Langsung ke konten utama

Biografi KAPOLRI


Biografi Kapolri Dulu-Sekarang

1.       Komisaris Jenderal (Pol.) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo 
"Jangan mengeluhkan tugas yang diemban". R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo.
( dikutip dari buku Museum Polri 2009 )

R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo lahir di Kampung Sawah, Bogor, Jawa Barat, pada 7 Juni 1908. Ayahnya, Raden Ngabehi Martomihardjo, adalah seorang Asisten Wedana di Jasinga, Bogor, sementara ibunya bernama Raden Ajeng Kasmirah. Keluarga Soekanto tinggal di lembah Sungai Cisadane yang subur. Soekanto dididik disiplin Barat oleh ayahnya dan ajaran Islam oleh budenya. la tumbuh menjadi pribadi yang kuat, tabah, teliti, dan tidak mudah menyerah. Sebagai anak pertama, ia memang diharapkan bisa memberi contoh untuk adik-adiknya.Pendidikan formal Soekanto dimulai ketika masuk Frobel School (Taman Kanak-kanak Belanda). Dua tahun kemudian, ia melanjutkan ke Sekolah Rakyat Belanda yakni Europeesche Lagere School (ELS) di Bogor hingga kelas dua. Saat kelas tiga, ia diminta ikut pamannya yang tinggal di Tangerang.

Tempat barunya dikitari perkebunan yang luas sehingga Soekanto kecil sempat punya cita-cita menjadi insinyur pertanian. Minat bacanya meningkat pesat, terutama untuk artikel koran tentang alam Nusantara. Keindahan alam juga menumbuhkan minatnya menggambar. Nilai menggambarnya selalu bagus, bahkan pernah sembilan. la senang juga akan musik, menyanyi, dan bermain catur. Soekanto gampang akrab dengan semua kalangan. la dan teman-temannya sering mandi di Cisadane. Kala senggang, ia keluar masuk hutan berburu berbekal senapan angin pamannya. Setamat ELS, Soekanto pindah ke Bandung untuk melanjutkan ke HBS.
Sayang, biaya pendidikan dan hidup yang tinggi di Bandung memaksa Soekanto kembali ke Bogor. la tidak putus sekolah. la meneruskan HBS di Jakarta, supaya lebih hemat la dapat pergi pulang Bogor-Jakarta dengan kereta api, dan dari Stasiun Gambir ke sekolahnya menggunakan sepeda. Soekanto ikut kepanduan semasa di HBS, Kegiatan ini mendatangkan kesadaran nasionalisme. Sayang, semangatnya bersekolah kurang sebanding dengan hasilnya. Soekanto lulus HBS lebih lama dari yang seharusnya hanya lima tahun. Pada 1929, setelah lulus HBS, ia melamar ke Sekolah Aspiran Komisaris Polisi (Aspirant Commisaris Van Poiitie). Sayang ditolak. Tapi, ia mendapat kesempatan mengikuti pendidikan Hoofd Agent (kursus agen polisi). Giliran Soekanto yang menolak. Setahun kemudian ia menerima telegram dari Sekolah Aspiran Komisaris Polisi. la sangat mensyukurinya karena pada saat itu sulit bagi pribumi bersekolah di situ.
Soekanto merupakan siswa Angkatan VIII dan ia harus menyelesaikan pendidikan selama tiga tahun. Prestasinya dalam pelajaran menembak sangat menonjol saat itu. Ketika naik ke tingkat dua, Soekanto menikah dengan Hadidjah Lena Mokoginta, anak Raja Bolaang Mongondow, pada 21 April 1932 di Selabintana, Sukabumi. Pernikahan itu menambah semangatnya untuk segera lulus. Pada 1 Agustus 1933, Soekanto lulus dengan pangkat Komisaris Polisi Kelas III. Ini membanggakannya karena sebagai pribumi dia dapat memerintah anak buah yang berkebangsaan Belanda. Kejadian ini langka pada saat itu. Soekanto sering berpindah tempat tugas. Pos pertamanya adalah Semarang. la banyak mendapat tugas reserse di sini.
Salah satu prestasinya, adalah pengungkapan pembunuhan orang Belanda. Tempat tugas lain yang meninggalkan kesan adalah Kalimantan Timur dan Selatan pada 1940. Saat itu beredar bebas rompi yang kata penjualnya sakti anti peluru. Sebagai Komisaris Polisi, Soekanto membongkar penipuan ini dengan cara memakaikan rompi itu ke kambing lalu menembaknya. Si kambing sial langsung menemui ajal, demikian juga penipuan yang terjadi. Tahun 1942 Jepang masuk ke Hindia Belanda. Soekanto diangkat menjadi Itto Keishi (Komisaris Tingkat I), berkedudukan di Jakarta. la mengusulkan pembentukan pendidikan kepolisian khusus. Jepang setuju, sehingga berdirilah Jakarta Shu Keisatsu Ga/c/co. Tetapi ia tak bisa berlama-lama. Karena diisukan berdarah Belanda, ia dipindahkan Jepang ke sekolah polisi Jawa Keisatsu Ga/c/co di Sukabumi sebagai instruktur.
17 Agustus 1945, Soekarno - Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Berita ini sampai ke sekolah polisi di Sukabumi. Soekanto langsung menurunkan bendera Jepang dan bersama anak didiknya merebut senjata mereka. Pada 29 September 1945, Presiden Soekarno menunjuk Soekanto membentuk Polisi Nasional. Ini tugas berat: Republik masih labil, personel kurang, dan Sekutu datang. Mengingat suasana kurang aman, kantor Jawatan Kepolisian Negara pun dipindahkan ke Purwokerto.
Di Purwokerto inilah kepolisian berkembang, ditandai dengan berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian dan dibentuknya satuan polisi yang mampu bergerak cepat dan berfungsi sebagai pasukan pemukul, Mobrig (Mobile Brigade) yang dipimpin oleh IP I M. Jasin, Wakil Presiden Mohammad Hatta kemudian memerintahkan Soekanto bersekolah ke Amerika guna mempelajari bentuk, susunan, dan perlengkapan kepolisian mereka. Akibat Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan Republik Indonesia Serikat (RIS), kepolisian negara pun terbagi-bagi atas negara bagian. Kewenangannya tidak lagi di bawah Menteri Dalam Negeri, tetapi Perdana Menteri.
 Pada Maret 1950, RIS bubar dan kembali menjadi Republik Indonesia, Kepolisian pun berganti nama menjadi Jawatan Kepolisian Negara. Soekanto lantas membentuk 11 kepolisian provinsi dan membangun gedung Jawatan Kepolisian Negara di Jalan Trunojoyo, Jakarta. Seiring waktu, tugas kepolisian pun semakin bertambah. Polisi tidak saja dituntut menjaga keamanan di darat, tetapi juga di air dan udara, serta menangkal ancaman kejahatan lintas negara. Untuk mengatasinya dibentuklah Polisi Perairan, yang di dalamnya ada Seksi Udara, Polisi Perintis, Polisi Kereta Api, Polisi Wanita. Pada 1950, seksi Public Relation dibentuk dengan tugas menjalin hubungan dengan masyarakat dan semua instansi yang ada di dalam maupun luar negeri.
Pada 1952, Indonesia bergabung dengan interpol yang berpusat di Paris, kelanjutannya Jawatan Kepolisian Negara ditunjuk sebagai Central National Beureau (NEC). Soekanto juga merumuskan Pedoman Hidup Kepolisian Negara, yang dikenal dengan Tri Brata Kepolisian Negara, yaitu 1) Polisi itu abdi utama nusa dan bangsa, 2) Polisi itu warga Negara yang utama dari negara, 3) Polisi itu wajib menjaga ketertiban pribadi rakyat.
Sebagai Kepala Kepolisian Negara yang pertama, Soekanto memiliki gagasan agar kepolisian berdiri sendiri di dalam satu kementerian agar bisa independen, profesional, serta tidak diintervensi oleh politik. Cita-cita R.S. Soekanto adalah menyamakan persepsi yang sifatnya visioner sesuai dengan misi Polri sebagai penegak hukum, pengayom, dan pelindung masyarakat. Dengan kata lain polisi menjadi otonom untuk mengatur dan membangun dirinya, ini merupakan ciri atau karakter dari seorang profeional. Baginya, titik berat tugas tugas polisi semestinya pada segi pencegahan, sesuai dengan prinsip polisi modern. Soekanto juga menekankan dispilin tugas yang tinggi. la juga membangun korps kepolisian negara yang dihormati serta disegani oleh masyarakat bukan karena persenjataannya, melainkan karena watak dan kepribadiannya. Menjabat dari 29 September 1945 hingga 14 Desember 1959. Soekanto adalah mertua dari Sawito Kartowibowo, seorang tokoh yang namanya mencuat pada tahun1976 dalam Perkara Sawito. Namanya diabadikan dalam nama sebuah rumah sakit di Jakarta, Rumah Sakit Polri Soekanto di Kramat Jati.

“BAPAK POLISI INDONESIA” YANG JUJUR ITU TELAH TIADA
TEMBAKAN salvo meletus memecah keheningan di pemakaman Tanah Kusir, Rabu siang (25/8/1993). Bendera merah putih yang menyelubungi peti mati, dipegang oleh empat perwira tinggi dari AD, AL, AU, dan Polri pelan-pelan diangkat. Tepat pukul 13.08, jenazah yang terbungkus kain kafan putih dalam peti, dipindahkan ke liang kubur dan akhirnya bersatu dengan tanah merah. Maka bersatulah jasad Jenderal Polisi (Purn) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kepala Kepolisian Negara (KKN) pertama dengan istri tercintanya, Ny Hadidjah Lena Soekanto-Mokoginta yang meninggal lebih dulu pada 1 Maret 1986. Meskipun Soekanto memiliki Bintang Mahaputra Adiprana kelas II yang artinya berhak dimakamkandi Taman Makam Pahlawan Kalibata, namun ia sudah memberi wasiat kepada keluarganya agar jika ia meninggal dunia, hendaknya dimakamkan satu lubang dengan jasad sang istri terkasih.
Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo memang telah tiada. “Bapak Polisi Indonesia” ini meninggal dunia dengan tenang pada usia 85 tahun di RS Polri Kramatjati Jakarta Timur, Selasa malam (24/8) pukul 23.38 WIB, setelah sekitar empat bulan dirawat di sana karena
sakit. Ia meninggalkan seorang putri, Ny Umi Khalsum Arimbi dan dua orang cucu, Nanda dan Mena.
Sebelum dimakamkan, jenazahnya disemayamkan satu setengah jam di Gedung Utama Mabes Polri di Jl Trunojoyo Jaksel –gedung markas Polri yang diresmikan Soekanto pada 17 Agustus 1952 silam–, saat ia masih menjabat Kepala Kepolisian Negara. SOEKANTO adalah potret polisi yang “langka” untuk ukuran masa kini. Ketika menjabat KKN (1945-1959), ia dikenal sebagai orang  jujur dan sederhana. Bahkan sampai akhir hayatnya pun, peletak dasar-dasar kepolisian ini hanya memiliki sebuah rumah sederhana di Kompleks Polri Ragunan, Pasar minggu, Jaksel. Ketika pensiun, Soekanto bahkan tinggal di rumah sewa di Jl Pengangsaan Timur No 43 Jakpus.

Yang menjadi “obat” bagi pihak keluarga –seperti diungkapkan wakil keluarga di pemakaman Tanah Kusir–, penghormatan seluruh jajaran Polri terhadap Almarhum Soekanto sangat mengharukan. Ratusan pelayat termasuk sejumlah mantan Kapolri dan pejabat tinggi Polri, hadir di Tanah Kusir, memberi penghormatan terakhir kepada Almarhum Soekanto. Antara lain mantan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian RI Soetjipto Danoekoesoemo (1963-65), mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso (1968-1971), Mohammad Hasan (1971-1974), Awaloedin Djamin (1974-1978). “Soekanto orang paling sederhana. Lihatlah, ketika meninggal, ia tidak punya apa-apa. Padahal ia berkuasa sebagai Kepala Kepolisian Negara selama 15 tahun. Dia tak ada duanya. Disegani dan memiliki kharisma yang besar terhadap semua jajaran Polri. Soekanto pantas disebut sebagai Bapak Kepolisian Indonesia,” komentar mantan Kapolri Jenderal Pol (Purn) Awaloedin Djamin yang pernah menjadi Sekretaris Soekanto (1955-1959).
Bersama-sama dengan Prof Djoko Soetono SH, Prof Supomo, dan Sultan Hamengkubuwono IX, Soekanto mendirikan Akademi Polisi di Mertoyudan dan akhirnya menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Jakarta. Ide dasar lembaga pendidikan polisi ini untuk menciptakan polisi yang pandai, modern, tanggap pada kemajuan zaman. Selain itu Soekanto memprakarsai pembentukan Brigade Mobil (Brimob), pasukan khusus Polri dan mendirikan pusat pendidikan Brimob di Porong, serta Satuan Polisi Perairan dan Udara. Salah satu kasus besar yang pernah diungkapnya adalah jatuhnya pesawat RRC, Kashmir Princess di Natuna, masa Afro-Asia.Pembangunan gedung Mabes Polri yang diresmikannya tahun 1952, adalah prakarsa dia. Gedung di Jl Trunojoyo yang sampai sekarang masih digunakan sebagai Markas Besar Polri ini merupakan gedung dengan kerangka besi pertama di Indonesia. Ia juga memprakarsai pembangunan Wisma Bhayangkari dan rumah dinas KKN.
Motto Polri, Tri Brata dan Catur Prasetya, yang diciptakan Prof Djoko Sutono SH, digunakan dan diresmikan tahun 1955 ketika Soekanto menjadi KKN. Soekanto pernah mengirimkan perwira Polri dalam jumlah besar-besaran untuk belajar kepolisian di Amerika Serikat. Termasuk di antaranya Hoegeng Iman Santoso, Awaloedin Djamin, Mohammad Hasan, Widodo Budidarmo, yang semuanya menjadi Kapolri. Soekanto juga dikenal sebagai Bapak Orhiba (Olah Raga Hidup Baru), modifikasi yoga. Dengan Orhiba inilah, Soekanto membuktikan dapat bertahan hidup dengan fisik yang kuat sampai usia 85 tahun. Said Soekanto diangkat KKN pada 29 September 1945 oleh Presiden RI Sukarno. Ketika Februari 1946, pusat pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta, markas kepolisian negara pindah ke Purwokerto. Juli 1949, Soekanto yang saat itu ada di New York, diperintahkan oleh Wapres Mohammad Hatta ikut menghadiri Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Belanda. Setelah penyerahan kedaulatan RI akhir 1949, ia diangkat jadi Kepala Kepolisian RIS. Tahun 1950, kembali menjadi KKN. Bulan Juli 1957, Soekanto menjabat Menteri Muda Angkatan Kepolisian RI dan pensiun pada 31 Desember 1959 dengan pangkat pangkat terakhir Komisaris Jenderal Polisi atau Letnan Jenderal. Tahun 1968, Soekanto dinaikkan pangkatnya jadi Jenderal Polisi Purnawirawan, dan pada Agustus 1973, ia diangkat sebagai anggota DPA-RI
KAPOLRI Letjen (Pol) Banurusman Astrosemitro, inspektur upacara pada pemakaman militer di Tanah Kusir berucap, “Seluruh jajaran Polri merasa kehilangan. Sebagai sesepuh Polri, almarhumSoekanto selalu memegang teguh setiap prinsip perjuangan dengan
loyalitas dan dedikasi yang tinggi.”

Bahkan mantan Kapolri Jenderal Pol (Purn) Hoegeng Iman Santoso yang dikenal sebagai polisi yang lurus pun mengatakan, “Pak Kanto orang yang patut dicontoh. Dia meletakkan jiwa kepolisian, polisi harus jujur dan mengabdi masyarakat.” Menurut Hoegeng yang hadir di pemakaman Tanah Kusir, jasa Soekanto di kepolisian sangat besar. “Tanpa Pak Kanto, polisi sudah berantakan,” kata mantan Kepala Kepolisian RI (1968-1971). Hoegeng bertemu dengan Soekanto ketika ia menjadi siswa sekolah polisi pada zaman penjajahan Jepang, tahun 1942-1943. “Di zaman Jepang, Pak Kanto yang jadi instruktur, sudah mendidik kami dengan jiwa keindonesiaan. Saya ingat, Pak Kanto pernah marah pada saya. Tanpa kemarahan Pak Kanto, saya tidak begini ini,” tuturnya.
Teman seperjuangannya, Mayjen Pol (Purn) Mohammad Jassin (73), mantan Deputi Soekanto dan mantan Panglima Mobil Brigade Indonesia (1952-59) menyebutkan, “Soekanto seorang pejuang besar dan berdisiplin tinggi. Ia selalu berucap, tanpa disiplin, aparat akan rusak.”
Deops Kapolri Mayjen (Pol) Koesparmono Irsan yang sempat dilantik oleh Soekanto ketika jadi taruna polisi di Sukabumi tahun 1959, mengatakan ia mengenal Soekanto dari ayahnya yang juga polisi. “Dari cerita ayah, Pak Kanto orangnya lurus, selalu berpegang pada aturan-aturan yang ada, tidak ingin menyimpang sedikit juga. Kesetiaan kepada bangsa dan negara tak diragukan. Beliau tak suka bermewah-mewah, kejiwaannya dalam sekali,” kata Koesparmono.
Mantan Kapolri Jenderal Pol (Purn) Mohammad Hasan mengatakan, “Soekanto seorang polisi bermoral tinggi.” Sedangkan Mayjen Pol (Purn) Soewondo Pranoto (79), mantan Kepala Polisi Surabaya (1952- 58) menilai, Soekanto sangat percaya pada orang yang sudah ditunjuknya. “Bawahan yang sudah diberi kepercayaan harus berusaha
sendiri untuk mengerjakan tugas dengan baik dan disiplin,” katanya.
Asrena Polri Mayjen (Pol) Drs Aji Komaruddin, Kapolda Metro Jaya Mayjen (Pol) Drs Moch Hindarto, mantan Deputi bidang Operasi Mayjen Pol (Purn) IGM Putera Astaman yang ditanya Kompas terpisah juga menjawab senada. Mereka mengagumi Said Soekanto sebagai seorangpolisi yang teladan, tak ada duanya. “Dialah teladan dan kebanggaan Polri.”
Dan seperti kata Kapolri Letjen (Pol) Banurusman, “Adalah bebanbagi segenap jajaran Polri untuk melanjutkan perjuangan almarhum, dan mewujudkan cita-cita menciptakan polisi yang bersih, berwibawa, pandai dan modern.” Selamat jalan Pak Said Soekanto…!

2.       Komisaris Polisi Raden Soekarno Djojonegoro 
Lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah, 15 Mei 1908 – meninggal di Jakarta, 27 November 1975  Pada umur 67 tahun. ia diangkat menjadi  Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (dulu bernama Kepala Kepolisian Negara) dari 15 Desember 1959 hingga 29 Desember 1963. Ia adalah anak keempat Bupati Banjarnegara, Raden Adipati Djojonagoro II. Karier kepolisiannya dimulai pada tahun 1928, setelah ia menamatkan pendidikannya di Osvia.
Jabatan pertamanya adalah AIB di Jatibarang. Ia kemudian menjadi Mantri Polisi Residen Jepara Rembang (1931), Asisten Wedana Banyumas (1934), Asisten Residen Lampung (1935), Mantri Polisi Kedungwuni, Pekalongan (1936), Asisten Wedana Polisi Tegal (1941), Kepala Seksi IV Polisi Kota Semarang (1942), Kepala Polisi Salatiga (1943), Kepala Polisi Istimewa Kota Semarang (1944), Keibikatyo Kota Semarang (1944), Kepala Polisi Kendal (1945), Kepala Umum Kantor Besar Polisi Semarang (1945), Kepala Polisi Karesidenan Pekalongan (Februari 1950), Kepala Polisi Karesidenan Surabaya (Agustus 1950),Kepala Kepolisian Provinsi Jawa Timur (Desember 1950), dan Ajun Kepala Kepolisian Negara (November 1959). Pada 15 Desember 1959, Djojonegoro dilantik menjadi Kepala Kepolisian Negara menggantikan Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo.
Beberapa peristiwa semasa ia menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara:
§  1960 - Kepolisan Negara bergabung dalam ABRI
§  1 Juli 1960 - empat janji prajurit kepolisian, "Catur Prasetya" diikrarkan
§  April 1961 - Catur Prasetya resmi dijadikan pedoman kerja kepolisian RI selain Tribrata sebagai pedoman hidup.
§  1962 - Kepolisian Negara Republik Indonesia berubah nama menjadi Angkatan Kepolisian RI (AKRI)
Masa kepemimpinannya ditandai konflik dengan Belanda dan pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan PKI, DI/TII, APRA dan lain-lain, namun hal-hal tersebut ditanganinya dengan baik. Ia digantikan Ajun Komisaris Besar Polisi Soetjipto Danoekoesoemo pada 30 Desember 1963 dan segera diangkat menjadi Menteri Penasihat Presiden untuk Urusan Dalam Negeri. Djojonegoro memasuki masa pensiun mulai 31 Juli 1966. Hari-harinya dinikmatinya dengan berkumpul bersama keluarga.
Djojonegoro meninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia meninggalkan istrinya, R.A. Sukatinah, dan lima orang anak. Sesuai permintaannya, jenazahnya dimakamkan di makam khusus untuk pemakaman keluarga Djojonagoro, "Suwondo Giri" di Banjarnegara.



3.             Inspektur Jenderal Soetjipto Danoekoesoemo 
lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 28 Februari 1922. Diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dari 30 Desember 1963 hingga 8 Mei 1965. Masa kecilnya dihabiskan di bangku HIS, MULO dan SMA-C. Ia kemudian mengikuti pendidikan di Kotoka I (Sekolah Bagian Tinggi Kepolisian) Sukabumi (1943). Setelah tamat, Danoekoesoemo diangkat menjadi Komandan Batalyon Polisi Istimewa Surabaya(1945).
Soetjipto kembali mengikuti pendidikan Hersholing Mobrig di Sukabumi (1950). Setelah itu, ia diangkat menjadi Wakil Koordinator dan Inspektur Mobile Brigade Polisi Jawa Timur (1951), dan Wakil Koordinator dan Inspektur Mobrig Polisi Jawa Tengah (1954). Ia lalu dikirim ke Italia untuk memperdalam untuk memperdalam ilmu kepolisian. Akhir tahun 1960, dia ditempatkan sebagai Ajun Komisaris Besar Polisi Kastaf pada Markas Pimpinan Komandan Mobrig Polisi Pusat.
Tahun 1961, Soetjipto menempuh pendidikan militer-kepolisian di Advance Army School, Fort Benning,Amerika Serikat, dilanjutkan dengan pendidikan di Army Command & General Staff College, Fort Leavenworth, serta kursus pertahanan sipil di New York. Sekembalinya ke Indonesia, ia dipromosikan menjabat Komandan Mobrig Polisi Pusat (1962). Dua tahun kemudian, Soetjipto dilantik menjadi Kepala Kepolisian Negara (1964) menggantikan Jenderal Pol.Soekarno Djojonagoro.

Beberapa peristiwa semasa menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara:
§  19 Maret 1965 - Sekolah Staf dan Komando Angkatan Kepolisian (Seskoak) di Lembang, Bandung, didirikan.
§  15 Maret 1965 - pemberlakuan KUHP Tentara, HAP Tentara dan KUDT bagi anggota Polri
Ia digantikan R. Soetjipto Joedodihardjo pada 9 Mei 1965. Selepas itu, ia menjadi Duta Besar Rl untuk Bulgaria (1966-1969) dan lalu menjadi anggota DPRGR dan MPRS (1970), serta Anggota DPR-MPR RI selama empat tahun (1971-1974).

Presiden Soekarno memberikan kepercayaan kepada dia untuk menjabat sebagai Menteri Angkatan Kepolisian (Men/Pangak) selama 17 bulan, mulai akhir tahun 1963 sampai awal tahun 1965. Dalam masa jabatannya ini, ia berusaha memperkokoh fondasi kepolisian dan mengadakan pembenahan di lingkungan kepolisian.
Soetjipto lahir pada tanggal 28 Februari 1922 di Campurdarat, Tulungagung. Setahun setelah kelahiran Soetjopto, ayahnya dipecat sebagai pegawai Jawatan Pegadaian Negeri Tulungagung. Soetjipto adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya bernama Danoe Wirjodihardjo dan ibunya bernama Siti Kopah (Siti Fatimah). Soetjipto tumbuh dan berkembang dalam keadaan prihatin, serba kekurangan, dan penuh kesederhanaan. Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Ayahnya aktif dalam Sarekat Islam (SI). Ayahnya ditangkap Belanda karena keterlibatannya dalam SI. Dalam jiwa Soetjipto, tertanam apa yang selalu diberitahukan ayahnya bahwa orang Belanda dan Cina adalah orang jahat. Dalam kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Soetjipto berhasil masuk ke HIS di Nganjuk pada umur tujuh tahun.

Ketika duduk di kelas 3, Soetjipto mengalami goncangan besar ketika ibunya meninggal dunia. Ia kehilangan orang yang selama ini memberikannya kasih sayang dan orang yang menjadi tiang penyangga ekonomi keluarga. Kemudian Soetjipto dititipkan kepada keluarga Mangoendihardjo. Tahun 1935, ia pindah ke HIS Kediri untuk tinggal bersama ayahnya. Di HIS Kediri, Soetjipto tidak bertahan lama. Pada saat kelas 6, ia dikeluarkan karena telah lama menunggak bayaran sekolah. Ia kemudian diajak oleh kakak iparnya untuk bersekolah di HIS Ponorogo. Ia dapat menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1936. Setelah lulus HIS, ia melanjutkan ke MULO swasta, yakni Neutrale MULO. Karena prestasinya di Neutrale MULO, ia berkesempatan masuk ke MULO negeri di Madiun. Ia lulus dari MULO Madiun pada tahun 1939. Setelah lulus dari MULO, ia diterima sebagai pegawai di Jawatan Penataran Angkatan Laut Belanda. Setelah setahun bekerja, ia diangkat menjadi asisten kepala bagian sampai kedatangan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, ia tertarik masuk PETA, Kotoka (Sekolah Tinggi Bagian Polisi), dan pegawai kereta api. Ia pun memilih untuk masuk Kotoka. Setelah lulus ujian masuk Kotoka, ia pindah ke Sukabumi dimana sekolah tersebut berada. Tahun 1943 Soetjipto bertugas di Surabaya. Tidak lama kemudian ia dipindahkan ke Hoofd Bureau bagian intel. Pada tahun 1944, Soetjipto diberi tugas untuk melatih pasukan Seinendan/Keibodan Surabaya. Pada pertengahan 1963 Presiden Soekarno membentuk tim untuk mencari Men/Pangak yang baru. Tim yang diketuai oleh Dr. Cahaerul Saleh tersebut, kemudian mengusulkan nama Ajun Komisaris Besar Polisi Soetjipto Danoekoesoemo, seorang perwira polisi komandan Brimob yang waktu itu memiliki 12 satya lencana. Berdasarkan jenjang kepangkatan yang dimilikinya sebenarnya ia belum pantas untuk menduduki posisi Men/Pangak. Pada tanggal 26 September 1963, Presiden memanggil Soetjipto ke Istana Negara. Presiden menanyakan tentang perihal pengangkatannya menjadi Men/Pangak. Pada tanggal 4 Januari 1964 di Istana Bogor, Soetjipto Danoekoesoemo dilantik secara resmi oleh Presiden Soekarno menjadi Men/Pangak baru menggantikan Soekarno Djojonagoro.

Demi kelancaran tugas di jabatannya yang baru, Presiden Soekarno kemudian menaikkan pangkatnya tiga tingkat menjadi Inspektur Jenderal Polisi. Meskipun kenaikan pangkatnya tersebut menimbulkan ketidakpuasaan di kalangan polisi sendiri, tapi Soetjipto mampu membuktikan bahwa dirinya dapat menajalankan tugas dengan baik. Selama memegang jabatannya, ia berusaha melahirkan konsep-konsep baru dalam rangka memajukan kepolisian RI. Kebijaksanaan yang dibuatnya ketika menduduki posisi Men/Pangak adalah mengadakan perubahan struktur organisasi. Melalui SK No. Pol: 11/SK/MK/1964 dibuat keputusan untuk menambah jumlah deputi menteri dalam kepolisian menjadi lima. Untuk menyesuaikan perkembangan sistem organisasi, maka diadakan perubahan nama-nama jabatan kepolisian di daerah. Contoh: Kepala Kepolisian Komisariat diganti menjadi Panglima Daerah Kepolisian, Kepala Polisi Distrik berubah menjadi Komandan Daerah Distrik Kepolisian, dsb. Soejipto merasa perlu mengubah status antara sipil dan militer dalam UU Kepolisian No. 13/1961 Pasal 3, menjadi unsur angkatan yang sepenuhnya terintegrasi ke dalam ABRI. Usaha tersebut berhasil dengan dikeluarkannya SK Presiden No. 290/1964 tentang “Penegasan Kedudukan, Tugas, dan Tanggung Jawab Angkatan Kepolisian RI sebagai Unsur Angkatan Bersenjata”. Di dalam bidang pendidikan kepolisian, Soetjipto merasa perlu untuk meningkatkan kualitas para personil polisi, terutama menyangkut tugas-tugas pokok polisi.
Sehubungan dengan hal itu, maka ia merencanakan pembentukan Sekolah Staf dan Komando Kepolisian (Seskoak), yang dalam pekembangannya menjadi Seskopol, lalu sekarang menjadi Sespimpol. Berdasarkan SK Men/Pangak No. 11/SK/MK/1964 maka mulai dibentuklah Tim Kerja Pembentukan Seskoak. Di luar kepolisian, ia sempat mendirikan sebuah sekolah dasar di daerah Jombang, Jawa Timur.
4.             Soetjipto Joedodihardjo 
lahir di Jember, Jawa Timur, 27 April 1917 – meninggal 26 Maret 1984 diusia 66 tahun. Menjabat sebagai  Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dari 9 Mei 1965 hingga  8 Mei 1968. Pada masa kecilnya ia belajar di  HIS, KAE, MULO dan menamatkan Mosvia pada tahun 1939. Ia berasal dari keluarga pamong praja yang sederhana. Ia adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan M. Ng. Mochamad Joesoef dan Habibah Joedodihardjo. Adik perempuannya bernama Kamariyah. Berangkat dari keluarga yang taat beragama, membentuk sosoknya yang jujur, sabar dan bertanggung jawab. Ia adalah Kapolri (yang kala itu masih bernama Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian—Men/Pangak) yang keempat sejak kemerdekaan Indonesia. Bisa disebut, ia adalah Kapolri (Men/Pangak) dua zaman; zaman Orde Lama dan Orde Baru. Zaman ketika terjadi transisi dari kedua Orde itu. Ia menjadi Men/Pangak dalam masa yang penuh gejolak dan berbagai peristiwa penting.
Pendidikannya diselesaikannya dengan baik walau pun tidak mulus, melainkan banya rintangan. Ia masuk Hollands Inlandsche School (HIS). Ini pun berkat kerja keras orang tuanya dan diangkatnya ia sebagai anak angkat oleh pamannya yang seorang wedana bernama R. Wiro Projo. Jiwa nasionalismenya mulai muncul di sekolah ini, bersama teman-teman sekolahnya yang berasal dari kaum pribumi. Karena ketekunan dan disiplin yang ditanamkan keluarga, ia lulus dan melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs).
MULO yang setingkat SMP sekarang itu mewajibkan penguasaan bahasa asing bagi murid-muridnya sekurang-kurangnya dua. Tekad untuk mengabdikan diri dan mempersembahkan sesuatu untuk bangsa dan negara menyebabkan M. Ng. Soeptjipto Joedodihardjo tamat pada waktunya dengan prestasi yang menggembirakan. Ia pun melanjutkan pendidikan di MOSVIA (Middelbare Opleiding School Voor inlandsche Ambtenaren). Sekolah ini adalah sekolah yang sangat bergengsi di zaman itu. Tidak semua orang bisa bersekolah di sini. Pendidikan yang diikuti M. Ng. Soeptjipto Joedodihardjo di sekolah ini memungkinkan dirinya mengabdikan ilmu pada bangsa dan negara hingga menjabat Men/Pangak. Ia menyelesaikan pendidikan di MOSVIA tepat waktu yakni tahun 1939.Karier setelah pendidikannya dimulai dari Ambtenaar sebagai pemangku jabatan AIB Tanggul Besuki. Tahun 1940, ia pindah ke kota kelahirannya, Jember, sebagai AIB di tempat itu. Pada 1941 ia menjabat Mantri Polisi Situbondo dan pada tahun yang sama menjadi Mantri Polisi Surabaya. Tahun 1942, sebagai Mantri Polisi Bondowoso dan Kalisat/Jember. Tahun 1943 menjadi Itto Keibu di Bondowoso. Tahun 1944 ia pergi ke Taiwan untuk mendapat latihan ilmu kepolisian. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah kesempatan M. Ng. Soeptjipto Joedodihardjo untuk mewujudkan mimpinya; membaktikan ilmu dan tenaganya untuk bangsanya sendiri. Di Besuki M. Ng. Soeptjipto Joedodihardjo memimpin perlawanan dan pelucutan Jepang dan Jepang tunduk. Jepang pun menyerahkan senjata dan diterima oleh, salah satunya, Kepala Tokubetsu Keisatsutai Soetjipto Joedodihardjo.
Berkat perjuangannya, ia mendapat kenaikan pangkat menjadi Inspektur Polisi Kelas I pada Pasukan Istimewa Besuki. Pada penyusupan tentara NICA oleh Sekutu, di daerah sekitar Besuki M. Ng. Soeptjipto Joedodihardjo tampil sebagai pemimpin untuk melawan mereka. Daerah Keresidenan Besuki masuk sebagai daerah target perluasan wilayah Belanda kala itu. Maka, mau dan tak mau Kesatuan Mobrig Besuki di bawah kepemimpinan Inspektur Polisi Kelas I M. Ng. Soetjipto Joedodihardjo melakukan perlawanan dan berhasil mematahkan serangan Belanda. Atas jasanya itu, M. Ng. Soetjipto Joedodihardjo dipromosikan sebagai Wakil Komandan Mobrig Polisi Jawa Timur di Surabaya (1947).
Tak lama kemudian ia pun mendapat kenaikan pangkat menjadi Komisaris Polisi (KP) II. Pada masa sebagai Wakil Komandan Mobrig Polisi Jawa Timur ini, salah satu prestasinya adalah berhasil menumpas pemberontakan PKI di Madiun 1948. Setelah keberhasilan itu, Komisaris Polisi TK. II M. Ng. Soetjipto Joedodihardjo mengemban tugas berat yakni Komandan Mobrig Polisi Jakarta Raya (1950). Lantas ia pun menjadi Komandan Mobrig Polisi Jawa Timur. Ia diakui dan dipuji pemerintah dan pimpinan Polri karena berhasil ikut menumpas Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung. Ia pun dipromosikan untuk menduduki jabatan di Jawatan Kepolisian Negara dengan pangkat Komisaris I. Pada 4 Juli 1950, Dewan Guru Besar Angkatan Kepolisian merubah Akademi Polisi menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. M. Ng. Soetjipto Joedodihardjo pun diangkat dan ditetapkan sebagai Lektor PTIK pada 1960. Ketekunan, ketegasan dan perjalanan kariernya yang berprestasilah yang menghantarkannya ke kedudukan ini. Jiwa M. Ng. Soetjipto Joedodihardjo mungkin sudah tertanam dan mendarah daging dengan kesatuan Mobrig. Ini terbukti dengan diangkatnya dia sebagai Komandan Komandemen Mobrig Pusat pada 1960. Mobrig ini lantas dirubah namanya oleh Bung Karno menjadi Brigade Mobil (Brimob).

Soetjipto kemudian menjadi ambtenaar (pegawai negeri) dengan menjabat sebagai AIB Tanggul/Besuki (1939). Kemudian AIB di kota kelahirannya, Jember, tahun 1940. Sesudah itu kariernya berjalan dengan mantap dan terus menanjak. Ia berturut-turut menjadi Mantri Polisi Situbondo (1941), Mantri Polisi Surabaya (1941), Mantri Polisi Bondowoso (1942), Mantri Polisi Kalisat/Jember (1942), dan Itto Keibu Bondowoso (1943). Dari sini, dia mendapat latihan ilmu kepolisian di Taiwan (1944). Sebulan menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI, dia masih menjadi Itto Keibu di Bondowoso.
Dua bulan setelah Kemerdekaan RI, tepatnya pada tanggal 1 Oktober 1945, Soetjipto menjadi Inspektur Polisi Kelas I pada Pasukan Polisi Istimewa Besuki (1945). Prestasinya menanjak, ketika dia ditarik ke Surabaya sebagai Wakil Komandan Mobrig Polisi Jawa Timur (1947). Kemudian menjadi Komandan Mobrig Polisi Jakarta Raya (1950), Komandan Mobrig Polisi Jawa Timur (1950), Komisaris Polisi Kelas I pada Jawatan Kepolisian Negara (1954), Lektor PTIK (1960), Komandan Komandemen Mobrig Pusat (1960), Asisten II Kastaf Komisaris Jenderal MBPN (1962), Kepala Pusat Pertahanan Sipil (1962).
Menginjak tahun 1962, Soetjipto sempat dikirim ke AS untuk satu setengah bulan. Dan, tahun ini pula, ketika Indonesia menjadi tuan rumahAsian Games IV, Komisaris Besar Polisi Soetjipto ditunjuk menjadi Pimpinan Harian Organizing Committeenya. Tiga tahun kemudian, 1965, dia diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara untuk masa jabatan sampai 1968. Semasa kepemimpinan Joedodihardjo ini, mulai berdiriAkademi Angkatan Kepolisian (1 Oktober 1965). Namun, pada 16 Desember 1965, pendidikan akademi itu disatukan ke dalam pendidikanABRI, dan namanya menjadi AKABRI Bagian Kepolisian.
5.       Menjadi Menteri/Pangak RI
Masa kepemimpinan Kapolri R. Soetjipto Joedodihardjo penuh dengan gejolak. Sebab inilah masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada 9 Mei 1965, Presiden Soekarno melantik Raden Soetjipto Joedodihardjo menjadi Menteri/Pangak RI berpangkat Inspektur Jenderal Polisi. Nama Departemen Angkatan Kepolisian (Depak) diubah menjadi Kementerian Angkatan Kepolisian (Kemak). Perubahan ini sehubungan dengan keluarnya Keputusan Presiden 27 Maret 1966 tentang susunan Kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi (Dwikora III). Namun namanya berubah lagi menjadi Depak, pada 21 Agustus 1966. Hal ini dilakukan menyusul pembentukan organisasi Kabinet Ampera. Struktur organisasi kepolisian pun beberapa kali berubah karena kondisi dan situasi politik ketika itu agak memanas.
Jabatannya sebagai Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian digantikan oleh Drs. Hoegeng Imam Santoso. Kemudian ia mulai memasuki masa persiapan pensiun. Pada 1 November 1972, dia pensiun dari jajaran kepolisian. Pada tanggal 26 Maret 1984, Joedodihardjo meninggal dunia.

5.       Hoegeng Imam Santoso 
lahir di Pekalongan, Jawa Tengah,  14 Oktober 1921 – meninggal 14 Juli 2004 pada umur 82 tahun. Ia adalah salah satu tokoh militer Indonesia dan juga salah satu penandatangan Petisi 50. Dia masuk pendidikan HIS pada usia enam tahun, kemudian melanjutkan ke MULO (1934) dan menempuh sekolah menengah di AMS Westers Klasiek (1937). Setelah itu, dia belajar ilmu hukum di Rechts Hoge School Batavia tahun 1940. Sewaktu pendudukan Jepang, dia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943). Baru dia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi Tentara Laut Jawa Tengah (1945-1946). Kemudian mengikuti pendidikan Polisi Akademi dan bekerja di bagian Purel, Jawatan Kepolisian Negara.
Mas Hoegeng di luar kerja terkenal dengan kelompok pemusik Hawaii, The Hawaiian Seniors. Selain ikut menyanyi juga memainkan ukulele. Sering terdengar di Radio Elshinta dengan banyolan khas bersama Mas Yos.
6.       KariBanyak hal terjadi selama kepemimpinan Kapolri Hoegeng Iman Santoso. Pertama, Hoegeng melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut Struktur Organisasi di tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru lebih terkesan lebih dinamis dan komunikatif. Kedua, adalah soal perubahan nama pimpinan polisi dan markas besarnya. Berdasarkan Keppres No.52 Tahun 1969, sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri). Dengan begitu, nama Markas Besar Angkatan Kepolisian pun berubah menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabak). Perubahan itu membawa sejumlah konsekuensi untuk beberapa instansi yang berada di Kapolri. Misalnya, sebutan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI atau Kadapol. Demikian pula sebutan Seskoak menjadi Seskopol. Di bawah kepemimpinan Hoegeng peran serta Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional, International Criminal Police Organization (ICPO), semakin aktif. Hal itu ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.
Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, George, Amerika Serikat. Dari situ, dia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatera Utara (1956) di Medan. Tahun 1959, mengikuti pendidikan Pendidikan Brimob dan menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran Negara (1965), dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966. Setelah Hoegeng pindah ke markas Kepolisian Negara kariernya terus menanjak. Di situ, dia menjabat Deputi Operasi Pangak (1966), dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi juga masih dalam 1966. Terakhir, pada 5 Mei 1968, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (tahun 1969, namanya kemudian berubah menjadi Kapolri), menggantikan Soetjipto Joedodihardjo. Hoegeng mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 2 Oktober 1971, dan digantikan oleh Drs. Mohamad Hasan.

Semasa menjabat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), dia pernah membongkar kasus penyelundupan mobil mewah. Dia pula orang pertama mencetuskan dan menganjurkan memakai helm bagi pengendara sepeda motor, serta menganjurkan kaki mengangkang bagi pembonceng sepeda motor. Ketika itu, dia banyak mendapat kritik. Walau kemudian, setelah ia pensiun, anjurannya berbuah dimana pengendara sepeda motor menjadi sadar betapa pentingnya memakai helm.Dia seorang yang jujur dan konsisten dalam melakukan kewajibannya sebagai polisi (kapolri). Namun ironisnya, akibat kejujuran dan keteguhannya melaksanakan tugas, dia malah diberhentikan oleh Presiden Soeharto dari jabatan Kapolri sebelum selesai masa jabatan yang seharusnya tiga tahun. Bermula dari rencananya untuk menangkap seorang penyelundup besar, yang buktinya di Mabes Polri sudah cukup untuk ditahan. Namun karena si penyelundup itu disebut-sebut dekat dengan Cendana, maka ia ingin lebih dahulu melaporkan penangkapan tersebut kepada Presiden Soeharto. Lalu, ketika sampai di Cendana, ia kaget karena si penyeludup itu tengah berbincang- bincang dengan Soeharto. Sejak saat itu, ia sangat sulit mempercayai Presiden Soeharto.Dia merasa, hal itulah yang mempercepat pemberhentiannya sebagai Kapolri. Walaupun alasan yang dikemukakan oleh Soeharto adalah untuk regenerasi. Alasan yang dibuat-buat. Sebab ketika dia menanyakan siapa penggantinya, Soeharto menyebut Mohammad Hassan, yang ternyata berusia lebih tua darinya. Dia seorang polisi yang jujur dan bersih dari korupsi. Terbukti, memasuki masa pensiun, ia tidak punya simpanan apa pun. Untunglah para kerabatnya menghadiahinya rumah dan mobil, tanpa diminta. Saat memasuki pensiun itu, ia pun ditawari menjadi duta besar di Belgia, namun ditolakkarena merasa tidak cocok, dan lebih suka tinggal di negeri sendiri.Lalu, ia pun menghabiskan hari-harinya dengan melukis dan bermain musik. Dia memang menyukai musik irama Lautan Teduh sejak muda. Maka setelah pensiun dia bersama istri dan rekan- rekannya mendirikan grup musik The Hawaiian Senior, 1975. Mereka sering tampil di layar TVRI dalam acara Gema Irama Lautan Teduh. Acara itu kemudian dilarang pemerintah sebab dianggap bukan musik Indonesia. Namun banyak orang beranggapan alasan sesungguhnya pelarangan itu adalah karena sejak Juni 1978, Hoegeng bergabung dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) yang didirikan atas inisiatif AH Nasution dan Proklamator Mohammad Hatta sebagai penasihat. LKB itu bertujuan melakukan pengawasan dan koreksi terhadap penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan secara konstitusional. Ia pun terpaksa meninggalkan hobi menyanyi itu. Kemudian sejak Mei 1980, ia bergabung dalam kelompok lima puluh warga negara RI, antara lain Mohammad Natsir, AH Nasution, Syafruddin Prawiranegara, H Ali Sadikin, Burhanuddin Harahap, SK Trimurti, Manai Sophian, Ny D Wallandouw, yang menandatangani “Pernyataan Keprihatinan” terhadap cara penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan Soeharto, yang kemudian populer disebut “Petisi 50″.Mantan Menteri Iuran Negara (1966-1967), itu tak hanya ikut menandatangani, tetapi terlibat aktif dalam Kelompok Kerja Petisi 50, yaitu suatu lembaga kajian tentang masalah kehidupan bangsa dan negara yang didirikan Yayasan LKB. Dia rajin menghadiri pertemuan mingguan yang berlangsung di kediaman Ali Sadikin, di Jalan Borobudur 2, Jakarta Pusat.Kisah menarik lainnya, ketika Presiden Soekarno mengkaryakannya menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (Direktur Jenderal Imigrasi). Sehari sebelum pelantikan, ia meminta isterinya, Merry (Marie Roselina), untuk menutup toko kembang isterinya itu di Jalan Cikini. Alasannya, karena ia akan dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi. “Apa hubungan dengan toko kembang?” tanya isterinya. “Nanti semua orang yang berurusan denganimigrasi akan memesan kembang pada toko kembang Ibu Merry dan ini tidakadil untuk toko-toko kembang lainnya,” jelas Hoegeng. Isterinya pun memahami dan menutup toko kembangnya.Saat dikaryakan dari kepolisian ke Imigrasi itu, ia pun menolak diberi mobil dinas baru karena mobil jip dinas kepolisian yang dipakainya yang juga milik negara dirasa sudah cukup baginya.Begitu juga ketika menjabat Menteri Iuran Negara. Ia diminta pindah dari rumah pribadi di Jalan Prof Moh Yamin ke rumah dinas yang lebih besar. Permintaan pindah rumah itu ditolak dengan alasan rumah yang ditempatinya sudah cukup representatif sehingga negara tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuknya. Menurutnya, sebagai Menteri Iuran Negara dia bertugas mencari uang untuk negara, bukan sebaliknya, menghabiskan uang negara untuk rumah dan fasilitas yang bukan-bukan.Dia telah menerima banyak tanda jasa, antara lain, Bintang (BT) Gerilya, BT Dharma, BT Bhayangkara, BT Kartika Eka Paksi Tingkat I, BT Jasasena, Swa Buawa, Panglima Setya Kota, Sapta Marga, Prasetya Pancawarsa, Satya Dasawarasa, Yana Utama, Penegak dan Ksatria Tamtama. Ia juga dianugerahi LBH Award, saat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu memperingati HUT 32 tahun.Perihal asal-usul namanya, Hoegeng. Semasa kecil, ia biasa dipanggil ‘Bugel’ karena badannya tambun. Kemudian menjadi ‘Bugeng’ dan akhirnya menjadi Hoegeng sampai akhir hayatnya. Ayahnya, Sukarjo Karjohatmojo, seorang hoofd Jaksa, yang memeiliki rasa sosial dan kemanusiaan yang tinggi. Sang Ayah sengaja mendirikan rumah untuk orang-orang miskin dan telantar. Hoegeng kecil sering diajak ayahnya ke rumah penampungan orangterlantar itu. Saat itu, Sang Ayah membisikkan, ”Kelak, bila kau jadi orang berpangkat dan berkuasa, ingatlah: kekuasaan itu laksana pedang bermata dua.”Pria yang menikahi Marie Roselina, dikaruniai tiga anak yakni Reni Soeryanti, Aditya Soetanto dan Sri Pamujining Rahayu, ini setelah pensiun, selain melukis, ia tercatat sebagai anggota ORARI. Ia juga seorang tokoh yang dalam keadaan sulit berada di depan untuk menegakkan demokrasi dan kejujuran. Saat banyak tokoh masih manggut-manggut kepada kekuasaan otoriter, ia maju ke depan menyuarakan demokrasi dan kebenaran. Sampai akhir hayatnya, ia tetap teguh pada prinsip dan menjadi teladan bagi semua anak bangsa, khususnya bagi Kepolisian Republik Indonesia.

6.       Jenderal Purnawirawan Mohamad Hasan 
Muara Dua, Palembang, 1920 – 23 Februari 2005) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia pada tahun 1971–1974. M. Hasan pernah menjadi anggota MPR dan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia (1974-1978). Ia juga telah menerima 17 bintang tanda jasa. Ia meninggal dunia pada 23 Februari 2005 karena menderita sesak napas dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Hasan meninggalkan seorang istri, Nani Hasan dan sembilan anak.

7.             Widodo Budidarmo 

lahir di Surabaya, Jawa Timur, 1 September 1927; meninggal saat umur 84 tahun) adalah mantan Kapolri periode 1974 - 1978. Dia mengenyam pendidikan umum di HIS (1934-1941), lalu melanjutkan ke Sekolah Teknik (1942-1946). Semasa dalam pendidikan sekolah menengah itu, dia sudah aktif mengangkat senjata untuk ikut dalam Perang Kemerdekaan di Jawa Timur. Betapa pun, dia masih dapat menyelesaikan SMA-nya tahun 1950.
Pada tanggal 4 Juni 1955, Widodo menikah dengan Darmiati Poeger. Dan dikaruniai tiga orang anak; Martini Indah (1957), Agus Aditono (1959) dan Destina Lestari (1961). Anak pertama menikah dengan Alex Tangyong dan dikaruniai seorang putra - Johann F. Tangyong (1983). Anak bungsunya menikah dengan Johannes Tangyong dan dikaruniai dua orang anak - David Y. Tangyong (1989) dan Kezia A. Tangyong (1992).Widodo kemudian memasuki karier kepolisian, dan belajar di PTIK hingga lulus pada 1955. Setelah itu, dia menjabat Kabag Organisasi Polisi di Purwakarta selama tiga tahun, 1956-1959. Selama masa itu pula dia ikut dalam Operasi Penumpasan Gerombolan DI/TII di Jawa Barat.
Ada satu prestasi Kapolri Widodo Budidarmo yang harus dicatat dalam lembar perjalanan kepolisian, yaitu ketika Polri sepakat mendirikan Kantor Bersama 3 Instansi (Samsat) di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Ketiga instansi itu masing-masing adalah Polri, Pemda DKI Jakarta dan Perum AK Jasa Raharja mencapai kata sepakat untuk membuka kantor seatap di Polda. Program bersama ini dioperasikan dalam rangka pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, seperti STNK, BPKB dan lain-lain. Di masa Widodo pula Pemerintah mengeluarkan UU No. 9 tentang Narkotik, tertanggal 26 Juli 1976. Juga, pada masa Kapolri Widodo pula diterbitkan sebuah Skep Kapolri yang khusus mengenai Satama Satwa guna menunjang langkah-langkah operasional Polri (1977).
Pada awal 1960, dia pergi ke AS untuk memperdalam ilmu militernya di US Coast Guard Officers Candidate School, dan rampung tahun 1960. Pulang dari AS, Widodo menjabat Kabag Operasi Polisi Jakarta Raya (1960). Lantas berbagai jabatan disandangnya, berturut-turut menjadi Panglima Korps Perairan dan Udara (1964), Panglima Daerah Kepolisian II Sumatera Utara (1967), dan Kadapol VII Metro Jaya periode 1970-1974. Di sini, Kadapol Widodo bertanggung jawab atas operasi pengamanan langsung Pemilu 1971 di Jakarta, yang ketika itu agak bersuasana panas. Bahkan setelah Pemilu, dia juga harus mengamankan Sidang Umum MPR-RI yang berlangsung di Jakarta. Dalam hal ini, Widodo pun diangkat menjadi Anggota MPR-RI.
Selepas menjabat Kadapol Metro Jaya, pada 25 Juni 1974, Widodo dilantik oleh Presiden Soeharto untuk menjadi Kapolri. Dia memangku jabatan Kapolri selama periode 1974-1978. Pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Widodo, waktu itu tanggal 26 Juni 1974 di Istana Negara oleh Presiden Soeharto, bersamaan dengan pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Kasal Laksdya TNI R.S. Soebijakto. Yang menarik dicatat, perihal Widodo ini, adalah soal keterlibatannya secara aktif turut angkat senjata dalam Perang Kemerdekaan di Jawa Timur, ketika dia baru berusia 18 tahun. Demikian pula sewaktu terjadi berbagai pemberontakan di dalam negeri, dia ikut pula dalam upaya Operasi Penumpasan Gerombolan DI/TII, Penumpasan G.30.S/PKI dan beberapa operasi lainnya.Peng
Pertengahan Mei 1973 akan selalu diingat keluarga Jenderal Pol Widodo Budidarmo. Ketika itu, keluarga Widodo berduka setelah sopir keluarga mereka, Sugianto tertembak pistol yang dipegang Tono, putra Widodo yang saat itu baru duduk di bangku SMP. Peristiwa itu terjadi saat Widodo masih menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya dengan pangkat mayor jenderal polisi. Ketika itu Tono dan Sugianto menjemput adiknya Tina di Masjid Al Azhar, Jakarta Selatan. Sebelum berangkat, rupanya Tono masuk ke kamar kerja Widodo di rumah dinas.  Saat itu, tidak seperti biasanya, Widodo lupa mengunci ruang kerjanya. Tono melihat sepucuk pistol di laci meja kerja ayahnya. Pistol itu dibawanya.
Dalam perjalanan, pistol itu diperlihatkan kepada Sugianto yang kemudian memberi Tono sebutir peluru. Saat menunggu Tina, di jok belakang Tono memainkan pistol itu. Ia ingin tahu cara kerja pistol itu. Dia putar-putar dan gerakkan hingga tiba-tiba pistol itu menyalak. Tono terperanjat dan panik saat melihat darah keluar dari tubuh Sugianto yang duduk di jok sopir. Orang-orang di sekitar langsung mengerubungi mobil. Nyawa Sugianto tak bisa diselamatkan. Peristiwa itu membuat Widodo terkejut dan sedih. Dia yakin peristiwa itu akan menjadi
berita di koran-koran. Sebagai orangtua dia juga membayangkan dampak buruk peristiwa itu bagi Tono. Apa langkah Widodo berikutnya? Dia langsung mengumpulkan stafnya. Dia meminta masukan terhadap kasus yang menimpa anaknya. Ada staf yang menyarankan agar kasus ini ditutup-tutupi dengan alasan bisa memengaruhi karir Widodo.
Setelah berpikir, Widodo pun ambil keputusan. Dia tidak akan menutupi kasus itu. Dia memilih bertanggung jawab dan menyelesaikan kasus ini secara hukum. Widodo kemudian menyerahkan kasus ini agar diperiksa aparat Polsek Kebayoran Baru, Jaksel. Widodo kemudian menggelar jumpa pers untuk menjelaskan kejadian itu. Di depan pers, dia kembali menegaskan sikapnya, menyerahkan kasus ini untuk diproses hukum. "Kalau pers akan memberitakan peristiwa ini terserah. Hanya saja, saya pesankan agar objektif. Ini hanya suatu kecelakaan. Jangan sampai nanti anak saya dicap sebagai pembunuh dan sebagainya sehingga mempengaruhi pertumbuhannya," kata Widodo seperti dikutip dari buku biografinya, Karena Kuasa dan Kasihnya terbitan Praja Bhakti Nusantara dan Q Communication tahun 2004.
Selanjutnya Widodo melaporkan peristiwa itu kepada atasannya Kapolri Jenderal Polisi M Hasan, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, dan Menhankam/Pangab Jenderal M Panggabean. Widodo juga melapor kepada Presiden Soeharto. Dia mengaku lalai dan siap meletakkan jabatannya. Tetapi, semua menyatakan apa yang dialami Widodo adalah musibah yang harus diambil hikmahnya. Tono kemudian diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dia dihukum masa percobaan selama setahun. Peristiwa itu terbukti tidak menghalangi karier Widodo Budidarmo. Dia bahkan dipromosikan untuk menjabat sebagai Kepala Polri tahun 1974.
Untuk semua jasanya selama mengabdi kepada negara, Widodo dianugerahi sejumlah tanda jasa. Dia menerima Bintang Dharma, Bintang Bhayangkara (I dan III), Bintang Swa Buana Paksi Utama, Bintang Yudha Dharma Utama dan Bintang Jalasena Utama. Dia juga memperoleh penyematan sejumlah Satya Lencana, seperti SL Karya Bhakti, SL Yana Utama, SL Panca Warsa, SL Perang Kemerdekaan (I dan II), SL COM V, SL Penegak dan SL Veteran Pejuang RI. Sedangkan dari luar negeri, dia menerima Commandeur Met de Zwaarden, Diplomatic Service Merit Heung in Medal dan Bintang Panglima Setia Mahkota Pemerintah Malaysia.
Pada saat menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya, terjadi suatu peristiwa yang kemudian menunjukkan sikap terbuka dan tidak pandang bulu dalam menghadapi hukum dan keadilan. Pada tahun 1973 terjadi musibah dalam keluarga Widodo Budidarmo. Puteranya yang bernama Tono, yang baru duduk di kelas II SMP, secara tidak sengja menembak sopir keluarga tersebut. Meskipun anak buah dan staf menyarankan agar peristiwa tersebut ditutupi, namun Widodo Budidarmo justru mengambil keputusan untuk membuka peristiwa penembakan tersebut kepada publik dalam sebuah jumpa pers dan menyerahkan putranya kepada Polsek Kebayoran Baru untuk diproses secara hukum. Dalam pengadilan di Jakarta Selatan kemudian Tono dijatuhi hukuman satu tahun masa percobaan. Sikap Widodo tersebut kemudian dipuji oleh pers sebagai sikap penegak hukum sejati.

8.          Awaloedin Djamin 
"... Bila sekarang ada satu Bung Hatta dan satu Sutan Syahrir, di masa yang akan datang akan ada beratus-ratus Hatta dan beribu-ribu Syahrir." (Awaloedin Djamin)

lahir di Padang, Sumatra Barat, 26 September 1927; meninggal pada usia 84 tahun. Menjabat Kapolri periode 1978  1982. Setamat  SLTA, dia melanjutkan studinya di Fakultas Ekonomi (1949-1950). Masuk menjadi prajurit polisi, kemudian menempuh pendidikan di PTIK hingga lulus tahun 1955. Dia lalu ditempatkan pada bagian Sekretariat Jawatan Kepolisian Negara (1955) dan menjabat Kasi Umum Sekretariat Jawatan Kepolisian Negara (1958). Kemudian dia memperdalam studinya di University of Pitsburgh dan dilanjutkan ke University of Southern California, Amerika Serikat, hingga menggondol gelar PhD pada 1962.

Sepulang dari Amerika Serikat, Awaloedin menjabat sebagai Lektor Luar Biasa PTIK (1964). Kemudian, berturut-turut menjadi Direktur Kekaryaan Depak (1964), Anggota Musyawarah Pembantu Perencana Nasional (1965), Anggota DPRGR (1964-1966), Menteri Tenaga Kerja Kabiriet Ampera (1966), dan Deputi Pangak Urusan Khusus semasa Kapolri Hoegeng Iman Santoso (1968). Sebelum ditugaskan sebagai Duta Besar RI untuk Jerman Barat (1976), terlebih dulu dia menjadi D-rektur Lembaga Administrasi Negara (1970). Dan akhirnya, dia dipanggil pulang ke Jakarta untuk dilantik oleh Presiden Soeharto menjadi Kapolri, pada 26 September 1978.
Awaloedin menjabat Kapolri selama empat tahun, dari tahun 1978 sampai tahun 1982. Selain semasa ke-pemimpinannya organisasi Polri diarahkan pada kelembagaan yang dinamis dan profesional, pada masa Awaloedin pula KUHAP UU No. 8 Tahun 1981 sebagai hasil karya bangsa Indonesia sendiri disahkan DPR-RI. KUHAP sebagai pengganti Het Herziene Inlandsh Reglement (HIR), hukum acara pidana produk kolonial Belanda yang dianggap telah usang dan tidak manusiawi. Dalam hal ini, Polri berperan aktif menyumbangkan pokok-pokok pikiran untuk materi KUHAP baru itu.
Hasratnya dalam bidang pendidikan, ternyata belum sirna. Terbukti, Awaloedin masih pula mengabdikan dirinya dalam pendidikan dan pengembangan profesi kepolisian. Setelah tidak lagi menjadi Kapolri dia masih bersedia menjabat sebagai Dekan PTIK yang notabene berada di bawah Kapolri. Tapi kecintaan kepada Polri dan demi nusa dan bangsa membuat Awaloedin tidak mau terjebak dalam status simbol. Maka dia memilih tetap menerima jabatan Dekan PTIK.
Awaloedin menerima sejumlah penghargaan sebagai tanda jasanya. Diantaranya menerima Bintang Dharma, Bintang Bhayangkara dan Bintang Mahaputra Adipradana. Juga Satya Lencana Perang Kemerdekaan (I dan II), SL Karya Bhakti, SL Yana Utama, SL Panca Warsa, SL Penegak dan SL Veteran Pejiiang RI. Dari luar negeri, dia menerima Das Gross Rreuz (Pemerintah Jerman Barat). Awaloedin Djamin menghabiskan masa kecil dan sekolah dasar hingga menengah atasnya di kota Padang.
Awaloedin adalah sosok yang cukup punya banyak kelebihan. Selain sebagai polisi yang piawai, ia juga adalah politisi yang handal dan akademisi yang briliant. Ia lahir dari keluarga bangsawan di Padang pada 26 September 1927. Sehabis meyelesaikan pendidikan setingkat SMA di Padang, ia melanjutkan studinya di Universitas Indonesia, Jakarta (1949-1950) Putra pertama Marah Djamin ini lantas masuk PTIK yang ditamatkannya pada tahun 1955.
Fokus pemikiran dan kerjanya saat menjabat sebagai Kapolri adalah pembenahan menyeluruh (Overall reform) untuk meningkatkan citra dan wibawa Polri di mata masyarakat. Ia melakukanya dengan kebijakan terpadu yang dikenal dengan “Program Pembenahan dan Peningkatan Citra Diri”.
Pada masa Awaloedin Djamin menjabat sebagai Kapolri ini, ia telah meletakkan dasar bagi organisasi Kepolisian modern. Tiga kebijaksanaannya semasa Kapolri yang patut dicatat dalam sejarah adalah pembenahan organisasi, pendidikan kepolisian dan kerja sama luar negeri. Pada masa jabatannya ini, ia dan jawatan polisi lainnya terlibat aktif dan menyumbangkan banyak hal untuk lahirnya KUHAP, UU No. 8, Tahun 1981 baru yang disahkan oleh DPR RI.
Awaloedin adalah orang yang low profile dan juga objektif. Hal ini terlihat dengan pengakuannya sendiri ketika di masa akhir jabatannya bahwa masih banyak kelemahan dalam tubuh Polri. Meskipun sesungguhnya program oferall reformnya sungguh sangat berguna dan dampak dari perubahan itu telah dirasakan seluruh jajaran polisi di seluruh wilayah negara RI. Awaloedin Djamin telah menerima banyak penghargaan dan tanda jasa dari dalam mau pun luar negeri. Ia adalah juga seorang Polisi yang mencintai buku. Ini terlihat dalam masa jabatannya sebagai Kapolri juga ketika ia menekankan pentingnya seluruh anggota Polri memahami sejarah Polri. Ia memprakarsai penulisan buku biografi pemimpin Polisi RI yang pertama R.S. Soekanto dan memperjuangkan pengukuhan beliau sebagai Bapak Polisi Indonesia.
Kerja Awaloedin Djamin dalam bidang buku antara lain merevisi Sejarah Kepolisian di Indonesia yang terbit tahun 1997, menjadi buku Sejarah Perkembagan Kepolisian di Indonesia dari Zaman Kuno sampai Sekarang., dan terbit tahun 2006. Masa pensiunnya sebagai Polisi tidak berlangsung lama. Ia pensiun dalam unur 55 tahun pada 11 Desember 1982. Namun ia langsung diserahkan tugas sebagai Dewan Pertimbangan Agung (DPA) serta Sekretaris Dewan Pembina Golkar bersama dengan Cosmas Batubara, Harmoko, Abdul Gafur, dan Sapardjo. Ia juga tetap mengabdi dalam bidang akademis sebagai Dekan PTIK dan Guru Besar Ilmu Administrasi Negara di UI. Ia juga diminta memimpin Universitas Pancasila yang didirikan tahun 1984. Ia aktif di berbagai organisasi seperi Kadin, SPSI, YTKI, Permanin, Alumni Jerman, Gebu Minang, Persatuan Tarbiah Islamiah, Asosiasi Kriminologi Indonesia, dan Perhimpunan Pustakawan Indonesia.
Di tingkat internasional ia diangkat sebagai Executive Committee Member dari International Association of university Presidents dan anggota EROPA. Dengan beberapa teman, ia berinisiatif mendirikan The Indonesian Executive Servise Corps. Setelah pensiun, ia terus mengabdi seperti kata pepatah: the Old Soldier Never Die.

9.          Anton Soedjarwo 
(lahir di Bandung, Jawa Barat, 21 September 1930 – meninggal di Jakarta, 18 April 1988 pada umur 57 tahun) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) dari tahun 4 Desember1982 hingga tahun 1986. Putranya, Rudi Soedjarwo, adalah seorang sutradara film. Polisi bermotto kerja ini sejak kecil sudah bercita-cita menjadi Polisi. Maka setelah menyelesaikan pendidikan SD di Cilacap (1945), SMP di Poerworejo (1949), dan SMA di Magelang (1952). Anton kemudian masuk sekolah inspektur polisi di Sukabima dan lulus (1954). Dia juga mengikuti pendidikan Ranger SPMB, Porong 1960. Sekolah Infanteri Officer Orientation, Fort Bening AS (1961), dan Susbanhan (1965), mengikuti pendidikan para dasar Margahayu
Jenderal Polisi (Purn) Anton Soedjarwo adalah Anggota Korps Brimob yang dinilai berperan penting dan bisa duduk sebagai Kapolri. Dalam buku biografinya berjudul "Mengenang Jenderal Polisi Anton Soedjarmo" terbitan Paguyuban Keluarga Besar Alumni Pendidikan Inspektur Polisi ABCDE, 2002 dijelaskan sepak terjang Jenderal Polisi (Purn) Anton Soedjarwo. Anton Soedjarwo bukan hanya dikenal di lingkungan Polri saja, melainkan juga dikenal di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Fisiknya yang gagah dan tinggi besar serta berkumis lebat adalah cirinya. Kehadirannya di berbagai medan tugas memberikan warna sendiri bagi satuan personel yang dipimpinnya.
Pria kelahiran 21 September 1930 di Bandung adalah Komandan Pertama Datasemen Pelopor yang sebelumnya bernama Batalyon Ranger. Batalyon Ranger sendiri dibentuk untuk menanggulangi gerakan separatis dan pemberontakan di dalam negeri. Saat menyandang pangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP) Anton Soedjarwo masuk dan dilatih dalam bagian Batalyon Ranger yang juga angkatan pertama. Pendikan Ranger dilaksanakan selama 22 minggu dan dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama selama 12 minggu latihan di Posong dan tahap kedua adalah latihan di Watukosek, Jawa Timur selama 10 minggu.
Pasukan Brimob Ranger bersama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga bertugas dalam operasi tempur merebut Irian Barat pada tahun 1962.
Pada bulan Mei tahun 1962 sejumlah pasukan Brimob Ranger ditempatkan di pulau Gorom, sebuah pulau di Maluku Tenggara yang lokasinya amat berdekatan sekali dengan Irian Barat. Bukan hanya itu pasukan Anton Soedjarwo juga berhasil melaksanakan tugas dengan baik. Mereka berhasil melakukan infiltrasi ke dalam wilayah musuh. Pada tanggal 17 Agustus tahun 1962 Bendera Merah Putih berhasil dikibarkan di Rumbai, Irian Barat. Atas prestasi itu negara memberikan penghargaan kepada 53 orang personel Brimob Ranger berupa Tanda Kehormatan Bintang Sakti dari pemerintah Republik Indonesia.
Setelah operasi Trikora selesai, atas perintah dan petunjung Presiden Sukarno, nama Ranger diubah menjadi Pelopor. Kemudian Anton Soedjarwo ditunjuk sebagai Komandan Batalyon pelopor pertama. Pada tahun 1965 batalyon pelopor statusnya dinaikkan menjadi Resimen Pelopor dengan komandan Anton Soedjarwo dibantu Soetrisno Ilham. Karier Anton Soedjarwo dalam Kepolisian terus melonjak. Pada tanggal 4 Desember 1982 Anton Soedjarwo diangkat sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Awaloedin Djamin. Sebelum duduk sebagai Kapolri, Anton Soedjarwo juga pernah menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya dengan pangkat Mayor Jenderal Polisi.
10.   Letnan Jenderal Polisi Mochammad Sanoesi 
(lahir di Bogor, Jawa Barat, 15 Februari 1935 – meninggal diJakarta, 26 Desember 2008 pada umur 73 tahun) adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia sejak 7 Juni1986 hingga 19 Februari 1991. Lulusan PTIK Angkatan VII ini kemudian dilantik menjadi Komisaris Polisi II. Selanjutnya, dia belajar diInternational Police Academy, Amerika Serikat (1969). Dia pun mengikuti pendidikan karier lainnya di Polridan ABRI, seperti Seskopol (1970) dan Sesko ABRI-Gabungan (1976). Namun, karier Sanoesi dalam dinas kepolisian dimulai sejak menjabat sebagai Komandan Resort Kepolisian 1051 Madiun (1963-1968). 
Lalu menjabat Kastaf Komdin 104 Kediri (1968-1972) dan Paban III/Litbang, Komandan Pusat Kesenjataan Administrasi dan Kastaf Kobangdildat Polri (1972-1981).
11.    Biografi Kapolri Moch Sanoesi mempunyai pandangan bahwa dalam menjalankan tugasnya Polri harus mengoptimalkan seluruh potensi yang ada, baik yang dimilikinya sendiri maupun yang ada pada masyarakat. Selain itu seluruh potensi yang ada juga harus didinamisir agar mampu mendukung tugas-tugas Polri. Berangkat dari sanalah kemudian Sanoesi sebagai Kapolri mencanangkan motto Optimasi dan Dinamisasi yang kemudian terkenal dengan istilah Opdin. Dari pengalaman bertugas di kewilayahan dan di bidang pendidikan itu, dia melihat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di lingkungan Polri diperlukan penyempurnaan mekanisme dan sistem pendidikan Polri.
a.       Lantas dia pun mengajukan wawasan bahwa dalam melaksanakan tugas-tugasnya Polri mutlak harus dilandasi dengan penggunaan ilmu dan teknologi. Maka, lahirlah falsafah Vidya Satyatama Mitra, yang berarti, Pengetahuan adalah Sahabat Paling Setia. Agar wawasan itu terus diingat, kemudian dilekatkan pada Pataka Kobangdildat Polri berupa sasanti Widya Satyatama Mitra. Sewaktu Sanoesi menjabat Kadis Litbang Polri (1981-1982), peran Iptek makin menjadi pengasah profesionalisme Polri. Misalnya, waktu itu, Sanoesi mengajak sejumlah pakar berbagai disiplin ilmu dari Universitas Indonesia untuk merumuskan deskripsi tentang masyarakat dari dimensi Kamtibmas. Pendidikan dan Iptek itu pula yang menjadi modal dan pengalaman berharga dalam mendinamisasikan tanggung jawabnya selaku Kapolda Kalimantan Selatan dan Tengah (1982-1984). Di Kalimantan itu pun dia menjalin dialog komunikatif dengan para tokoh masyarakat, terutama tokoh agama, dalam memelihara Kamtibmas. Dia kemudian diangkat menjadi Asisten Kepala Staf Umum ABRI Bidang Kamtibmas (Askamtibmas Kasum ABRI) pada 1984-1985, lalu menjadi Kapolda Jawa Tengah (1985).
Ketika menjabat Askamtibmas Kasum ABRI, Sanoesi diperintahkan menyusun Strategi Pembinaan Kamtibmas jangka sedang (1984-1988). Naskah inilah yang kelak menjadi embrio dari penggelaran Strategi Opdin (Optimasi dan Dinamisasi) sewaktu Sanoesi menjabat Kapolri. Strategi Opdin ini juga dimaksudkan sebagai benang merah kelanjutan dari kedua Strategi Kapolri sebelumnya, yaitu "Pola Dasar Pembenahan Polri" oleh Kapolri Jenderal Pol DR Awaloedin Djamin MPA, dan "Rencana Konsolidasi dan Fungsionalisasi (Rekonfu)" oleh Kapolri Jenderal Pol Anton Soedjarwo. Semua itu didasarkan pada kesadarannya bahwa proses pembangunan Polri dan citranya dalam masyarakat bukanlah merupakan proses yang ditempuh secara terpenggal-penggal, melainkan merupakan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan dan konsisten.
Atas segenap pengabdiannya, antara lain Sanoesi menerima Bintang Dharma, Bintang Bhayangkara Utama, dan Bintang Yudha Dharma Nararya. Sementara dari dunia internasional dia menerima Bintang Pratama Born (Thailand), Bintang Panglima Satya Mahkota (Malaysia) dan Comandeur de la Legian D'honneur.

11.   Kunarto 
Kunarto lahir di Yogyakarta,  8 Juni 1940 dan meninggal di Surabaya, 28 September 2011 pada umur 71 tahun.  Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia periode 1991-1993.  Ia masuk pendidikan polisi, PTIK angkatan IX pada tahun 1961. Ia pernah menjabat sebagai ajudan mantan Presiden Soeharto dari tahun 1979 hingga tahun 1986, kemudian Wakil Kepala Polda Metro Jaya dari tanggal 1 September 1986 hingga Desember 1987 serta sebagai Kapolda Sumatera Utara periode tahun 1987-1989.
Menikah dengan Warsiyah dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Rino AdiKuswaryono dan Hariadi Kuswaryono. Jenderal (Purn) Kunarto meninggal dunia di Rumah Sakit Internasional Surabaya, 28 September 2011 pada pukul 04.00 WIB. Jenazahsemayamkan di STIK-PTIK Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta-Selatan dengan Acara Kemiliteran. Anak dari pasangan Ahmad Djohar dan Parimah ini sejak sekolah dasar sudah bercita-cita untuk menjadi polisi. Tahun 1960 Kunarto berhasil diterima di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta, setelah kurang lebih enam bulan menganggur setamatnya dari SMA.
Kunarto adalah seseorang yang tidak pernah patah semangat dan memiliki kemauan yang kuat untuk selalu belajar dan sekaligus ingin menunjukkan bahwa ia mampu berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara. Selama menuntut ilmu di PTIK, Kunarto juga menerima beberapa ijasah pendukung, seperti pendidikan kewiraan angkatan ke-2 di pusat pendidikan Brigade Mobil (Pusdik Brimob) Watukosek, Porong, Jawa Timur pada tanggal 30 September 1963, Ijasah Bakaloreat I (B-I) pada 14 Februari 1963, dan ijasah Bakaloreat II (B-II) tanggal 15 Mei 1964. Prestasi lain yang Ia peroleh saat studi di PTIK, antara lain berhasil mendapatkan Surat Keterangan Kebisaan Menembak, Ijasah Sarjana Muda Ilmu Kepolisian No.427 tahun 1964/1965 tanggal 27 januari 1965 dan Ijasah Sekolah Perang Khusus KKO-Para Dasar KKO-AL No.0795/Ra/66 tanggal 21 Juni 1966.
Selama belajar di PTIK, Ia benar-benar tekun belajar dan berkarya di luar pendidikan yang Ia terima. Tahun 1970 setelah tamat doktoral PTIK dan memperoleh Ijasah Sarjana Lengkap Ilmu Kepolisian, Kunarto ditugaskan di Polda Metro Jaya sebagai Sekretaris Pribadi Panglima Daerah Angkatan Kepolisian (Pangdak) VII/Metro Jaya Inspektur Mayor Jenderal Polisi Drs.Sukahar, lalu digantikan oleh Mayjen Polisi Drs.Widodo Budidarmo. Pada masa kepemimpinan Pangdak Mayjen Polisi Drs.Widodo Budidarmo, Kunanto diangkat sebagai Dan Sikko 753/Pulogadung, Jakarta selama satu tahun, dan kemudian sebagai Kepala Sekretariat Umum (Kasetum) Polda Metro Jaya hampir dua tahun lamanya. Dalam perjalanan karirnya di kepolisian Kunarto pernah menjadi ajudan Presiden Soeharto dari tahun 1986 hingga tahun 1986, dan setelah berhenti sebagai ajudan presiden, Kunarto kemudian menjadi Wakapolda Metro Jaya dan bertugas dari tanggal 1 September 1986 hingga Desember 1987. Pada tanggal 11 April 1987 setelah melalui serangkaian pendidikan dan pelatihan di Sekolah Kepolisian sesuai dengan surat perintah Pangab No.Pol.SPRIN/325/IV/1987 Kunarto resmi mengenakan pangkat Brigadir Jenderal Polisi. Kenaikan pangkat tersebut telah membawa Kunarto menempati jabatan sebagai Kapolda Sematera Utara masa jabatan 1987-1989 dan sebagai Kapolda Nusa Tenggara.
Keberhasilannya menjalankan tugas sebagai Kapolda membuat pangkat Kunarto di naikkan menjadi Mayor Jenderal Polisi pada tahun 1989 dan pada tahun 1991 Kunarto selanjutnya diangkat menjadi letnan jenderal polisi. Berbagai prestasi dan pengalamana yang dimiliki Kunarto, telah membawanya menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia menggantikan Jenderal Polisi Drs. Moch. Sanoesi yang memasuki masa pensiun. Presiden Soeharto melantik dan mengambil sumpah Letnan Jendral Polisi Drs.Kunarto di Istana Negara. Serah terima jabatan Kapolri kemudian diselenggarakan pada 27 Februari 1991 dengan Inspektur Upacara Panglima ABRI Jenderal TNI Try Sutrisno. Menurut Kunarto hakikat serah terima jabatan Kapolri tersebut memiliki tiga unsur, yaitu : melanjutkan, mengubah, dan memperbaharui konsep yang sudah ada sebelumnya. Ketiga unsur tersebut merupakan dinamika organisasi untuk mewujudkan hari esok yang lebih baik, meskipun demikian Ia menganggap perlu adanya upaya untuk meningkatkan pelayanan polri kepada masyarakat dengan berbagai permasalahannya.
Sebagai Kapolri Ia memahami betul bahwa institusi yang dipimpinnya memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat berat, terutama dalam upaya menciptakan rasa aman dalam masyarakat. Atas adasar itulah Ia merasa terpanggil dan bertanggung jawab untuk membuat suatu kebijakan yang dapat dijadikan arahan bagi setiap personel polisi di seluruh tanah air dalam menjalankan tugas-tugasnya, yaitu : pertama, turunnya angka kejahatan(Crime Total); Kedua, meningkatnya penyelesaian perkara (Crime Clearance); Ketiga, meningkatnya kamtibcar lantas; Keempat, meningkatnya kesadaran lingkungan (darling) dan kesadaran hukum (darkum) masyarakat yang mengarah pada pembinaan keamanan Swakarsa; Kelima, meningkatkan disiplin interen. Kelima arahan tersebut merupakan sasaran pokok yang harus dicapai polisi dengan peningkatan profesionalisme di seluruh jajaran kepolisian Kunarto merasa optimis bahwa tindak kejahatan, baik seara kualitas maupu kuantitas, tentu dapat berkurang atau menurun.
Selama menjalankan tugasnya sebagai Kapolri, Kunarto juga lebih mementingkan pendekatan humanisme, dan tidak harus patuh pada aturan standar dan prosedural. Selain itu, Ia juga menekankan pada perubahan citra polisi di masyarakat, Kunarto berharap agar polisi dapat menampilkan diri sebagai sosok pengayom masyarakat, penuh cinta kasih, dan menjauhkan diri dari sikap kekerasan terhadap masyarakat. Pria yang dikenal sederhana, pendiam, bersahaja, dan murah senyum ini menganggap bahwa masyarakat sebenarnya sayang kepada polisi, maka sudah menjadi kewajiban jika polisi juga sayang kepada masyarakat. Keberadaan polisi hendaknya jangan merugikan masyarakat, sebab warga masarakat tidak akan melapor ke polisi jika tidak karena terpaksa atau dalam keadaan susah. Terhadap orang yang susah tersebut, masak polisi tega memperlakukan secara tidak benar.

12.    Banurusman Astrosemitro
 (lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 September 1941; umur 70 tahun) adalah mantan Kapolri peridoe 1993 - 1996. Di kota kecil di kaki Gunung Galunggung itulah Banu menghabiskan masa remajanya, dengan me-namatkan pendidikan di SMA Negeri Tasikmalaya. Lalu, pada tanggal 1 September 1961, dia masuk dinas kepolisian dengan mengikuti serangkaian pendidikan kepolisian, hingga tamat pada Februari 1965 dengan pangkat Letnan Satu.
Pribadi dan sosok Kapolri Banurusman Astrosemitro hampir tidak dapat dipisahkan dari Polri. Ada beberapa alasan utama mengapa kesimpulan itu layak ditarik. Pertama-tama Banurusman meniti kariernya dari bawah, yakni dari mulai pangkat Letnan Satu. Tetapi kemudian terbukti dia bukan saja berhasil mencapai pangkat tertinggi, Jenderal penuh, tetapi juga sekaligus berhasil menduduki jabatan Kapolri. Kemudian, jejak pengabdian dan kiprahnya di Polri juga tidak dapat diabaikan. Dia antara lain ikut membidani lahirnya manajemen operasional Situpak (Situasi, Tugas, Pelaksanaan, Administrasi, Komando dan Pengendalian). Begitu juga Banurusman lewat operasi intelejennya ikut memberantas dan membersihkan kekuatan sisa-sisa G-30 S/PKI sewaktu bertugas Polda Metro Jaya. Pertimbangan lain, keluarga Banurusman termasuk "Keluarga Polri." Istrinya sendiri dulu ketika disunting bertugas sebagai Polisi Wanita (Polwan). Kini anak lelakinya juga terjun sebagai anggota Polri. Apalagi terbukti lebih dari separuh usianya memang dihabiskan untuk mengabdi kepada Polri. Dengan demikian tidaklah berlebihan apabila pribadi dan sosok Banurusman melekat erat pada Polri. Banurusman dilantik menjadi Kapolri ke-12 oleh Presiden Soeharto 6 April 1993 di Istana Negara, Jakarta. Banu, panggilan akrabnya, yang waktu itu berpangkat Letnan Jenderal, menggantikan Jenderal (Pol) Drs. Kunarto. Empat hari kemudian, di Mabes Polri, dilakukan upacara serah terima jabatan dari Kunarto kepada Banu.
Mengawali tugasnya sebagai Kapolri, Banu mengeluarkan kebijakan "Jati Diri Polri," yang intinya berisi agar setiap prajurit Polri selalu mengingat jati dirinya sebagai Polri. Dari kepemimpinan tampak jelas Banu bukanlah tipe orang yang senang menonjolkan diri sendiri. Dia pun selalu mengakui dan mengikuti hal-hal positif yang telah dirintis dan dikembangkan pendahulunya. Itulah sebabnya moto yang dicanangkannya sebagai Kapolri pun "Tekadku Pengabdian Terbaik, Sukses Melalui Kebersamaan, dan Suksesku adalah Senyummu." Dari moto ini terlihat dia mempertahankan moto dari pendahulunya yang memang sudah baik, dan menambahkannya sesuai dengan tuntutan pelayan masyarakat dengan mencanangkan Strategi Peningkatan Pelayan Masyarakat. Banu juga sadar dalam menjalankan tugasnya Polri memerlukan dialog yang terus menerus dengan masyarakatnya. Maka Banu pun mengeluarkan konsep "Senyum, Sapa dan Salam".
Tugas pertamanya di kota Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Di kota itu pula dia sempat menjabat Komandan Kompi B, Batalyon 935 Brimob. Dari Pare-Pare, tahun 1967 dia hijrah ke Jakarta melanjutkan studinya di PTIK. Setamat PTIK tahun 1970, Banu ditugaskan di Polda Metro Jaya sebagai Intelijen Zeni untuk membantu Kasi PKN. Dalam hal ini, peran intelijen sungguh vital dalam upaya membersihkan sisa-sisa pelaku G-30-S/PKI. Selain turut dalam pembersihan G-30-S/PKI, dia pun aktif mengawasi Orang Asing dan gerakan-gerakan Ormas yang berfusi untuk menghadapi Pemilu 1971.
Rupanya. dalam perjalanan kariernya Banu sering memperoleh beban tugas yang berat dan menantang. Tempaan pengalaman-pengalaman inilah yang kelak membuatnya memiliki kepemimpinan yang matang. Misalnya dia juga ditugaskan sebagai Perwira Operasi KP-3 Tanjung Priok, yang kala itu terkenal rawan dan penyelundupan merajalela. Betapapun sederet tugas itu terasa berat, tapi dia tetap melaksanakannya dengan baik dan penuh pengabdian. Tahun 1974 dia ditunjuk sebagai Spri Kasum ABRI.
Berikut tahun 1975-1976, dia mengikuti Sespim pada Susreg II di Bandung. Setelah itu menjabat Kabag Samapta di Komtares Malang. Tahun berikutnya, dia menjadi Kapolres Banyuwangi selama dua setengah tahun. Kemudian menjabat Kasi Intelpam di Polda Jawa Timur selama sembilan bulan. Banu lantas dipindahkan ke Polda Sulselra di Ujungpandang dengan jabatan Asisten Intelijen, hingga tahun 1982. Dari sana Banu kembali lagi ke Jawa Barat. Jabatan barunya waktu itu sebagai Asintel Polda Jabar. Lalu menjadi Kapolwil Banten dari tahun 1985 sampai tahun 1986. Dari Banten, dia ditugaskan menjadi Kapolwil Cirebon. Kendati di Cirebon hanya 10 bulan, namun dia sempat membuat prestasi gemilang dengan menggulung sekelompok pelaku pencurian dengan kekerasan yang terjadi di Pom Bensin Tuparev. Ternyata, kasus Tuparev ini merupakan buntut kegiatan ekstrem kanan dengan kategori subversif.
Sejak awal sudah terlihat Banurusman memang cemerlang. Dia selalu berupaya menelurkan gagasan inovatifnya demi kemajuan Polri. Tidak heran bila dia turut aktif dalam membidani manajemen operasional Situpak (Situasi, Tugas, Pelaksanaan, Admi-nistrasi, Komando dan Pengendalian). Setelah menjelajah Pulau Jawa dan Indonesia Timur (Sulawesi), Banu dipromosikan menjadi WakaPolda Sumatera Utara di Medan. Selagi masih menjabat WakaPolda itu, dia dipanggil untuk mengikuti pendidikan Lemhannas dan setelah rampung ditugaskan menjadi WakaPolda Metro Jaya (1989-1990). Kemudian tugas baru selaku   Dir Bimmas Polri sudah menunggunya.
Selama di Mabes Polri itu, dia termasuk salah seorang pemrakarsa terbentuknya Bintara Pariwisata dan Babin Kamtibmas. Memasuki tahun 1991, Banurusman meninggalkan Jakarta, dan menjabat Kapolda Jabar di Bandung. Setelah itu dia menjadi Kapolda Metro Jaya, selama 1992 hingga awal 1993. Akhirnya, pada April 1993, Banurusman dilantik oleh Presiden Soeharto menjadi Kapolri menggantikan pendahulunya, Jenderal Polisi Drs Kunarto. Kini, Banu dikaruniai tiga orang anak, seorang putra dan dua orang putri. Sang sulung, anak lelakinya, Urip Witnu Laksana, kini mengikuti jejak ayah-nya menjadi prajurit Polri. Anaknya yang kedua dan ketiga, masing-masing bernama Ratih Jelantik Pustikasari dan Pika Rustia Cempaka. dan sudah dikaruniai 6 orang cucu. Dania laksana , Tania Laksana , Win Wicaksana , almarhum Salwa , Nayla , Dan Davian Satya Danendra. dan salah seorang cucunya yang bernama Tania Laksana juga menggeluti bidang hukum. sekarang ia sedang berkuliah di Universitas Trisakti, Fakultas Hukum.
Banurusman lahir pada tanggal 28 September 1941 di Desa Cibeuti, Kecamatan Kawalu, Kabupaten Kota Tasikmalaya, dari pasangan suami isteri Abdul Wahid Astrosemitro dan Hj. Siti Maryam Abdul Wahid. Keluarga Banurusman adalah potret keluarga polisi yang sederhana. Ayah Banurusman adalah seorang anggota Polri yang berasal dari kota Bangkalan, Madura. Sebagai keluarga polisi Abdul Wahid sudah pasti menerapkan serta menanamkan nilai-nilai disiplin yang tinggi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Selain nilai-nilai disiplin, Banurusman juga mendapat dasar-dasar ilmu agama dari pesantren yang banyak terdapat dilingkungan sekitarnya di kota Tasikmalaya. Gemblengan ilmu agama di pesantren tersebut sangat kuat dalam kehidupan pribadi banurusman ataupun keluarga.
Hal itu menjadikannya dikenal banyak kalangan sebagai salah satu sosok jendral polisi yang sangat agamis, yang tidak pernah lepas dari kewajibannya dalam menjalankan shalat lima waktu. Selain itu, kebiasaan di masa menjadi santri di pesantren yang sampai sekarang masih sering dilakukan adalah kebiasaan menjalankan puasa senin-kamis.Banurusman mulai memasuki masa sekolah tepatnya pada tahun 1947. Jenjang pendidikan dasar yang dijalani pertama kali olehnya adalah jenjang sekulah rakyat (SR), SMP Negeri 1 Tasikmalaya, dan kemudian menamatkan pendidikannya di SMA Negeri 1 Tasikmalaya dengan mengambil jurusan kelas “B” (Ilmu Pasti). Sebelum masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Banurusman sempat menjadi mahasiswa di Universitas Pajajaran, Fakultas Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam (FIPPA) jurusan biologi selama empat bulan. Pengumuman mengenai PTIK yang mencari pemuda-pemudi tamatan SMA “B” untuk dididik menjadi perwira polisi, telah membuat Banurusman meninggalkan Universitas Pajajaran dan kemudian mendaftar menjadi calon polisi. Banurusman mulai masuk didinas kepolisian dengan mengikuti serangkaian pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan tamat Sarjana Muda dengan pangkat Letnan Satu Polisi (Letupol) pada Bulan Februari tahun 1965. Banurusman memulai karir di kepolisian sejak lulus pendidikan karyawan Brimob (Brigade Mobil) di pusat pendidikan Brigade Mobil Watukosek, Porong, Provinsi Jawa Timur pada tahun 1963, yakni sebagai Kepala Seksi (Kasi) II Batalion 935 Pare-pare hingga tahun 1967 sebagai komandan kompi B (Danki) Batalion 935 Brimob di tempat yang sama. Dari Pare-pare, kemudian pada tahun 1967 Banurusman hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan karirnya dengan melanjutkan studinya di PTOK. Setelah 3 tahun berlalu, Banurusman menyelesaikan studinya di PTIK tingkat doktoral dan bergelar Doktorandus Ilmu Kepolisian (Drs.) di depan namanya, dan tamat dari PTIK pada tahun 1970. Pada tanggal 19 Juli 1970, Banurusman menikahi kekasihnya seorang gadia asal Kalimantan Timur, Nona Mastiar, dan dari pernikahannya ini Banurusman dianugerahi tiga orang anak. Dalam membina keluarganya, Banurusman yang memang dasarnya seorang santri, selalu menyelaraskan pendidikan umum dengan pengetahuan agama, khususnya terhadap anak-anaknya. Menurut pria yang beristrikan seorang mantan Polisi Wanita (Polwan) ini, pendidikan yang tinggi tanpa didasari agama yang kuat akan sia-sia ilmunya tersebut. Setamatnya dari PTIK, Banurusman ditugaskan di Polda Metro Jaya sebagai Intelejen Zeni untuk membantu kepala seksi (Kasi) PKN, disini peran intelejen sangat vital sekali dalam upaya membersihkan Gerakan 30 September, Ia pun ikut aktif mengawasi orang asing (WNA) serta gerakan-gerakan organisasi massa (ormas) yang berfusi untuk menghadapi pemilu pada tahun 1971. Pada tahun-tahun selanjutnya, karir Banurusman semakin cemerlang dan menanjak, hal tersebut selain ditunjang oleh pendidikan formalnya di PTIK juga dari berbagai kursus yang diikutinya baik di lingkungan kepolisian maupun lingkungan ABRI pada saat itu. Tahun 1974 hingga tahun 1975, Banurusman sempat ditunjuk sebagai sekretaris pribadi Kepala Staf Umum Departemen Pertahanan dan Keamanan (Spri Kasum Dephankam). Pada tahun 1976 hingga 1977 Ia menjabat sebagai Kepala Bagian (Kabag) samapta komando Antar Resort (Komtarres) Malang setelah selesai mengikuti sekolah staf dan komando ABRI bagian kepolisian Sus Reg II (Sesko ABRI bagian Kepolisian Kursus Reguler Agk ke-2) di Bandung. Pada tahun berikutnya Ia menjadi Kapolres Banyuwangi selama hampir kurang dua tahun, kemudian menjabat kepala seksi (Kasi) Interpam di Polda JawaTimur selama sembilan bulan. Banurusman kemudian dipindahkan ke Polda Sulawesi Selatan dan tenggara (Sulselra) di Ujung Pandang dengan jabatan Asisten Inteijen hingga tahun 1982, dari sana Banurusman kembali lagi ke Jawa Barat, dengan jabatan barunnya sebagai AS Intel Polda Jawa Barat yang di pegangnya selama dua tahun.
Tahun 1985 hingga tahun 1986, Banurusman menduduki jabatan sebagai Kepala Polisi Wilayah (Kapolwil) Banten. Dari Banten, Ia ditugaskan kembali sebagai Kapolwil Cirebon. Kendati hanya 10 bulan Banurusman menjabat sebagai Kapolwil Cirebon, Ia sempat membuat prestasi yang sangat gemilang dengan mampu menggulung kelompok pelaku pencurian dengan kekerasan (curas) yang terjadi di Pom Bensin Tuparev.

13.      Jenderal Polisi Drs. Dibyo Widodo 
(lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 26 Mei 1946; umur 65 tahun) adalah Kapolri ke 13 yang mempertegas peran kepolisian sebagai pengayom masyarakat. Hal ini sesuai dengan latar belakang tugas yang diemban oleh lulusan PTIK tahun 1975, yang tidak bergeser dari berbagai permasalahan yang selalu muncul di masyarakat. Selama periode kepemimpinannya yang ditandai dengan akan adanya peristiwa penting bagi bangsa dan negara yakni Pemilihan Umum tahun 1997, menunjukkan bahwa ia memang dituntut oleh tugas yang memerlukan disiplin tinggi maupun kerjasama tim yang solid.
Garis kebijakan yang dikeluarkan sejak dilantik tanggal 18 Maret 1996 lalu tertuang dalam butir-butir kebijakan, yaitu: Sosialisasi Gerakan Displin National, Pembentukan/Kerjasama Tim, Konsistensi Pendekatan Hukum, Pelayanan Terbaik dan Amankan dan Sukseskan Pemilu 1997 & Sidang Umum MPR 1998, yang diarahkan untuk mewujudkan penampilan peroranjyan/individu, penampilan satuan dan pennmpilan operasional. Pengalaman lapangan yang luas termasuk daerah yang potensi konfliknya cukup tinggi semacam Surabaya dan Medan, cukup untuk memberi bekal bagi seorang pemimpin dengan beban yang tidak kecil.
Dibyo Widodo memulai kariernya di kepolisian sejak tanggal 1 Desember 1968 dengan pangkat Inspektur Polisi tingkat II. Mengawali tugas sebagai Perwira Operasi di Komres 1012 Surabaya, kemudian mempersunting Dewi Poernomo Aryanti sebagai isterinya, pasangan tersebut kini dikarunia tiga orang anak, satu diantaranya seorang puteri. Sebagai sosok yang menyusuri kariernya mulai dari jenjang bawah, putra pertama pasangan Drs Soekardi dan Toerniati Sukardi ini pernah menduduki 32 jabatan sebelum sampai puncak kariernya sebagai Kapolri. Hal ini dilalui dengan ketekunan menapaki berbagai jenjang pendidikan maupun kursus dan penataran. Pendidikan umumnya sendiri adalah sampai tingkat SMA pada tahun 1965 yang kemudian dilanjutkan dengan pendidikan di Akademi Angkatan Kepolisian (1968), Bakaloreat PTIK (1972), Doktoral PTIK (1975), Sesko ABRI Bagpol (1981), Lemhannas (1993).
Penyandang brevet Para Brimob Polri, Selam Polri, Selam Angkatan Laut, dan Pandu Udara dari Kopassus Angkatan Darat ini, punya komitmen untuk meningkatkan operasional kepolisian dalam memberantas kejahatan dengan tetap memperhatikan garis-garis kebijakan pendahulunya. Catatan prestasi operasionalnya cukup menonjol ketika bertugas di Operasi Seroja Timor Timur, namun sebenarnya lonjakan kariernya tercatat setelah menyelesaikan tugas sebagai Kapolres Deli Serdang tahun 1986 dan kemudian diangkat sebagai ADC Presiden RIsampai tahun 1992. Berturut-turut setelah itu ia menjabat sebagai Irpolda Sumut, Wakapolda Nusa Tenggara, Wakapolda Metro Jaya, Kapolda Metro Jaya clan kemudian Kapolri.
Semasa menjabat Kapolda Metro Jaya banyak langkah-langkah taktis dilakukan maupun tindakan tegas yang acapkali membuat berdebar anak buahnya karena sikapnya yang menindak segala bentuk penyimpangan di lingkungan Polri maupun dalam menghadapi gangguan kamtibmas di ibukota tak segan-segan bertindak keras tanpa pandang bulu. Untuk melayani dengan cepat segala keluhan masyarakat muncullah gagasan pembentukan satuan Unit Reaksi Cepat atau lebih dikenal dengan singkatan URC, dimana setiap ada laporan dari masyarakat, dalam tempo singkat satuan Polri segera tiba di tempat kejadian. Satuan khusus ini didukung oleh kendaraan roda empat dan roda dua dengan anggota yang terlatih dan handal sehingga mampu menjadi tulang punggung kesatuan Polri dalam mengantisipasi setiap gangguan kamtibmas sehingga masyarakat benar-benar merasa aman dan tenteram.
Kehadiran URC di TKP dengan cepat pertama-tama adalah pengamanan TKP dengan memberikan pita kuning bertanda "DILARANG MELINTAS GARIS POLISI" sehingga semua data, baik berupa sidik jari maupun bukti-bukti yang lain belum terjamah oleh orang lain. Hal ini memudahkan petugas Laboratorium Forensik dalam mengidentifikasi setiap bukti yang ada, dan dengan cepat pula dianalisis untuk mengungkap kejadian guna pengusutan selanjutnya.

Pada masa kepemimpinannya, Polda Metro jaya benar-benar dibuat tidak pernah tidur dan seolah-olah setiap jengkal tanah di wilayah Jabotabek ini selalu terdengar langkah anggota Polri berjalan seirama detak jarum jam. Sebelum menduduki tampuk pimpinan tertinggi Polri, jauh-jauh hari masyarakat telah meramalkan bahwa nanti Jenderal ini pasti segera berpindah kantor dari Semanggi ke Trunojoyo. Namun semua orang juga tak mengira akan secepat itu penyerahan tongkat komando dari Jenderal Polisi Drs. Banurusman kepada Letjen.Pol. Drs. Dibyo Widodo, sehingga masyarakat pun kembali dibuat seolah seperti kejadian yang tiba-tiba. Dengan pengalaman yang lengkap inilah Jenderal Dibyo Widodo mampu melangkah ke jenjang tertinggi di lingkungan Polri.

14.   Jenderal Pol (Purn.) Roesmanhadi 

(lahir di Madura, Jawa Timur, 5 Maret 1946; umur 65 tahun) adalah mantan Kapolri periode 1998 sampai dengan 2000. Sebelumnya ia adalah Perwira Tinggi Mabes ABRI sebagai Staf Ahli Menhankam Bidang Kamtibmas.
Pendidikan militer yang pernah ditempuh oleh Roesmanhadi adalah, PTIK angkatan 11, Sespim Polisi tahun 1980, Sesko ABRI tahun 1990 dan kursus Lemhannas pada tahun 1992.
Jabatan pertama yang diemban Roesmanhadi setelah lulus PTIK adalah Irdin Res 86 Bandung Polda Jabar pada tahun 1969, kemudian meningkat terus hingga jabatan terakhir sebagai Staf Ahli Menhankam Bidang Kamtibmas yang diembannya sejak  15 Oktober 1997. Roesmanhadi juga pernah menjabat Wakapolda Kalbar pada tahun 1991, Wakapolda Jatim pada tahun 1992, Kapolda Sumatera Utara pada tahun 1993, Kapolda Jatim pada tahun 1995, Demin Kapolri pada tahun 1996.

15.    Jenderal Polisi Suroyo Bimantoro 
(lahir 1 November 1946; umur 65 tahun) adalah Kapolri yang dipilih oleh PresidenAbdurrahman Wahid, akan tetapi ditentang oleh kalangan Polri. Polemik ini dipicu karena diadakannya kembali jabatanWakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau wakapolri oleh presiden Abdurrahman Wahid. Kemudian gerakan ini terakomodir oleh para perwira menengah Polri yaitu antara lain Kolonel (Pol) Alfons Lemau yang ingin perubahan dalam tubuh Polri dalam bentuk jabatan Wakapolri ditiadakan. Pada tanggal 21 Juli 2001 Presiden Abdurrahman Wahid memberhentikan Suroyo Bimantoro sebagai Kapolri karena telah diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Malaysia dan Melantik Wakapolri Letnan Jenderal (Pol) Chairudin Ismail Sebagai penggantinya.
Suroyo Bimantoro lahir di Gombong, Kebumen Jawa Tengah pada 3 November 1964 sebagai anak kedua dari Sembilan bersaudara. Bimantoro menempuh pendidikan dasar di Banjarnegara (Banyumas) dari tahun 1953-1959. Sejak kecil Bimantoro dikenal oleh kawan-kawannya sebagai teman yang gemar belajar, oleh karena itu pada saat ujian akhir sekolah dasar ia meraih rangking II dari sekolahnya. Setelah lulus sekolah dasar, Bimantoro melanjutkan ke SLTP pada tahun1959-1962. Pada ujian akhir sewaktu SLTP Bimantoro berhasil meraih rangking pertama untuk seluruh SMP di Gombong.
Selanjutnya ia meneruskan jenjang pendidikannya ketingkat SLTA (SMA VI) di Yogyakarta. Selepas SMA, ia mengikuti tes di Kedokteran UI dan Teknik Kimia UGM. Namun karena ayahnya meninggal pada 29 Agustus 1965 maka dengan terpaksa panggilan dari dua universitas tersebut ditolaknya. Hal ini terjadi karena ia sadar bahwa biaya kuliah dan kost tidak mungkin dipenuhinya. Setelah menganggur selama satu tahun ia kemudian mendaftar ke Akademi Kepolisian Semarang. Yang menjadi motivasinya mendaftara adalah sekolah itu tidak memungut biaya dan setelah lulus akan diangkat menjadi Inspektur Dua (Perwira). Ia lulus dari Akademi Kepolisian pada tahun 1970 pada peringkat ke-8 dan masuk kategori The Big Ten. Karena sejak awal Bimantoro menjalin hubungan yang luas dengan para mahasiswa dari akademi lain dalam sebuah wadah Akabri. Maka saat menjabat, ia menegaskan pentingnya untuk meningkatkan koordinasi dengan semua unsur TNI dalam upaya menghilangkan kecurigaan diantara para pasukan.
Dengan kerjasama dan koordinasi yang erat antara Polri, TNI dan instansi sipil khususnya penegak hukum, ia ingin menembus sekat informasi yang selama ini sering menimbulkan kecurigaan. Bimantoro kemudian melanjutkan studi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Ia lulus pada tahun 1977 dengan prestasi rangking 1. Dalam bidang kemahasiswaan Bimantoro menjabat Wakil Ketua Senat PTIK Angkatan XIII/WASPADA. Semasa menjadi siswa Sespimpol mendapatkan pendidikan manajerial tertinggi untuk matra kepolisian. Pada akhir pendidikan Bimantoro meraih peringkat pertama bidang intelektual. Semasa tugas di Sekolah Staf dan Komando ABRI Gabungan (Seskogab) tahun 1933, ia belajar dengan tekun sehingga mendaptkan peringkat 6 atau sepuluh besar. Sama seperti saat di Sespimpol, di Seskogab ia menjabat sebagai Wakil Ketua senat. Bimantoro juga mendapat kesempatan untuk mengikuti kursus Internasional X Interpol di Taormina (Italia) pada tahun 1933. Jabatan-jabatan yang pernah diemban Bimantoro sebelum menjadi Kaporli diantaranya: Kapolres Jakarta Utara (1985), Kepala Polres Jakarta Barat (1986), Pasdep Fal Juang Sespim Polri (1987-1989), Gadik Utama di Sekolah Staf dan Pimpinan (Sespim) tahun 1990, Sekretaris Pribadi Kapolri (1991), Kapolwil Kota Besar Surabaya (1993), Wakil Kapolda Nusa Tenggara (1996), Kapolda Bali pada 15 Juli 1997. Pada 1 Mei 1998 diangkat sebagai asisten Operasi Kapolri sampai awal tahun 2000, tahun 2000 Bimantoro diangkat menjadi Waka Polri, dan kemudian diangkat sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Drs. KHP Rusdihardjo untuk menangkap pelaku pemboman BEJ dan kasus Atambua.
Jenderal Polisi Drs. R. Suroyo Bimantoro diangkat sebagai Kapolri pada tanggal 23 September 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Sesuai dengan kesepakatan Presiden dengan Ketua DPR (Akbar Tanjung), pengankatan Bimantoro menjadi Kapolri dilakukan setelah DPR mengadakan rapat pimpinan DPR tentang penggantian Kapolri. Beberapa waktu setelah diangkat Kapolri langsung mengumumkan polisi telah mengetahui detail kelompok yang selama ini melakukan terror bom.
Namun Kapolri belum bersedia merinci kelompok mana yang melakukan terror tersebut demi suksesnya penyelidikan. Ia menambahkan pihaknya juga akan meningkatkan kerjasama dengan lembaga inteligen seperti BAKIN (Badan Koordinasi Inteligen) dan BIA (Badan Inteligen ABRI). Dengan koordinasi dan saling proaktif Bimantoro menegaskan akan segera mematahkan jalur distribusi bahan peledak, senjata api dan lain-lainnya. Ditambah dengan kerjasama Interpol dan FBI akhirnya Polri berhasil menangkap25 tersangka pengeboman, termasuk kasus bom di BEJ.

16.    CHAIRUDIN ISMAIL adalah Kapolri yang menggantikan Jenderal Suroyo Bimantoro

“Idealnya, orang-orang yang seharusnya ada di Kapolri adalah orang-orang yang memiliki pengalaman-pengalaman dalam persoalan reserse,” kata pria Makasar yang berdinas di kepolisian sejak 1972, dan purnatugas sejak 13 tahun silam ini.

Kapolri yang menggantikan Jenderal Suroyo Bimantoro pada tanggal 2 Juni 2001 hingga 7 Agustus 2001, dan pernah menjadi tim sukses pasangan capres JK-Wiranto. Pengangkatan Chaeruddin itu memicu dualisme kepemimpinan di Mabes Polri. Chaeruddin, antara lain, didukung teman-temannya sesama lulusan Akademi Kepolisian 1971. Sedangkan, Bimantoro juga mendapatkan dukungan dari teman-temannya sesama lulusan Akademi Kepolisian 1970.  
Pria asal Makasar ini mempunyai pengalaman saat ditunjuk oleh Presiden Gus Dur menjadi Kapolri tetapi anggota DPR RI, ketika itu, tidak menyetujuinya padahal tidak ada urusannya. Bahkan dihembuskan isu bahwa dirinya bersebarangan arah dengan Jenderal Suroyo Bimantoro. “Saya sendiri tidak pernah ribut dengan beliau hingga hari ini,” jelas penulis buku berjudul Polisi Sipil dengan Paradigma Baru ini. 

Saat ditanyakan apa yang dimaksud persaingan tidak sehat, Chairudin mengilustrasikan jawabannya, “Misalnya, karena saya juga ingin jadi (Kapolri) terus saya ‘bermain’ dengan melempar kasus ke sana kemari.” Idealnya, bagaimana? “Jangan terlalu banyak campur tangan. Karena  untuk menjadi seorang Kapolri dibutuhkan orang-orang yang terdidik dari bawah,” terang Chairuddin.
Kemudian Chairudin sedikit mengisahkan ketika dirinya ditunjuk Presiden Abdurrahman Wahid menjadi Kapolri dengan apa yang terjadi saat ini. “Dulu saya ditunjuk oleh Presiden yang lemah, dan banyak yang enggak suka Presiden Gus Dur. Jadi, penunjukan saya dijadikan mereka untuk menjatuhkan Gus Dur. Sekarang kan enggak. Sekarang bukan persoalannya presiden. Mungkin, ini persoalannya kebalikannya,” terang Chairuddin, sembari tertawa kecil. Kebalikannya apa, bisa dijelaskan? “Ya, mungkin kebalikannya, mereka ada persaingan dan lain sebagainya. Waallahu a’lam bi asshowab. Jadi, jangan selalu menyerdehanakan masalah. Masalah itu kan berbeda-beda,” jelas Chairuddin.

Lebih jauh Chairudin menjelaskan bahwa masalah utama yang dihadapi polisi adalah public savety, memelihara ketentraman dan keamanan. “Di situ yang utama adalah memerangi kejahatan. Memerangi dalam arti, menyidik, mengungkap kejahatan sekarang lebih sulit diungkap sehingga pimpinan polisi harus memahami betul persoalannya secara komprehensif. Misalnya dari aspek sosiologis maupun psikologis dan lainnya,” kata pengajar di Sespati Polri ini. Jadi menurutnya, Kapolri yang prima adalah Kapolri yang memahami semuanya. 

Kepolisian memiliki tiga fungsi pokok, yaitu: Pertama, memerangi kejahatan. Kedua, memelihara ketertiban umum. Ketiga, melindungi warga dari beragam ancaman. Ketiga fungsi pokok tersebut menuntut pihak kepolisian untuk memiliki sikap dan keterampilan yang berbeda-beda. Selanjutnya, hal yang tidak kalah pentingnya, ungkap Chairudin yang kini aktif di Partai Hanura, Kapolri juga dituntut memahami anak buahnya di bawah. Mengapa? “Karena keamanan dan ketertiban masyarakat ditentukan oleh petugas lapangan,” kata Chaeruddin yang menulis disertasi berjudul Pidana Harta Kekayaan. 
Petugas-petugas lapangan gajinya pun rendah dan jam kerjanya banyak. “Sayangnya, mereka tidak berani bicara. Jadi, Kapolri harus mengerti persoalan tersebut. Bila dimengerti tentu tidak akan terjadi benturan,” tegas pria yang pernah menuntut ilmu di Inggris ini. Menurut penuturan Chairudin, polisi di Inggris enak sekali. “Dia diberi gaji cukup untuk rekreasi, ada uang untuk transportasi, uang untuk membeli baju, dan lain semacamnya. Sementara kita di sini, mana ada uang semacam itu? Gaji seorang prajurit itu paling Rp 2.500.000,” terang Chairudin yang juga tidak bisa menentukan berapa nominal gaji sehingga seorang polisi dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. 
Namun ia memberikan contoh, untuk mengejar penjahat, kadang-kadang ada yang sangat murah, hanya dengan Rp 5.000.000 bisa terungkap. “Tapi kadang-kadang baru 10 tahun kejahatan bisa terungkap. Untuk menangkap penjahat kan harus kenal orang-orang, kadang-kadang harus diajak minum dan lain semacamnya. Nah, duit/costnya dari mana?,” imbuh Chairuddin. Masalah lain yang kerap menimpa korp kepolisian adalah benturan. Baik benturan polisi dengan masyarakat maupun polisi dengan tentara. Berdasarkan pengalaman pribadinya semasa masih berdinas, tidak sedikit terjadi benturan antara polisi dengan masyarakat. Mengapa benturan tersebut terjadi? “Karena keteledoran dalam penugasan. Terlalu lama dia bertugas di lapangan tetapi imbalan yang sedikit, dan lain sebagainya,” kata Chairuddin. 

Ketika ditanyakan keteledoran dari pihak mana, Chairuddin menjawab, “Ya, pengaturannya. Kan bertingkat. Ada yang namanya KapoIsek, Kapolres, Kapolda hingga ke Kapolri.” 

Diakui Chairudin, benturan antara oknum Polisi dengan oknum tentara pun juga kerap terjadi. Bagi Chaeruddin, tentara dengan polisi, terutama petugas yang di bawah, adalah warga negara yang kerja/tanggungjawabnya amat besar tetapi penghasilannya kecil. “Jaman saya dulu tidak terlalu sulit karena enggak perlu beli pulsa karena tidak ada handphone,” kata Chairuddin. 

Sedangkan untuk masa kini, lanjut Chairuddin, para prajurit juga membeli pulsa, gajinya tidak cukup. “Belum lagi punya anak, dan maunya makan Mc Donald dan hamburger. Anak kita dulu makan singkong, enggak masalah. Jadi, otomatis perlu tambahan,” ungkap Chairudin. Penghasilan tambahan itu, diperoleh dari menjadi juru keamanan-keamanan. Oleh karena itu, Chairuddin berharap, seorang polisi pun harus cerdas. “Jangan karena punya wewenang terus main sikat aja! Saya dulu cukup bagus berinteraksi dengan tentara, enggak perlu nembak,” kata Chairudin yang mantan aktivis sebelum masuk Akabri. Jadi, intinya harus saling menghargai.
Pada masa kepemimpinan Suroyo Bimantoro terjadi polemik kekisruhan di tubuh Polri. Presiden dan para pendukungnya memang belakangan sukses membujuk parlemen agar menerima pengangkatan Bimantoro, meski dengan syarat.[butuh rujukan] Tetapi belakangan, muncul ironi baru: Presiden mengulangi kekeliruan dengan "memecat" Bimantoro dan mengangkat Jenderal Chaerudin Ismail tanpa persetujuan parlemen.[butuh rujukan] Dan situasi berbalik, Bimantroro menjadi salah satu pion DPR dalam perang politiknya melawan Presiden.[butuh rujukan] Bagaimanapun, masa bulan madu antara Bimantoro dan Presiden memang hanya sebentar. Baru satu bulan menjadi Kapolri, Bimantoro sudah berseberangan pikiran dengan Presiden.[butuh rujukan] Mereka berbeda dalam penanganan gerakan Papua Merdeka. Presiden Abdurrahman memperbolehkan pengibaran Bintang Kejora, simbol Organisasi Papua Merdeka, sedangkan Bimantoro tegas tidak menoleransinya.[butuh rujukan] Perbedaan pendapat itulah yang menurut Kepala Badan Hubungan Masyarakat Mabes Polri menjadi awal mula kerenggangan hubungan antara Polri dan Istana.
Hubungan baik tidak dapat diraih, keretakan semakin bertambah, dan Bimantoro semakin tidak populer di mata Presiden.[butuh rujukan] Kasus penangkapan dua eksekutif perusahaan asuransi berkebangsaan Kanada yang diduga terlibat dalam pembelian saham ganda menjalar menjadi persoalan diplomatik Indonesia-Kanada.[butuh rujukan] Lewat Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Presiden gagal menghentikan persoalan ini di polisi.[butuh rujukan] Penuntutan kasus itu baru bisa dihentikan setelah Jaksa Agung Marzuki Darusman ikut turun tangan.[butuh rujukan] Seiring dengan memanasnya suhu politik nasional, ketika DPR menelorkan Memorandum II pada Mei lalu, lagi-lagi polisi dituding tidak bersikap adil oleh Presiden.[butuh rujukan] Polisi, misalnya, dituding terlalu ketat melakukan razia terhadap para pendukung Presiden yang hadir ke Jakarta untuk mengikuti "doa politik" mempertahankan Abdurrahman Wahid, sementara mereka membiarkan demonstran yang membawa pedang ke Istana.[butuh rujukan] Puncak ketegangan hubungan Presiden dengan Kapolri terjadi menyusul penanganan demonstrasi para pendukung Abdurrahman Wahid di Pasuruan, Jawa Timur, Juni lalu.[butuh rujukan] Dalam insiden itu, jatuh satu pendukung Presiden, tewas diterjang peluru aparat[butuh rujukan]. Presiden marah besar. Ia menuduh polisi tidak proporsional menembak orang yang, kata dia, sedang berada di warung makan.
Pada awal Juni itu, hampir bersamaan waktu dengan pergantian lima menteri dan Jaksa Agung, Presiden meminta Bimantoro mengundurkan diri.[butuh rujukan] Namun, Bimantoro menolak.[butuh rujukan] Pada tanggal 2 Juni 2001, Presiden melantik Inspektur Jenderal Chaerudin Ismail sebagai Wakil Kapolri[1]. Yang menarik, jabatan Wakil Kapolri ini sebenarnya telah dihapuskan oleh Presiden sendiri melalui Keppres No. 54/2001 tertanggal 1 April 2001.[butuh rujukan] Pengangkatan Chaerudin sekaligus merevisi keppres tersebut dengan keluarnya Keppres No. 77 tertanggal 21 Juni[butuh rujukan], yang berlaku surut 1 Juni 2001.[butuh rujukan] Kasus ini telah memuncakkan dualisme dalam tubuh kepolisian dan perseturan Presiden dengan parlemen.[butuh rujukan]
Pengangkatan Chaerudin memunculkan penolakan 102 jenderal polisi yang tidak menghendaki ada politisasi di tubuh Polri.[butuh rujukan] Masalah Polri ini semakin berlarut-larut.[butuh rujukan] Bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli, Presiden mengumumkan pemberhentian Kapolri nonaktif Bimantoro, dan akan menugasi mantan Asisten Operasi Mabes Polri itu sebagai Duta Besar RI di Malaysia[2]. Beberapa jam kemudian, lagi-lagi Bimantoro menolak. Situasi Mabes Polri semakin panas, apalagi muncul pernyataan sikap para perwira menengah Polri, meminta Bimantoro ikhlas mundur, ditambah lagi berita akan ditangkapnya Bimantoro karena dianggap telah membangkang terhadap perintah Presiden. Bimantoro tidak goyah, dan memaksa Presiden melakukan langkah lebih dramatis. Pada tanggal 21 Juli 2001, dia melantik Chaerudin Ismail resmi sebagai Pejabat Sementara Kapolri, meski dengan bayaran yang mahal. Pelantikan itu memicu krisis politik baru: DPR meminta
MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa, meski Presiden mengangkat Chaerudin hanya sebagai Pejabat Sementara Kapolri dengan pangkat jenderal penuh bintang empat.[butuh rujukan]
Setelah Presiden Abdurrahman Wahid membacakan Dekrit yang disebut Maklumat pada 23 Juli 2001 dinihari, Surojo Bimantoro, Kapolri nonaktif, mendapat telepon dari Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais. Amien menanyakan, apakah kendali Polri masih berada di tangan Bimantoro mengingat siangnya, MPR akan menggelar Sidang Istimewa.

Dalam buku "Antara Kekuasaan dan Profesionalisme Menuju Kemandirian Polri", Bimantoro menyatakan mendengar Dekrit pembubaran parlemen itu, paginya langsung menggelar rapat pimpinan Polri namun tak melibatkan Chaeruddin Ismail. Setelah rapat, Bimantoro menelepon Komandan Korps Brimob Inspektur Jenderal Yusuf Manggabarani (yang saat ini Wakil Kapolri).Manggabarani diminta mengamankan Markas Besar Kepolisian. "Pasang dua kompi pasukan di Mabes, sisanya di Polda Metro Jaya. Sekarang juga!" kata Bimantoro, seperti dilansir kembali oleh Edy Budiyarso dalam buku "Melawan Skenario Makar: Tragedi 8 Perwira Menengah Polri di Balik Kejatuhan Presiden Gus Dur 2001".

Bukan hanya itu, Bimantoro meminta Manggabarani menangkap prajurit Polri yang bergerak mengamankan Dekrit Presiden. Bimantoro mendapat laporan dari staf intelijen Polri bahwa ada delapan perwira menengah yang mendukung Chaeruddin Ismail merencanakan penangkapan beberapa pimpinan MPR.

"Manggabarani, kalau kau mencintai institusi Polri, begitu Chaeruddin Ismail datang bersama delapan Pamen temannya itu ke Mabes Polri dan memerintahkan untuk mengamankan Dekrit Presiden, langsung tangkap saja," ujar Bimantoro.

"Siap, Jenderal!" kata Manggabarani. Malam itu juga, dua kompi Brimob bergerak. Selain pasukan bersenjata otomatis, juga beberapa panser dan senjata taktis berjaga di Mabes.

Muncul desas-desus, Chaeruddin mendapat dukungan dari korps reserse kepolisian di mana dia dibesarkan. Mulai muncul kekhawatiran, dua korps kepolisian, reserse dan operasional akan bentrok.

Namun desas-desus itu terbukti tak pernah terjadi. Belakangan hari, Chaeruddin memberi jawaban dalam buku "Polisi, Politik dan Kontroversi" membantah isu dia akan melakukan gerakan mendukung dekrit. "Secara pribadi, saya sendiri menolak dekrit," kata Chaeruddin. Dan Chaeruddin yang diangkat menjadi jenderal sehari sebelum dekrit keluar itu pun memilih diam saat itu.

Sementara itu, MPR berhasil menggelar Sidang Istimewa. Pukul 17.15, 23 Juli 2001, MPR resmi memilih Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden menggantikan Abdurrahman Wahid. Dan Bimantoro menjadi tamu pertama Presiden baru itu.

"Mas Bim, itu toh tongkat yang kemarin diributkan?" kata Megawati sambil menyalami Surojo Bimantoro. Bimantoro mengangsurkan tongkat itu pada Megawati. Setelah melihat sebentar, Megawati mengembalikan pada Bimantoro. "Ini wangi, Bu. Terbuat dari kayu cendana," ujar Bimantoro setelah mencium tongkat komandonya itu.

17.   Jenderal Pol (Purn.) Da'i Bachtiar 
(lahir di Indramayu, Jawa Barat, 25 April 1951; umur 60 tahun) adalah Duta Besar Indonesia untuk Malaysia sejak 8 April 2008, serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) dari 29 November 2001 hingga 7 Juli 2005. Pada 15 Oktober 2002, ia mengumumkan bahwa hasil penyelidikan para penyelidik Indonesia pada lokasi kejadian Bom Bali 2002 telah berhasil menemukan bekas bahan peledak plastik C-4.

Da’i Bachtiar lahir di Kabupaten Indramayu pada tanggal 25 Januari 1950. Kehidupan desa yang masih kental dengan sifat kekeluargaan dan gotong royong membentuk kepribadiannya. Keluarga Da’i Bachtiar termasuk disegani dan dihormati didaerahnya bukan karena mengandalkan pangkat yang tinggi serta kekayaan yang melimpah ruah, melainkan didikan budi pekerti luhur, sikap tolong menolong, rasa tanggung jawab, dan kepedulian
social yang membuat orang tuanya mendapat penghormatan. Da’i Bachtiar bersekolah disekolah rakyat yang dulu setingkat dengan sekolah dasar masa sekarang dan berhasil lulus pada tahun 1962. Ia kemudian menamatkan pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) pada tahun 1965. Selanjutnya Da’i Bachtiar berhasil merampungkan pendidikan di SMA pada tahun 1968 dengan nilai yang sangat memuaskan. Ayah serta ibunya juga mendukung setiap hobi anaknya, salah satunya adalah hobi Da’i Bachtiar dalam berolahraga. Sehingga tidak mengejutkan jika ia memperoleh prestasi cemerlang dalam bidang olahraga. Kadang-kadang ia bersama teman-temannya turut dalam perkumpulan kesenian. Setelah tamat dari SLTA Da’i Bachtiar kemudian menempuh pendidikan di Akademi Kepolisian (Akpol). Ia lulus dari Akpol pada tahun 1972 dan kemudian bertugas di jajaran kepolisian sebagai pelaksana lapangan seperti kebanyakan polisi lainnya. Da’i Bachtiar memperoleh pangkat letnan dua pada tanggal 1 Desember 1972. Tugas pertamanya adalah sebagai inspektur Dinas Polres Grobogan Kodak IX Jawa Tengah pada tahun 1973. Setahun kemudian ia menjadi Kasi Sabhara/Lantas Polres Grobogan dan dalam tahun yang sama mendapat promosi sebagai Kabag Operasi Polres Grobogan sampai sekitar tahun 1983. Setelah itu ia dipromosikan menjadi Perwira Pengawas Departemen/Instruktur di Akademi Kepolisian. Tugas berikutnya ia ditunjuk sebagai Komandan Batalion Taruna Akademi Kepolisian sampai sekitar tahun 1987. Dalam tahun itu, Da’i Bachtiar mendapat promosi besar menjadi Kapolres Pati dengan pangkat Lentan Kolonel Polisi. Dua tahun bertugas di Blora, Da’i Bachtiar dimutasi sebagai Kapolres Boyolali, Polwil Surakarta, Polda Jateng dan berikutnya menjadi Kapolres Klaten sampai tahun 1992. Dari Kabupaten Klaten, Da’i Bachtiar dipromosikan sebagai Sesdit Serse Polda Jatim. Beberapa bulan kemudian, ia menjabat sebagi Kapoltabes Ujung Pandang, Polda Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra). Disinilah Da’i Bachtiar memperoleh pangkat Kolonel Polisi. Pada tahun 1994 dimutasi Kapolda Nusa Tenggara (Nusra) sebagai kepala Direktorat Reserse (Kadit Reserse) Polda Nusra. Tahun 1996, ia ditugaskan sebagi Wakapolda Sulawesi Tenggara lalu dipanggil ke Mabes Polri sebagai tenaga ahli Tingkat II Staf Ahli Kapolri bidang sosial politik. Karier Da’i Bachtiar menanjak terus sehingga memperoleh pangkat Brigadir Jenderal Polisi pada 1 Maret 1997 dan dipromosikan sebagai Kadispen Polri. Namun diposisi ini Da’i Bachtiar hanya beberapa bulan saja karena selanjutnya dipromosikan sebagai Komandan Korps Reserse Polri dan memperoleh kenaikan pangkat Mayor Jenderal Polisi berbintang dua, ia pun kemudian memperoleh posisi strategis sebagai Wakapolda Jawa Timur dan Gubernur Akademi Kepolisian. Tanggal 1 Agustus 2001 ia memperoleh pangkat Komisaris Jenderal Polisi sebagai Kalakhar BKNN.
Berkat ketekunan, kegigihan, dan keuletannya dalam menggapai cita-cita, Karier Da’i Bachtiar terus bersinar terang. Presiden Megawati Soekarno Putri kemudian mengajukan nama Komisaris Jenderal Polisi Drs. Da’i Bachtiar sebagai satu-satunya calon Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Drs. Suroyo Bimantoro yang akan segera pensiun. Kamis 22 November 2001 nama Komisaris Jenderal Polisi Da’i Bachtiar mulai dibahas di DPR dalam rapat Badan Musyawarah. Pada senin 26 November 2001 seluruh fraksi yang tergabung dalam Komisi I dan Komisi II DPR secara aklamasi menyetujui pencalonan Komisaris Jenderal Polisi Da’i Bachtiar sebagai Kapolri oleh Presiden. Namun persetujuan itu masih akan dilaporkan lagi kepada Badan Musyawarah (Bamus) DPR untung diagendakan dalam Sidang Paripurna DPR. Selanjutnya pada hari kamis 29 November 2001 dalam Sidang Paripurna DPR yang dihadiri 259 anggota, disahkanlah persetujuan pengangkatan Komisaris Jenderal Polisi Da’i Bachtiar sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Suroyo Bimantoro. Seusai Pelantikan DPR meminta Kapolri yang terpilih untuk memprioritaskan tugas-tugas pokoknya pada pemberantasan perjudian, menuntaskan kasus 27 Juli 1996 (kasus dimana sekelompok orang yang memakai atribut PDI menyerang kantor DPP PDI kubu Megawati) dan memberantas narkoba.
Setelah pelantikannya menjadi Kepala Polri, Jenderal Polisi Da’i Bachtiar langsung dipusingkan dengan posisi Jenderal Polisi Chaeruddin Ismail. Chaeruddin pernah dilantik Presiden Abdurrahman Wahid sebagai pejabat sementara Kapolri.
Pengangkatan Chaeruddin itu memicu dualisme kepemimpinan di Mabes Polri. Chaeruddin, antara lain, didukung teman-temannya sesama lulusan Akademi Kepolisian 1971. Sedangkan, Bimantoro juga mendapatkan dukungan dari teman-temannya sesama lulusan Akademi Kepolisian 1970.  

Da’i yang lulusan 1972, tidak ingin ada perseteruan lanjutan antara abang kelasnya, yakni angkatan 1970 dan 1971. Ia pun akhirnya mengakomodasi Chaeruddin. Ia memberikan posisi kepada Chaeruddin sebagai perwira tinggi yang diperbantukan kepada Kapolri.

Ia berusaha merangkul petinggi Polri yang pecah pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Padahal, posisi tersebut sebenarnya tidak ada di Mabes Polri. Jenderal bintang empat posisinya hanya satu, yakni kepala Polri. Sebab, secara fungsional sudah ada staf ahli, koordinator staf ahli, dan semua perwira yang bisa memberikan nasihat.

Tidak cukup hanya di situ. Setahun setelah menjabat kepala Polri, Da'i Bachtiar akhirnya melakukan mutasi besar-besaran sejumlah jenderal. Ia mengacu pada struktur organisasi baru yang disahkan melalui Keppres No 70/2002 tanggal 10 Oktober 2002.

Hal yang paling mengejutkan adalah ada empat jabatan untuk jenderal berbintang tiga. Satu di antaranya adalah jabatan Wakil Kepala Polri yang dihidupkan kembali.

Padahal sebelumnya, jabatan wakapolri sempat dihapus pada saat pergantian Presiden Gus Dur kepada Megawati. Bahkan, sempat menjadi perdebatan setelah pengangkatan Komjen Pol Chaeruddin Ismail. Chaeruddin kemudian dinaikkan pangkatnya lagi selang 18 hari, menjadi jenderal bintang empat.

Selain menghidupkan Wakapolri, dalam perubahan struktur organisasinya, Mabes Polri juga memutasi 30 pejabat lainnya. Mutasi itu diduga untuk memperkuat kekuasaan Presiden guna menghadapi Pemilu 2004.

Mutasi besar-besaran ini mengundang konsekuensi tentang usia pensiun. Akibatnya, banyak yang memprotes dan mempersoalkan usia pensiun yang telah diundangkan, yakni Undang Undang Kepolisian No 2 Tahun 2002. Antara lain, mengatur pensiunan bagi anggota Polri hingga usia 58 tahun dan dapat diperpanjang hingga 60 tahun jika berprestasi.

Akan tetapi, pada kenyataannya Da'i Bachtiar masih mempergunakan undang-undang yang lama. Alasannya, belum ada PP (peraturan pemerintah) yang mengatur tentang pensiunan tersebut.

Akhirnya, sejumlah jenderal yang diduga terkontaminasi penguasa lama terpaksa harus pensiun. Presiden Megawati disinyalir mengikis sejumlah jenderal tertentu dan digantikan dengan generasi berikutnya yang belum terkontaminasi.Dampak terhadap keputusan itu, pada saat wisuda purnawira perwira tinggi, hanya dihadiri 32 wisudawan. Sebanyak 26 jenderal polisi berbintang satu sampai empat, yang seharusnya diwisuda purnawira di Akademi Kepolisian, tidak hadir. Padahal, dalam rilis yang diterima wartawan pada pekan ketiga Desember 2002 itu, Kapolri Da’i Bachtiar akan melepas 58 perwira tinggi. Empat di antaranya adalah perwira tinggi bintang empat yang pernah menjabat kapolri. Mereka adalah Jenderal Dibyo Widodo, Jenderal Roesdihardjo, Jenderal Surojo Bimantoro, dan Jenderal Chaeruddin Ismail. Hanya Roesdihardjo yang hadir.

Untuk perwira bintang tiga hanya dihadiri dua orang dari tujuh yang seharusnya hadir. Mereka yang tidak hadir adalah Komjen Sjahrudin ZA, Komjen Jujun Mulyana Dwiyana, Komjen Noegroho Djajoesman, Komjen Ahwil Luthan, dan Komjen  Sofjan Jacob. Dna, yang hadir hanya Komjen Nurfaizi serta Komjen Pandji Atma Sudirja.Lapangan Jenderal Polisi Anton Soedjarwo di Akademi Kepolisian, Semarang, itu seakan menjadi saksi tidak kompaknya perwira tinggi polisi akibat tergerus kepentingan politik sesaat. Mungkin almarhum Anton Soedjarwo yang disegani perwira Polri dan TNI itu akan menangis jika mengetahui para juniornya terbelah akibat konflik politik. Terhadap ketidakhadiran para seniornya itu, Da’i mengemukakan, ketidakhadiran sebagian besar perwira tinggi bukan menjadi masalah berarti. Dia menampik hal itu sebagai pertanda ada konflik di kalangan internal Polri.

18.    Jenderal Polisi (Purn) Drs. Sutanto 

(lahir di Comal, Pemalang, Jawa Tengah, 30 September 1950; umur 61 tahun) adalah Kepala Badan Intelijen Negara Indonesia sejak 22 Oktober 2009 hingga 19 Oktober 2011. Sebelumnya ia adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesiasejak 8 Juli 2005 hingga 30 September 2008. Lulusan Akabri tahun 1973 ini sebelumnya adalah Kepala Badan Pelaksana Harian (Kalakhar)Badan Narkotika Nasional. Ia pernah menjadi ajudan Presiden Soeharto pada tahun1995–1998, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatra Utara (2000), dan Kapolda Jawa Timur (17 Oktober 2000-Oktober 2002).
Sutanto lahir di Comal, di Desa Gedeg pada tanggal 30 September 1950 dari pasangan Suryadi bin Rowowidjojo dan Suriah binti Warli. Ayah Sutanto merupakan seorang Polisi Negara yang merupakan keturunan asli Desa Gedeg. Menurut penuturan teman sepermainannya sewaktu kecil, Sutanto yang berpenampilan kalem itu ternyata pandai bermain klungsu (biji asem).
Terbukti Sutanto kecil seringkali mengalahkan teman-teman sepermainan di lingkungan Desa Gedeg dalam hal dolanan klungsu. Masa kecil Sutanto antara tahun 1963 sampai 1966 banyak dihabiskan bersama budhe-nya, yaitu budhe Saryi yang tinggal di rumahnya di Desa Gedeg Rt. 07, Rw. 02, Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang. Budhe Saryi (alm) sangat dekat dengan Sutanto ditengah kesibukan ayahanda sebagai “bhayangkara Negara.” Menginjak usia 7 tahun, tepatnya pada tahun 1957, Sutanto tinggal bersama ayah dan ibu di lingkungan asrama Polisi Distrik (Sektor) Comal. Pendidikan menjadi sesuatu yang penting bagi keluarga Sutanto, oleh karena itu pada usianya genap untuk bersekola ia disekolahkan di TK Melati Comal. Pada tahun 1950-an jenjang pendidikan dasar di kecamatan Comal masil melalui Sekolah Rakyat (SR). Di desa Gedeg jenjang pendidikan hanya sampai kelas 1, 2, dan 3 SR. sedangkan kelas 4, 5, dan 6 harus ditempuh disekolah desa tetangga, yaitu Desa Gandu yang berjarak 2 kilometer. Masa sekolah dasar Sutanto diawali pada usia 7 tahun. Belum genap 6 tahun menuntut ilmu di Sekolah Rakyat (SR) Purwoharjo, Comal, pada tahun 1960 Sutanto harus pindah sekolah karena mengikuti kepindahan tugas ayahnya ke Kepolisian Distrik (sektor) Watukumpul sewaktu kelas Distrik (sektor) Belik. Kepindahan itu terjadi saat Sutanto naik ke kelas enam sekolah rakyat. Dan di Belik itulah Sutanto menamatkan sekolah rakyatnya. Sutanto kemudian melanjutkan jenjang pendidikannya ke SMP Negeri 1 Comal. Sayangnya pendidikan SMP yang seharusnya ditempuh selama 3 tahun di SMP Comal akhirnya harus diperpanjang selama satu tahun gara-gara meletusnya peristiwa “Gerakan Tiga Puluh September.” Sutanto akhirnya lulus SMP di Randudongkal karena ayahnya pindah tugas lagi ke Kepolisian Distrik tersebut. Sutanto kemudian masuk menjadi siswa SMA Negeri Pemalang pada tahun 1967. SMA negeri Pemalang yang beralamat di Jl. Jenderal Gatot Subroto, Sirandu, Pemalang merupakan satu-satunya SMA Negeri di Kabupaten Pemalang ketika itu. Di sekolah itu ia merupakan siswa kelas ilmu pasti alam (PASPAL). Tahun 1969 Sutanto lulus SMA Negeri Pemalang dan melanjurkan studi di AKABRI Kepolisian (kemudian dikenal sebagai Akpol).
Tahun demi tahun dilalui Sutanto dengan baik hingga akhirnya ia dinyatakan lulus dengan prestasi terbaik sebagai Taruna Akabri bagian Kepolisian pada tahun 1973. Ia juga menerima pedang Adhi Makayasa, symbol prestisius dalam sebuah prestasi pendidikan bagi seorang taruna Akpol. Setelah lulus jabatan kewilayahan pertamanya adalah Kapolsek Metro Kebayoran Lama, Jakarta Selatan pada tahun 1978. Kemudian bergeser menjadi Kapolsek Metro Kebayoran Baru. Saat menjabat di Polsek Kebayoran Baru, Sutanto dengan salah seorang rekannya berhasil menangkap pelaku penembakan anggota Brimob dan pembunuhan orang asing di suatu bar. Setelah dua kali menjadi Kapolsek, ia kemudian menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) angkatan ke-18. Tujuh tahun kemudian setelah lulus dari PTIK, Sutanto menamatkan pendidikan di Sekolah Staf dan Pimpinan Polri. Setelah tamat dari Sekolah Staf dan Pimpinan Polri, Sutanto ditugasi sebagai Detasemen Provos Polda Jawa Timur (1990), Kapolres Sumenep, Jawa Timur (1991), Kapolres Sidoarjo Jawa Timur (1992), dan Paban Asrena Polri (1994). Karier Sutanto terus melesat dan tanda-tanda ia akan menjadi pucuk pimpinan Polri mulai tampak jelas saat ia ditunjuk menjadi Ajudan Presiden Soeharto (1995). Sebuah jabatan yang dimasa lalu disebut-sebut prestisius itu diemban hingga jatuhnya Soeharto, Mei 1998.

Kapolri Jenderal Pol Sutanto mengatakan, akan memprioritaskan penanganan korupsi, penebangan kayu liar, dan penambangan liar. "Akan kita tindak lanjuti penanganan ketiga hal itu," tegasnya, seusai dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Kapolri di Istana Negara, Jumat (8/7).
Menurutnya, permasalahan yang belum diselesaikan pada masa kepemimpinan Kapolri sebelumnya, akan dilanjutkan penanganannya hingga tuntas. "Langkah-langkah pejabat lama akan saya lanjutkan, namun disesuaikan dengan kondisi saat ini," katanya. Disinggung tentang masalah penanganan terorisme, Sutanto mengemukakan, dirinya akan mengelola keamanan dengan baik untuk kasus-kasus terorisme, separatisme dan gangguan lainnya. Dia juga ingin agar Indonesia menjadi negara yang aman. Begitu pula dengan target penangkapan tersangka tindak pidana terorisme, ia mengharapkan bisa segera menangkapnya. Sutanto menjelaskan, Polri hingga saat ini berhasil membongkar dan menangkap banyak tersangka teroris. "Kita lihat Pak Da'i banyak mengungkap kasus terorisme seperti kasus bom Bali, bom Hotel JW Marriott, Kedutaan Besar Australia di Kuningan serta tempat lainnya," ujarnya. Sebagai Kapolri yang baru, ia sadar upaya menangkap teroris tersebut tidak mudah. "Negara-negara lain belum ada yang mampu melakukannya, namun Indonesia sudah banyak menangkap teroris. Karena itu, Indonesia menjadi tempat belajar bagi mereka yang ingin mengungkap masalah terorisme. Di Semarang ada pusat antiteror tempat negara-negara lain bisa belajar di sana," tuturnya. Polri, katanya, saling bertukar pengalaman dengan negara lain dalam menghadapi terorisme.
            Sementara itu, SBY dalam sambutannya meminta agar Sutanto memprioritaskan pemberantasan tindak pidana korupsi, perjudian, kejahatan jalanan dan penebangan kayu liar atau pembalakan liar. Sutanto diangkat menjadi Kapolri menggantikan Da'i berdasarkan Keppres Nomor 28/Polri/2005 tanggal 5 Juli. Acara pelantikan dimulai dengan pembacaan keputusan pengangkatan Jenderal Sutanto menjadi Kapolri dilanjutkan pengambilan sumpah jabatan oleh Presiden. Hadir pada kesempatan itu hampir seluruh anggota Kabinet Indonesia Bersatu dan para pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi negara seperti Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua DPR Agung Laksono dan Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita. Dalam amanatnya yang cukup singkat disaksikan para petinggi di Polri, Panglima TNI Jenderal TNI Endriartono Sutarto, dan tiga Kepala Staf Angkatan TNI itu, Kepala Negara berpesan agar Kapolri yang baru melanjutkan apa yang sudah berjalan dengan baik di masa kepemimpinan Kapolri sebelumnya. Khusus menyangkut pemberantasan korupsi, Presiden memberikan penekanan dan menggarisbawahi agar semua pihak, tidak hanya jajaran Polri, melainkan penegak hukum lainnya menjalankan amanat UU untuk memberantas korupsi. "Saya menengarai, hambatan dan perlawanan terhadap pemberantasan korupsi ini nyata mulai dari upaya memengaruhi aparat penegak hukum termasuk elemen KPK dan Tipikor. Bahkan ada yang berpikir sebaiknya Tipikor dibubarkan," tegasnya. "Mereka tidak punya hati. Kita selamatkan masa kini dan masa depan dari praktik-praktik yang tidak benar yang terjadi di negeri kita cukup lama." Presiden mengingatkan, koruptor dan penjahat punya kekuatan yang didukung keuangan besar sehingga bisa berbuat untuk menghambat langkah-langkah pemberantasan korupsi. "Tapi satu hal, mereka tidak akan bisa mengalahkan rakyat dan negara. Karena itu, mari dengan penuh ketetapan hati kita lanjutkan tugas ini dengan benar," sambungnya.

jenderal pol ( purn ) sutanto mengatakan, serah terima jabatan yang diselenggarakan hari ini, merupakan wujud nyata dari konsekuensi atas tuntutan kebutuhan regenerasi kepemimpinan, dalam manajemen dl tubuh organisasi polri, sebagai upaya yang konsisten dan tersistem, untuk terus memelihara dinamika organisasi polri, guna terpeliharanya kesiapan operasional, demi menjawab tantangan tugas ke depan, yang akan terus berkembang semakin kompleks dan berat.
hari ini, jajaran polri, serta tentunya masyarakat indonesia, menjadi saksi atas peralihan tongkat estafet kepemimpinan dalam tubuh polri, yang telah dilaksanakan secara tertib dan lancar, sesuai dengan mekanisme atau aturan dalam perundangan. selanjutnya, secara otomatis, hal ini juga membawa konsekuensi berupa tuntutan dan harapan, akan tampilan kinerja polri ke depan, yang lebih baik lagi, yang sanggup menjawab harapan dan tuntutan masyarakat.untuk menjawab berbagai tantangan tugas, melalui pelaksanaan tugas pokok, sesuai dengan yang diamanahkan dalam uu no. 2 tahun 2002.
demi mewujudkan hal tersebut, peran kepemimpinan, khususnya pada manajemen yang teratas, adalah sangat menentukan. jiwa organisasi dan semangat awaknya, untuk selalu menunjukkan kinerja terbaiknya, serta menampilkan budaya organisasi yang bermoral, ditentukan oleh pimpinan puncak. dengan kata lain, konsistensi polri beserta para anggotanya, terhadap komitmen pada tugas, merupakan cerminan konsistensi pimpinan tertingginya. pada sisi inilah, tampak peran penting kepemimpinan, dalam mengemban kepercayaan, kehormatan, dan amanah, yang dititipkan kepadanya.
ditambahkan dalam kesempatan ini, pada penghujung perjalanan karier profesi kepolisian saya, baik sepanjang 35 tahun masa dinas dl polri, maupun khususnya selama 3 tahun 3 bulan dalam jabatan sebagai kapolri, saya menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus - tulusnya, kepada presiden republik indonesia, segenap anggota dpr rl, para kolega dalam kabinet indonesia bersatu, maupun segenap komponen bangsa, dan seluruh lapisan masyarakat indonesia, serta kepolisian dari negara sahabat, yang telah memberikan dukungan dan partisipasi nyata, kepada diri saya, baik selaku pribadi maupun institusi, sehingga berbagai penyelenggaraan tugas - tugas kepolisian, yang saya pimpin, dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya.

selain itu, penghargaan yang tinggi, saya sampaikan kepada segenap anggota polri, beserta keluarga, yang telah menunjukkan pengabdian dan pengorbanannya, dalam menjawab berbagai tantangan tugas polri, guna menciptakan iklim kamtibmas yang kondusif, demi terselenggaranya berbagai aktivitas pembangunan dan masyarakat, serta tegaknya supremasi hukum, terlindungi, terayomi, maupun terlayaninya masyarakat, secara profesional, proporsional, dan bermoral, walaupun dihadapkan pada kendala dan keterbatasan. namun demikian, kita patut bersyukur bahwa, apa yang diamanahkan, dapat kita jalani bersama, dengan penuh keikhlasan, kebersamaan, dan kekompakan. saya dapat merasakan bahwa, segenap jajaran kepolisian, telah menunjukkan kinerja maksimal, dalam pengabdiannya demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

dikatakan dengan dedikasi, pengorbanan, dan pengabdian para anggota polri selama ini, kita mampu mewujudkan stabilitas kamdagri dengan baik, terbukti dengan terpeliharanya kamtibmas dl provinsi nad, berakhirnya konflik komunal dl poso, meredanya ketegangan dl maluku dan papua, maupun terselenggaranya pilkada dl banyak daerah, yang walaupun dl beberapa tempat timbul permasalahan, namun dapat segera ditangani, sehingga tidak sampai menimbulkan instabilitas kamtibmas. demikian juga, terpeliharanya kamtibmas, sehingga berbagai even bertaraf nasional bahkan internasional, dapat berlangsung dengan aman dan lancar, maupun banyak lagi indikator positif, menyangkut stabilitas kamtibmas lainnya.

selain itu, dl bidang penegakan hukum, dapat saya katakan bahwa, dengan kerja keras yang profesional dari para anggota, kita dapat menangani berbagai bentuk kejahatan maupun gangguan kamtibmas, mulai dari yang bersifat konvensional, transnasional, yang merugikan kekayaan negara, sampai dengan yang berdampak pada terciptanya situasi kontinjensi.

berbagai kasus atensi, maupun yang meresahkan masyarakat, dapat kita ungkap dengan hash yang memuaskan, seperti halnya, pengungkapan jaringan terorisme, pemberantasan jaringan peredaran gelap narkoba, pemberantasan illegal logging, illegal minning, serta illegal fishing, perjudian, premanisme, aneka macam street crimes dan lain sebagainya. saya sampaikan bahwa, kerja keras jajaran polri ini, tidak saja membawa rasa aman bagi masyarakat kita saja, melainkan juga telah menuai apresiasi positif, baik dari dalam maupun luar negeri, membawa dampak positif bagi kemajuan perekonomian negara, serta mampu merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa.

adapun dalam bidang pelayanan masyarakat, melalui berbagai inovasi jajaran polri, kita mampu lebih mendekatkan pelayanan kepolisian kepada masyarakat, dengan tentunya mengindahkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, demi mewujudkan good governance dan clean government, sesuai dengan semangat reformasi.

lebih lanjut sutanto mengatakan,dalam kaitan reformasi polri, kerja keras kita bersama, juga telah membawa hasil yang positif, melalui pembenahan pada aspek instrumental, struktural, dan kultural. khusus menyangkut aspek kultural, melalui implementasi paradigma polri sebagai civillian police, dengan mengedepankan strategi polmas sebagai penjabarannya, kita telah mengarah pada terwujudnya tampilan postur ideal polri, dalam lingkungan masyarakat madani yang demokratis, yaitu sebagai polisi yang berjiwa atau berwatak sipil, mandiri, independen, berwawasan luas, meliputi cakrawala lokal, nasional, maupun global, serta adaptif dan mampu bertindak responsif serta proaktif, dengan melibatkan peran masyarakat dan menyertakan kearifan lokal pada suatu daerah, guna mendukung pelaksanaan tugas.

bahkan dl tengah keprihatinan bangsa, maupun juga masyarakat internasional, menyangkut krisis ekonomi dan pangan, polri mengambil terobosan bekerja sama dengan instansi terkait, untuk selanjutnya mengelaborasi strategi polmas, dengan upaya pemberdayaan lahan kosong, guna peningkatan ketahanan pangan serta kesejahteraan anggota polri, berikut warga masyarakat sekitar, melalui program penanaman tanaman pangan bernilai ekonomis, seperti jagung dan kedelai.

dalam serahterima jabatan kapolri sutanto menyatakan, saya juga menyadari bahwa, berbagai pencapaian selama ini, tidak sepenuhnya sempurna, dalam artian, masih ada masyarakat, yang belum merasakan sentuhan kepolisian sebagaimana mestinya, belum terlayani secara baik, maupun tercederai akibat ulah segelintir oknum kepolisian. untuk itu, dalam kesempatan ini, saya memohon maaf kepada segenap masyarakat, atas segala kelemahan dan kekurangan, yang telah dilakukan oleh anggota polri, dl seluruh indonesia, selama masa kepemimpinan saya. semoga segala kelemahan dan kekurangan tersebut, dapat diperbaiki dl masa mendatang.

selain gambaran menyangkut pencapaian dl bidang operasional, polri juga telah mengembangkan sarana dan prasarana, guna mendukung pelaksanaan tugas, seperti peningkatan mobilitas dan telekomunikasi, yang tergelar mulai tingkat pusat sampai dengan dl daerah. penguatan kemampuan polair guna pengamanan serta penanganan kejahatan dl wilayah perairan strategis, dengan penambahan kapal - kapal patroli.

selain itu, pada aspek peningkatan dan pengembangan sumber daya manusia, polri telah berhasil menyelenggarakan pola rekruitmen, yang mampu memenuhi standar iso 9001 : 2000, dalam penerapan sistem manajemen mutu terhadap proses seleksi penerimaan taruna akpol, yang transparan, akuntabel, bersih, humanis dan bebas kkn, dengan melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk para keluarga calon siswa pendidikan pembentukan polri. dalam penerimaan akpol pada tahun ini, polri secara penuh, menerima calon taruna bersumber sarjana, baik strata satu maupun dua. terkait dengan upaya peningkatan kemampuan dan profesionalisme anggota polri, kita juga terus meningkatkan jalinan kerja sama internasional, dengan berbagai kepolisian negara sahabat.

selanjutnya diungkapkan oleh sutanto berbagai contoh pencapaian polri dl atas, hanyalah merupakan bagian kecil, dari hasil kerja keras polri yang lain, tentunya dengan dukungan penuh segenap komponen bangsa, dalam rangka menjawab harapan dan tuntutan masyarakat, akan situasi kamtibmas, yang semakin baik dari waktu ke waktu. ke depan, tentunya masih banyak hal yang harus dikerjakan dan dicapai polri, sebagai bentuk pemenuhan amanah rakyat, sebagai garda terdepan, terkait pemeliharaan aspek kamdagri.

kita bersama pastinya menyadari bahwa, untuk mewujudkan tantangan ke depan, polri akan selalu dihadapkan pada berbagai tantangan maupun rintangan. namun demikian, saya, sebagaimana juga seluruh masyarakat indonesia, merasa optimis
bahwa, polri, dl bawah kepemimpinan jenderal polisi drs. bambang hendarso danuri, mm, akan mampu mengatasi berbagai rintangan yang menghalang, sehingga polri semakin hari akan menjadi semakin maju, menuju terwujudnya postur ideal polri, dalam lingkup masyarakat madani, sesuai dengan semangat dan amanat reformasi indonesia.

selanjutnya, dalam kesempatan ini, perlu saya sampaikan juga bahwa, soliditas, semangat pengabdian, kebersamaan, dan kesamaan persepsi dalam menyikapi visi serta misi polri, merupakan kunci utama, bagi suksesnya penyelenggaraan tugas - tugas kepolisan, secara umum. selain itu, dukungan seluruh keluarga besar polri, aparat terkait, maupun segenap masyarakat, akan berdampak signifikan dalam pencapaian hal tersebut.
perlu diingat bahwa, terbangunnya kepercayaan masyarakat yang kuat, sebagai stakeholders kamtibmas, akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas polri. untuk itu, aspek legitimasi merupakan sesuatu yang harus diperhatikan, selain aspek legalitas tentunya. selain itu, perlu untuk diingat pula bahwa, dukungan berbagai komponen stakeholders kamtibmas, akan dapat membantu kelancaran pelaksanaan tugas-tugas polri.

sebelum mengakhiri sambutan ini, sekali lagi, saya ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih, kepada segenap instansi pemerintah, lsm, insan pers, kepolisian negara sahabat, maupun masyarakat indonesia selaku mitra polri, atas segala perhatian dan dukungannya. atas segala kelemahan dan kekurangan yang ada, sekali lagi saya mohon maaf. selanjutnya, kepada jenderal polisi drs. bambang hendarso danuri, mm, saya mengucapkan selamat bertugas selaku kapolri, dan semoga sukses selalu. semoga dibawah kepemimpinan jenderal, polri kedepan akan dapat semakin maju, dan mampu menjawab harapan dan tuntutan masyarakat. kata sutanto mengahiri.
§  pencanangan pemberantasan perjudian pada 100 hari pertama menjabat yang terhitung sukses dalam pelaksanaannya
§  Dibunuhnya buronan terorisme asal Malaysia, Dr. Azahari
§  Pengungkapan identitas para pelaku Bom Bali 2005
§  Penyelesaian kasus penyuapan saat penanganan kasus pembobolan Bank BNI, dengan tersangka Brigjen Ismoko, Komisaris BesarIrman Santosa dan Komisaris Jendral Suyitno Landun


19.   Jenderal Polisi Drs. H. Bambang Hendarso Danuri, M.M. 

(lahir di Bogor, Jawa Barat, 10 Oktober 1952 ) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) sejak 1 Oktober 2008. Beliau adalah lulusan Akademi Kepolisian tahun 1974 dan meraih gelar sarjana dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Jakarta. Ia beristrikan Nanny Hartiningsih dan merupakan adik dari mantan Pangdam I/Bukit Barisan Mayjen TNI (Purn.) Tritamtomo.
Bambang mengawali karirnya di kepolisian ketika menjadi Wakasat Sabhara Polresta Bogor Polda Jawa Barat tahun 1975. Setelah itu karirnya terus melesat hingga antara lain pernah menjabat sebagai Kapolres Jayapura (1993), Wakapolwil Bogor Polda Jawa Barat (1994), Kadit Serse Polda Nusa Tengggara Barat (1997), Kadit Serse Polda Bali (1999, Kadit Serse Polda Jawa Timur (2000), Kadit Serse Polda Metro Jaya, Kapolda Sumatera Utara (2005-2006) dan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri (2006).
Penghargaan yang pernah diterima suami Nanny Hartiningsih ini antara lain Satya Lencana Kesetiaan 8 Tahun, Satya Lencana Karya Bhakti, dan Satya Lencana Ksatria Tamtama.

20.   Jenderal Polisi Drs. Timur Pradopo 
(lahir di Jombang, Jawa Timur, 10 Januari 1956) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sejak 22 Oktober 2010. Jenderal bintang empat alumnus Akpol 1978 ini merupakan Kapolri pengganti Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri. Jenderal Polisi Drs. Timur Pradopo dilantik menjadi Kapolri pada hari Jumat, tanggal 22 Oktober 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta.
Timur Pradopo diusulkan Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden RI kepada DPR-RI sebagai calon Kapolri. Dia mengungguli Komjen Pol Nanan Soekarna (Irwasum Polri) dan Komjen Pol Imam Sudjarwo (Kalemdiklat) yang sebelumnya sebagai kandidat kuat calon Kapolri. Pada 19 Oktober 2010 dia disahkan sebagai Kapolri dalam Sidang Paripurna DPR.
Kontroversi
Saat Tragedi Trisakti Timur Pradopo menjabat Kapolres Jakarta Barat. Dia dipanggil Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM)[2] tapi tidak memenuhi panggilannya. Timur Pradopo pernah bekerjasama dengan Front Pembela Islam (FPI) untuk "menjaga ketertiban Jakarta" dan [3]
21.    Jenderal polisi Sutarman
Komjen Pol Drs. Sutarman merupakan Kabareskrim Mabes Polri yang aktif sejak 6 Juli 2011. Dia diangkat sebagai orang nomor satu di Bareskrim untuk menggantikan Ito Sumardi Ds yang telah memasuki masa pensiun. Sutarman tercatat pernah menduduki sejumlah jabatan penting di sepanjang karirnya. Pada tahun 2000, dia adalah Ajudan Presiden RI pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Kemudian pada akhir 2004, dia pernah menjabat sebagai Kapolwiltabes Surabaya, dan kemudian berturut-turut menjabat sebagai Kapolda Kepri, Kaselapa Lemdiklat Polri. Setelah menjabat sebagai Kaselapa Lemdiklat Polri, Sutarman lalu menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat pada masa jabatan 23 Juni 2010 hingga 4 Oktober 2010. Ia menggantikan Irjen Pol Timur Pradopo. 
Setelah lepas jabatan sebagai Kapolda Jawa Barat dan digantikan oleh Irjen Pol H. Suparni Parto, Sutarman kemudian menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya untuk menggantikan Komjen Pol Ito Sumardi Ds. Pada 2011, setelah melalui proses penyaringan, jabatan Kabareskrim Mabes Polri ditentukan dan posisi penting itu akhirnya diduduki oleh Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Sutarman. Keputusan pengangkatan Sutarman itu tertuang dalam Surat Telegram Rahasia (STR) No: STR 1334/VI/2011, tanggal 30 Juni 2011. Bersama Sutarman, ada 11 jenderal lainnya yang dimutasi. Dalam telegram tersebut, Sutarman menggantikan posisi Komisaris Jenderal Ito Sumardi yang memasuki masa pensiun. Sementara jabatan Sutarman sebagai orang nomor satu di Polda Metro Jaya digantikan oleh Irjen Untung Suharsono Radjab. Untung sebelumnya menjabat sebagai Kapolda Jawa Timur.
Ada keunikan dalam sejarah karir Jenderal bintang tiga ini. Sutarman pernah menggantikan Timur Pradopo (yang kini adalah Kapolri) di dua tempat yang berbeda, yakni Polda Jabar dan Polda Metro Jaya. Komisaris Jenderal Pol Sutarman resmi menjabat sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) menggantikan Jenderal Pol Timur Pradopo. Jabatan nomor satu di Korps Bhayangkara ini diembannya usai menjalani pelantikan yang dipimpin langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Negara, Jumat 25 Oktober 2013.
22.         Jenderal Polisi Badrodin Haiti
Nasib baik memang menimpa pria kelahiran 24 Juli 1958 di Jawa Timur itu. Setelah Presiden Jokowi membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri, akibat adanya desakan publik yang tidak menginginkan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Setelah itu, Jokowi malah mengajukan Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri. Namun, perjalanan proses pencalonannya sebagai Kapolri bukannya tidak memiliki sandungan, awalnya Komisi III menolak pencalonan Badrodin sebagai Kapolri. Namun setelah Jokowi hadir ke DPR untuk menjelaskan pengajuan nama Badrodin Haiti, akhirnya Komisi III mau menerima pencalonan Badrodin Haiti.
Sebelumnya, Komjen. Pol. Drs. Badrodin Haiti menjabat sebagai Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri), dan sebelum itu mengemban tugas sebagai Kabaharkam Mabes Polri. Dikalangan perwira Polisi, Badrodin dikenal sebagai polisi yang sederhanaan, berintegritas, dan tegas. Badrodin merupakan alumnus terbaik Akpol 1982 yang meraih gelar Adhi Makayasa dan pernah menjabat sebagai Kapolda Banten, Kapolda Sulawesi Tengah dan Kapolda Sumatera Utara. Badrodin memiliki dua orang putera. Setelah menjabat Kapolda Jatim sekitar tujuh bulan, dia ditarik ke Mabes Polri dan menjabat Koorsahli Kapolri.
Badrodin menjadi orang nomor dua (Wakapolri) di Korps Bhayangkara menggantikan seniornya, Komjen. Pol. Drs. Oegroseno yang pensiun. Pengangkatan Badrodin diumumkan sendiri oleh Kapolri Jend. Pol. Sutarman.

























Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kompetisi Vs Pandemi

Mengikuti kompetisi sudah menjadi kebiasaanku sejak SD hingga sekarang. Meski jarang menang, tetapi sudah ikut berpartisipasi saja rasanya bahagia sekali. Ketika pandemi Covid 19 terjadi pada bulan Maret tahun 2020, hikmahnya kita lebih gampang mengikuti lomba seperti menulis Esai,  artikel, opini, KTI, cerpen, puisi, seminar, lomba desain, photografi, pelatihan, fellowship, nulis buku, beasiswa dan lain-lain. Jika dihitung, jumlah project menulis kala pandemi yang aku ikuti sekitar 30 lebih dari non Fiksi hingga Fiksi tapi yang menang bisa dihitung jari. Namun dari effort tersebut, banyak yang kita dapatkan yaitu kiriman buku gratis dari funding internasional dan nasional,  teman baru, relasi, wawasan, update teknologi aplikasi, hadiah menarik dan lain-lain serta jangan lupakan hadiah uang dan pulsa🤭😉. Selanjutnya, tahun 2021 bersiap untuk kompetisi lagi. Jika ada yang termotivasi dengan tulisan ini, maka tetap semangat, optimis, jangan pernah insecure, iri hati, dengki dan...

Lalu Dia Lala Jinis Kisah Romeo Juliet Alas-Sateluk

Resensi By: Susi Gustiana Betapa bahagia  mencium aroma buku , pikiranku menari 'seolah menemukan harta karun'.    Buku Lalu Dia dan Lala Jinis  adalah cerita rakyat Sumbawa yang di tulis oleh bapak Dinullah Rayes. Nama Rayes merupakan marga dari keturunan kedatuan Alas. Cerita ini bersemi dihati penduduk terutama dari bagian barat tepatnya di kecamatan Alas. Kisah kasih diantara dua pasang anak muda romeo dan Juliet Sumbawa ini diriwayatkan oleh orang tua dengan menggunakan bahasa yang puitik melalui lawas. Lawas samawa merupakan puisi lisan tradisional pada umumnya tiap bait terdiri dari 3 baris. Dipengantar awal buku penulis menyebutkan bahwa kisah ini ditembangkan oleh orangtua yang   mahir balawas (menembangkan syair) dengan suara merdu menawan dan mempesona bagi siapapun yang mendengar. Tradisi di Sumbawa bagi orang yang bisa mendongeng atau bercerita itu disebut Badia. Tau Badia (orang/seniman yang menyampaikan cerita) sering diund...

Tugu Simpang 5 Aceh!!!! Begitu ‘Sempurna’

Kalian tahu tidak lagu sempurna dari Andra and The Backbone mungkin itu tepat untuk menggambarkan monument ini. “Belum ke Aceh namanya jika belum mengunjungi salah satu tugu atau monumen yang sangat ikonik dan keren ini” kata Pak Marzuki guide kami selama di Aceh. Yupz…..Namanya tugu simpang 5, oleh ibu-ibu rombongan dari Sumbawa yang antusias untuk mengambil gambar berselfia ria bahwa   di monumen ini. Menurut mereka tugu simpang 5 juga disebut tugu selamat datang. Karena lokasinya berada di pusat kota dan punya nilai filosofi yang sangat mendalam. Dalam catatan sejarah, tugu ini berada di lima persimpangan jalan protokol yang selalu padat, yaitu jalan Tgk. H. M. Daud Beureuh, T. Panglima Polem, Sri Ratu Safiatuddin, Pangeran Diponegoro, dan jalan Teungku Angkasa Bendahara. Di lihat dari desainnya, ada 4 eksplorasi konsep dari  tugu Simpang Lima Aceh  ini, yaitu axis-oriented (sumbu), urban oase, multi-purposes building, dan landmark kota Banda Aceh. T...