Putri keempat
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ibunya Ummul Mukminin
Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha.Allah menghendaki kelahiran Fathimah
kurang dari lima tahun sebelum Nabi diutus, dekat dengan peristiwa yang agung
yaitu di saat orang-orang Quraisy rela menyerahkan hukum kepada Muhammad
tentang perselisihan yang hebat di antara mereka untuk meletakkan Hajar Aswad
setelah diadakan pembaharuan Ka`bah. Beliau Alaihis Shalatu Wassalam dengan
kecerdikan akalnya mampu menyelesaikan problem dan mencegah pertumpahan darah
antara kabilah-kabilah di Arab.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat kabar gembira dengan kelahiran putrinya dan
nampaklah barakah dan keberuntungan dengan kelahiran putrinya. Beliau
memberikan julukan kepada Fathimah dengan “az-Zahra”. Beliau dikunyahkan pula
dengan Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). [1] Beliau radhiyallahu ‘anha adalah yang
paling mirip dengan ayahnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Fathimah tumbuh
dalam rumah tangga nabawi yang penuh kasih sayang. Nabi melindungi dan
menjaganya dan tekun mendidik beliau agar beliau mengambil bagian yang cukup
dari adab, kasih sayang dan nasihat nabawi yang lurus. Hal yang menggembirakan
ibunya, Khadijah adalah sifat Fathimah yang baik, lemah lembut dan terpuji.
Dengan sifat-sifat
itulah Fathimah tumbuh di atas kehormatan yang sempurna, jiwa yang berwibawa,
cinta akan kebaikan dan akhlak yang baik mengambil teladan dari ayahnya
Rasulullah yang menjadi contoh agung bagi Fathimah dan sebagai teladan yang
baik dalam seluruh tindak-tanduknya.
Manakala usia
Fathimah mendekati usia lima tahun, mulailah suatu perubahan besar dalam
kehidupan ayahnya dengan turunnya wahyu kepada beliau. Sehingga Fathimah turut
merasakan mula pertama ujian dakwah. Beliau menyaksikan dan berdiri di samping
kedua orang tuanya serta membantu keduanya dalam menghadapi setiap mara bahaya.
Beliau juga
menyaksikan serentetan tipu daya orang-orang kafir terhadap ayahnya yang agung,
Sehingga beliau berangan-angan seandainya saja dia mampu, maka akan ditebus
dengan nyawanya untuk menjaga beliau dari gangguan orang-orang musyrik. Hanya
saja ketika itu beliau masih kecil.
Di antara
penderitaan yang paling berat pada permulaan dakwah adalah pemboikotan yang
kejam yang dilakukan oleh kaum musyrikin terhadap kaum muslimin bersama Bani
Hasyim pada suku Abu Thalib. Sehingga pemboikotan dan kelaparan tersebut
berpengaruh kepada kesehatan beliau. Sehingga sisa umurnya yang panjang beliau
alami dengan lemahnya fisik.
Belum lagi Az Zahra’
kecil keluar dari ujian pemboikotan, tiba-tiba wafatlah ibunya yaitu Khadijah
radhiyallahu ‘anha yang menyebabkan jiwa beliau penuh dengan kesedihan,
penderitaan dan kesusahan.
Setelah wafatnya
ibunda beliau, beliau merasakan ada tanggung jawab dan pengorbanan yang besar
dihadapannya untuk membantu ayahnya, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang sedang meniti jalan yang keras di jalan dakwah kepada Allah.
Terlebih-lebih setelah wafatnya pamanda beliau Abu Thalib dan istri beliau yang
setia yakni Khadijah.
Sehingga berlipat
gandalah kesungguhan dan beban Fathimah dalam memikul beban dengan sabar dan
teguh mengharap pahala Allah. Beliau mendampingi sang ayah dan maju sebagai
pengganti tugas-tugas ibunya yang mana ibunya dalah seorang ibu yang paling
utama dan istri yang paling mulia. Dengan sebab itulah Fathimah diberi gelar
dengan “Ibu dari ayahnya”.[2]
Ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan bagi para shahabat untuk hijrah ke
Madinah. beliau menjaga rumah yang agung yang mana tinggal pula di dalamnya Ali
bin Abi Thalib yang mempertaruhkan jiwanya untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Beliau tidur di tempat tidurnya Rasulullah untuk mengelabuhi
orang-orang Quraisy (agar mereka menyangka bahwa Nabi belum keluar).
Selanjutnya Ali menangguhkan hijrah beliau selama tiga hari di Makkah untuk
mengembalikan titipan orang-orang Quraisy yang dititipkan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah berhijrah.[3]
Setelah hijrahnya
Ali, maka hanya Fathimah dan saudara wanitanya Ummi Kultsum yang masih tinggal
di Makkah sampai Rasulullah mengirimkan sahabat untuk menjemput keduanya yakni
pada tahun ketiga setelah hijrah. Ketika itu umur Fathimah telah mencapai 18
tahun. Beliau melihat di Madinah para muhajirin dapat hidup tenang dan telah
hilang rasa kesepian tinggal di negeri asing. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan anshor sedangkan beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mengambil Ali radhiyallahu ‘anhu sebagai saudara.[4]
Setelah menikahnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sayyidah Aisyah radhiyallahu
‘anha maka orang-orang utama di kalangan sahabat mencoba melamar az-Zahra`
setelah mereka tadinya menahan diri karena keberadaan dan tugas Fathimah di
sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara sahabat
yang melamar az-Zahra` adalah Abu Bakar dan Umar, akan tetapi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menolak dengan cara yang halus.[5]Kemudian Ali bin Abi
Thalib- mencoba mendatangi Nabi untuk meminang Fathimah. Ali bercerita:
“Aku ingin mendatangi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminang putri beliau yaitu Fathimah. Aku
berkata. “Demi Allah aku tidak memiliki apa-apa.” Kemudian aku ingat akan
kebaikan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maka aku beranikan diri untuk
meminangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Apakah
kamu memiliki sesuatu?”
Aku berkata, “Tidak ya
Rasulullah.” Kemudian beliau bertanya, ‘Lantas di manakah baju besi al-Khuthaimah
yang pernah aku berikan kepadamu pada hari lalu?” “Masih aku
bawa ya Rasulullah.” Jawabku. Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Berikanlah barang itu kepada Fathimah sebagai mahar.”[6]
Kemudian segeralah
Ali pergi dan sebentar kemudian datang dengan membawa baju besi. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada beliau untuk menjualnya,
kemudian hasilnya sebagai perlengkapan pernikahan.[7] Akhirnya baju besi tersebut
dibeli oleh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dengan harga 470 dirham. Lalu
Ali menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka beliau menyerahkan sebagian uang tersebut kepada bilal untuk dibelikan
parfum dan wewangian, sedangkan sisanya diserahkan kepada Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha untuk dibelikan perlengkapan pengantin.
Selanjutnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang para sahabat dan mempersaksikan kepada
mereka bahwa beliau telah menikahkan putrinya Fathimah dengan Ali bin Abi
Thalib dengan mahar 400 mitsqal perak menurut sunnah yang lurus dan berdasarkan
faridhah yang wajib. Beliau mengakhiri khutbah nikahnya dengan memohonkan
barakah kepada Allah bagi kedua mempelai serta mendoakan mereka agar menjadi
keluarga yang shalih. Setelah itu beliau menyambut para tamu yakni para sahabat
yang mulia yang tersedia di hadapan mereka dengan buah kurma.[8]
Pada malam pernikahan Az Zahra`
bersama Farisul
Islam Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan Ummu Salamah agar membawa pengantin putri ke rumah Ali bin
Abi Thalib yang telah dipersiapkan sebagai tempat tinggal mereka berdua, dan
beliau meminta agar mereka berdua menunggu beliau di sana.
Setelah shalat
Isya`, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi keduanya, kemudian
beliau meminta diambilkan air dan beliau berwudhu dengannya lalu menuangkan air
tersebut kepada mereka berdua seraya berdoa:
“Ya Allah berkahilah keduanya, berikanlah barakah
atas mereka don berkahilah keturunan mereka berdua. [9]
Maka bergembiralah
kaum muslimin dengan pernikahan az-Zahra’ dan imam Ali radhiyallahu ‘anhu.
Datang pula Hamzah paman Rasulullah dan juga paman Ali dengan membawa dua
biri-biri kemudian disembelih lalu para sahabat memakannya di Madinah.
Belum genap satu
tahun setelah pernikahan keduanya, Allah mengaruniakan penyejuk pandangan
kepada Fathimah dan kekasihnya dengan lahirnya cucu pertama dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diberi nama Hasan bin Ali pada tahun ketiga
setelah hijrah. Sehingga hal itu menggembirakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan kegembiraan yang besar, maka didengungkanlah adzan ke telinga
bayi, dan digosoklah langit-langit mulut bayi tersebut dengan kurma serta
diberi nama “Hasan”, lalu digundullah kepalanya dan disedekahkanlah perak
seberat rambut tersebut kepada orang-orang fakir.
Belum lagi umur Hasan
berumur satu tahun menyusul kemudian lahirlah Husein pada bulan Sya’ban tahun 4
Hijriyah.[10]
Maka terbukalah hati
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap kedua cucunya yang berharga yakni
Hasan dan Husein. Sungguh beliau melihat bahwa kedua cucunya memiliki arti
khusus bagi kehidupan beliau di muka bumi ini, maka beliau melimpahkan
kecintaan dan kasih sayang yang dalam kepada keduanya. Tatkala turun ayat:
“Sesungguhnya
Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS.
al-Ahzab: 33)
Adalah Nabi ketika
itu bersama Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dan beliau mengundang Fathimah,
Ali, Hasan dan Husein kemudian beliau menyelimuti mereka dengan kain seraya
berdoa:
“Ya Allah inilah ahli baitku, ya Allah,
hilangkanlah dosa-dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka dengan
sebersih-bersihnya.”
Demikianlah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali kemudian
beliau melanjutkan doanya:
“Ya
Allah, jadikanlah shalawat-Mu dan barakah-Mu terlimpah kepada keluarga Muhammad
sebagaimana Engkau telah melimpahkannya kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya
Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia. “[11]
Kemudian diikuti
buah yang penuh barakah yakni Fathimah melahirkan anak wanita pada tahun 5
Hijriyah yang oleh kakeknya diberi nama Zainab. Setelah berselang dua tahun
lahir seorang anak wanita lagi yang diberi nama oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam Ummi Kultsum.
Karena itulah Allah
telah mengaruniakan kepada az-Zahra’ nikmat yang agung karena keturunan Nabi
hanya diteruskan oleh anaknya, demikian pula Allah telah menjaga mereka yang
memiliki silsilah keturunan yang paling mulia yang dikenal oleh manusia.
Karena kecintaan
Rasulullah kepada putrinya yakni Fathimah, apabila pulang dari safar, beliau
masuk masjid lalu shalat dua rakaat kemudian mendatangi Fathimah baru kemudian
mendatangi istri-istri
beliau. Telah
diceritakan oleh Ummul mukminin Aisyah “Belum pernah aku melihat orang yang
paling mirip dengan Rasulullah dalam berbicara melebihi Fathimah, apabila dia
masuk menemui Nabi, maka Nabi berdiri untuk menyambutnya dan menciumnya serta
melapangkan tempatnya. Begitu pula sebaliknya perlakuan Fathimah terhadap
Nabi.”[12]
Sungguh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan kecintaannya kepada putri
beliau yang mulia tatkala beliau berkhutbah di mimbar:
“Sesungguhnya
Fathimah adalah bagian dagingku, maka barangsiapa yang menjadikan dia marah
berarti telah menjadikan aku marah.
Dan dalam riwayat
lain:
“Sesungguhnya
Fathimah adalah bagian dari potongan dagingku, maka barangsiapa yang
mendustainya berarti mendustaiku dan barangsiapa yang mengganggunya berarti dia
mengganggu diriku. “[13]
Sekalipun demikian melimpahnya kecintaan ini
akan tetapi Nabi menjelaskan kepada putrinya dan juga yang lain agar senantiasa
beramal dan berbekal takwa. Suatu hari beliau berdiri dan berseru:
“Wahai
sekalian orang-orang Quraisy jagalah diri kalian, sesungguhnya aku tidak dapat
membantu kalian di sisi Allah sedikitpun, wahai… wahai… wahai Fathimah binti Muhammad
mintalah kepadaku hartaku yang kamu sukai, aku tidak dapat menolongmu dari
kehendak Allah sedikitpun. “
Dalam riwayat lain:
“Wahai
Fathimah binti Muhammad selamatkanlah dirimu dari neraka, karena sesungguhnya
aku tidak kuasa memberikan madharat dan manfaat di sisi Allah. “[14]
Dari Tsauban ia
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah Fathimah
sedangkan ketika itu aku bersama beliau. Fathimah mengambil kalung emas dari
lehernya seraya berkata, “Ini adalah kalung yang dihadiahkan Abu Hasan
kepadaku.” Maka beliau bersabda:
“Wahai
Fathimah apakah engkau senang jika orang-orang berkata, inilah Fathimah binti Muhammad
sedangkan di tangannya ada kalung dari neraka?” Kemudian beliau memarahi Fathimah dengan
keras dan menghardiknya, kemudian beliau keluar tanpa duduk terlebih dahulu.
Maka Fathimah mengambil sikap untuk menjual kalungnya, kemudian hasilnya beliau
belikan seorang budak wanita setelah itu beliau merdekakan. Tatkala hal ini
sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdalah beliau:
“Segala
puji bagi Allah yang telah
menyelamatkan Fathimah dari neraka.” [15]
Maka kedudukan yang
telah diraih oleh Fathimah radhiyallahu ‘anha di sisi ayahnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut tidak manghalangi Rasulullah
memarahinya, mencelanya bahkan mengancamnya dan bahwasanya sekali-kali
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat menolong Fathimah dari
kehendak Allah. Bahkan beliau juga memberikan ancaman, seandainya dia mencuri,
maka akan ditegakkanlah hukum atasnya yakni hukum potong tangan. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits tentang seorang wanita alMakhzumiyah yang mencuri kemudian
kaumnya memintakan ampunan agar wanita tersebut bebas melalui Usamah bin Zaid
bin Haritsah kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau
bersabda:
“Demi
Allah seandainya Fathimah binti Muhammad itu mencuri, niscaya akan aku potong tangannya,” [16]
Bahkan lebih dari
itu, dengan kapasitas kecintaan Nabi yang sangat mendalam kepada Fathimah,
beliau lebih mendahulukan pemberiannya kepada orang-orang fakir dan yang
membutuhkan daripada Fathimah, sekalipun beliau menghadapi sulit dan susahnya
kehidupan. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Fathimah radhiyallahu ‘anha,
“Alangkah lelahnya engkau wahai Fathimah sehingga menyedihkan hatiku. Sungguh
Allah telah memberikan tawanan kepada Rasulullah, maka mintalah kepada beliau
satu tawanan saja yang akan membantumu dalam bekerja!” Fathimah menjawab, “Akan
aku lakukan insya Allah.”
Kemudian Fathimah
mendatangi Nabi tatkala beliau melihat kedatangannya beliau menyambutnya dan
bertanya, “Ada keperluan apa engkau datang ke sini wahai anakku?” Fathimah
menjawab, “Kedatanganku ke sini untuk mengucapkan salam buat ayah” Tiba-tiba
beliau malu untuk mengutarakan permintaannya, maka beliau pulang dan kembali
lagi bersama Ali lalu Ali menceritakan keadaan Fathimah kepada Nabi. Namun
Rasulullah bersabda:
“Demi
Allah aku tidak akan memberikan kepada kalian berdua sedangkan aku membiarkan
ahlu shuffah dalam keadaan lapar, aku tidak mendapatkan apa-apa untuk aku
infakkan kepada mereka, tapi aku akan menjual para tawanan tersebut dan
hasilnya akan aku infakkan kepada mereka. “
Maka kembalilah mereka
berdua ke rumahnya kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi
keduanya. Beliau masuk rumah mereka dan mendapatkan keduanya sedang berselimut
yang apabila ditutupkan kepalanya maka terbukalah kakinya dan apabila
ditutupkan kakinya maka terbukalah kepalanya. Keduanya hendak bangkit untuk
menyambut Nabi, namun beliau bersabda, “Tetaplah di tempat kalian berdua..! Maukah
aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu yang lebih baik dari apa
yang kalian minta kepadaku itu?” Mereka berdua menjawab, “Mau
ya Rasulullah!” Kemudian beliau bersabda:
“Kuajarkan
kepada kalian kata-kata yang diajarkan Jibril kepadaku, ‘Ucapkanlah setiap
selesai sholat fardhu Subhanallah 10 kali, Alhamdulillah 10 kali, dan Allahu
Akbar 10 kali. Apabila kalian hendak tidur maka bacalah Subhanallah 33 kali,
Alhamdulillah 33 kali dan Allahu Akbar 34 kali. Hal itu adalah lebih baik bagi
kalian berdua daripada seorang pembantu. “
Maka Ali
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, aku tidak meninggalkan kata-kata ini
sejak beliau mengajarkannya kepadaku.” Salah seorang sahabat bertanya, “Tidak
kau tinggalkan juga tatkala malam di perang shiffin?” Beliau menjawab,
“Walaupun di malam perang shiffin.”[17]
Sungguh sayyidah
Fathimah radhiyallahu ‘anha telah melalui banyak kejadian-kejadian besar yang
ruwet dan sangat keras, hal itu beliau alami sejak usia muda tatkala wafatnya
ibu beliau, disusul kemudian saudara perempuannya yang bernama Ruqayyah,
kemudian pada tahun 8 Hijriyah wafatlah kakaknya yakni Zainab dan pada tahun 9
Hijriyah menyusul kemudian wafatnya Ummi Kultsum.
Beliau juga
menanggung hidup dalam kekurangan dan banyak mengalami kesulitan dan kesusahan.
Akan tetapi seorang wanita yang dibina oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak akan bersedih hati terlebih lagi berputus asa. Bahkan beliau
adalah profil dari wanita yang sabar, konsisten dan muhajirah.
Tatkala Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukan haji yang terakhir (Hujjatul wada’) dan telah
meletakkan dasar-dasar Islam dan Allah telah menyempurnakan dienul Islam,
Rasulullah menderita sakit. Manakala Fathimah mendengar berita tersebut beliau
dengan segera pergi menemui ayahnya untuk menghibur dan menenangkan hatinya,
sementara Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu bersama Ummul
Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.Pada saat Nabi melihat kedatangan putrinya,
dengan riang gembira beliau bersabda, “Selamat datang wahai putriku.” Kemudian
beliau menciumnya dan mendudukkannya di kanannya atau di kirinya, kemudian Nabi
membisikkan sesuatu kepadanya sehingga membuat Fathimah menangis dengan
tangisan yang memilukan, namun ketika Nabi melihat kesedihannya beliau
membisikkan kepadanya untuk yang kedua kali sehingga menyebabkan Fathimah
tertawa. Aisyah berkata, ‘Rasulullah mengistimewakan engkau dari seluruh wanita
anggota keluarganya dalam hal yang rahasia, tapi kamu malah menangis?” Tatkala
Rasulullah sedang berdiri, ‘Aisyah bertanya, “Apa yang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam katakan kepadamu?” Fathimah menjawab, “Aku tidak akan
menyebarkan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
`Aisyah berkata,
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat aku berkata kepada
Fathimah, aku bertekad agar engkau menceritakan kepadaku tentang apa yang telah
dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadamu.” Fathimah berkata,
“Adapun sekarang, baiklah aku ceritakan. Pada saat beliau membisiki aku yang
pertama, beliau mengatakan bahwa biasanya Jibril memeriksa bacaan Qur’annya
sekali dalam setahun, akan tetapi sekarang Jibril memeriksa bacaannya dua kali
dan beliau merasa ajalnya sudah dekat. Maka takutlah kepada Allah dan
bersabarlah, sesungguhnya aku adalah sebaik-baik penghulu bagimu.” Maka aku
menangis dengan tangisan yang engkau lihat. Tatkala beliau melihatku sedih,
beliau membisiki aku untuk yang kedua kalinya, beliau bersabda:
“Wahai
Fathimah relakah engkau menjadi ratu bagi para wanita di surga? Dan engkau
adalah anggota keluargaku yang paling
cepat menyusulku. “
Mendengar kabar tersebut maka aku
tertawa.” [18]
Semakin bertambahlah
rasa sakit yang di derita oleh Rasulullah dan bertambah sedihlah Fathimah.
Beliau berdiri disamping ayahnya untuk menjaga dan membantu beliau serta
berusaha untuk bersabar. Akan tetapi manakala Fathimah melihat ayahnya nampak
berat dan mulai kesakitan, Fathimah menangis tersedu-sedu dan berkata dengan
suara lirih menandakan kesedihan, “Sakit wahai ayah..?” Maka beliau bersabda:
“Tidak
ada sakit lagi bagi ayahmu setelah
hari ini.”
Tatkala beliau wafat
Fathimah berkata, “Wahai ayah engkau telah memenuhi panggilan Rabb-mu… wahai
ayah surga firdaus adalah tempat tinggalmu … wahai ayah kepada Jibril kami
beritahukan wafatmu.”
Ketika Nabi Alaihis
shalatu wassalam dikubur, Fathimah berkata, “Wahai Anas
bagaimana kalian tega menimbun ayah dengan tanah?”[19] Maka menangislah
az-Zahra’ ibu dari ayahnya dan menangislah kaum muslimin seluruhnya atas
kematian Nabi dan Rasul Muhammad dan mereka ingat firman Allah:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh
telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. ” (QS. Ali
Imran: 144).
Dan juga firman
Allah:
“Kami
tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu
(Muhammad), maka jikalau kamu wafat, apakah mereka akan kekal?” (QS. al-Anbiya’: 34)
Tidak beberapa lama
kemudian setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kira-kira
enam bulan, az-Zahra’ sakit namun dirinya bergembira dengan kabar gembira yang
telah dikabarkan oleh ayahanda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa
dirinya adalah anggota keluarga pertama yang akan bertemu dengan Nabi, dan
berpindahlah Fathimah keharibaan Allah pada malam Selasa pada tanggal 3
Ramadhan 11 Hijriyah tatkala beliau berumur 27 tahun.
Semoga Allah merahmati az-Zahra’ Raihanah (bunga
yang harum) putri dari penghulu anak Adam, istri dari penghulu para prajurit
penunggang kuda dan ibu dari Hasan dan Husein bapaknya para syuhada’ dan ibu
dari Zainab pahlawan Karbala.
Sungguh az-Zahra’
telah memberikan teladan yang istimewa bagi kita, profil yang paling tinggi
dalam hidupnya dan sungguh beliau adalah contoh yang paling tinggi sebagai
istri shalihah yang bersabar menghadapi kesulitan dan kesempitan hidup. Beliau
juga merupakan tokoh paling ideal dalam bergaul dengan tetangga dan kerabat-kerabatnya.
Beliau adalah qudwah dalam menasihati umat dan pemberi arahan bahkan bagi
anggota keluarganya.
Nah kami mendapati
perjalanan hidup az-Zahra’ yang harum dengan sya’ir yang bagus yang dibuat oleh
penyair Pakistan Muhammad lqbal dengan judul “Fathimah az-Zahra”‘.
Foot
Note:
[14] HR. al-Bukhari dalam Tafsir
Suratusy Syu’ara’ pada bab: Dan Berilah Peringatan kepada
Kerabatmu yang Dekat (VI/16) dan Muslim dalam AI-Iman pada bab: Firman
Allah Ta’ala,
”Fa andzir `asyiratakal aqrabiin”, no. 206.
[15] HR. an-Nasa’i dalam az-Zinah (VIII/158)
dan al-Hakim (111/152-153).
[16] HR. al-Bukhari dalam kitab al-Hudud pada
bab: Menerapkan Sangsi bagi yang Berkedudukan Mulia dan yang Lemah (VIII/16)
dan Muslim dalam al-Hudud pada bab: Potong
Tangan bagi yang Berkedudukan Mulia dan yang Lain, no. 1688.
[17] Al-Ishabah (VIII/159) dan
inti hadits dalam Shahih Muslim dan lafadznya
bermacam-macam dalam kitab Dzikir wad Du’a’ pada bab:
Tasbih di Awal Siang dan Tatkala Hendak Tidur. no. 2727-2728.
[18] HR. al-Bukhari dalam al-Maghazi pada
bab: Sakit dan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (V/137) dan
Muslim dalam Fadha’ilush Shahabah pada bab: Keutamaan Fathimah
binti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, no. 2450.
[19] HR. al-Bukhari dalam al-Maghazi pada
bab: Sakitnya Nabi dan Wafat Beliau (V/137).
Sumber: “Mereka
Adalah Para Shahabiyah”, Mahmud Mahdi al Istanbuli & Musthafa Abu an Nashir
asy Syalabi, Penerbit at Tibyan
Artikel: www.kisahislam.net
Komentar
Posting Komentar