kategori The Big Ten.
Karena sejak awal Bimantoro menjalin hubungan yang luas dengan para mahasiswa
dari akademi lain dalam sebuah wadah Akabri. Maka saat menjabat, ia menegaskan
pentingnya untuk meningkatkan koordinasi dengan semua unsur TNI dalam upaya
menghilangkan kecurigaan diantara para pasukan.
Dengan
kerjasama dan koordinasi yang erat antara Polri, TNI dan instansi sipil
khususnya penegak hukum, ia ingin menembus sekat informasi yang selama ini
sering menimbulkan kecurigaan. Bimantoro kemudian melanjutkan studi di
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Ia lulus pada tahun 1977 dengan
prestasi rangking 1. Dalam bidang kemahasiswaan Bimantoro menjabat Wakil Ketua
Senat PTIK Angkatan XIII/WASPADA. Semasa menjadi siswa Sespimpol mendapatkan
pendidikan manajerial tertinggi untuk matra kepolisian. Pada akhir pendidikan
Bimantoro meraih peringkat pertama bidang intelektual. Semasa tugas di Sekolah
Staf dan Komando ABRI Gabungan (Seskogab) tahun 1933, ia belajar dengan tekun
sehingga mendaptkan peringkat 6 atau sepuluh besar. Sama seperti saat di
Sespimpol, di Seskogab ia menjabat sebagai Wakil Ketua senat. Bimantoro juga
mendapat kesempatan untuk mengikuti kursus Internasional X Interpol di Taormina
(Italia) pada tahun 1933. Jabatan-jabatan yang pernah diemban Bimantoro sebelum
menjadi Kaporli diantaranya: Kapolres Jakarta Utara (1985), Kepala Polres
Jakarta Barat (1986), Pasdep Fal Juang Sespim Polri (1987-1989), Gadik Utama di
Sekolah Staf dan Pimpinan (Sespim) tahun 1990, Sekretaris Pribadi Kapolri
(1991), Kapolwil Kota Besar Surabaya (1993), Wakil Kapolda Nusa Tenggara
(1996), Kapolda Bali pada 15 Juli 1997. Pada 1 Mei 1998 diangkat sebagai
asisten Operasi Kapolri sampai awal tahun 2000, tahun 2000 Bimantoro diangkat
menjadi Waka Polri, dan kemudian diangkat sebagai Kapolri menggantikan Jenderal
Polisi Drs. KHP Rusdihardjo untuk menangkap pelaku pemboman BEJ dan kasus
Atambua.
Jenderal
Polisi Drs. R. Suroyo Bimantoro diangkat sebagai Kapolri pada tanggal 23
September 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Sesuai dengan kesepakatan
Presiden dengan Ketua DPR (Akbar Tanjung), pengankatan Bimantoro menjadi
Kapolri dilakukan setelah DPR mengadakan rapat pimpinan DPR tentang penggantian
Kapolri. Beberapa waktu setelah diangkat Kapolri langsung mengumumkan polisi
telah mengetahui detail kelompok yang selama ini melakukan terror bom.
Namun Kapolri belum
bersedia merinci kelompok mana yang melakukan terror tersebut demi suksesnya
penyelidikan. Ia menambahkan pihaknya juga akan meningkatkan kerjasama dengan
lembaga inteligen seperti BAKIN (Badan Koordinasi Inteligen) dan BIA (Badan
Inteligen ABRI). Dengan koordinasi dan saling proaktif Bimantoro menegaskan
akan segera mematahkan jalur distribusi bahan peledak, senjata api dan lain-lainnya.
Ditambah dengan kerjasama Interpol dan FBI akhirnya Polri berhasil menangkap25
tersangka pengeboman, termasuk kasus bom di BEJ.
16.
CHAIRUDIN
ISMAIL adalah Kapolri yang
menggantikan Jenderal Suroyo Bimantoro
“Idealnya,
orang-orang
yang seharusnya ada di Kapolri adalah orang-orang yang memiliki
pengalaman-pengalaman dalam persoalan reserse,” kata pria Makasar yang berdinas
di kepolisian sejak 1972, dan purnatugas sejak 13 tahun silam ini.
Kapolri yang
menggantikan Jenderal Suroyo Bimantoro pada tanggal 2 Juni 2001 hingga 7 Agustus 2001, dan pernah menjadi tim sukses pasangan
capres JK-Wiranto. Pengangkatan
Chaeruddin itu memicu dualisme kepemimpinan di Mabes Polri. Chaeruddin, antara
lain, didukung teman-temannya sesama lulusan Akademi Kepolisian 1971.
Sedangkan, Bimantoro juga mendapatkan dukungan dari teman-temannya sesama
lulusan Akademi Kepolisian 1970.
Pria asal Makasar ini
mempunyai pengalaman saat ditunjuk oleh Presiden Gus Dur menjadi Kapolri tetapi
anggota DPR RI, ketika itu, tidak menyetujuinya padahal tidak ada urusannya.
Bahkan dihembuskan isu bahwa dirinya bersebarangan arah dengan Jenderal Suroyo
Bimantoro. “Saya sendiri tidak pernah ribut dengan beliau hingga hari ini,”
jelas penulis buku berjudul Polisi Sipil dengan Paradigma Baru ini.
Saat
ditanyakan apa yang dimaksud persaingan tidak sehat, Chairudin mengilustrasikan
jawabannya, “Misalnya, karena saya juga ingin jadi (Kapolri) terus saya
‘bermain’ dengan melempar kasus ke sana kemari.” Idealnya, bagaimana? “Jangan
terlalu banyak campur tangan. Karena untuk menjadi seorang Kapolri
dibutuhkan orang-orang yang terdidik dari bawah,” terang Chairuddin.
Kemudian
Chairudin sedikit mengisahkan ketika dirinya ditunjuk Presiden Abdurrahman
Wahid menjadi Kapolri dengan apa yang terjadi saat ini. “Dulu saya ditunjuk
oleh Presiden yang lemah, dan banyak yang enggak suka Presiden Gus Dur. Jadi,
penunjukan saya dijadikan mereka untuk menjatuhkan Gus Dur. Sekarang kan
enggak. Sekarang bukan persoalannya presiden. Mungkin, ini persoalannya
kebalikannya,” terang Chairuddin, sembari tertawa kecil. Kebalikannya apa, bisa
dijelaskan? “Ya, mungkin kebalikannya, mereka ada persaingan dan lain
sebagainya. Waallahu a’lam bi asshowab. Jadi, jangan selalu
menyerdehanakan masalah. Masalah itu kan berbeda-beda,” jelas Chairuddin.
Lebih
jauh Chairudin menjelaskan bahwa masalah utama yang dihadapi polisi adalah public
savety, memelihara ketentraman dan keamanan. “Di situ yang utama adalah
memerangi kejahatan. Memerangi dalam arti, menyidik, mengungkap kejahatan
sekarang lebih sulit diungkap sehingga pimpinan polisi harus memahami betul
persoalannya secara komprehensif. Misalnya dari aspek sosiologis maupun
psikologis dan lainnya,” kata pengajar di Sespati Polri ini. Jadi menurutnya,
Kapolri yang prima adalah Kapolri yang memahami semuanya.
Kepolisian
memiliki tiga fungsi pokok, yaitu: Pertama, memerangi kejahatan. Kedua,
memelihara ketertiban umum. Ketiga, melindungi warga dari beragam ancaman.
Ketiga fungsi pokok tersebut menuntut pihak kepolisian untuk memiliki sikap dan
keterampilan yang berbeda-beda. Selanjutnya, hal yang tidak kalah
pentingnya, ungkap Chairudin yang kini aktif di Partai Hanura, Kapolri juga
dituntut memahami anak buahnya di bawah. Mengapa? “Karena keamanan dan
ketertiban masyarakat ditentukan oleh petugas lapangan,” kata Chaeruddin yang
menulis disertasi berjudul Pidana Harta Kekayaan.
Petugas-petugas
lapangan gajinya pun rendah dan jam kerjanya banyak. “Sayangnya, mereka tidak
berani bicara. Jadi, Kapolri harus mengerti persoalan tersebut. Bila dimengerti
tentu tidak akan terjadi benturan,” tegas pria yang pernah menuntut ilmu di
Inggris ini. Menurut penuturan Chairudin, polisi di Inggris enak sekali.
“Dia diberi gaji cukup untuk rekreasi, ada uang untuk transportasi, uang untuk
membeli baju, dan lain semacamnya. Sementara kita di sini, mana ada uang
semacam itu? Gaji seorang prajurit itu paling Rp 2.500.000,” terang Chairudin
yang juga tidak bisa menentukan berapa nominal gaji sehingga seorang polisi
dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
Namun
ia memberikan contoh, untuk mengejar penjahat, kadang-kadang ada yang sangat
murah, hanya dengan Rp 5.000.000 bisa terungkap. “Tapi kadang-kadang baru 10
tahun kejahatan bisa terungkap. Untuk menangkap penjahat kan harus kenal
orang-orang, kadang-kadang harus diajak minum dan lain semacamnya. Nah,
duit/costnya dari mana?,” imbuh Chairuddin. Masalah lain yang kerap menimpa
korp kepolisian adalah benturan. Baik benturan polisi dengan masyarakat maupun
polisi dengan tentara. Berdasarkan pengalaman pribadinya semasa masih berdinas,
tidak sedikit terjadi benturan antara polisi dengan masyarakat. Mengapa
benturan tersebut terjadi? “Karena keteledoran dalam penugasan. Terlalu lama
dia bertugas di lapangan tetapi imbalan yang sedikit, dan lain sebagainya,”
kata Chairuddin.
Ketika
ditanyakan keteledoran dari pihak mana, Chairuddin menjawab, “Ya,
pengaturannya. Kan bertingkat. Ada yang namanya KapoIsek, Kapolres, Kapolda
hingga ke Kapolri.”
Diakui
Chairudin, benturan antara oknum Polisi dengan oknum tentara pun juga kerap
terjadi. Bagi Chaeruddin, tentara dengan polisi, terutama petugas yang di
bawah, adalah warga negara yang kerja/tanggungjawabnya amat besar tetapi
penghasilannya kecil. “Jaman saya dulu tidak terlalu sulit karena enggak perlu
beli pulsa karena tidak ada handphone,” kata Chairuddin.
Sedangkan
untuk masa kini, lanjut Chairuddin, para prajurit juga membeli pulsa, gajinya
tidak cukup. “Belum lagi punya anak, dan maunya makan Mc Donald dan hamburger.
Anak kita dulu makan singkong, enggak masalah. Jadi, otomatis perlu tambahan,”
ungkap Chairudin. Penghasilan tambahan itu, diperoleh dari menjadi juru
keamanan-keamanan. Oleh karena itu, Chairuddin berharap, seorang polisi pun
harus cerdas. “Jangan karena punya wewenang terus main sikat aja! Saya dulu
cukup bagus berinteraksi dengan tentara, enggak perlu nembak,” kata Chairudin
yang mantan aktivis sebelum masuk Akabri. Jadi, intinya harus saling
menghargai.
Pada masa kepemimpinan Suroyo Bimantoro terjadi
polemik kekisruhan di tubuh Polri. Presiden
dan para pendukungnya memang belakangan sukses membujuk parlemen agar menerima
pengangkatan Bimantoro, meski dengan syarat.[butuh rujukan] Tetapi
belakangan, muncul ironi baru: Presiden mengulangi kekeliruan dengan
"memecat" Bimantoro dan mengangkat Jenderal Chaerudin Ismail tanpa
persetujuan parlemen.[butuh rujukan] Dan situasi
berbalik, Bimantroro menjadi salah satu pion DPR dalam perang politiknya
melawan Presiden.[butuh rujukan]
Bagaimanapun, masa bulan madu antara Bimantoro dan Presiden memang hanya
sebentar. Baru satu bulan menjadi Kapolri, Bimantoro sudah berseberangan
pikiran dengan Presiden.[butuh rujukan]
Mereka berbeda dalam penanganan gerakan Papua Merdeka. Presiden Abdurrahman
memperbolehkan pengibaran Bintang Kejora, simbol Organisasi Papua Merdeka, sedangkan Bimantoro tegas tidak
menoleransinya.[butuh rujukan] Perbedaan
pendapat itulah yang menurut Kepala Badan Hubungan Masyarakat Mabes Polri
menjadi awal mula kerenggangan hubungan antara Polri dan Istana.
Hubungan baik tidak dapat diraih, keretakan
semakin bertambah, dan Bimantoro semakin tidak populer di mata Presiden.[butuh rujukan] Kasus
penangkapan dua eksekutif perusahaan asuransi
berkebangsaan Kanada yang diduga
terlibat dalam pembelian saham ganda menjalar menjadi persoalan diplomatik
Indonesia-Kanada.[butuh rujukan] Lewat Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Presiden
gagal menghentikan persoalan ini di polisi.[butuh rujukan] Penuntutan
kasus itu baru bisa dihentikan setelah Jaksa Agung Marzuki Darusman ikut turun
tangan.[butuh rujukan] Seiring
dengan memanasnya suhu politik nasional, ketika DPR menelorkan Memorandum II
pada Mei lalu, lagi-lagi polisi dituding tidak bersikap adil oleh Presiden.[butuh rujukan] Polisi,
misalnya, dituding terlalu ketat melakukan razia terhadap para pendukung
Presiden yang hadir ke Jakarta untuk mengikuti "doa politik"
mempertahankan Abdurrahman Wahid, sementara mereka membiarkan demonstran yang
membawa pedang ke Istana.[butuh rujukan] Puncak
ketegangan hubungan Presiden dengan Kapolri terjadi menyusul penanganan
demonstrasi para pendukung Abdurrahman Wahid di Pasuruan, Jawa Timur, Juni
lalu.[butuh rujukan] Dalam
insiden itu, jatuh satu pendukung Presiden, tewas diterjang peluru aparat[butuh rujukan]. Presiden
marah besar. Ia menuduh polisi tidak proporsional menembak orang yang, kata
dia, sedang berada di warung makan.
Pada awal Juni itu, hampir bersamaan waktu
dengan pergantian lima menteri dan Jaksa Agung, Presiden meminta Bimantoro
mengundurkan diri.[butuh rujukan] Namun,
Bimantoro menolak.[butuh rujukan] Pada
tanggal 2 Juni 2001, Presiden melantik Inspektur Jenderal
Chaerudin Ismail sebagai Wakil Kapolri[1]. Yang
menarik, jabatan Wakil Kapolri ini sebenarnya telah dihapuskan oleh Presiden
sendiri melalui Keppres No. 54/2001 tertanggal 1 April 2001.[butuh rujukan]
Pengangkatan Chaerudin sekaligus merevisi keppres tersebut dengan keluarnya
Keppres No. 77 tertanggal 21 Juni[butuh rujukan], yang
berlaku surut 1 Juni 2001.[butuh rujukan] Kasus ini
telah memuncakkan dualisme dalam tubuh kepolisian dan perseturan Presiden
dengan parlemen.[butuh rujukan]
Pengangkatan Chaerudin memunculkan penolakan
102 jenderal polisi yang tidak menghendaki ada politisasi di tubuh Polri.[butuh rujukan] Masalah
Polri ini semakin berlarut-larut.[butuh rujukan] Bertepatan
dengan peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli, Presiden mengumumkan pemberhentian
Kapolri nonaktif Bimantoro, dan akan menugasi mantan Asisten Operasi Mabes
Polri itu sebagai Duta Besar RI di Malaysia[2]. Beberapa
jam kemudian, lagi-lagi Bimantoro menolak. Situasi Mabes Polri semakin panas,
apalagi muncul pernyataan sikap para perwira menengah Polri, meminta Bimantoro
ikhlas mundur, ditambah lagi berita akan ditangkapnya Bimantoro karena dianggap
telah membangkang terhadap perintah Presiden. Bimantoro tidak goyah, dan
memaksa Presiden melakukan langkah lebih dramatis. Pada tanggal 21 Juli 2001, dia melantik Chaerudin Ismail resmi sebagai
Pejabat Sementara Kapolri, meski dengan bayaran yang mahal. Pelantikan itu
memicu krisis politik baru: DPR meminta
MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa, meski Presiden mengangkat Chaerudin hanya
sebagai Pejabat Sementara Kapolri dengan pangkat jenderal penuh bintang empat.[butuh rujukan]
Setelah Presiden Abdurrahman Wahid membacakan
Dekrit yang disebut Maklumat pada 23 Juli 2001 dinihari, Surojo Bimantoro,
Kapolri nonaktif, mendapat telepon dari Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
Amien Rais. Amien menanyakan, apakah kendali Polri masih berada di tangan
Bimantoro mengingat siangnya, MPR akan menggelar Sidang Istimewa.
Dalam buku "Antara Kekuasaan dan Profesionalisme Menuju Kemandirian Polri", Bimantoro menyatakan mendengar Dekrit pembubaran parlemen itu, paginya langsung menggelar rapat pimpinan Polri namun tak melibatkan Chaeruddin Ismail. Setelah rapat, Bimantoro menelepon Komandan Korps Brimob Inspektur Jenderal Yusuf Manggabarani (yang saat ini Wakil Kapolri).Manggabarani diminta mengamankan Markas Besar Kepolisian. "Pasang dua kompi pasukan di Mabes, sisanya di Polda Metro Jaya. Sekarang juga!" kata Bimantoro, seperti dilansir kembali oleh Edy Budiyarso dalam buku "Melawan Skenario Makar: Tragedi 8 Perwira Menengah Polri di Balik Kejatuhan Presiden Gus Dur 2001".
Bukan hanya itu, Bimantoro meminta Manggabarani menangkap prajurit Polri yang bergerak mengamankan Dekrit Presiden. Bimantoro mendapat laporan dari staf intelijen Polri bahwa ada delapan perwira menengah yang mendukung Chaeruddin Ismail merencanakan penangkapan beberapa pimpinan MPR.
"Manggabarani, kalau kau mencintai institusi Polri, begitu Chaeruddin Ismail datang bersama delapan Pamen temannya itu ke Mabes Polri dan memerintahkan untuk mengamankan Dekrit Presiden, langsung tangkap saja," ujar Bimantoro.
"Siap, Jenderal!" kata Manggabarani. Malam itu juga, dua kompi Brimob bergerak. Selain pasukan bersenjata otomatis, juga beberapa panser dan senjata taktis berjaga di Mabes.
Muncul desas-desus, Chaeruddin mendapat dukungan dari korps reserse kepolisian di mana dia dibesarkan. Mulai muncul kekhawatiran, dua korps kepolisian, reserse dan operasional akan bentrok.
Namun desas-desus itu terbukti tak pernah terjadi. Belakangan hari, Chaeruddin memberi jawaban dalam buku "Polisi, Politik dan Kontroversi" membantah isu dia akan melakukan gerakan mendukung dekrit. "Secara pribadi, saya sendiri menolak dekrit," kata Chaeruddin. Dan Chaeruddin yang diangkat menjadi jenderal sehari sebelum dekrit keluar itu pun memilih diam saat itu.
Sementara itu, MPR berhasil menggelar Sidang Istimewa. Pukul 17.15, 23 Juli 2001, MPR resmi memilih Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden menggantikan Abdurrahman Wahid. Dan Bimantoro menjadi tamu pertama Presiden baru itu.
"Mas Bim, itu toh tongkat yang kemarin diributkan?" kata Megawati sambil menyalami Surojo Bimantoro. Bimantoro mengangsurkan tongkat itu pada Megawati. Setelah melihat sebentar, Megawati mengembalikan pada Bimantoro. "Ini wangi, Bu. Terbuat dari kayu cendana," ujar Bimantoro setelah mencium tongkat komandonya itu.
Dalam buku "Antara Kekuasaan dan Profesionalisme Menuju Kemandirian Polri", Bimantoro menyatakan mendengar Dekrit pembubaran parlemen itu, paginya langsung menggelar rapat pimpinan Polri namun tak melibatkan Chaeruddin Ismail. Setelah rapat, Bimantoro menelepon Komandan Korps Brimob Inspektur Jenderal Yusuf Manggabarani (yang saat ini Wakil Kapolri).Manggabarani diminta mengamankan Markas Besar Kepolisian. "Pasang dua kompi pasukan di Mabes, sisanya di Polda Metro Jaya. Sekarang juga!" kata Bimantoro, seperti dilansir kembali oleh Edy Budiyarso dalam buku "Melawan Skenario Makar: Tragedi 8 Perwira Menengah Polri di Balik Kejatuhan Presiden Gus Dur 2001".
Bukan hanya itu, Bimantoro meminta Manggabarani menangkap prajurit Polri yang bergerak mengamankan Dekrit Presiden. Bimantoro mendapat laporan dari staf intelijen Polri bahwa ada delapan perwira menengah yang mendukung Chaeruddin Ismail merencanakan penangkapan beberapa pimpinan MPR.
"Manggabarani, kalau kau mencintai institusi Polri, begitu Chaeruddin Ismail datang bersama delapan Pamen temannya itu ke Mabes Polri dan memerintahkan untuk mengamankan Dekrit Presiden, langsung tangkap saja," ujar Bimantoro.
"Siap, Jenderal!" kata Manggabarani. Malam itu juga, dua kompi Brimob bergerak. Selain pasukan bersenjata otomatis, juga beberapa panser dan senjata taktis berjaga di Mabes.
Muncul desas-desus, Chaeruddin mendapat dukungan dari korps reserse kepolisian di mana dia dibesarkan. Mulai muncul kekhawatiran, dua korps kepolisian, reserse dan operasional akan bentrok.
Namun desas-desus itu terbukti tak pernah terjadi. Belakangan hari, Chaeruddin memberi jawaban dalam buku "Polisi, Politik dan Kontroversi" membantah isu dia akan melakukan gerakan mendukung dekrit. "Secara pribadi, saya sendiri menolak dekrit," kata Chaeruddin. Dan Chaeruddin yang diangkat menjadi jenderal sehari sebelum dekrit keluar itu pun memilih diam saat itu.
Sementara itu, MPR berhasil menggelar Sidang Istimewa. Pukul 17.15, 23 Juli 2001, MPR resmi memilih Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden menggantikan Abdurrahman Wahid. Dan Bimantoro menjadi tamu pertama Presiden baru itu.
"Mas Bim, itu toh tongkat yang kemarin diributkan?" kata Megawati sambil menyalami Surojo Bimantoro. Bimantoro mengangsurkan tongkat itu pada Megawati. Setelah melihat sebentar, Megawati mengembalikan pada Bimantoro. "Ini wangi, Bu. Terbuat dari kayu cendana," ujar Bimantoro setelah mencium tongkat komandonya itu.
17.
Jenderal
Pol (Purn.) Da'i Bachtiar
(lahir di Indramayu, Jawa
Barat, 25 April 1951; umur 60 tahun) adalah Duta Besar Indonesia
untuk Malaysia sejak 8 April 2008, serta Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Kapolri) dari 29
November 2001 hingga 7 Juli 2005. Pada 15 Oktober 2002,
ia mengumumkan bahwa hasil penyelidikan para penyelidik Indonesia pada lokasi
kejadian Bom Bali 2002 telah berhasil menemukan bekas bahan peledak
plastik C-4.
Da’i
Bachtiar lahir di Kabupaten Indramayu pada tanggal 25 Januari 1950. Kehidupan
desa yang masih kental dengan sifat kekeluargaan dan gotong royong membentuk
kepribadiannya. Keluarga Da’i Bachtiar termasuk disegani dan dihormati
didaerahnya bukan karena mengandalkan pangkat yang tinggi serta kekayaan yang
melimpah ruah, melainkan didikan budi pekerti luhur, sikap tolong menolong,
rasa tanggung jawab, dan kepedulian
social yang membuat orang tuanya mendapat penghormatan. Da’i Bachtiar bersekolah disekolah rakyat yang dulu setingkat dengan sekolah dasar masa sekarang dan berhasil lulus pada tahun 1962. Ia kemudian menamatkan pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) pada tahun 1965. Selanjutnya Da’i Bachtiar berhasil merampungkan pendidikan di SMA pada tahun 1968 dengan nilai yang sangat memuaskan. Ayah serta ibunya juga mendukung setiap hobi anaknya, salah satunya adalah hobi Da’i Bachtiar dalam berolahraga. Sehingga tidak mengejutkan jika ia memperoleh prestasi cemerlang dalam bidang olahraga. Kadang-kadang ia bersama teman-temannya turut dalam perkumpulan kesenian. Setelah tamat dari SLTA Da’i Bachtiar kemudian menempuh pendidikan di Akademi Kepolisian (Akpol). Ia lulus dari Akpol pada tahun 1972 dan kemudian bertugas di jajaran kepolisian sebagai pelaksana lapangan seperti kebanyakan polisi lainnya. Da’i Bachtiar memperoleh pangkat letnan dua pada tanggal 1 Desember 1972. Tugas pertamanya adalah sebagai inspektur Dinas Polres Grobogan Kodak IX Jawa Tengah pada tahun 1973. Setahun kemudian ia menjadi Kasi Sabhara/Lantas Polres Grobogan dan dalam tahun yang sama mendapat promosi sebagai Kabag Operasi Polres Grobogan sampai sekitar tahun 1983. Setelah itu ia dipromosikan menjadi Perwira Pengawas Departemen/Instruktur di Akademi Kepolisian. Tugas berikutnya ia ditunjuk sebagai Komandan Batalion Taruna Akademi Kepolisian sampai sekitar tahun 1987. Dalam tahun itu, Da’i Bachtiar mendapat promosi besar menjadi Kapolres Pati dengan pangkat Lentan Kolonel Polisi. Dua tahun bertugas di Blora, Da’i Bachtiar dimutasi sebagai Kapolres Boyolali, Polwil Surakarta, Polda Jateng dan berikutnya menjadi Kapolres Klaten sampai tahun 1992. Dari Kabupaten Klaten, Da’i Bachtiar dipromosikan sebagai Sesdit Serse Polda Jatim. Beberapa bulan kemudian, ia menjabat sebagi Kapoltabes Ujung Pandang, Polda Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra). Disinilah Da’i Bachtiar memperoleh pangkat Kolonel Polisi. Pada tahun 1994 dimutasi Kapolda Nusa Tenggara (Nusra) sebagai kepala Direktorat Reserse (Kadit Reserse) Polda Nusra. Tahun 1996, ia ditugaskan sebagi Wakapolda Sulawesi Tenggara lalu dipanggil ke Mabes Polri sebagai tenaga ahli Tingkat II Staf Ahli Kapolri bidang sosial politik. Karier Da’i Bachtiar menanjak terus sehingga memperoleh pangkat Brigadir Jenderal Polisi pada 1 Maret 1997 dan dipromosikan sebagai Kadispen Polri. Namun diposisi ini Da’i Bachtiar hanya beberapa bulan saja karena selanjutnya dipromosikan sebagai Komandan Korps Reserse Polri dan memperoleh kenaikan pangkat Mayor Jenderal Polisi berbintang dua, ia pun kemudian memperoleh posisi strategis sebagai Wakapolda Jawa Timur dan Gubernur Akademi Kepolisian. Tanggal 1 Agustus 2001 ia memperoleh pangkat Komisaris Jenderal Polisi sebagai Kalakhar BKNN.
social yang membuat orang tuanya mendapat penghormatan. Da’i Bachtiar bersekolah disekolah rakyat yang dulu setingkat dengan sekolah dasar masa sekarang dan berhasil lulus pada tahun 1962. Ia kemudian menamatkan pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) pada tahun 1965. Selanjutnya Da’i Bachtiar berhasil merampungkan pendidikan di SMA pada tahun 1968 dengan nilai yang sangat memuaskan. Ayah serta ibunya juga mendukung setiap hobi anaknya, salah satunya adalah hobi Da’i Bachtiar dalam berolahraga. Sehingga tidak mengejutkan jika ia memperoleh prestasi cemerlang dalam bidang olahraga. Kadang-kadang ia bersama teman-temannya turut dalam perkumpulan kesenian. Setelah tamat dari SLTA Da’i Bachtiar kemudian menempuh pendidikan di Akademi Kepolisian (Akpol). Ia lulus dari Akpol pada tahun 1972 dan kemudian bertugas di jajaran kepolisian sebagai pelaksana lapangan seperti kebanyakan polisi lainnya. Da’i Bachtiar memperoleh pangkat letnan dua pada tanggal 1 Desember 1972. Tugas pertamanya adalah sebagai inspektur Dinas Polres Grobogan Kodak IX Jawa Tengah pada tahun 1973. Setahun kemudian ia menjadi Kasi Sabhara/Lantas Polres Grobogan dan dalam tahun yang sama mendapat promosi sebagai Kabag Operasi Polres Grobogan sampai sekitar tahun 1983. Setelah itu ia dipromosikan menjadi Perwira Pengawas Departemen/Instruktur di Akademi Kepolisian. Tugas berikutnya ia ditunjuk sebagai Komandan Batalion Taruna Akademi Kepolisian sampai sekitar tahun 1987. Dalam tahun itu, Da’i Bachtiar mendapat promosi besar menjadi Kapolres Pati dengan pangkat Lentan Kolonel Polisi. Dua tahun bertugas di Blora, Da’i Bachtiar dimutasi sebagai Kapolres Boyolali, Polwil Surakarta, Polda Jateng dan berikutnya menjadi Kapolres Klaten sampai tahun 1992. Dari Kabupaten Klaten, Da’i Bachtiar dipromosikan sebagai Sesdit Serse Polda Jatim. Beberapa bulan kemudian, ia menjabat sebagi Kapoltabes Ujung Pandang, Polda Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra). Disinilah Da’i Bachtiar memperoleh pangkat Kolonel Polisi. Pada tahun 1994 dimutasi Kapolda Nusa Tenggara (Nusra) sebagai kepala Direktorat Reserse (Kadit Reserse) Polda Nusra. Tahun 1996, ia ditugaskan sebagi Wakapolda Sulawesi Tenggara lalu dipanggil ke Mabes Polri sebagai tenaga ahli Tingkat II Staf Ahli Kapolri bidang sosial politik. Karier Da’i Bachtiar menanjak terus sehingga memperoleh pangkat Brigadir Jenderal Polisi pada 1 Maret 1997 dan dipromosikan sebagai Kadispen Polri. Namun diposisi ini Da’i Bachtiar hanya beberapa bulan saja karena selanjutnya dipromosikan sebagai Komandan Korps Reserse Polri dan memperoleh kenaikan pangkat Mayor Jenderal Polisi berbintang dua, ia pun kemudian memperoleh posisi strategis sebagai Wakapolda Jawa Timur dan Gubernur Akademi Kepolisian. Tanggal 1 Agustus 2001 ia memperoleh pangkat Komisaris Jenderal Polisi sebagai Kalakhar BKNN.
Berkat
ketekunan, kegigihan, dan keuletannya dalam menggapai cita-cita, Karier Da’i
Bachtiar terus bersinar terang. Presiden Megawati Soekarno Putri kemudian
mengajukan nama Komisaris Jenderal Polisi Drs. Da’i Bachtiar sebagai
satu-satunya calon Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Drs. Suroyo Bimantoro
yang akan segera pensiun. Kamis 22 November 2001 nama Komisaris Jenderal Polisi
Da’i Bachtiar mulai dibahas di DPR dalam rapat Badan Musyawarah. Pada senin 26
November 2001 seluruh fraksi yang tergabung dalam Komisi I dan Komisi II DPR
secara aklamasi menyetujui pencalonan Komisaris Jenderal Polisi Da’i Bachtiar
sebagai Kapolri oleh Presiden. Namun persetujuan itu masih akan dilaporkan lagi
kepada Badan Musyawarah (Bamus) DPR untung diagendakan dalam Sidang Paripurna
DPR. Selanjutnya pada hari kamis 29 November 2001 dalam Sidang Paripurna DPR
yang dihadiri 259 anggota, disahkanlah persetujuan pengangkatan Komisaris
Jenderal Polisi Da’i Bachtiar sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Polisi
Suroyo Bimantoro. Seusai Pelantikan DPR meminta Kapolri yang terpilih untuk
memprioritaskan tugas-tugas pokoknya pada pemberantasan perjudian, menuntaskan
kasus 27 Juli 1996 (kasus dimana sekelompok orang yang memakai atribut PDI
menyerang kantor DPP PDI kubu Megawati) dan memberantas narkoba.
Setelah
pelantikannya menjadi Kepala Polri, Jenderal Polisi Da’i Bachtiar langsung
dipusingkan dengan posisi Jenderal Polisi Chaeruddin Ismail. Chaeruddin pernah
dilantik Presiden Abdurrahman Wahid sebagai pejabat sementara Kapolri.
Pengangkatan Chaeruddin itu memicu dualisme kepemimpinan di Mabes Polri. Chaeruddin, antara lain, didukung teman-temannya sesama lulusan Akademi Kepolisian 1971. Sedangkan, Bimantoro juga mendapatkan dukungan dari teman-temannya sesama lulusan Akademi Kepolisian 1970.
Da’i yang lulusan 1972, tidak ingin ada perseteruan lanjutan antara abang kelasnya, yakni angkatan 1970 dan 1971. Ia pun akhirnya mengakomodasi Chaeruddin. Ia memberikan posisi kepada Chaeruddin sebagai perwira tinggi yang diperbantukan kepada Kapolri.
Ia berusaha merangkul petinggi Polri yang pecah pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Padahal, posisi tersebut sebenarnya tidak ada di Mabes Polri. Jenderal bintang empat posisinya hanya satu, yakni kepala Polri. Sebab, secara fungsional sudah ada staf ahli, koordinator staf ahli, dan semua perwira yang bisa memberikan nasihat.
Tidak cukup hanya di situ. Setahun setelah menjabat kepala Polri, Da'i Bachtiar akhirnya melakukan mutasi besar-besaran sejumlah jenderal. Ia mengacu pada struktur organisasi baru yang disahkan melalui Keppres No 70/2002 tanggal 10 Oktober 2002.
Hal yang paling mengejutkan adalah ada empat jabatan untuk jenderal berbintang tiga. Satu di antaranya adalah jabatan Wakil Kepala Polri yang dihidupkan kembali.
Padahal sebelumnya, jabatan wakapolri sempat dihapus pada saat pergantian Presiden Gus Dur kepada Megawati. Bahkan, sempat menjadi perdebatan setelah pengangkatan Komjen Pol Chaeruddin Ismail. Chaeruddin kemudian dinaikkan pangkatnya lagi selang 18 hari, menjadi jenderal bintang empat.
Selain menghidupkan Wakapolri, dalam perubahan struktur organisasinya, Mabes Polri juga memutasi 30 pejabat lainnya. Mutasi itu diduga untuk memperkuat kekuasaan Presiden guna menghadapi Pemilu 2004.
Mutasi besar-besaran ini mengundang konsekuensi tentang usia pensiun. Akibatnya, banyak yang memprotes dan mempersoalkan usia pensiun yang telah diundangkan, yakni Undang Undang Kepolisian No 2 Tahun 2002. Antara lain, mengatur pensiunan bagi anggota Polri hingga usia 58 tahun dan dapat diperpanjang hingga 60 tahun jika berprestasi.
Akan tetapi, pada kenyataannya Da'i Bachtiar masih mempergunakan undang-undang yang lama. Alasannya, belum ada PP (peraturan pemerintah) yang mengatur tentang pensiunan tersebut.
Akhirnya, sejumlah jenderal yang diduga terkontaminasi penguasa lama terpaksa harus pensiun. Presiden Megawati disinyalir mengikis sejumlah jenderal tertentu dan digantikan dengan generasi berikutnya yang belum terkontaminasi.Dampak terhadap keputusan itu, pada saat wisuda purnawira perwira tinggi, hanya dihadiri 32 wisudawan. Sebanyak 26 jenderal polisi berbintang satu sampai empat, yang seharusnya diwisuda purnawira di Akademi Kepolisian, tidak hadir. Padahal, dalam rilis yang diterima wartawan pada pekan ketiga Desember 2002 itu, Kapolri Da’i Bachtiar akan melepas 58 perwira tinggi. Empat di antaranya adalah perwira tinggi bintang empat yang pernah menjabat kapolri. Mereka adalah Jenderal Dibyo Widodo, Jenderal Roesdihardjo, Jenderal Surojo Bimantoro, dan Jenderal Chaeruddin Ismail. Hanya Roesdihardjo yang hadir.
Untuk perwira bintang tiga hanya dihadiri dua orang dari tujuh yang seharusnya hadir. Mereka yang tidak hadir adalah Komjen Sjahrudin ZA, Komjen Jujun Mulyana Dwiyana, Komjen Noegroho Djajoesman, Komjen Ahwil Luthan, dan Komjen Sofjan Jacob. Dna, yang hadir hanya Komjen Nurfaizi serta Komjen Pandji Atma Sudirja.Lapangan Jenderal Polisi Anton Soedjarwo di Akademi Kepolisian, Semarang, itu seakan menjadi saksi tidak kompaknya perwira tinggi polisi akibat tergerus kepentingan politik sesaat. Mungkin almarhum Anton Soedjarwo yang disegani perwira Polri dan TNI itu akan menangis jika mengetahui para juniornya terbelah akibat konflik politik. Terhadap ketidakhadiran para seniornya itu, Da’i mengemukakan, ketidakhadiran sebagian besar perwira tinggi bukan menjadi masalah berarti. Dia menampik hal itu sebagai pertanda ada konflik di kalangan internal Polri.
Pengangkatan Chaeruddin itu memicu dualisme kepemimpinan di Mabes Polri. Chaeruddin, antara lain, didukung teman-temannya sesama lulusan Akademi Kepolisian 1971. Sedangkan, Bimantoro juga mendapatkan dukungan dari teman-temannya sesama lulusan Akademi Kepolisian 1970.
Da’i yang lulusan 1972, tidak ingin ada perseteruan lanjutan antara abang kelasnya, yakni angkatan 1970 dan 1971. Ia pun akhirnya mengakomodasi Chaeruddin. Ia memberikan posisi kepada Chaeruddin sebagai perwira tinggi yang diperbantukan kepada Kapolri.
Ia berusaha merangkul petinggi Polri yang pecah pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Padahal, posisi tersebut sebenarnya tidak ada di Mabes Polri. Jenderal bintang empat posisinya hanya satu, yakni kepala Polri. Sebab, secara fungsional sudah ada staf ahli, koordinator staf ahli, dan semua perwira yang bisa memberikan nasihat.
Tidak cukup hanya di situ. Setahun setelah menjabat kepala Polri, Da'i Bachtiar akhirnya melakukan mutasi besar-besaran sejumlah jenderal. Ia mengacu pada struktur organisasi baru yang disahkan melalui Keppres No 70/2002 tanggal 10 Oktober 2002.
Hal yang paling mengejutkan adalah ada empat jabatan untuk jenderal berbintang tiga. Satu di antaranya adalah jabatan Wakil Kepala Polri yang dihidupkan kembali.
Padahal sebelumnya, jabatan wakapolri sempat dihapus pada saat pergantian Presiden Gus Dur kepada Megawati. Bahkan, sempat menjadi perdebatan setelah pengangkatan Komjen Pol Chaeruddin Ismail. Chaeruddin kemudian dinaikkan pangkatnya lagi selang 18 hari, menjadi jenderal bintang empat.
Selain menghidupkan Wakapolri, dalam perubahan struktur organisasinya, Mabes Polri juga memutasi 30 pejabat lainnya. Mutasi itu diduga untuk memperkuat kekuasaan Presiden guna menghadapi Pemilu 2004.
Mutasi besar-besaran ini mengundang konsekuensi tentang usia pensiun. Akibatnya, banyak yang memprotes dan mempersoalkan usia pensiun yang telah diundangkan, yakni Undang Undang Kepolisian No 2 Tahun 2002. Antara lain, mengatur pensiunan bagi anggota Polri hingga usia 58 tahun dan dapat diperpanjang hingga 60 tahun jika berprestasi.
Akan tetapi, pada kenyataannya Da'i Bachtiar masih mempergunakan undang-undang yang lama. Alasannya, belum ada PP (peraturan pemerintah) yang mengatur tentang pensiunan tersebut.
Akhirnya, sejumlah jenderal yang diduga terkontaminasi penguasa lama terpaksa harus pensiun. Presiden Megawati disinyalir mengikis sejumlah jenderal tertentu dan digantikan dengan generasi berikutnya yang belum terkontaminasi.Dampak terhadap keputusan itu, pada saat wisuda purnawira perwira tinggi, hanya dihadiri 32 wisudawan. Sebanyak 26 jenderal polisi berbintang satu sampai empat, yang seharusnya diwisuda purnawira di Akademi Kepolisian, tidak hadir. Padahal, dalam rilis yang diterima wartawan pada pekan ketiga Desember 2002 itu, Kapolri Da’i Bachtiar akan melepas 58 perwira tinggi. Empat di antaranya adalah perwira tinggi bintang empat yang pernah menjabat kapolri. Mereka adalah Jenderal Dibyo Widodo, Jenderal Roesdihardjo, Jenderal Surojo Bimantoro, dan Jenderal Chaeruddin Ismail. Hanya Roesdihardjo yang hadir.
Untuk perwira bintang tiga hanya dihadiri dua orang dari tujuh yang seharusnya hadir. Mereka yang tidak hadir adalah Komjen Sjahrudin ZA, Komjen Jujun Mulyana Dwiyana, Komjen Noegroho Djajoesman, Komjen Ahwil Luthan, dan Komjen Sofjan Jacob. Dna, yang hadir hanya Komjen Nurfaizi serta Komjen Pandji Atma Sudirja.Lapangan Jenderal Polisi Anton Soedjarwo di Akademi Kepolisian, Semarang, itu seakan menjadi saksi tidak kompaknya perwira tinggi polisi akibat tergerus kepentingan politik sesaat. Mungkin almarhum Anton Soedjarwo yang disegani perwira Polri dan TNI itu akan menangis jika mengetahui para juniornya terbelah akibat konflik politik. Terhadap ketidakhadiran para seniornya itu, Da’i mengemukakan, ketidakhadiran sebagian besar perwira tinggi bukan menjadi masalah berarti. Dia menampik hal itu sebagai pertanda ada konflik di kalangan internal Polri.
18.
Jenderal
Polisi (Purn) Drs. Sutanto
(lahir
di Comal, Pemalang, Jawa Tengah, 30 September 1950; umur 61
tahun) adalah Kepala Badan Intelijen
Negara Indonesia sejak 22 Oktober 2009 hingga 19
Oktober 2011. Sebelumnya ia adalah Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesiasejak 8 Juli 2005 hingga 30
September 2008. Lulusan Akabri tahun 1973 ini
sebelumnya adalah Kepala Badan Pelaksana Harian (Kalakhar)Badan Narkotika
Nasional. Ia pernah menjadi ajudan Presiden Soeharto pada
tahun1995–1998, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatra Utara (2000), dan
Kapolda Jawa Timur (17 Oktober 2000-Oktober 2002).
Sutanto
lahir di Comal, di Desa Gedeg pada tanggal 30 September 1950 dari pasangan
Suryadi bin Rowowidjojo dan Suriah binti Warli. Ayah Sutanto merupakan seorang
Polisi Negara yang merupakan keturunan asli Desa Gedeg. Menurut penuturan teman
sepermainannya sewaktu kecil, Sutanto yang berpenampilan kalem itu ternyata
pandai bermain klungsu (biji asem).
Terbukti Sutanto kecil seringkali
mengalahkan teman-teman sepermainan di lingkungan Desa Gedeg dalam hal dolanan
klungsu. Masa kecil Sutanto antara tahun 1963 sampai 1966 banyak dihabiskan
bersama budhe-nya, yaitu budhe Saryi yang tinggal di rumahnya di Desa Gedeg Rt.
07, Rw. 02, Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang. Budhe Saryi (alm) sangat dekat dengan Sutanto ditengah kesibukan ayahanda sebagai “bhayangkara
Negara.” Menginjak usia 7 tahun, tepatnya pada tahun 1957, Sutanto tinggal
bersama ayah dan ibu di lingkungan asrama Polisi Distrik (Sektor) Comal.
Pendidikan menjadi sesuatu yang penting bagi keluarga Sutanto, oleh karena itu
pada usianya genap untuk bersekola ia disekolahkan di TK Melati Comal. Pada
tahun 1950-an jenjang pendidikan dasar di kecamatan Comal masil melalui Sekolah
Rakyat (SR). Di desa Gedeg jenjang pendidikan hanya sampai kelas 1, 2, dan 3
SR. sedangkan kelas 4, 5, dan 6 harus ditempuh disekolah desa tetangga, yaitu
Desa Gandu yang berjarak 2 kilometer. Masa sekolah dasar Sutanto diawali pada
usia 7 tahun. Belum genap 6 tahun menuntut ilmu di Sekolah Rakyat (SR) Purwoharjo,
Comal, pada tahun 1960 Sutanto harus pindah sekolah karena mengikuti kepindahan
tugas ayahnya ke Kepolisian Distrik (sektor) Watukumpul sewaktu kelas Distrik
(sektor) Belik. Kepindahan itu terjadi saat Sutanto naik ke kelas enam sekolah
rakyat. Dan di Belik itulah Sutanto menamatkan sekolah rakyatnya. Sutanto
kemudian melanjutkan jenjang pendidikannya ke SMP Negeri 1 Comal. Sayangnya
pendidikan SMP yang seharusnya ditempuh selama 3 tahun di SMP Comal akhirnya
harus diperpanjang selama satu tahun gara-gara meletusnya peristiwa “Gerakan
Tiga Puluh September.” Sutanto akhirnya lulus SMP di Randudongkal karena
ayahnya pindah tugas lagi ke Kepolisian Distrik tersebut. Sutanto kemudian
masuk menjadi siswa SMA Negeri Pemalang pada tahun 1967. SMA negeri Pemalang
yang beralamat di Jl. Jenderal Gatot Subroto, Sirandu, Pemalang merupakan
satu-satunya SMA Negeri di Kabupaten Pemalang ketika itu. Di sekolah itu ia
merupakan siswa kelas ilmu pasti alam (PASPAL). Tahun 1969 Sutanto lulus SMA
Negeri Pemalang dan melanjurkan studi di AKABRI Kepolisian (kemudian dikenal
sebagai Akpol).
Tahun demi tahun dilalui Sutanto dengan baik
hingga akhirnya ia dinyatakan lulus dengan prestasi terbaik sebagai Taruna
Akabri bagian Kepolisian pada tahun 1973. Ia juga menerima pedang Adhi
Makayasa, symbol prestisius dalam sebuah prestasi pendidikan bagi seorang
taruna Akpol. Setelah lulus jabatan kewilayahan pertamanya adalah Kapolsek
Metro Kebayoran Lama, Jakarta Selatan pada tahun 1978. Kemudian bergeser
menjadi Kapolsek Metro Kebayoran Baru. Saat menjabat di Polsek Kebayoran Baru,
Sutanto dengan salah seorang rekannya berhasil menangkap pelaku penembakan
anggota Brimob dan pembunuhan orang asing di suatu bar. Setelah dua kali
menjadi Kapolsek, ia kemudian menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian (PTIK) angkatan ke-18. Tujuh tahun kemudian setelah lulus dari PTIK,
Sutanto menamatkan pendidikan di Sekolah Staf dan Pimpinan Polri. Setelah tamat
dari Sekolah Staf dan Pimpinan Polri, Sutanto ditugasi sebagai Detasemen Provos
Polda Jawa Timur (1990), Kapolres Sumenep, Jawa Timur (1991), Kapolres Sidoarjo
Jawa Timur (1992), dan Paban Asrena Polri (1994). Karier Sutanto terus melesat
dan tanda-tanda ia akan menjadi pucuk pimpinan Polri mulai tampak jelas saat ia
ditunjuk menjadi Ajudan Presiden Soeharto (1995). Sebuah jabatan yang dimasa
lalu disebut-sebut prestisius itu diemban hingga jatuhnya Soeharto, Mei 1998.
Kapolri
Jenderal Pol Sutanto mengatakan, akan memprioritaskan penanganan korupsi,
penebangan kayu liar, dan penambangan liar. "Akan kita tindak lanjuti
penanganan ketiga hal itu," tegasnya, seusai dilantik Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Kapolri di Istana Negara, Jumat (8/7).
Menurutnya,
permasalahan yang belum diselesaikan pada masa kepemimpinan Kapolri sebelumnya,
akan dilanjutkan penanganannya hingga tuntas. "Langkah-langkah pejabat
lama akan saya lanjutkan, namun disesuaikan dengan kondisi saat ini,"
katanya. Disinggung tentang masalah penanganan terorisme, Sutanto mengemukakan,
dirinya akan mengelola keamanan dengan baik untuk kasus-kasus terorisme,
separatisme dan gangguan lainnya. Dia juga ingin agar Indonesia menjadi negara
yang aman. Begitu pula dengan target penangkapan tersangka tindak pidana
terorisme, ia mengharapkan bisa segera menangkapnya. Sutanto menjelaskan, Polri
hingga saat ini berhasil membongkar dan menangkap banyak tersangka teroris.
"Kita lihat Pak Da'i banyak mengungkap kasus terorisme seperti kasus bom
Bali, bom Hotel JW Marriott, Kedutaan Besar Australia di Kuningan serta tempat
lainnya," ujarnya. Sebagai Kapolri yang baru, ia sadar upaya menangkap
teroris tersebut tidak mudah. "Negara-negara lain belum ada yang mampu
melakukannya, namun Indonesia sudah banyak menangkap teroris. Karena itu,
Indonesia menjadi tempat belajar bagi mereka yang ingin mengungkap masalah
terorisme. Di Semarang ada pusat antiteror tempat negara-negara lain bisa
belajar di sana," tuturnya. Polri, katanya, saling bertukar pengalaman
dengan negara lain dalam menghadapi terorisme.
Sementara itu, SBY dalam sambutannya meminta
agar Sutanto memprioritaskan pemberantasan tindak pidana korupsi, perjudian,
kejahatan jalanan dan penebangan kayu liar atau pembalakan liar. Sutanto
diangkat menjadi Kapolri menggantikan Da'i berdasarkan Keppres Nomor
28/Polri/2005 tanggal 5 Juli. Acara pelantikan dimulai dengan pembacaan
keputusan pengangkatan Jenderal Sutanto menjadi Kapolri dilanjutkan pengambilan
sumpah jabatan oleh Presiden. Hadir pada kesempatan itu hampir seluruh anggota
Kabinet Indonesia Bersatu dan para pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi negara
seperti Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua DPR Agung Laksono dan Ketua DPD
Ginanjar Kartasasmita. Dalam amanatnya yang cukup singkat disaksikan para petinggi
di Polri, Panglima TNI Jenderal TNI Endriartono Sutarto, dan tiga Kepala Staf
Angkatan TNI itu, Kepala Negara berpesan agar Kapolri yang baru melanjutkan apa
yang sudah berjalan dengan baik di masa kepemimpinan Kapolri sebelumnya. Khusus
menyangkut pemberantasan korupsi, Presiden memberikan penekanan dan
menggarisbawahi agar semua pihak, tidak hanya jajaran Polri, melainkan penegak
hukum lainnya menjalankan amanat UU untuk memberantas korupsi. "Saya
menengarai, hambatan dan perlawanan terhadap pemberantasan korupsi ini nyata
mulai dari upaya memengaruhi aparat penegak hukum termasuk elemen KPK dan
Tipikor. Bahkan ada yang berpikir sebaiknya Tipikor dibubarkan," tegasnya.
"Mereka tidak punya hati. Kita selamatkan masa kini dan masa depan dari
praktik-praktik yang tidak benar yang terjadi di negeri kita cukup lama."
Presiden mengingatkan, koruptor dan penjahat punya kekuatan yang didukung
keuangan besar sehingga bisa berbuat untuk menghambat langkah-langkah
pemberantasan korupsi. "Tapi satu hal, mereka tidak akan bisa mengalahkan
rakyat dan negara. Karena itu, mari dengan penuh ketetapan hati kita lanjutkan
tugas ini dengan benar," sambungnya.
jenderal
pol ( purn ) sutanto mengatakan, serah terima jabatan yang diselenggarakan hari
ini, merupakan wujud nyata dari konsekuensi atas tuntutan kebutuhan regenerasi
kepemimpinan, dalam manajemen dl tubuh organisasi polri, sebagai upaya yang
konsisten dan tersistem, untuk terus memelihara dinamika organisasi polri, guna
terpeliharanya kesiapan operasional, demi menjawab tantangan tugas ke depan,
yang akan terus berkembang semakin kompleks dan berat.
hari
ini, jajaran polri, serta tentunya masyarakat indonesia, menjadi saksi atas
peralihan tongkat estafet kepemimpinan dalam tubuh polri, yang telah
dilaksanakan secara tertib dan lancar, sesuai dengan mekanisme atau aturan
dalam perundangan. selanjutnya, secara otomatis, hal ini juga membawa
konsekuensi berupa tuntutan dan harapan, akan tampilan kinerja polri ke depan,
yang lebih baik lagi, yang sanggup menjawab harapan dan tuntutan
masyarakat.untuk menjawab berbagai tantangan tugas, melalui pelaksanaan tugas
pokok, sesuai dengan yang diamanahkan dalam uu no. 2 tahun 2002.
demi
mewujudkan hal tersebut, peran kepemimpinan, khususnya pada manajemen yang
teratas, adalah sangat menentukan. jiwa organisasi dan semangat awaknya, untuk
selalu menunjukkan kinerja terbaiknya, serta menampilkan budaya organisasi yang
bermoral, ditentukan oleh pimpinan puncak. dengan kata lain, konsistensi polri
beserta para anggotanya, terhadap komitmen pada tugas, merupakan cerminan
konsistensi pimpinan tertingginya. pada sisi inilah, tampak peran penting
kepemimpinan, dalam mengemban kepercayaan, kehormatan, dan amanah, yang
dititipkan kepadanya.
ditambahkan
dalam kesempatan ini, pada penghujung perjalanan karier profesi kepolisian
saya, baik sepanjang 35 tahun masa dinas dl polri, maupun khususnya selama 3
tahun 3 bulan dalam jabatan sebagai kapolri, saya menyampaikan ucapan terima
kasih yang setulus - tulusnya, kepada presiden republik indonesia, segenap
anggota dpr rl, para kolega dalam kabinet indonesia bersatu, maupun segenap
komponen bangsa, dan seluruh lapisan masyarakat indonesia, serta kepolisian
dari negara sahabat, yang telah memberikan dukungan dan partisipasi nyata,
kepada diri saya, baik selaku pribadi maupun institusi, sehingga berbagai
penyelenggaraan tugas - tugas kepolisian, yang saya pimpin, dapat berjalan
dengan sebagaimana mestinya.
selain
itu, penghargaan yang tinggi, saya sampaikan kepada segenap anggota polri,
beserta keluarga, yang telah menunjukkan pengabdian dan pengorbanannya, dalam
menjawab berbagai tantangan tugas polri, guna menciptakan iklim kamtibmas yang
kondusif, demi terselenggaranya berbagai aktivitas pembangunan dan masyarakat,
serta tegaknya supremasi hukum, terlindungi, terayomi, maupun terlayaninya
masyarakat, secara profesional, proporsional, dan bermoral, walaupun dihadapkan
pada kendala dan keterbatasan. namun demikian, kita patut bersyukur bahwa, apa
yang diamanahkan, dapat kita jalani bersama, dengan penuh keikhlasan,
kebersamaan, dan kekompakan. saya dapat merasakan bahwa, segenap jajaran
kepolisian, telah menunjukkan kinerja maksimal, dalam pengabdiannya demi
kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
dikatakan
dengan dedikasi, pengorbanan, dan pengabdian para anggota polri selama ini,
kita mampu mewujudkan stabilitas kamdagri dengan baik, terbukti dengan
terpeliharanya kamtibmas dl provinsi nad, berakhirnya konflik komunal dl poso,
meredanya ketegangan dl maluku dan papua, maupun terselenggaranya pilkada dl
banyak daerah, yang walaupun dl beberapa tempat timbul permasalahan, namun
dapat segera ditangani, sehingga tidak sampai menimbulkan instabilitas
kamtibmas. demikian juga, terpeliharanya kamtibmas, sehingga berbagai even
bertaraf nasional bahkan internasional, dapat berlangsung dengan aman dan
lancar, maupun banyak lagi indikator positif, menyangkut stabilitas kamtibmas
lainnya.
selain
itu, dl bidang penegakan hukum, dapat saya katakan bahwa, dengan kerja keras
yang profesional dari para anggota, kita dapat menangani berbagai bentuk
kejahatan maupun gangguan kamtibmas, mulai dari yang bersifat konvensional,
transnasional, yang merugikan kekayaan negara, sampai dengan yang berdampak
pada terciptanya situasi kontinjensi.
berbagai
kasus atensi, maupun yang meresahkan masyarakat, dapat kita ungkap dengan hash
yang memuaskan, seperti halnya, pengungkapan jaringan terorisme, pemberantasan
jaringan peredaran gelap narkoba, pemberantasan illegal logging, illegal
minning, serta illegal fishing, perjudian, premanisme, aneka macam street
crimes dan lain sebagainya. saya sampaikan bahwa, kerja keras jajaran polri
ini, tidak saja membawa rasa aman bagi masyarakat kita saja, melainkan juga
telah menuai apresiasi positif, baik dari dalam maupun luar negeri, membawa dampak
positif bagi kemajuan perekonomian negara, serta mampu merekatkan persatuan dan
kesatuan bangsa.
adapun
dalam bidang pelayanan masyarakat, melalui berbagai inovasi jajaran polri, kita
mampu lebih mendekatkan pelayanan kepolisian kepada masyarakat, dengan tentunya
mengindahkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, demi mewujudkan good
governance dan clean government, sesuai dengan semangat reformasi.
lebih
lanjut sutanto mengatakan,dalam kaitan reformasi polri, kerja keras kita
bersama, juga telah membawa hasil yang positif, melalui pembenahan pada aspek
instrumental, struktural, dan kultural. khusus menyangkut aspek kultural,
melalui implementasi paradigma polri sebagai civillian police, dengan
mengedepankan strategi polmas sebagai penjabarannya, kita telah mengarah pada
terwujudnya tampilan postur ideal polri, dalam lingkungan masyarakat madani
yang demokratis, yaitu sebagai polisi yang berjiwa atau berwatak sipil,
mandiri, independen, berwawasan luas, meliputi cakrawala lokal, nasional,
maupun global, serta adaptif dan mampu bertindak responsif serta proaktif,
dengan melibatkan peran masyarakat dan menyertakan kearifan lokal pada suatu
daerah, guna mendukung pelaksanaan tugas.
bahkan
dl tengah keprihatinan bangsa, maupun juga masyarakat internasional, menyangkut
krisis ekonomi dan pangan, polri mengambil terobosan bekerja sama dengan
instansi terkait, untuk selanjutnya mengelaborasi strategi polmas, dengan upaya
pemberdayaan lahan kosong, guna peningkatan ketahanan pangan serta
kesejahteraan anggota polri, berikut warga masyarakat sekitar, melalui program
penanaman tanaman pangan bernilai ekonomis, seperti jagung dan kedelai.
dalam
serahterima jabatan kapolri sutanto menyatakan, saya juga menyadari bahwa,
berbagai pencapaian selama ini, tidak sepenuhnya sempurna, dalam artian, masih
ada masyarakat, yang belum merasakan sentuhan kepolisian sebagaimana mestinya,
belum terlayani secara baik, maupun tercederai akibat ulah segelintir oknum
kepolisian. untuk itu, dalam kesempatan ini, saya memohon maaf kepada segenap
masyarakat, atas segala kelemahan dan kekurangan, yang telah dilakukan oleh
anggota polri, dl seluruh indonesia, selama masa kepemimpinan saya. semoga
segala kelemahan dan kekurangan tersebut, dapat diperbaiki dl masa mendatang.
selain
gambaran menyangkut pencapaian dl bidang operasional, polri juga telah
mengembangkan sarana dan prasarana, guna mendukung pelaksanaan tugas, seperti
peningkatan mobilitas dan telekomunikasi, yang tergelar mulai tingkat pusat
sampai dengan dl daerah. penguatan kemampuan polair guna pengamanan serta
penanganan kejahatan dl wilayah perairan strategis, dengan penambahan kapal -
kapal patroli.
selain
itu, pada aspek peningkatan dan pengembangan sumber daya manusia, polri telah
berhasil menyelenggarakan pola rekruitmen, yang mampu memenuhi standar iso 9001
: 2000, dalam penerapan sistem manajemen mutu terhadap proses seleksi penerimaan
taruna akpol, yang transparan, akuntabel, bersih, humanis dan bebas kkn, dengan
melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk para keluarga calon siswa
pendidikan pembentukan polri. dalam penerimaan akpol pada tahun ini, polri
secara penuh, menerima calon taruna bersumber sarjana, baik strata satu maupun
dua. terkait dengan upaya peningkatan kemampuan dan profesionalisme anggota
polri, kita juga terus meningkatkan jalinan kerja sama internasional, dengan
berbagai kepolisian negara sahabat.
selanjutnya
diungkapkan oleh sutanto berbagai contoh pencapaian polri dl atas, hanyalah
merupakan bagian kecil, dari hasil kerja keras polri yang lain, tentunya dengan
dukungan penuh segenap komponen bangsa, dalam rangka menjawab harapan dan
tuntutan masyarakat, akan situasi kamtibmas, yang semakin baik dari waktu ke
waktu. ke depan, tentunya masih banyak hal yang harus dikerjakan dan dicapai
polri, sebagai bentuk pemenuhan amanah rakyat, sebagai garda terdepan, terkait
pemeliharaan aspek kamdagri.
kita
bersama pastinya menyadari bahwa, untuk mewujudkan tantangan ke depan, polri
akan selalu dihadapkan pada berbagai tantangan maupun rintangan. namun
demikian, saya, sebagaimana juga seluruh masyarakat indonesia, merasa optimis
bahwa,
polri, dl bawah kepemimpinan jenderal polisi drs. bambang hendarso danuri, mm,
akan mampu mengatasi berbagai rintangan yang menghalang, sehingga polri semakin
hari akan menjadi semakin maju, menuju terwujudnya postur ideal polri, dalam
lingkup masyarakat madani, sesuai dengan semangat dan amanat reformasi
indonesia.
selanjutnya,
dalam kesempatan ini, perlu saya sampaikan juga bahwa, soliditas, semangat
pengabdian, kebersamaan, dan kesamaan persepsi dalam menyikapi visi serta misi
polri, merupakan kunci utama, bagi suksesnya penyelenggaraan tugas - tugas
kepolisan, secara umum. selain itu, dukungan seluruh keluarga besar polri,
aparat terkait, maupun segenap masyarakat, akan berdampak signifikan dalam
pencapaian hal tersebut.
perlu
diingat bahwa, terbangunnya kepercayaan masyarakat yang kuat, sebagai
stakeholders kamtibmas, akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas
polri. untuk itu, aspek legitimasi merupakan sesuatu yang harus diperhatikan,
selain aspek legalitas tentunya. selain itu, perlu untuk diingat pula bahwa,
dukungan berbagai komponen stakeholders kamtibmas, akan dapat membantu
kelancaran pelaksanaan tugas-tugas polri.
sebelum
mengakhiri sambutan ini, sekali lagi, saya ingin menyampaikan penghargaan dan
ucapan terima kasih, kepada segenap instansi pemerintah, lsm, insan pers,
kepolisian negara sahabat, maupun masyarakat indonesia selaku mitra polri, atas
segala perhatian dan dukungannya. atas segala kelemahan dan kekurangan yang
ada, sekali lagi saya mohon maaf. selanjutnya, kepada jenderal polisi drs.
bambang hendarso danuri, mm, saya mengucapkan selamat bertugas selaku kapolri,
dan semoga sukses selalu. semoga dibawah kepemimpinan jenderal, polri kedepan
akan dapat semakin maju, dan mampu menjawab harapan dan tuntutan masyarakat.
kata sutanto mengahiri.
§ pencanangan
pemberantasan perjudian pada 100 hari pertama menjabat yang terhitung
sukses dalam pelaksanaannya
§ Dibunuhnya
buronan terorisme asal Malaysia, Dr. Azahari
§ Pengungkapan
identitas para pelaku Bom Bali 2005
§ Penyelesaian
kasus penyuapan saat penanganan kasus pembobolan Bank BNI, dengan tersangka
Brigjen Ismoko, Komisaris BesarIrman Santosa dan Komisaris
Jendral Suyitno Landun
19.
Jenderal
Polisi Drs. H. Bambang Hendarso
Danuri, M.M.
(lahir
di Bogor, Jawa Barat, 10 Oktober 1952 ) adalah Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Kapolri) sejak 1 Oktober 2008. Beliau adalah lulusan
Akademi Kepolisian tahun 1974 dan meraih gelar sarjana dari Perguruan Tinggi
Ilmu Kepolisian (PTIK) dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Jakarta. Ia beristrikan
Nanny Hartiningsih dan merupakan adik dari mantan Pangdam I/Bukit Barisan
Mayjen TNI (Purn.) Tritamtomo.
Bambang
mengawali karirnya di kepolisian ketika menjadi Wakasat Sabhara Polresta Bogor
Polda Jawa Barat tahun 1975. Setelah itu karirnya terus melesat hingga antara
lain pernah menjabat sebagai Kapolres Jayapura (1993), Wakapolwil Bogor Polda
Jawa Barat (1994), Kadit Serse Polda Nusa Tengggara Barat (1997), Kadit Serse
Polda Bali (1999, Kadit Serse Polda Jawa Timur (2000), Kadit Serse Polda Metro
Jaya, Kapolda Sumatera Utara (2005-2006) dan Kepala Badan Reserse Kriminal
Mabes Polri (2006).
Penghargaan
yang pernah diterima suami Nanny Hartiningsih ini antara lain Satya Lencana
Kesetiaan 8 Tahun, Satya Lencana Karya Bhakti, dan Satya Lencana Ksatria
Tamtama.
20.
Jenderal
Polisi Drs. Timur Pradopo
(lahir
di Jombang, Jawa Timur, 10 Januari 1956) adalah Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia sejak 22 Oktober 2010.
Jenderal bintang empat alumnus Akpol 1978 ini merupakan Kapolri
pengganti Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri. Jenderal
Polisi Drs. Timur Pradopo dilantik menjadi Kapolri pada hari
Jumat, tanggal 22 Oktober 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana
Negara, Jakarta.
Timur
Pradopo diusulkan Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden RI kepada DPR-RI
sebagai calon Kapolri. Dia mengungguli Komjen Pol Nanan Soekarna (Irwasum
Polri) dan Komjen Pol Imam Sudjarwo (Kalemdiklat) yang sebelumnya sebagai
kandidat kuat calon Kapolri. Pada 19 Oktober 2010 dia disahkan sebagai Kapolri
dalam Sidang Paripurna DPR.
Kontroversi
Saat
Tragedi Trisakti Timur Pradopo menjabat Kapolres Jakarta Barat. Dia dipanggil
Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM)[2] tapi tidak
memenuhi panggilannya. Timur Pradopo pernah bekerjasama dengan Front Pembela
Islam (FPI) untuk "menjaga ketertiban Jakarta" dan [3]
21.
Jenderal
polisi Sutarman
Komjen Pol Drs. Sutarman merupakan
Kabareskrim Mabes Polri yang aktif sejak 6 Juli 2011. Dia diangkat sebagai
orang nomor satu di Bareskrim untuk menggantikan Ito Sumardi Ds yang telah
memasuki masa pensiun. Sutarman tercatat pernah menduduki sejumlah jabatan
penting di sepanjang karirnya. Pada tahun 2000, dia adalah Ajudan Presiden RI
pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Kemudian pada akhir 2004, dia pernah
menjabat sebagai Kapolwiltabes Surabaya, dan kemudian berturut-turut menjabat
sebagai Kapolda Kepri, Kaselapa Lemdiklat Polri. Setelah menjabat sebagai
Kaselapa Lemdiklat Polri, Sutarman lalu menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat
pada masa jabatan 23 Juni 2010 hingga 4 Oktober 2010. Ia menggantikan Irjen Pol
Timur Pradopo.
Setelah lepas jabatan sebagai Kapolda Jawa
Barat dan digantikan oleh Irjen Pol H. Suparni Parto, Sutarman kemudian
menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya untuk menggantikan Komjen Pol Ito Sumardi
Ds. Pada 2011, setelah melalui proses penyaringan, jabatan Kabareskrim Mabes
Polri ditentukan dan posisi penting itu akhirnya diduduki oleh Kapolda Metro
Jaya Inspektur Jenderal Sutarman. Keputusan pengangkatan Sutarman itu tertuang
dalam Surat Telegram Rahasia (STR) No: STR 1334/VI/2011, tanggal 30 Juni 2011.
Bersama Sutarman, ada 11 jenderal lainnya yang dimutasi. Dalam telegram
tersebut, Sutarman menggantikan posisi Komisaris Jenderal Ito Sumardi yang
memasuki masa pensiun. Sementara jabatan Sutarman sebagai orang nomor satu di
Polda Metro Jaya digantikan oleh Irjen Untung Suharsono Radjab. Untung
sebelumnya menjabat sebagai Kapolda Jawa Timur.
Ada keunikan dalam sejarah karir Jenderal
bintang tiga ini. Sutarman pernah menggantikan Timur Pradopo (yang kini adalah
Kapolri) di dua tempat yang berbeda, yakni Polda Jabar dan Polda Metro Jaya. Komisaris
Jenderal Pol Sutarman resmi menjabat sebagai Kepala Kepolisian Republik
Indonesia (Kapolri) menggantikan Jenderal Pol Timur Pradopo. Jabatan nomor satu
di Korps Bhayangkara ini diembannya usai menjalani pelantikan yang dipimpin
langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Negara, Jumat 25
Oktober 2013.
22.
Jenderal
Polisi Badrodin Haiti
Nasib baik memang menimpa pria kelahiran 24
Juli 1958 di Jawa Timur itu. Setelah Presiden Jokowi membatalkan pelantikan
Budi Gunawan sebagai Kapolri, akibat adanya desakan publik yang tidak
menginginkan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Setelah itu, Jokowi malah mengajukan
Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri. Namun, perjalanan proses pencalonannya
sebagai Kapolri bukannya tidak memiliki sandungan, awalnya Komisi III menolak
pencalonan Badrodin sebagai Kapolri. Namun setelah Jokowi hadir ke DPR untuk
menjelaskan pengajuan nama Badrodin Haiti, akhirnya Komisi III mau menerima
pencalonan Badrodin Haiti.
Sebelumnya, Komjen. Pol. Drs. Badrodin Haiti
menjabat sebagai Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri), dan
sebelum itu mengemban tugas sebagai Kabaharkam Mabes Polri. Dikalangan perwira
Polisi, Badrodin dikenal sebagai polisi yang sederhanaan, berintegritas, dan
tegas. Badrodin merupakan alumnus terbaik Akpol 1982 yang meraih gelar Adhi
Makayasa dan pernah menjabat sebagai Kapolda Banten, Kapolda Sulawesi Tengah
dan Kapolda Sumatera Utara. Badrodin memiliki dua orang putera. Setelah
menjabat Kapolda Jatim sekitar tujuh bulan, dia ditarik ke Mabes Polri dan
menjabat Koorsahli Kapolri.
Badrodin menjadi orang nomor dua (Wakapolri)
di Korps Bhayangkara menggantikan seniornya, Komjen. Pol. Drs. Oegroseno yang
pensiun. Pengangkatan Badrodin diumumkan sendiri oleh Kapolri Jend. Pol.
Sutarman.
Komentar
Posting Komentar