Semua
berawal dari cinta
Ketika cinta sudah memilih
Tak Peduli apapun rintangannya
Setiap jalan akan dilewati
Agar bisa bersama
Dia
Yang kau sebut cinta sejati
Susi
Gustiana
Aku
percaya tentang ketulusan cinta. Bagi sebagian orang, menikah beda agama adalah
hal yang lumrah dan merupakan hak asasi setiap individu. Namun, tidak bagi
sebagaian orang yang mengatasnamakan kepercayaan. Kepercayaan kepada tuhan dapat
melahirkan fanatisme pada sesuatu yang kita yakini. Hingga menikah beda agama
menjadi hal yang tabu di Indonesia dan seringkali berakhir tidak adil. Hal itu
karena akan ada individu yang dikorbankan. Entah tidak diakui sebagai keluarga
atau mendapat sanksi sosial.
Ketika
adik sepupuku memilih jalan menikah dengan kekasihnya yang notabene beda agama
dengannya beberapa tahun yang lalu. Semua keluarga kaget, karena dia telah
melahirkan anak dari buah cintanya. Merried By Accident itulah, tetangga dan
orang-orang dikampung mengatakan a, b, c dan d tentangnya dan keluarganya. Untungnya,
dia (adik sepupuku itu) sangat tegar dan cuek-cuek saja, karena dia telah
memilih jalan itu, maka apapun rintangannya dia berusaha hadapi.
Hingga
orangtua adik sepupuku bersedia menikahi puterinya dengan syarat si laki-laki
harus masuk islam. Dipihak keluarga laki-laki juga begitu mendapatkan ancaman
juga jika keluar dari agamanya maka tidak akan diakui sebagai anak dan akan
mendapatkan sanksi sosial. Sekilas dari kisah ini, aku berpikir, kenapa setiap
orang begitu egosi? Kita tidak boleh mempermasalahkan jika itu menyangkut agama
karena itu mutlak.
Tibalah
dimana hari resepsi pernikahan, ayah si perempuan sudah menikahkan anaknya pada
malam harinya. Dengan sabar, sang ayah menikahi puterinya dengan cara islam
tetapi si pria tidak memeluk agama islam. Dipagi hari hanya ada acara resepsi,
tetapi orang-orang berkumpul seakan ada yang memprovokasi. Hal itu, membuat
para tokoh adat dan tokoh agama dikampung itu ingin menghakimi pengantin pria
karena janjinya yang tak kunjung masuk islam. Mereka sampai ingin menyeret si pengantin pria ke kantor polisi.
Si
pengantin pria kemudian naik Bis menuju Bali, dan selang beberapa bulan sang
istri mengikutinya ke pulau dewata tersebut. Karena cinta sudah memilih jalannya,
semuanya atas kehendak Allah SWT.Kisah
di atas bukan hanya terjadi di keluarga saya. Keluarga teman saya juga alami
hal yang nyaris sama. Bahkan pernikahan selebritis beda agama yakni Asmiranda
dan Jonas Rivano juga menjadi sorotan media tanah air beberapa tahun lalu.
Mari kita coba menelusuri ‘perkawinan beda agama’
di situs mesin pencarian populer seperti
google, hasilnya dalam 0,01
detik akan keluar telusuran sebanyak lebih dari puluhan
juta. Isinya beragam, mulai perdebatan, kasus, undang-undang hingga berita
pernikahan beda agama selebritis tanah air.
Akhir-akhir ini topik perkawinan
beda agama kembali mencuat ke permukaan setelah beberapa alumni Fakultas Hukum
(FH) Universitas Indonesia (UI) mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA)
perihal Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2.
Isinya “perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaan itu”.
Kalau ditelisik, sebenarnya tidak ada
larangan pernikahan beda agama menurut hukum nasional maupun agama.
Pencatatan perkawinan di Kantor Catatan
Sipil berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 2
ayat (1), pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No 32 Tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Pasal 2 ayat (2), pencatatan perkawinan dari
mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan selain agama
Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
Lembaga perkawinan non-Islam atau lembaga
perkawinan di luar Kantor Urusan Agama (KUA), secara yuridis masih dianggap
belum sah, karena itu perkawinan di luar KUA harus mencatatkan perkawinan di
kantor Pencatatan Perkawinan.
Pasal 28B ayat (1), Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 menyebutkan tiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah. Pasal 29 UDU 1945 menyebutkan ayat (1)
negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa, ayat (2) menyebutkan negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat
menurut agama dan kepercayaan itu.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1
Tentang Perkawinan menyebutkan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Peneliti
dari Human Right Watch (HRW), Andreas Harsono, dilansir dari Kompas.com mengatakan, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 mengakibatkan
diskriminasi terhadap pasangan beda agama. Ia melihat pasal tersebut telah
membuat warga yang ingin menikah beda agama harus mengorbankan agama dan
kepercayaannya demi mendapat status hukum yang sah.
Apalagi
diperkuat dengan pasal 8 huruf (f) yang menyebutkan perkawinan dilarang antara
dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
berlaku, dilarang kawin.
Pun salah
satu prinsip dasar dalam perkawinan adalah kerelaan dari kedua orang yang
terlibat dalam pernikahan. Hal ini, menurut Andreas, sudah ditegaskan dalam
International Covenant on Civil and Political Rights.
Sebenarnya kalau melihat isi undang-undang
yang sama di pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan, perkawinan harus didasarkan
atas persetujuan kedua calon mempelai, sudah sesuai. Namun, terlihat tak
sejalan dengan isi pasal 2 ayat (1).
Bagaimanapun undang-undang ini menjadikan masyarakat Indonesia yang
ingin melangsungkan perkawinan beda agama tak punya pilihan. Sebenarnya mereka
memiliki pilihan, pertama, harus memilih siapa di antara mereka yang ‘berserah
diri’ menganut agama pasangannya. Kedua, melangsungkan pernikahan di luar
negeri dan ‘merelakan’ perkawinan mereka tak tercatat di Kantor Catatan Sipil.
Ini berarti mereka tak punya payung hukum untuk melindungi perkawinan
mereka. Atau memilih memoduskan hukum dengan menjalankan perkawinan secara
adat. Miris!
Bayangkan, bahkan hanya untuk menikah saja masyarakat Indonesia harus pusing-pusing
memikirkannya.
Hal ini penting diperhatikan karena persoalan perkawinan beda agama di
Indonesia adalah permasalahan hukum. Sedangkan penafsiran agama mengenai
perkawinan beda agama didasarkan pada tafsir-tafsir agama. Karena Indonesia
bukanlah negara agama, jadi yang menjadi acuan adalah hukum nasional.
Bagaimanapun hukum nasional haruslah berdasarkan pada filosofi bangsa
Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, semua pembentukan dan pembuatan
hukum serta undang-undang di Indonesia haruslah berdasarkan pada keragaman
masyarakat di Indonesia.
Setiap
warga negara berhak dijamin kebebasan beragama, keyakinan dan kepercayaannya
dengan jaminan keamanan dan perlindungan dari negara. Itulah kenapa dalam hak
asasi manusia (HAM) setiap pembuatan perundang-undangan harus sudah
mempertimbangkan negara untuk mempromosikan, melindungi dan memenuhi hak-hak
dasar masyarakat.
Secara singkat, ada dua hal
permasalahan HAM yang muncul akibat UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2. Pertama, sah atau tidaknya sebuah
perkawinan beda agama. Kedua, pencatatan perkawinan beda agama.
Bagaimanapun,
penolakan terhadap perkawinan beda agama baik dari segi pelaksanaan maupun
pencatatannya jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip hak asasi
manusia, terutama hak beragama dan berkeluarga.
Intinya, baik yang pro maupun kontra, STOP saling mendiskriminasi. Mari
menjalankan agama sesuai kepercayaan masing-masing, dan tidak perlu merasa
paling benar. Bagiku satu hal saja cukup, Bagiku agamaku, bagimu agama mu. Agama
itu tidak bisa dipaksakan, karena itu hak prerogatif tuhan akan memberikan
hidayah kepada hambanya yang dipilih.
Namun, pernikahan beda agama
yang dilakukan adik sepepuku membuatnya tidak bisa mendapatkan buku nikah dan
tidak tercatat di pencatatan sipil. Itulah alasan banyak orang yang menikah
diluar negeri karena menikah beda agama disana diakui dan mendapatkan buku
nikah secara sah.
Setelah beberapa tahun, aku kembali dihubungi oleh adik sepupuku yang
mengabarkan bahwa keponakanku akan masuk sekolah. Untuk sekolah persyaratannya
harus punya akte kelahiran. satu-satunya jalan yang aku tempu karena
orangtuanya tidak memiliki buku nikah adalah membuat kartu keluarga yang si A
dan ibu nya masuk ke dalam kartu keluarga orangtuanya dimana si A akan tetap
sebagai ibu dan ayahnya tidak disebutkan.
Karena si sepupuku juga belum pisah dengan kartu keluarga orangtuanya.
Alasanya, rumit jika membuat Kartu keluarga karena pasti akan diminta bukti
nikah. Sebelum ayah si sepupuku meninggal karena penyakit yang dideritanya,
beliau memiliki permintaan kepadaku, beliau ingin aku melihat anaknya, mengurus
adminstrasi apapun yang dibutuhkan sepupuku kelak. Dan aku mengatakan iya,
jangan khawatir, aku akan membantu sebisaku. Sungguh sedih sekali, tetapi
itulah fakta yang terjadi. Selalu saja, anak yang menjadi korban atas perilaku
orangtua.
Dihari Nyepi tahun 2020 ini, tiba-tiba aku teringat kisah dan jalan cinta
yang dipilih sepupuku itu. Hingga kini, dia (sepupuku) belum memilih agama apa
yang dianutnya, apa tetap menjadi muslim atau pindah agama mengikuti suaminya
menjadi hindu. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk pernikahan mereka,
karena bagaimanapun mereka memiliki buah hati yang harus mendapatkan kasih sayang
dari kedua orangtuanya.
Komentar
Posting Komentar