Membangun Indonesia dari desa menjadi titik tolak bangkitnya semangat merebut dan menguasai kursi panas orang nomor satu di tingkat desa. Pasalnya, dana milyaran rupiah dikucur pemerintah untuk membangun desa, siapapun itu pasti akan tergiur menjadi kepala desa (kades).
Perdebatan alot sempat terjadi antara aku dan Muhamad Fauzi (kawanku). Salah satu yang menjadi topik kami adalah tidak adanya hukum yang menjerat para pelaku money politic di pemilihan kepala desa serentak tahun 2020 ini. Pemilihan kepala desa (pilkades) serentak di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk salah satunya di Kabupaten Sumbawa. Ada 115 desa di Kabupaten Sumbawa akan melakukan pergantian roda kepemimpinan desa pada bulan maret 2020.
Perdebatan alot sempat terjadi antara aku dan Muhamad Fauzi (kawanku). Salah satu yang menjadi topik kami adalah tidak adanya hukum yang menjerat para pelaku money politic di pemilihan kepala desa serentak tahun 2020 ini. Pemilihan kepala desa (pilkades) serentak di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk salah satunya di Kabupaten Sumbawa. Ada 115 desa di Kabupaten Sumbawa akan melakukan pergantian roda kepemimpinan desa pada bulan maret 2020.
Usaha agar terpilih menjadi kades
tentu dilakukan dengan segala macam cara. Termasuk menghalalkan money politik.
Dugaan politik uang di pilkades terjadi di salah satu desa di kecamatan Alas
Barat. Menurut Muhammad Fauzi, bahwa tidak ada Gakumdu (Pusat penegakan hukum tindak pidana pemilu) dalam
pilkades di Kabupaten Sumbawa sehingga para pelaku dugaan money politik tidak bisa dijerat.
Mekanismenya, ketika terjadi dugaan politik uang maka pengawas melaporkannya kepada pokja kecamatan. Kemudian pokja melaporkan dugaan tersebut ke Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) di Kabupaten. Berdasarkan Perbup No. 5 tahun 2018 tentang Pilkades, Dinas ini yang kemudian akan menyelesaikan masalah tersebut, entah akan diberikan sanksi administrasi atau sanksi hukum. Apabila sanksi hukum maka dinas akan melaporkan kepada kepolisian apabila laporan sudah P21 akan diserahkan kepada kejaksaan. Sedangkan, apabila perbuatan politik uang tersebut terbukti secara administrasi dinas akan mendiskualifikasi calon A dalam kanca pertarungan pilkades.
Politik uang adalah hal yang dianggab lumrah di Indonesia sebagai tindakan yang sering terjadi di level kontestasi demokrasi seperti pemilihan bupati, pemilihan gubernur, pemilihan presiden, dan pemilihan anggota legislatif. Sejarah Pilkades di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan, bahkan sejak masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Yang dimaksud pemilih pada waktu itu hanyalah kalangan terbatas, seperti kalangan elite desa maupun keturunan kepala desa yang sebelumnya.
Mekanismenya, ketika terjadi dugaan politik uang maka pengawas melaporkannya kepada pokja kecamatan. Kemudian pokja melaporkan dugaan tersebut ke Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) di Kabupaten. Berdasarkan Perbup No. 5 tahun 2018 tentang Pilkades, Dinas ini yang kemudian akan menyelesaikan masalah tersebut, entah akan diberikan sanksi administrasi atau sanksi hukum. Apabila sanksi hukum maka dinas akan melaporkan kepada kepolisian apabila laporan sudah P21 akan diserahkan kepada kejaksaan. Sedangkan, apabila perbuatan politik uang tersebut terbukti secara administrasi dinas akan mendiskualifikasi calon A dalam kanca pertarungan pilkades.
Politik uang adalah hal yang dianggab lumrah di Indonesia sebagai tindakan yang sering terjadi di level kontestasi demokrasi seperti pemilihan bupati, pemilihan gubernur, pemilihan presiden, dan pemilihan anggota legislatif. Sejarah Pilkades di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan, bahkan sejak masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Yang dimaksud pemilih pada waktu itu hanyalah kalangan terbatas, seperti kalangan elite desa maupun keturunan kepala desa yang sebelumnya.
Pilkades adalah suatu pemilihan
secara langsung oleh warga desa dan kepala desa terpilih dilantik oleh
bupati. Dalam tataran ideal, pilkades sebenarnya membantu masyarakat desa
karena merupakan wadah demokrasi, yakni sebagai ruang kebebasan untuk dipilih
atau memilih pemimpin desa.
Dalam penelitian Halili (2009),
modus atau pola politik uang dalam pilkades meliputi empat pola. Pertama,
membeli ratusan kartu suara yang disinyalir sebagai pendukung calon kepala desa
lawan dengan harga yang sangat mahal oleh panitia penyelenggara.
Kedua, menggunakan tim sukses yang dikirim langsung kepada
masyarakat untuk membagikan uang. Ketiga, serangan fajar. Keempat,
penggelontoran uang besar-besaran secara sporadis oleh pihak di luar kubu calon
kepala desa, yaitu bandar/pemain judi.
Faktor-faktor yang memengaruhi
politik uang di antaranya faktor kemiskinan. Money politics menjadi
ajang masyarakat mendapatkan uang. Mereka yang menerima uang terkadang tidak
memikirkan konsekuensi, yakni termasuk tindakan menerima suap dan jual beli
suara yang melanggar hukum.
Yang terpenting mereka mendapat uang
dan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang
politik juga penyebab politik uang. Tidak semua orang tahu apa itu politik,
bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan politik.
Itu semua bisa disebabkan karena
tidak ada pembelajaran tentang politik di sekolah-sekolah atau masyarakat
sendiri yang kurang peduli terhadap politik. Ketika ada hajatan politik,
seperti pemilihan umum, masyarakat bersikap mengabaikan esensi dan lebih
mengejar kepentingan pribadi sesaat.
Faktor budaya mendukung politik
uang. Bahwa politik uang adalah hal biasa dalam kontestasi pemilihan di tingkat
pusat maupun desa. Pepatah jer basuki mawa beya dipahami
keliru dengan memaknai wajar orang yang ingin berkuasa mengeluarkan banyak uang
dan harta.
Kasus politik uang belum mendapat
perhatian lebih dalam perundang-undangan kita. Tidak kita temui pengaturan
urusan ini UU No. 6/2014 tentang Desa, padahal jika kita kembali membuka
sejarah, UU Desa menjadi dasar transformasi desa yang lebih mandiri.
UU Desa Tidak Mengatur Masalah Politik Uang
Dalam UU Desa tidak ada aturan jelas
mengenai mekanisme penanganan tindak pidana politik uang. Sangat berbeda dengan
UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum dan UU tentang Pemilihan Kepala Daerah
yang secara detail mengatur penanganan tindak pidana politik uang.
Seharusnya UU Desa menyediakan dasar
mengatasi dan menuntaskan masalah tersebut. Nyatanya hal itu tidak terjadi dan
politik uang terus menjamur bagai hantu yang tidak bisa disentuh namun selalu
menampakkan bentuk.
Politik uang juga sudah diatur dalam
Pasal 149 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penyuapan. Sanksinya sembilan bulan
penjara atau denda Rp500 juta. Jika menggunakan regulasi tentang suap, ancaman
hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp15 juta.
Ini tentu tak cukup untuk
menyelesaikan ”permainan” yang sudah menjamur di tengah masyarakat. Peraturan
Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 12/2014 tentang Pedoman Penanganan
Perkara di Lingkungan Kementerian Dalam negeri dan Pemerintah Daerah masih
punya kelemahan utama dalam sistem pengawasan. Tentu hal ini harus menjadi
perhatian khusus, terutama DPR, untuk meninjau UU Desa. Faktanya, selama
ini, setiap menjelang pemilihan umum, semua peserta membuat kesepakatan
menolak money politics yang disaksikan semua aparat
penyelenggara, pengawas, dan pengama, tapi selalu ada yang diam-diam
mengkhianati kesepakatan tersebut.
Ketika berkampanye banyak calon
gembar-gembor mengajak rakyat menolak money politics, tapi
diam-diam tim sukses membagi-bagi uang kepada rakyat. Penegakan hukum terhadap
tindak pidana money politics di pilkades dapat dilakukan
dengan beberapa cara.
Meminjam teori sistem hukum L. M.
Friedman, ada beberapa elemen yang dapat dibangun, yaitu memperkuat struktur
hukum aparatur penegak hukum, sosialisasi dan penegakan substansi/isi hukum,
dan membangun budaya hukum antikorupsi kepada masyarakat pemilih dan para
kandidat.
Peninjauan kembali UU Desa agar
perundangan tersebut menjadi acuan yang tegas dalam menjalankan pemerintahan
desa. Hal yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah sehebat apa pun dan
seberat apa pun sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana politik
uang, sangat tidak berarti jika tidak dilandasi kesadaran masyarakat terhadap
demokrasi itu sendiri.
Perlu waktu yang lama untuk
menghilangkan budaya politik uang di pilkades, tetapi bukan berarti tidak bisa,
dan ini menjadi pekerjaan kita semua. Justru pada tataran pemerintahan desa,
seharusnya pemerintah peduli agar politik uang bisa dihentikan sejak dini.
Sanksi administrasi berupa diskualifikasi sebagai bakal calon bisa jadi jauh lebih efektif daripada sanksi hukum berupa penjara ataupun denda. Gerakan kampanye berantas politik uang perlu dilakukan oleh semua kontestan calon kades. Hal ini perlu dilakukan saat Pilkades damai berupa deklarasi dengan masyarakat di tingkat desa. Politik bersih dan percaya diri seharusnya bisa kita contohkan kepada masyarakat, mari berkompetisi secara bijak dan sehat.
Kalau bukan kita yang hentikan, ya siapa lagi??
Kalau bukan sekarang, ya kapan lagi?
Disadur dari berbagai sumber.
Sanksi administrasi berupa diskualifikasi sebagai bakal calon bisa jadi jauh lebih efektif daripada sanksi hukum berupa penjara ataupun denda. Gerakan kampanye berantas politik uang perlu dilakukan oleh semua kontestan calon kades. Hal ini perlu dilakukan saat Pilkades damai berupa deklarasi dengan masyarakat di tingkat desa. Politik bersih dan percaya diri seharusnya bisa kita contohkan kepada masyarakat, mari berkompetisi secara bijak dan sehat.
Kalau bukan kita yang hentikan, ya siapa lagi??
Kalau bukan sekarang, ya kapan lagi?
Disadur dari berbagai sumber.
Komentar
Posting Komentar