Dalam beberapa kesempatan dan beberapa riwayat, Nabi Khidir pernah
memberikan nasihat dan wasiat kepada orang-orang yang pernah ditemuinya. Dari
beberapa nasihat dan wasiat tersebut, terdapat satu wasiat yang masih relevan
dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.
Wasiat tersebut
tertulis dalam kitab az-Zuhd karya Imam Ahmad
yang diriwayatkan dari Hammad bin Usamah (perawi yang terpercaya dan teliti).
Hammad memperoleh kisah dari Mas’ar bin Kaddam al-Hilaly (perawi terpercaya dan
teliti. Hadits-haditsnya terdapat dalam Kutubus Sittah), dari Ma’n
bin Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud (perawi terpercaya dan pernah menjadi
Hakim di Kufah), dari ‘Aun bin Abdullah bin Atabah bin Mas’ud (perawi
terpercaya dan ahli ibadah. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Imam Muslim).
‘Aun mengisahkan
bahwa seorang pemuda yang disebutkan oleh Mas’ar sebagai Nabi Khidir pernah
berwasiat tiga hal kepada seorang lelaki yang sedang bersedih hati dalam sebuah
kebun di Mesir. Tiga hal tersebut adalah pertama, dunia adalah
keleluasaan sesaat yang diberikan kepada para ahli taat dan para ahli maksiat
dan ‘sialnya’ dua-duanya sama-sama mencari makan dari-nya.
Kedua, Allah akan menyelamatkan siapapun yang memiliki sikap belas
kasihan terhadap sesama umat Islam, dan Ketiga, jadilah orang
yang tetap berdoa kepada Allah, meskipun belum dikabulkan. Tetap memohon
kepada-Nya, meskipun belum diberi. Tetap bertawakkal kepada-Nya, meskipun belum
dicukupi. Tetap yakin kepada-Nya, meskipun belum ditolong.
Tiga wasiat Nabi Khidir di atas, jika diamati lebih jauh, ternyata
masih relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia di penghujung tahun 2019 ini.
Dimulai dari wasiat pertama yang disebutkan bahwa para ahli taat
(ibadah) dan para ahli maksiat (pendosa) sebenarnya sama-sama makan dari dunia,
meskipun dunia adalah kebahagiaan sesaat. Relevansi wasiat ini dengan kondisi
Indonesia terletak pada fenomena korupsi di Indonesia yang seakan-akan tidak
memiliki ujung.
Beberapa kasus korupsi yang paling anyar adalah
kasus suap proyek di Kementerian PUPR dan fenomena ‘desa gaib’. Jika dikaitkan
dengan wasiat pertama Nabi Khidir, sejatinya kasus korupsi adalah hal yang
‘wajar-wajar’ saja. Sebab dunia (uang dan sejenisnya) adalah ‘makanan’ yang
disediakan untuk dua golongan (hitam dan putih), bukan disediakan hanya untuk
satu golongan saja. Golongan putih akan menggunakan dunia dengan bijaksana,
sedangkan golongan hitam akan ‘memakai’ dunia dengan membabi buta.
Wasiat kedua menyebutkan bahwa Allah akan menyelamatkan orang yang
memiliki belas kasihan terhadap sesama umat Islam. Kesesuaian wasiat ini dengan
kondisi Indonesia saat ini terletak pada tragedi terorisme yang terjadi
baru-baru ini. Melakukan bom bunuh diri sama sekali bukan tindakan yang dapat
membuat Sang Pencipta cinta, tetapi justru membuat-Nya murka. Sebab
manusia-manusia yang akan diselamatkan oleh-Nya adalah manusia yang penyayang
terhadap sesamanya, sedangkan bom bunuh diri tidak dapat diketegorikan kasih
sayang. Melakukan bom bunuh diri dengan dalih ‘mati syahid’ adalah sebuah
‘lelucon’ yang tidak bisa dimaafkan.
Wasiat terakhir Nabi Khidir adalah menjadi manusia yang tetap
berdoa walau doa yang dipanjatkan belum kunjung terkabul, tetap memohon kepada
Allah walaupun belum diberi, tetap bertawakkal kepada-Nya walau belum
tercukupi, dan tetap yakin kepada-Nya walau belum mendapatkan pertolongan.
Relevansi wasiat ini dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini
terletak pada ‘curahan hati’ para manusia yang sering mengeluh tentang kondisi
ekonominya. Dalam beberapa majelis ilmu, sering dijumpai pertanyaan tentang
“mengapa orang yang ahli ibadah mengalami kesusahan ekonomi, sedangkan orang
yang ibadahnya santai-santai saja justru uang mengalir tiada henti?”. Wasiat
tersebut mengisyaratkan bahwa hamba-hama yang dicintai oleh Sang Pencipta
biasanya lebih sering diuji sebagai wujud rasa cinta.
Wallahu A’lam
Komentar
Posting Komentar