Langsung ke konten utama

Fatimah Az-Zahra Putri Rasulullah Saw


Putri keempat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ibunya Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha.Allah menghendaki kelahiran Fathimah kurang dari lima tahun sebelum Nabi diutus, dekat dengan peristiwa yang agung yaitu di saat orang-orang Quraisy rela menyerahkan hukum kepada Muhammad tentang perselisihan yang hebat di antara mereka untuk meletakkan Hajar Aswad setelah diadakan pembaharuan Ka`bah. Beliau Alaihis Shalatu Wassalam dengan kecerdikan akalnya mampu menyelesaikan problem dan mencegah pertumpahan darah antara kabilah-kabilah di Arab.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat kabar gembira dengan kelahiran putrinya dan nampaklah barakah dan keberuntungan dengan kelahiran putrinya. Beliau memberikan julukan kepada Fathimah dengan “az-Zahra”. Beliau dikunyahkan pula dengan Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). [1] Beliau radhiyallahu ‘anha adalah yang paling mirip dengan ayahnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Fathimah tumbuh dalam rumah tangga nabawi yang penuh kasih sayang. Nabi melindungi dan menjaganya dan tekun mendidik beliau agar beliau mengambil bagian yang cukup dari adab, kasih sayang dan nasihat nabawi yang lurus. Hal yang menggembirakan ibunya, Khadijah adalah sifat Fathimah yang baik, lemah lembut dan terpuji.
Dengan sifat-sifat itulah Fathimah tumbuh di atas kehormatan yang sempurna, jiwa yang berwibawa, cinta akan kebaikan dan akhlak yang baik mengambil teladan dari ayahnya Rasulullah yang menjadi contoh agung bagi Fathimah dan sebagai teladan yang baik dalam seluruh tindak-tanduknya.
Manakala usia Fathimah mendekati usia lima tahun, mulailah suatu perubahan besar dalam kehidupan ayahnya dengan turunnya wahyu kepada beliau. Sehingga Fathimah turut merasakan mula pertama ujian dakwah. Beliau menyaksikan dan berdiri di samping kedua orang tuanya serta membantu keduanya dalam menghadapi setiap mara bahaya.
Beliau juga menyaksikan serentetan tipu daya orang-orang kafir terhadap ayahnya yang agung, Sehingga beliau berangan-angan seandainya saja dia mampu, maka akan ditebus dengan nyawanya untuk menjaga beliau dari gangguan orang-orang musyrik. Hanya saja ketika itu beliau masih kecil.
Di antara penderitaan yang paling berat pada permulaan dakwah adalah pemboikotan yang kejam yang dilakukan oleh kaum musyrikin terhadap kaum muslimin bersama Bani Hasyim pada suku Abu Thalib. Sehingga pemboikotan dan kelaparan tersebut berpengaruh kepada kesehatan beliau. Sehingga sisa umurnya yang panjang beliau alami dengan lemahnya fisik.
Belum lagi Az Zahra’ kecil keluar dari ujian pemboikotan, tiba-tiba wafatlah ibunya yaitu Khadijah radhiyallahu ‘anha yang menyebabkan jiwa beliau penuh dengan kesedihan, penderitaan dan kesusahan.
Setelah wafatnya ibunda beliau, beliau merasakan ada tanggung jawab dan pengorbanan yang besar dihadapannya untuk membantu ayahnya, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang meniti jalan yang keras di jalan dakwah kepada Allah. Terlebih-lebih setelah wafatnya pamanda beliau Abu Thalib dan istri beliau yang setia yakni Khadijah.
Sehingga berlipat gandalah kesungguhan dan beban Fathimah dalam memikul beban dengan sabar dan teguh mengharap pahala Allah. Beliau mendampingi sang ayah dan maju sebagai pengganti tugas-tugas ibunya yang mana ibunya dalah seorang ibu yang paling utama dan istri yang paling mulia. Dengan sebab itulah Fathimah diberi gelar dengan “Ibu dari ayahnya”.[2]
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan bagi para shahabat untuk hijrah ke Madinah. beliau menjaga rumah yang agung yang mana tinggal pula di dalamnya Ali bin Abi Thalib yang mempertaruhkan jiwanya untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidur di tempat tidurnya Rasulullah untuk mengelabuhi orang-orang Quraisy (agar mereka menyangka bahwa Nabi belum keluar). Selanjutnya Ali menangguhkan hijrah beliau selama tiga hari di Makkah untuk mengembalikan titipan orang-orang Quraisy yang dititipkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah berhijrah.[3]
Setelah hijrahnya Ali, maka hanya Fathimah dan saudara wanitanya Ummi Kultsum yang masih tinggal di Makkah sampai Rasulullah mengirimkan sahabat untuk menjemput keduanya yakni pada tahun ketiga setelah hijrah. Ketika itu umur Fathimah telah mencapai 18 tahun. Beliau melihat di Madinah para muhajirin dapat hidup tenang dan telah hilang rasa kesepian tinggal di negeri asing. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan anshor sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil Ali radhiyallahu ‘anhu sebagai saudara.[4]
Setelah menikahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha maka orang-orang utama di kalangan sahabat mencoba melamar az-Zahra` setelah mereka tadinya menahan diri karena keberadaan dan tugas Fathimah di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara sahabat yang melamar az-Zahra` adalah Abu Bakar dan Umar, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak dengan cara yang halus.[5]Kemudian Ali bin Abi Thalib- mencoba mendatangi Nabi untuk meminang Fathimah. Ali bercerita:
“Aku ingin mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminang putri beliau yaitu Fathimah. Aku berkata. “Demi Allah aku tidak memiliki apa­-apa.” Kemudian aku ingat akan kebaikan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maka aku beranikan diri untuk meminangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Apakah kamu memiliki sesuatu?”
Aku berkata, “Tidak ya Rasulullah.” Kemudian beliau bertanya, ‘Lantas di manakah baju besi al-Khuthaimah yang pernah aku berikan kepadamu pada hari lalu?” “Masih aku bawa ya Rasulullah.” Jawabku. Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berikanlah barang itu kepada Fathimah sebagai mahar.”[6]
Kemudian segeralah Ali pergi dan sebentar kemudian datang dengan membawa baju besi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada beliau untuk menjualnya, kemudian hasilnya sebagai perlengkapan pernikahan.[7] Akhirnya baju besi tersebut dibeli oleh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dengan harga 470 dirham. Lalu Ali menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau menyerahkan sebagian uang tersebut kepada bilal untuk dibelikan parfum dan wewangian, sedangkan sisanya diserahkan kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha untuk dibelikan perlengkapan pengantin.
Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang para sahabat dan mempersaksikan kepada mereka bahwa beliau telah menikahkan putrinya Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib dengan mahar 400 mitsqal perak menurut sunnah yang lurus dan berdasarkan faridhah yang wajib. Beliau mengakhiri khutbah nikahnya dengan memohonkan barakah kepada Allah bagi kedua mempelai serta mendoakan mereka agar menjadi keluarga yang shalih. Setelah itu beliau menyambut para tamu yakni para sahabat yang mulia yang tersedia di hadapan mereka dengan buah kurma.[8]
Pada malam pernikahan Az Zahra` bersama Farisul Islam Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ummu Salamah agar membawa pengantin putri ke rumah Ali bin Abi Thalib yang telah dipersiapkan sebagai tempat tinggal mereka berdua, dan beliau meminta agar mereka berdua menunggu beliau di sana.
Setelah shalat Isya`, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi keduanya, kemudian beliau meminta diambilkan air dan beliau berwudhu dengannya lalu menuangkan air tersebut kepada mereka berdua seraya berdoa:
“Ya Allah berkahilah keduanya, berikanlah barakah atas mereka don berkahilah keturunan mereka berdua. [9]
Maka bergembiralah kaum muslimin dengan pernikahan az-Zahra’ dan imam Ali radhiyallahu ‘anhu. Datang pula Hamzah paman Rasulullah dan juga paman Ali dengan membawa dua biri-biri kemudian disembelih lalu para sahabat memakannya di Madinah.
Belum genap satu tahun setelah pernikahan keduanya, Allah mengaruniakan penyejuk pandangan kepada Fathimah dan kekasihnya dengan lahirnya cucu pertama dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diberi nama Hasan bin Ali pada tahun ketiga setelah hijrah. Sehingga hal itu menggembirakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kegembiraan yang besar, maka didengungkanlah adzan ke telinga bayi, dan digosoklah langit-langit mulut bayi tersebut dengan kurma serta diberi nama “Hasan”, lalu digundullah kepalanya dan disedekahkanlah perak seberat rambut tersebut kepada orang-orang fakir.
Belum lagi umur Hasan berumur satu tahun menyusul kemudian lahirlah Husein pada bulan Sya’ban tahun 4 Hijriyah.[10]
Maka terbukalah hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap kedua cucunya yang berharga yakni Hasan dan Husein. Sungguh beliau melihat bahwa kedua cucunya memiliki arti khusus bagi kehidupan beliau di muka bumi ini, maka beliau melimpahkan kecintaan dan kasih sayang yang dalam kepada keduanya. Tatkala turun ayat:
“Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. al-Ahzab: 33)
Adalah Nabi ketika itu bersama Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dan beliau mengundang Fathimah, Ali, Hasan dan Husein kemudian beliau menyelimuti mereka dengan kain seraya berdoa:
“Ya Allah inilah ahli baitku, ya Allah, hilangkanlah dosa-dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka dengan sebersih-bersihnya.”
Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali kemudian beliau melanjutkan doanya:
“Ya Allah, jadikanlah shalawat-Mu dan barakah-Mu terlimpah kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkannya kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia. “[11]
Kemudian diikuti buah yang penuh barakah yakni Fathimah mela­hirkan anak wanita pada tahun 5 Hijriyah yang oleh kakeknya diberi nama Zainab. Setelah berselang dua tahun lahir seorang anak wanita lagi yang diberi nama oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Ummi Kultsum.
Karena itulah Allah telah mengaruniakan kepada az-Zahra’ nikmat yang agung karena keturunan Nabi hanya diteruskan oleh anaknya, demikian pula Allah telah menjaga mereka yang memiliki silsilah keturunan yang paling mulia yang dikenal oleh manusia.
Karena kecintaan Rasulullah kepada putrinya yakni Fathimah, apabila pulang dari safar, beliau masuk masjid lalu shalat dua rakaat kemudian mendatangi Fathimah baru kemudian mendatangi istri-istri
beliau. Telah diceritakan oleh Ummul mukminin Aisyah “Belum pernah aku melihat orang yang paling mirip dengan Rasulullah dalam berbicara melebihi Fathimah, apabila dia masuk menemui Nabi, maka Nabi berdiri untuk menyambutnya dan menciumnya serta melapangkan tempatnya. Begitu pula sebaliknya perlakuan Fathimah terhadap Nabi.”[12]
Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan kecintaannya kepada putri beliau yang mulia tatkala beliau berkhutbah di mimbar:
“Sesungguhnya Fathimah adalah bagian dagingku, maka barangsiapa yang menjadikan dia marah berarti telah menjadikan aku marah.
Dan dalam riwayat lain:
“Sesungguhnya Fathimah adalah bagian dari potongan dagingku, maka barangsiapa yang mendustainya berarti mendustaiku dan barangsiapa yang mengganggunya berarti dia mengganggu diriku. “[13]
Sekalipun demikian melimpahnya kecintaan ini akan tetapi Nabi menjelaskan kepada putrinya dan juga yang lain agar senantiasa beramal dan berbekal takwa. Suatu hari beliau berdiri dan berseru:
“Wahai sekalian orang-orang Quraisy jagalah diri kalian, sesungguhnya aku tidak dapat membantu kalian di sisi Allah sedikitpun, wahai… wahai… wahai Fathimah binti Muhammad mintalah kepadaku hartaku yang kamu sukai, aku tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah sedikitpun. “
Dalam riwayat lain:
“Wahai Fathimah binti Muhammad selamatkanlah dirimu dari neraka, karena sesungguhnya aku tidak kuasa memberikan madharat dan manfaat di sisi Allah. “[14]
Dari Tsauban ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah Fathimah sedangkan ketika itu aku bersama beliau. Fathimah mengambil kalung emas dari lehernya seraya berkata, “Ini adalah kalung yang dihadiahkan Abu Hasan kepadaku.” Maka beliau bersabda:
“Wahai Fathimah apakah engkau senang jika orang-orang berkata, inilah Fathimah binti Muhammad sedangkan di tangannya ada kalung dari neraka?” Kemudian beliau memarahi Fathimah dengan keras dan menghardiknya, kemudian beliau keluar tanpa duduk terlebih dahulu. Maka Fathimah mengambil sikap untuk menjual kalungnya, kemudian hasilnya beliau belikan seorang budak wanita setelah itu beliau merdekakan. Tatkala hal ini sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdalah beliau:
“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Fathimah dari neraka.” [15]
Maka kedudukan yang telah diraih oleh Fathimah radhiyallahu ‘anha di sisi ayahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut tidak manghalangi Rasulullah memarahinya, mencelanya bahkan mengancamnya dan bahwasanya sekali-kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat menolong Fathimah dari kehendak Allah. Bahkan beliau juga memberikan ancaman, seandainya dia mencuri, maka akan ditegakkanlah hukum atasnya yakni hukum potong tangan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang seorang wanita al­Makhzumiyah yang mencuri kemudian kaumnya memintakan ampunan agar wanita tersebut bebas melalui Usamah bin Zaid bin Haritsah kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:
“Demi Allah seandainya Fathimah binti Muhammad itu mencuri, niscaya akan aku potong tangannya,” [16]
Bahkan lebih dari itu, dengan kapasitas kecintaan Nabi yang sangat mendalam kepada Fathimah, beliau lebih mendahulukan pemberiannya kepada orang-orang fakir dan yang membutuhkan daripada Fathimah, sekalipun beliau menghadapi sulit dan susahnya kehidupan. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Fathimah radhiyallahu ‘anha, “Alangkah lelahnya engkau wahai Fathimah sehingga menyedihkan hatiku. Sungguh Allah telah memberikan tawanan kepada Rasulullah, maka mintalah kepada beliau satu tawanan saja yang akan membantumu dalam bekerja!” Fathimah menjawab, “Akan aku lakukan insya Allah.”
Kemudian Fathimah mendatangi Nabi tatkala beliau melihat kedatangannya beliau menyambutnya dan bertanya, “Ada keperlu­an apa engkau datang ke sini wahai anakku?” Fathimah menjawab, “Kedatanganku ke sini untuk mengucapkan salam buat ayah” Tiba-tiba beliau malu untuk mengutarakan permintaannya, maka beliau pulang dan kembali lagi bersama Ali lalu Ali menceritakan keadaan Fathimah kepada Nabi. Namun Rasulullah bersabda:
“Demi Allah aku tidak akan memberikan kepada kalian berdua sedangkan aku membiarkan ahlu shuffah dalam keadaan lapar, aku tidak mendapatkan apa-apa untuk aku infakkan kepada mereka, tapi aku akan menjual para tawanan tersebut dan hasilnya akan aku infakkan kepada mereka. “
Maka kembalilah mereka berdua ke rumahnya kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi keduanya. Beliau masuk rumah mereka dan mendapatkan keduanya sedang berselimut yang apabila ditutupkan kepalanya maka terbukalah kakinya dan apabila ditutupkan kakinya maka terbukalah kepalanya. Keduanya hendak bangkit untuk menyambut Nabi, namun beliau bersabda, “Tetaplah di tempat kalian berdua..! Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian minta kepadaku itu?” Mereka berdua menjawab, “Mau ya Rasulullah!” Kemudian beliau bersabda:
“Kuajarkan kepada kalian kata-kata yang diajarkan Jibril kepadaku, ‘Ucapkanlah setiap selesai sholat fardhu Subhanallah 10 kali, Alhamdulillah 10 kali, dan Allahu Akbar 10 kali. Apabila kalian hendak tidur maka bacalah Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan Allahu Akbar 34 kali. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu. “
Maka Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, aku tidak meninggalkan kata-kata ini sejak beliau mengajarkannya kepadaku.” Salah seorang sahabat bertanya, “Tidak kau tinggalkan juga tatkala malam di perang shiffin?” Beliau menjawab, “Walaupun di malam perang shiffin.”[17]
Sungguh sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha telah melalui banyak kejadian­-kejadian besar yang ruwet dan sangat keras, hal itu beliau alami sejak usia muda tatkala wafatnya ibu beliau, disusul kemudian saudara perempuannya yang bernama Ruqayyah, kemudian pada tahun 8 Hijriyah wafatlah kakaknya yakni Zainab dan pada tahun 9 Hijriyah menyusul kemudian wafatnya Ummi Kultsum.
Beliau juga menanggung hidup dalam kekurangan dan banyak mengalami kesulitan dan kesusahan. Akan tetapi seorang wanita yang dibina oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bersedih hati terlebih lagi berputus asa. Bahkan beliau adalah profil dari wanita yang sabar, konsisten dan muhajirah.
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan haji yang terakhir (Hujjatul wada’) dan telah meletakkan dasar-dasar Islam dan Allah telah menyempurnakan dienul Islam, Rasulullah menderita sakit. Manakala Fathimah mendengar berita tersebut beliau dengan segera pergi menemui ayahnya untuk menghibur dan menenangkan hatinya, sementara Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu bersama Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.Pada saat Nabi melihat kedatangan putrinya, dengan riang gembira beliau bersabda, “Selamat datang wahai putriku.” Kemudian beliau menciumnya dan mendudukkannya di kanannya atau di kirinya, kemudian Nabi membisikkan sesuatu kepadanya sehingga membuat Fathimah menangis dengan tangisan yang memilukan, namun ketika Nabi melihat kesedihannya beliau membisikkan kepadanya untuk yang kedua kali sehingga menyebabkan Fathimah tertawa. Aisyah berkata, ‘Rasulullah mengistimewakan engkau dari seluruh wanita anggota keluarganya dalam hal yang rahasia, tapi kamu malah menangis?” Tatkala Rasulullah sedang berdiri, ‘Aisyah bertanya, “Apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan kepadamu?” Fathimah menjawab, “Aku tidak akan menyebarkan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
`Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat aku berkata kepada Fathimah, aku bertekad agar engkau menceritakan kepadaku tentang apa yang telah dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadamu.” Fathimah berkata, “Adapun sekarang, baiklah aku ceritakan. Pada saat beliau membisiki aku yang pertama, beliau mengatakan bahwa biasanya Jibril memeriksa bacaan Qur’annya sekali dalam setahun, akan tetapi sekarang Jibril memeriksa bacaannya dua kali dan beliau merasa ajalnya sudah dekat. Maka takutlah kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya aku adalah sebaik-baik penghulu bagimu.” Maka aku menangis dengan tangisan yang engkau lihat. Tatkala beliau melihatku sedih, beliau membisiki aku untuk yang kedua kalinya, beliau bersabda:
“Wahai Fathimah relakah engkau menjadi ratu bagi para wanita di surga? Dan engkau adalah anggota keluargaku yang paling cepat menyusulku. “
Mendengar kabar tersebut maka aku tertawa.” [18]
Semakin bertambahlah rasa sakit yang di derita oleh Rasulullah dan bertambah sedihlah Fathimah. Beliau berdiri disamping ayahnya untuk menjaga dan membantu beliau serta berusaha untuk bersabar. Akan tetapi manakala Fathimah melihat ayahnya nampak berat dan mulai kesakitan, Fathimah menangis tersedu-sedu dan berkata dengan suara lirih menandakan kesedihan, “Sakit wahai ayah..?” Maka beliau bersabda:
“Tidak ada sakit lagi bagi ayahmu setelah hari ini.”
Tatkala beliau wafat Fathimah berkata, “Wahai ayah engkau telah memenuhi panggilan Rabb-mu… wahai ayah surga firdaus adalah tempat tinggalmu … wahai ayah kepada Jibril kami beritahukan wafatmu.”
Ketika Nabi Alaihis shalatu wassalam dikubur, Fathimah berkata, “Wahai Anas bagaimana kalian tega menimbun ayah dengan tanah?”[19] Maka menangislah az-Zahra’ ibu dari ayahnya dan menangislah kaum muslimin seluruhnya atas kematian Nabi dan Rasul Muhammad dan mereka ingat firman Allah:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. ” (QS. Ali Imran: 144).
Dan juga firman Allah:
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu wafat, apakah mereka akan kekal?” (QS. al-Anbiya’: 34)
Tidak beberapa lama kemudian setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kira-­kira enam bulan, az-Zahra’ sakit namun dirinya bergembira dengan kabar gembira yang telah dikabarkan oleh ayahanda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa dirinya adalah anggota keluarga pertama yang akan bertemu dengan Nabi, dan berpindahlah Fathimah keharibaan Allah pada malam Selasa pada tanggal 3 Ramadhan 11 Hijriyah tatkala beliau berumur 27 tahun.
Semoga Allah merahmati az-Zahra’ Raihanah (bunga yang harum) putri dari penghulu anak Adam, istri dari penghulu para prajurit penunggang kuda dan ibu dari Hasan dan Husein bapaknya para syuhada’ dan ibu dari Zainab pahlawan Karbala.
Sungguh az-Zahra’ telah memberikan teladan yang istimewa bagi kita, profil yang paling tinggi dalam hidupnya dan sungguh beliau adalah contoh yang paling tinggi sebagai istri shalihah yang bersabar menghadapi kesulitan dan kesempitan hidup. Beliau juga merupakan tokoh paling ideal dalam bergaul dengan tetangga dan kerabat-­kerabatnya. Beliau adalah qudwah dalam menasihati umat dan pemberi arahan bahkan bagi anggota keluarganya.
Nah kami mendapati perjalanan hidup az-Zahra’ yang harum dengan sya’ir yang bagus yang dibuat oleh penyair Pakistan Muhammad lqbal dengan judul “Fathimah az-Zahra”‘.
Foot Note:
[14] HR. al-Bukhari dalam Tafsir Suratusy Syu’ara’ pada bab: Dan Berilah Peringatan kepada Kerabatmu yang Dekat (VI/16) dan Muslim dalam AI-Iman pada bab: Firman Allah Ta’ala, ”Fa andzir `asyiratakal aqrabiin”, no. 206.
[15] HR. an-Nasa’i dalam az-Zinah (VIII/158) dan al-Hakim (111/152-153).
[16] HR. al-Bukhari dalam kitab al-Hudud pada bab: Menerapkan Sangsi bagi yang Berkedudukan Mulia dan yang Lemah (VIII/16) dan Muslim dalam al-Hudud pada bab: Potong Tangan bagi yang Berkedudukan Mulia dan yang Lain, no. 1688.
[17] Al-Ishabah (VIII/159) dan inti hadits dalam Shahih Muslim dan lafadznya bermacam-macam dalam kitab Dzikir wad Du’a’ pada bab: Tasbih di Awal Siang dan Tatkala Hendak Tidur. no. 2727-2728.
[18] HR. al-Bukhari dalam al-Maghazi pada bab: Sakit dan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (V/137) dan Muslim dalam Fadha’ilush Shahabah pada bab: Keutamaan Fathimah binti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, no. 2450.
[19]  HR. al-Bukhari dalam al-Maghazi pada bab: Sakitnya Nabi dan Wafat Beliau (V/137).
Sumber: “Mereka Adalah Para Shahabiyah”, Mahmud Mahdi al Istanbuli & Musthafa Abu an Nashir asy Syalabi, Penerbit at Tibyan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lalu Dia Lala Jinis Kisah Romeo Juliet Alas-Sateluk

Resensi By: Susi Gustiana Betapa bahagia  mencium aroma buku , pikiranku menari 'seolah menemukan harta karun'.    Buku Lalu Dia dan Lala Jinis  adalah cerita rakyat Sumbawa yang di tulis oleh bapak Dinullah Rayes. Nama Rayes merupakan marga dari keturunan kedatuan Alas. Cerita ini bersemi dihati penduduk terutama dari bagian barat tepatnya di kecamatan Alas. Kisah kasih diantara dua pasang anak muda romeo dan Juliet Sumbawa ini diriwayatkan oleh orang tua dengan menggunakan bahasa yang puitik melalui lawas. Lawas samawa merupakan puisi lisan tradisional pada umumnya tiap bait terdiri dari 3 baris. Dipengantar awal buku penulis menyebutkan bahwa kisah ini ditembangkan oleh orangtua yang   mahir balawas (menembangkan syair) dengan suara merdu menawan dan mempesona bagi siapapun yang mendengar. Tradisi di Sumbawa bagi orang yang bisa mendongeng atau bercerita itu disebut Badia. Tau Badia (orang/seniman yang menyampaikan cerita) sering diundang pada acara h

Kisah Cinta Datu Musing Dan Mipa Deapati

Kisah cinta nan mengharukan antara Datu Museng dan Maipa Deapati ini berangkat dari cerita rakyat yang sangat populer dikalangan masyarakat Makassar, yang dituturkan oleh orang-orang tua kepada anak cucu mereka, agar mereka dapat memetik hikmah dari pendidikan, perjuangan dan kesetiaan. Begitu hebatnya cerita antara Datu Museng putra bangsawan kerajaan Gowa dan Maipa Deapati Putri bangsawan Kerajaan Sumbawa ini tertanam di dalam benak orang-orang makasar, sehingga kemudian nama dari kedua tokoh legendaris ini diabadikan sebagai nama jalan di Kota Makassar. Nama jalan itu seakan sengaja dibuat berdampingan saling berdekatan seakan-akan Pemerintah Kota Makassar turut merestui hubungan percintaan abadi mereka berdua. Jalan Maipa berada di sisi kanan Hotel Imperial Aryaduta Makassar.Pada ujung barat jalan Datu Museng, terdapat situs makam dengan dua nisan kayu yang bersanding kukuh, yang konon katanya itulah makam kedua pasangan cinta ini dimakamkam, Datu Museng dan kekasihnya Ma

Alamat Email Media Cetak di Indonesia

THE JAKARTA POST E-mail Address(es): opinion@thejakartapost.com THE JAKARTA POST E-mail Address(es): jktpost2@cbn.net.id THE JAKARTA POST E-mail Address(es): editorial@thejakartapost.com THE JAKARTA POST E-mail Address(es): sundaypos@thejakartapost.com THE JAKARTA POST E-mail Address(es): features@thejakartapost.com JAWA POS E-mail Address(es): editor@jawapos.com KOMPAS E-mail Address(es): kompas@kompas.com KOMPAS E-mail Address(es): opini@kompas.com KOMPAS E-mail Address(es): opini@kompas.co.id KOMPAS E-mail Address(es): kcm@kompas.com MEDIA INDONESIA E-mail Address(es): redaksi@mediaindonesia.co.id MEDIA INDONESIA E-mail Address(es): webmaster@mediaindonesia.co.id MEDIA INDONESIA E-mail Address(es): redaksimedia@yahoo.com SEPUTAR INDONESIA E-mail Address(es): widabdg@seputar-indonesia.com SEPUTAR INDONESIA E-mail Address(es): redaksi@seputar-indonesia.com REPUBLIKA E-mail Address(es): rekor@republika.co.id REPUBLIKA E