Diriwayatkan bahwa Syuraih al-Qadhi bertemu dengan asy-Sya’bi pada suatu hari, lalu asy-Sya’bi bertanya kepadanya tentang keadaannya di rumahnya. Ia menjawab: “Selama 20 tahun aku tidak melihat sesuatu yang membuatku marah terhadap isteriku.” Asy-Sya’bi bertanya, “Bagaimana itu terjadi?” Syuraih menjawab, “Sejak malam pertama aku bersua dengan isteriku, aku melihat padanya kecantikan yang menggoda dan kecantikan yang langka. Aku berkata dalam hatiku: “Aku akan bersuci dan shalat dua rakaat sebagai tanda syukur kepada Allah. Ketika aku salam dan mendapati isteriku menunaikan shalat dengan shalatku dan salam dengan salamku, maka ketika rumahku telah sepi dari para Sahabat dan rekan-rekan, aku berdiri menuju kepadanya. Aku ulurkan tanganku kepadanya, maka dia berkata, ‘Perlahan, wahai Abu Umayyah, seperti keadaan-mu semula.’ Kemudian ia berkata, ‘Segala puji bagi Allah. Aku memuji-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya. Aku sampai-kan shalawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya. Sesungguhnya aku adalah wanita asing yang tidak mengetahui akhlakmu, maka jelaskanlah kepadaku apa yang engkau sukai sehingga aku akan melakukannya dan apa yang tidak engkau sukai sehingga aku meninggalkannya.’ Ia melanjutkan, ‘Sesungguhnya pada kaummu terdapat wanita yang dapat engkau nikahi, dan pada kaumku ter-dapat pria yang sekufu denganku. Tetapi jika Allah menentukan suatu perkara, maka perkara itu terjadi. Engkau telah berkuasa, maka lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu, yaitu menahan dengan yang ma’ruf atau mencerai dengan cara yang baik. Aku ucapkan sampai di sini saja, dan aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untukmu…!’
Syuraih
berkata, “-Demi Allah wahai asy-Sya’bi-, ia membuatku membutuhkan kepada
khutbah di tempat tersebut. Aku katakan, ‘Segala puji bagi Allah. Aku
memuji-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya. Aku sampaikan shalawat dan salam
atas Nabi dan keluarganya. Sesungguhnya engkau mengatakan suatu pembicaraan
yang bila engkau teguh di atasnya, maka itu menjadi keberuntunganmu, dan jika
engkau meninggalkannya, maka itu menjadi hujjah (keburukan) atasmu. Aku
menyukai demikian dan demikian, dan tidak menyukai demikian dan demikian. Apa
yang engkau lihat baik, maka sebarkanlah, dan apa yang engkau lihat buruk, maka
tutupilah!’
Ia
mengatakan, ‘Bagaimana kesukaanmu dalam mengunjungi keluargaku?’ Aku menjawab,
‘Aku tidak ingin mertuaku membuatku penat.’ Ia bertanya, ‘Siapa yang engkau
sukai dari para tetanggamu untuk masuk ke rumahmu sehingga aku akan
mengizinkannya, dan siapa yang tidak engkau sukai sehingga aku tidak
mengizinkannya masuk?’ Aku mengatakan, ‘Bani fulan adalah kaum yang shalih, dan
Bani fulan adalah kaum yang buruk.’”
Syuraih
berkata, “Kemudian aku bermalam bersamanya pada malam yang sangat nikmat
(baik). Aku hidup bersamanya selama setahun dan aku tidak melihat melainkan
sesuatu yang aku sukai. Ketika di awal tahun aku datang dari majelis Qadha’
(peradilan), tiba-tiba ada seorang wanita di dalam rumah. Aku bertanya, ‘Siapa
dia?’ Mereka menjawab, ‘Mertuamu (yakni, ibu dari isterimu).’ Ia menoleh
kepadaku dan bertanya kepadaku, ‘Bagaimana pendapat-mu tentang isterimu?’ Aku
menjawab, ‘Sebaik-baik isteri.’ Ia mengatakan, ‘Wahai Abu Umayyah, wanita tidak
menjadi lebih buruk keadaannya darinya dalam dua keadaan: jika melahirkan anak,
atau dimuliakan di sisi suaminya. Demi Allah, laki-laki tidak menemui di
rumahnya yang lebih buruk daripada wanita yang manja. Oleh karena itu, hukumlah
dengan hukuman yang engkau suka, dan didiklah dengan didikan yang engkau suka.’
Lalu aku tinggal bersamanya selama 20 tahun, dan aku tidak pernah menghukumnya
mengenai sesuatu pun, kecuali sekali, dan aku merasa telah men-zhaliminya.”[1]
Kita
berbicara tentang kaum wanita yang patut diteladani, dan kita tidak bisa
melupakan seorang wanita yang mencapai derajat kemauan tertinggi dan
mendapatkan kabar gembira (bahwa dia akan masuk) Surga, sedangkan dia berjalan
di permukaan bumi. Dari wanita inilah kita belajar kemuliaan, kesabaran, dan
memberi sumbangsih di jalan agama ini.
Ia
adalah al-Ghumaisha’ binti Milhan Ummu Sulaim Radhiyallahu anha, yang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya:
دَخَلْتُ
الْجَنَّةَ فَسَمِعْتُ خَشْفَةً، فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا. قَالُوا: هَذِهِ
الْغُمَيْصَاءُ بِنْتُ مِلْحَانَ، أُمُّ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ.
“Aku
memasuki Surga lalu aku mendangar suara, maka aku bertanya, ‘Siapakah ini?’
Mereka berkata, ‘Ini adalah al-Ghumaisha’ binti Milhan, Ummu Anas bin
Malik.’”[2]
Bagaimana
kisah Shahabiyah yang mulia ini?
Pertama
: Mari kita dengar kisah pernikahannya.
An-Nasa-i meriwayatkan dari hadits Anas Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Abu Thalhah (datang) melamar, lalu Ummu Sulaim berkata, ‘Demi Allah, orang semisalmu, wahai Abu Thalhah, tidak akan ditolak. Tetapi engkau adalah pria kafir sedangkan aku wanita muslimah, dan tidak halal bagiku menikahimu. Jika engkau masuk Islam, maka itulah maharku dan aku tidak meminta kepadamu selainnya. Kemudian dia masuk Islam, lalu hal itu menjadi maharnya.’ Tsabit berkata, ‘Aku tidak mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dibanding Ummu Sulaim, (maharnya) yaitu Islam.’”[3]
An-Nasa-i meriwayatkan dari hadits Anas Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Abu Thalhah (datang) melamar, lalu Ummu Sulaim berkata, ‘Demi Allah, orang semisalmu, wahai Abu Thalhah, tidak akan ditolak. Tetapi engkau adalah pria kafir sedangkan aku wanita muslimah, dan tidak halal bagiku menikahimu. Jika engkau masuk Islam, maka itulah maharku dan aku tidak meminta kepadamu selainnya. Kemudian dia masuk Islam, lalu hal itu menjadi maharnya.’ Tsabit berkata, ‘Aku tidak mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dibanding Ummu Sulaim, (maharnya) yaitu Islam.’”[3]
Kedua
: Kesabarannya.
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa seorang anak dari Abu Thalhah sakit. Ketika Abu Thalhah keluar, anak itu meninggal. Ketika Abu Thalhah kembali, dia bertanya, “Bagaimana anakku?” Ummu Sulaim menjawab, “Ia dalam kondisi sangat tenang,” seraya menghidangkan makan malam kepadannya, dan dia pun makan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ummu Sulaim berkata, “Jangan beritahukan kepada Abu Thalhah tentang kematian anaknya.” Kemudian ia melakukan tugasnya sebagai isteri kepada suaminya, lalu suaminya berhubungan intim dengannya. Ketika akhir malam, ia berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu bila keluarga si fulan meminjam suatu pinjaman, lalu memanfaatkannya, kemudian ketika pinjaman itu diminta, mereka tidak suka?” Ia menjawab, “Mereka tidak adil.” Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya anakmu, fulan, adalah pinjaman dari Allah dan Dia telah mengambilnya.” Abu Thalhah beristirja’ (mengucapkan: Innaa lillaahi wa innaaa ilaih raaji’uun) dan memuji Allah seraya mengatakan, “Demi Allah, aku tidak membiarkanmu mengalahkanku dalam kesabaran.” Pada pagi harinya, dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala beliau melihatnya, beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahi kalian berdua di malam hari kalian.” Keberkahan itu, sejak malam itu, mencakup ‘Abdullah bin Abi Thalhah, dan tidak ada pada kaum Anshar seorang pemuda yang lebih baik darinya. Dari ‘Abdullah tersebut lahirlah banyak anak, dan ‘Abdullah tidak meninggal sehingga dia dikaruniai sepuluh anak yang semuanya hafal al-Qur-an, dan dia wajat di jalan Allah.[4]
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa seorang anak dari Abu Thalhah sakit. Ketika Abu Thalhah keluar, anak itu meninggal. Ketika Abu Thalhah kembali, dia bertanya, “Bagaimana anakku?” Ummu Sulaim menjawab, “Ia dalam kondisi sangat tenang,” seraya menghidangkan makan malam kepadannya, dan dia pun makan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ummu Sulaim berkata, “Jangan beritahukan kepada Abu Thalhah tentang kematian anaknya.” Kemudian ia melakukan tugasnya sebagai isteri kepada suaminya, lalu suaminya berhubungan intim dengannya. Ketika akhir malam, ia berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu bila keluarga si fulan meminjam suatu pinjaman, lalu memanfaatkannya, kemudian ketika pinjaman itu diminta, mereka tidak suka?” Ia menjawab, “Mereka tidak adil.” Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya anakmu, fulan, adalah pinjaman dari Allah dan Dia telah mengambilnya.” Abu Thalhah beristirja’ (mengucapkan: Innaa lillaahi wa innaaa ilaih raaji’uun) dan memuji Allah seraya mengatakan, “Demi Allah, aku tidak membiarkanmu mengalahkanku dalam kesabaran.” Pada pagi harinya, dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala beliau melihatnya, beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahi kalian berdua di malam hari kalian.” Keberkahan itu, sejak malam itu, mencakup ‘Abdullah bin Abi Thalhah, dan tidak ada pada kaum Anshar seorang pemuda yang lebih baik darinya. Dari ‘Abdullah tersebut lahirlah banyak anak, dan ‘Abdullah tidak meninggal sehingga dia dikaruniai sepuluh anak yang semuanya hafal al-Qur-an, dan dia wajat di jalan Allah.[4]
Ketiga
: Jihadnya di jalan Allah.
Muslim meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa pada perang Hunain, Ummu Sulaim membawa pisau kecil. Senjata itu bersamanya. Ketika Abu Thalhah melihatnya, maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah! Ini adalah Ummu Sulaim, ia membawa pisau kecil.” Mengetahui hal itu, beliau bertanya, “Untuk apa pisau kecil ini?” Ia menjawab, “Aku membawanya; jika seorang dari kaum musyrik mendekat kepadaku, maka aku robek perutnya dengannya.” Mendengar hal itu beliau tertawa. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, akan kubunuh orang-orang yang masuk Islam setelah kita dari kalangan thulaqa'[5] yang melarikan diri darimu!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Wahai Ummu Sulaim, Allah telah mencukupi dan berbuat baik.”[6]
Muslim meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa pada perang Hunain, Ummu Sulaim membawa pisau kecil. Senjata itu bersamanya. Ketika Abu Thalhah melihatnya, maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah! Ini adalah Ummu Sulaim, ia membawa pisau kecil.” Mengetahui hal itu, beliau bertanya, “Untuk apa pisau kecil ini?” Ia menjawab, “Aku membawanya; jika seorang dari kaum musyrik mendekat kepadaku, maka aku robek perutnya dengannya.” Mendengar hal itu beliau tertawa. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, akan kubunuh orang-orang yang masuk Islam setelah kita dari kalangan thulaqa'[5] yang melarikan diri darimu!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Wahai Ummu Sulaim, Allah telah mencukupi dan berbuat baik.”[6]
Keempat
: Kemuliaannya di rumahnya.
Kita masih membicarakan Shahabiyah mulia ini, dan kita akan mendengarkan tentang kemuliaannya di rumahnya dan pengetahuannya bahwa Allah Azza wa Jalla akan memberi ganti kepada orang-orang yang berinfak.[7]
Kita masih membicarakan Shahabiyah mulia ini, dan kita akan mendengarkan tentang kemuliaannya di rumahnya dan pengetahuannya bahwa Allah Azza wa Jalla akan memberi ganti kepada orang-orang yang berinfak.[7]
Dalam
Shahiih al-Bukhari dari hadits Anas Radhiyallahu anhu, ia menuturkan bahwa Abu
Thalhah berkata kepada Ummu Sulaim, “Aku telah mendengar suara Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam keadaan lemah yang aku ketahui beliau sedang lapar;
apakah engkau mempunyai sesuatu?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu ia mengeluarkan
sejumlah roti yang terbuat dari gandum, kemudian mengeluarkan kerudungnya lalu
membungkus roti tersebut dengan sebagiannya. Kemudian ia melilitkannya di bawah
tanganku, lalu mengutusku kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku
pun pergi dan menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid
bersama sejumlah orang. Ketika aku berada di hadapan mereka, beliau ber-tanya
kepadaku, “Apakah Abu Thalhah mengutusmu?” Aku menjawab, “Ya.” Beliau bertanya,
“Dengan membawa makanan?” Aku menjawab, “Ya.” Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang-orang yang bersamanya, “Berdirilah!”
Beliau beranjak dan aku pun beranjak dari hadapan mereka hingga aku sampai
kepada Abu Thalhah, lalu aku mengabarkan kepadanya. Abu Thalhah berkata, “Wahai
Ummu Sulaim, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang bersama
sejumlah orang, sedangkan kita tidak mempunyai sesuatu untuk menjamu mereka.”
Ia menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Lalu Abu Thalhah pergi
hingga bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan Abu Thalhah menyertainya, lalu beliau
berkata, “Kemarilah wahai Ummu Sulaim, apa yang engkau miliki?” Maka ia membawa
roti tersebut. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
untuk membukanya, dan Ummu Sulaim membuat kuah untuk menguahinya. Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada makanan itu apa yang
hendak dikatakannya, kemudian beliau bersabda, “Izinkanlah untuk sepuluh orang
orang!” Maka makanan itu mengizinkan mereka, lalu mereka makan hingga kenyang,
lalu mereka keluar. Kemudian beliau bersabda, “Izinkanlah untuk sepuluh orang!”
Maka ia mengizinkan mereka, lalu mereka makan hingga kenyang. Lalu beliau
bersabda, “Izinkahlah untuk sepuluh orang!” Maka ia menginzinkan mereka, lalu
mereka makan hingga kenyang, kemudian mereka keluar. Selanjutnya beliau
mengatakan, “Izinkan untuk sepuluh orang!” Kemudian mereka semua makan hingga
kenyang. Mereka semua berjumlah 70 atau 80 orang.[8]
Inilah
seorang wanita yang mengajarkan kepada kaum pria untuk bersabar, terutama
terhadap kaum wanita, dan mengajarkan kepada mereka supaya ridha dengan
ketentuan Allah. Kita memohon kepada Allah, semoga para wanita kita belajar bersabar
ketika mengalami musibah yang menyedihkan, agar melahirkan untuk kita
tokoh-tokoh seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Malik, Ahmad dan
asy-Syafi’i.
Abul
Faraj Ibnu al-Jauzi mengatakan bahwa al-Ashma’i berkata, “Aku dan kawanku
keluar menuju dusun, lalu kami tersesat jalan. Tiba-tiba kami menjumpai gubuk
di kanan jalan, lalu kami menuju ke sana dan mengucapkan salam. Ternyata
seorang wanita menjawab salam kami seraya bertanya, ‘Siapa kalian?’ Kami
menjawab, ‘Kaum yang tersesat jalan. Kami datang kepada kalian untuk
mengunjungi kalian.’ Ia mengatakan, ‘Wahai kaum, palingkan wajah kalian dariku
hingga aku menyelesaikan apa yang menjadi hak kalian.’ Kami pun melakukannya,
lalu ia melemparkan kepada kami alas tidur seraya mengatakan, ‘Duduklah di situ
hingga puteraku datang.’ Kemudian dia melihat-lihat kedatangan puteranya hingga
dia bisa melihatnya seraya mengatakan, ‘Aku memohon kepada Allah keberkahan
orang yang datang. Unta itu adalah unta puteraku, sedangkan yang menungganginya
bukan puteraku.’ Ketika penunggang unta itu telah berdiri di hadapannya, ia
mengatakan, ‘Wahai Ummu ‘Uqail, semoga Allah membesarkan pahalamu karena
‘Uqail.’ Dia bertanya, ‘Apakah puteraku wafat?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Dia
bertanya, ‘Apa penyebab kematiannya?’ Ia menjawab, ‘Unta berdesak-desakan
padanya lalu ia terlempar ke sumur.’ Dia mengatakan, ‘Turunlah, lalu penuhi hak
bertamu kaum ini.’ Dia menyerahkan seekor domba kepadanya, lalu ia menyembelih
dan mengolahnya serta menghidangkan makanan kepada kami. Kemudian kami makan dan
kami kagum dengan kesabarannya. Ketika kami selesai, dia keluar kepada kami
dalam keaadan tertutup hijab seraya mengatakan, ‘Wahai kaum, apakah di antara
kalian ada yang dapat membaca al-Qur-an dengan baik?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Ia
mengatakan, ‘Bacakan kepadaku dari Kitabullah ayat-ayat yang aku menjadi
terhibur dengannya.’ Aku mengatakan, ‘Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَبَشِّرِ
الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ
وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ
وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“…
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Innaa lillaahi
wa innaa ilaihi raaji’uun.’ Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang
sempurna dan rahmat dari Rabb-nya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk.” [Al-Baqarah: 155-157].
Ia
bertanya, ‘Apakah ayat-ayat ini dalam Kitabullah demikian?’ Aku menjawab,
‘Ayat-ayat ini dalam Kitabullah demikian.’ Dia mengatakan, ‘Assalaamu ‘alaikum.
Kemudian dia meluruskan kedua telapak kakinya dan shalat dua rakaat, kemudian
mengucapkan, ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Di sisi Allah
mendapatkan ‘Uqail.’ Ia mengatakan demikian tiga kali. Ya Allah, aku melakukan
apa yang Engkau perintahkan kepadaku, maka berikan kepadaku apa yang Engkau
janjikan kepadaku.’”[9]
Inilah
Ummu ‘Umarah, seorang mujahidah yang membela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan hidupnya. Membelanya karena agama, membelanya dan cemas
terhadapnya adalah lebih penting baginya daripada dirinya sendiri. Di manakah
kaum wanita sekarang jika di bandingkan dengan wanita-wanita yang membeli
akhirat dengan dunia? Kemauan wanita pada zaman sekarang ini adalah membeli segala
keinginan dan menikmati kehidupan dunia berikut berbagai kelezatannya.
Sementara dia tidak menghiraukan perkara agama, bahkan di dalam rumahnya,
bersama anak-anaknya. Ya Allah, selamatkanlah… selamatkanlah.
Inilah
Ummu ‘Umarah Nasibah binti Ka’ab bin ‘Auf, seorang Shahabiyah mujahidah. Ia
keluar di tengah pasukan kaum muslimin dalam perang Uhud dan mendapatkan ujian
yang baik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentangnya:
“Sungguh kedudukan Nasibah binti Ka’ab pada hari ini lebih baik dibanding
kedudukan fulan dan fulan.”[10]
Ia
sebagai bintang perang umat Islam. Kemudian ia memalingkan wajahnya dari
mereka, ternyata pedang-padang kaum musyrikin menimpa mereka, memenggal
leher-leher mereka dan menikam punggung-punggung mereka. Maka mereka bercerai
berai dan mundur ke belakang. Dia pun pergi ke hadapan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, ia mencabut panah dan memukul dengan pedang. Sedangkan di
se-kitarnya ada para tokoh seperti ‘Ali, Abu Bakar, ‘Umar, Sa’ad, Thalhah,
az-Zubair, al-‘Abbas, kedua puteranya dan suaminya. Ia tidak ingin bahaya
mendekati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ia menjadi
bentengnya. Sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا
الْتَفَتُّ يَمِيْنًا وَلاَ شِمَالاً إِلاَّ وَأَنَا أَرَاهَا تُقَاتِلُ دُوْنِيْ.
“Tidaklah
aku melihat ke kanan dan ke kiri melainkan aku melihatnya berperang untuk
membelaku.”[11]
Dari
‘Umarah bin Ghazyah, ia mengatakan: “Ummu ‘Umarah menuturkan, ‘Aku melihat
orang-orang pergi dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak
tersisa kecuali sekelompok orang yang kurang dari sepuluh orang. Aku, anakku
dan suamiku berada di depan Rasulullah untuk melindungi beliau. Sementara
orang-orang melewati beliau untuk melarikan diri, dan beliau melihatku tidak
memakai perisai. Ketika beliau melihat orang yang melarikan diri sambil membawa
perisai, maka beliau mengatakan, ‘Lemparkan perisaimu untuk dipakai orang yang
berperang.’ Ia melemparkannya, lalu aku mengambilnya. Perisai tersebut aku
pakai untuk melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Luka yang aku
dapatkan hanyalah dari orang-orang berkuda. Seandainya mereka berjalan (tanpa
tunggangan) seperti kami, niscaya kami dapat melukai mereka. Insya Allah.
Ketika
seseorang berkuda datang lalu menebasku, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berteriak, ‘Wahai putera Ummu ‘Umarah! Ibumu! Ibumu!’ Lalu puteraku membantuku
menghadapi pria tersebut sehingga aku berhasil membunuhnya.’”[12] Pada hari itu
Ummu ‘Umarah Radhiyallahu anha terluka sebanyak 13 luka.
Di
antara wanita yang mengajarkan kepada kita dan meng-ajarkan wanita-wanita kita
agar yakin kepada Allah dan berinfak di jalan-Nya adalah Ummud Dahdah. Mari
kita dengar kisahnya bersama suaminya dan ketaatannya kepadanya.
Ibnu
Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia
menuturkan bahwa ketika turun ayat ini:
مَنْ
ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ
“Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah)…” [Al-Baqarah/2 : 245].
Abud
Dahdah al-Anshari bertanya, “Wahai Rasulullah, benarkah Allah menginginkan
pinjaman dari kami?” Beliau menjawab, “Ya.” Ia mengatakan, “Perlihatkan
tanganmu kepadaku, wahai Rasulullah.” Ketika beliau mengulurkan tangannya
kepadanya, ia mengatakan, “Sesungguhnya aku telah meminjamkan kebun kepada
Rabb-ku.” Ia mempunyai kebun yang di dalamnya terdapat 600 pohon kurma, dan
Ummud Dahdah beserta keluarganya berada di dalamnya. Abud Dahdah datang dan
memanggilnya, “Wahai Ummud Dahdah!” Ia menjawab, “Aku penuhi panggilanmu.” Ia
mengatakan, “Keluarlah, sebab aku telah meminjamkannya kepada Rabb-ku Azza wa
Jalla.” Dalam satu riwayat bahwa Ummud Dahdah berkata kepadanya, “Jual belimu
telah mendapat keuntungan, wahai Abud Dahdah.” Lalu ia mengangkat darinya
perabot dan anak-anaknya, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Alangkah banyaknya pohon kurma yang lebat di Surga milik Abud
Dahdah.”[13]
Dari
Muhammad bin al-Husain, ia mengatakan bahwa Abu Muhammad al-Hariri berkata:
“Aku berada di sisi Badr al-Maghazili, dan isterinya menjual intan seharga 30
dinar, maka dia berkata kepada isterinya, ‘Kita pisahkan dinar-dinar ini untuk
saudara-saudara kita, dan kita makan rizki yang didapat sehari-hari.’ Isterinya
memenuhi permintaan suaminya seraya mengatakan, ‘Engkau berzuhud sedangkan kami
menginginkan? Ini tidak akan terjadi.”[14]
Riyah
al-Qaisi menikahi seorang wanita, lalu dia membangun rumah tangga dengannya.
Ketika pagi hari, wanita ini beranjak menuju adonannya, maka Riyah mengatakan,
“Seandainya engkau mencari seorang wanita yang dapat mengerjakan pekerjaanmu
ini.” Ia menjawab, “Aku hanyalah menikah dengan Riyah al-Qaisi dan aku tidak
membayangkan menikah dengan orang yang sombong lagi ingkar. Pada malam harinya
Riyah tidur untuk menguji isterinya, ternyata ia bangun pada seperempat malam,
kemudian memanggilnya seraya mengatakan, “Bangun, wahai Riyah.” Dia menjawab,
“Aku akan bangun.” Tapi ia tidak bangun. Lalu ia bangun pada seperempat malam
yang terakhir, kemudian memanggilnya seraya mengatakan, “Bangun, wahai Riyah.”
Dia menjawab, “Aku akan bangun.” Maka ia mengatakan, “Malam telah berlalu dan
orang-orang yang berbuat kebajikan meraih keuntungan, sedangkan engkau tidur.
Duhai siapa yang tega menipuku hingga aku menikah denganmu, wahai Riyah?” Lalu
ia bangun pada seperempat waktu yang tersisa.”[15]
Al-Husain
bin ‘Abdirrahman berkata: “Sebagian Sahabat kami bercerita kepadaku, ia
mengatakan: ‘Isteri Hubaib, yakni Abu Muhammad mengatakan bahwa ia terjaga pada
suatu malam sedangkan suaminya tidur, lalu ia membangunkannya pada waktu sahur
seraya mengatakan, ‘Bangunlah wahai pria, sebab malam telah berlalu dan siang
pun tiba, sedangkan di hadapanmu ada jalan yang panjang dan perbekalan yang
sedikit. Para kafilah orang-orang shalih di depan kita, sedangkan kita di
belakang.’”[16]
Ummu
Ibrahim al-Bashariyyah, seorang wanita ahli ibadah. Dikisahkan bahwa di Bashrah
terdapat para wanita ahli ibadah, di antaranya adalah Ummu Ibrahim
al-Hasyimiyah. Ketika musuh menyusup ke kantong-kantong perbatasan wilayah
Islam, maka orang-orang tergerak untuk berjihad di jalan Allah. Kemudian ‘Abdul
Wahid bin Zaid al-Bashri berdiri di tengah orang-orang sambil berkhutbah untuk
menganjurkan mereka berjihad. Ummu Ibrahim ini menghadiri majelisnya. ‘Abdul
Wahid meneruskan pembicaraannya, kemudian menerangkan tentang bidadari. Dia
menyebutkan pernyataan tentang bidadari, dan bersenandung untuk menyifatkan
bidadari.
Gadis
yang berjalan tenang dan berwibawa
Orang yang menyifatkan memperoleh apa yang diungkapkannya
Dia diciptakan dari segala sesuatu yang baik nan harum
Segala sifat jahat telah dienyahkan
Allah menghiasinya dengan wajah
yang berhimpun padanya sifat-sifat kecantikan yang luar biasa
Matanya bercelak demikian menggoda
Pipinya mencipratkan aroma kesturi
Lemah gemulai berjalan di atas jalannya
Seindah-indah yang dimiliki dan kegembiraan yang berbinar-binar
Apakah kau melihat peminangnya mendengarkannya
Ketika mengelilingkan piala dan bejana
Di taman yang elok yang kita dengar suaranya
Setiap kali angin menerpa taman itu, bau harumnya menyebar
Dia memanggilnya dengan cinta yang jujur
Hatinya terisi dengannya hingga melimpah
Wahai kekasih, aku tidak menginginkan selainnya
Dengan cincin tunangan sebagai pembukanya
Janganlah kau seperti orang yang bersungguh-sungguh ke puncak hajatnya
Kemudian setelah itu ia meninggalkannya
Tidak, orang yang lalai tidak akan bisa meminang wanita sepertiku
Yang meminang wanita sepertiku hanyalah orang yang me-rengek-rengek
Orang yang menyifatkan memperoleh apa yang diungkapkannya
Dia diciptakan dari segala sesuatu yang baik nan harum
Segala sifat jahat telah dienyahkan
Allah menghiasinya dengan wajah
yang berhimpun padanya sifat-sifat kecantikan yang luar biasa
Matanya bercelak demikian menggoda
Pipinya mencipratkan aroma kesturi
Lemah gemulai berjalan di atas jalannya
Seindah-indah yang dimiliki dan kegembiraan yang berbinar-binar
Apakah kau melihat peminangnya mendengarkannya
Ketika mengelilingkan piala dan bejana
Di taman yang elok yang kita dengar suaranya
Setiap kali angin menerpa taman itu, bau harumnya menyebar
Dia memanggilnya dengan cinta yang jujur
Hatinya terisi dengannya hingga melimpah
Wahai kekasih, aku tidak menginginkan selainnya
Dengan cincin tunangan sebagai pembukanya
Janganlah kau seperti orang yang bersungguh-sungguh ke puncak hajatnya
Kemudian setelah itu ia meninggalkannya
Tidak, orang yang lalai tidak akan bisa meminang wanita sepertiku
Yang meminang wanita sepertiku hanyalah orang yang me-rengek-rengek
Maka
sebagian orang bergerak pada sebagian lainnya, dan majelis itu pun bergerak.
Lalu Ummu Ibrahim menyeruak dari tengah orang-orang seraya berkata kepada
‘Abdul Wahid, “Wahai Abu ‘Ubaid, bukankah engkau tahu anakku, Ibrahim. Para
pemuka Bashrah meminangnya untuk puteri-puteri mereka, tetapi aku memukulnya di
hadapan mereka. Demi Allah, gadis (bidadari) ini mencengangkanku dan aku
meridhainya menjadi pengantin untuk puteraku. Ulangi lagi apa yang engkau
sebutkan tentang kecantikan-nya.” Mendengar hal itu ‘Abdul Wahid kembali
menyifatkan bidadari, kemudian bersenandung:
Cahayanya
mengeluarkan cahaya dari cahaya wajahnya
Senda guraunya seharum parfum dari parfum murni
Jika menginjakkan sandalnya di atas pasir gersang
niscaya seluruh penjuru menjadi menghijau dengan tanpa hujan
Jika engkau suka, tali yang mengikat pinggangnya
seperti ranting pohon Raihan yang berdaun hijau
Seandainya meludahkan air liurnya di lautan
niscaya penduduk merasakan segarnya meminum air lautan
Pandangan mata yang menipu nyaris melukai pipinya
Dengan luka keraguan hati dari luar kelopak mata
Senda guraunya seharum parfum dari parfum murni
Jika menginjakkan sandalnya di atas pasir gersang
niscaya seluruh penjuru menjadi menghijau dengan tanpa hujan
Jika engkau suka, tali yang mengikat pinggangnya
seperti ranting pohon Raihan yang berdaun hijau
Seandainya meludahkan air liurnya di lautan
niscaya penduduk merasakan segarnya meminum air lautan
Pandangan mata yang menipu nyaris melukai pipinya
Dengan luka keraguan hati dari luar kelopak mata
Orang-orang
pun menjadi semakin gaduh, lalu Ummu Ibrahim maju seraya berkata kepada ‘Abdul
Wahid, “Wahai Abu ‘Ubaid, demi Allah, gadis ini mencengangkanku dan aku
meridhainya sebagai pengantin bagi puteraku. Apakah engkau sudi menikahkannya
dengan gadis tersebut saat ini juga, dan engkau ambil maharnya dariku sebanyak
10.000 dinar, serta dia keluar bersamamu dalam peperangan ini; mudah-mudahan
Allah mengarunikan syahadah (mati sebagai syahid) kepadanya, sehingga dia akan
memberi syafa’at untukku dan untuk ayahnya pada hari Kiamat.” ‘Abdul Wahid
berkata kepadanya, “Jika engkau melakukannya, niscaya engkau dan anakmu akan
mendapatkan keberuntungan yang besar.” Kemudian ia memanggil puteranya, “Wahai
Ibrahim!” Dia bergegas maju dari tengah orang-orang seraya mengatakan, “Aku
penuhi panggilanmu, wahai ibu.” Ia mengatakan, “Wahai puteraku! Apakah engkau
ridha dengan gadis (bidadari) ini sebagai isteri, dengan syarat engkau
mengorbankan dirimu di jalan Allah dan tidak kembali dalam dosa-dosa?” Pemuda
ini menjawab, “Ya, demi Allah wahai ibu, aku sangat ridha.” Sang ibu
mengatakan, “Ya Allah, aku menjadikan-Mu sebagai saksi bahwa aku telah
menikahkan anakku ini dengan gadis ini dengan pengorbanannya di jalan-Mu dan
tidak kembali dalam dosa. Maka, terimalah dia dariku, wahai sebaik-baik
Penyayang.” Kemudian ia pergi, lalu datang kembali dengan mem-bawa 10.000 dinar
seraya mengatakan, “Wahai Abu ‘Ubaid, ini adalah mahar gadis itu. Bersiaplah
dengan mahar ini.” Abu ‘Ubaid pun menyiapkan para pejuang di jalan Allah.
Sedangkan sang ibu pergi untuk membelikan kuda yang baik untuk puteranya dan
menyiapkan senjata untuknya. Ketika ‘Abdul Wahid keluar, Ibrahim pun berangkat,
sedangkan para pembaca al-Qur-an di sekitarnya membaca:
إِنَّ
اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ
لَهُمُ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan
memberikan Surga untuk mereka …” [At-Taubah/9: 111].
Ketika
sang ibu hendak berpisah dengan puteranya, maka ia menyerahkan kain kafan dan
wangi-wangian kepadanya seraya mengatakan kepadanya, “Wahai anakku, jika engkau
hendak bertemu musuh, maka pakailah kain kafan ini dan gunakan wangi-wangian
ini. Janganlah Allah melihatmu dalam keadaan lemah di jalan-Nya.” Kemudian ia
memeluk puteranya dan mencium keningnya seraya mengatakan, “Wahai anakku, Allah
tidak mengumpulkan antara aku denganmu kecuali di hadapan-Nya pada hari
Kiamat.”
‘Abdul
Wahid berkata: “Ketika kami sampai di negeri musuh, terompet pun ditiup, dan
orang-orang mulai berperang, maka Ibrahim berperang di barisan terdepan. Ia
membunuh musuh dalam jumlah besar, kemudian mereka mengepungnya, lalu ia
terbunuh.”
‘Abdul
Wahid berkata: “Ketika kami hendak kembali ke Bashrah, aku berkata kepada
Sahabat-Sahabatku, ‘Jangan menceritakan kepada Ummu Ibrahim tentang berita yang
menimpa puteranya sampai aku mengabarkan kepadanya dengan sebaik-baik hiburan,
agar ia tidak bersedih sehingga pahalanya hilang.’ Ketika kami sampai di Bashrah,
orang-orang keluar untuk menyambut kami, dan Ummu Ibrahim keluar di
tengah-tengah mereka.”
‘Abdul
Wahid berkata: “Ketika dia memandangku, ia bertanya, ‘Wahai Abu ‘Ubaid, apakah
hadiah dariku diterima sehingga aku diberi ucapan selamat, atau ditolak sehingga
aku harus diberi belasungkawa?’ Aku menjawab, ‘Hadiahmu telah diterima.
Sesungguhnya Ibrahim hidup bersama orang-orang yang hidup dalam keadaan diberi
rizki (insya Allah).’ Maka ia pun tersungkur dalam keadaan bersujud kepada
Allah karena bersyukur, dan mengatakan, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak
mengecewakan dugaanku dan menerima ibadah dariku.’ Kemudian ia pergi. Keesokan
harinya, ia datang ke masjid ‘Abdul Wahid lalu berseru, ‘Assalaamu ‘alaikum
wahai Abu ‘Ubaid, ada kabar gembira untukmu.’ Dia mengatakan, ‘Engkau
senantiasa memberi kabar gembira.’ Ia mengatakan kepadanya, ‘Tadi malam aku
bermimpi melihat puteraku, Ibrahim, di sebuah taman yang indah. Di atasnya
terdapat kubah hijau, dia berada di atas ranjang yang terbuat dari mutiara, dan
kepalanya memakai mahkota. Dia berucap, ‘Wahai ibu, bergembiralah. Sebab,
maharnya telah diterima dan aku bersanding dengan pengantin wanita.’”[17]
Mereka
itulah para ibu kita terdahulu, bintang-bintang malam di langit kebesaran dan
cahaya yang indah di kening tekad yang menggebu. Itulah sedikit dari
pembicaraan tentang jihad mereka yang tidak membiarkan seseorang mengatakan
“konon”, tidak memberikan kesempatan kepada orang yang sombong yang menjadi
saksi salah satu rahasia kekuatan terbesar, yang menyebabkan bangsa Arab yang
“ummi” menjadi sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia. Itulah jiwa yang
diberi celupan oleh Allah dengan rahmat-Nya, menyiraminya dari hikmah-Nya,
menciptakannya untuk mendidik prajurit-Nya, serta menyiapkannya untuk
menyucikan (makhluk) ciptaan-Nya.
سَلاَمٌ
عَلَى تِلْكَ الْخَلاَئِقِ إِنَّهَا
مُسَلَّمَةٌ مِنْ كُلِّ عَارٍ وَمَأْثَمٍ
مُسَلَّمَةٌ مِنْ كُلِّ عَارٍ وَمَأْثَمٍ
Kesejahteraan
atas para manusia
Karena terbebas dari segala aib dan dosa.[18]
Karena terbebas dari segala aib dan dosa.[18]
Ini
adalah kisah-kisah yang berisikan ibrah (pelajaran berharga), penulis kemukakan
di sini agar para wanita kita membaca-nya dan belajar dari generasi pertama;
bagaimana mereka menjadi isteri, dan bagaimana mereka bersabar terhadap
ketentuan Allah dan tidak bersedih.
Juga
agar mereka dapat belajar dari biografi mereka dalam berjihad; betapa banyak
mereka mengaitkan hati mereka kepada Allah, tidak kepada dunia berikut
perhiasannya yang hina. Demikian pula agar mereka melihat bagaimana wanita
membantu suami dan anaknya untuk mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adakah
jalan untuk kembali, dan adakah (kesempatan) kembali kepada agama kita?
[Disalin
dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin
Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z,
Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
Komentar
Posting Komentar