Tolong jangan bercerita
Kami malu…..
Kasus ini mencoreng nama keluarga besar kami
(begitulah yang dikatakan para korban maupun
pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak)
Budaya dan agama yang melekat pada suatu
masyarakat sangat mempengaruhi korban baik perempuan maupun anak. Budaya atau
adat istiadat orang Sumbawa sebagai mayoritas memeluk agama islam sangat
bertumpu pada syariat agama tersebut, yaitu ‘adat barenti ko syara’,’syara
barenti ko kitabulla’ artinya masyarakat Sumbawa sangat berpegang teguh
terhadap nilai-nilai agama serta malu berbuat buruk. Sikap hidup malu yang
dimiliki yang sudah ada dalam jati diri orang Sumbawa membuat korban baik
perempuan ataupun anak enggan melaporkan kasus kekerasan yang menimpanya.
Menurut Prof. Dr. Syaifuddin Iskandar (2012:4) Sikap hidup “malu” (budaya malu)
ini sesungguhnya telah lama hidup dalam sanubari tau samawa (orang Sumbawa)
sehingga sikap tersebut ada dalam konsep budaya samawa ‘To ke Ila’ yang jika dijabarkan
menjadi ‘ila boat lenge’ (malu berbuat buruk) dan ‘ila ya capa leng dengan’
(malu diremehkan teman). Hal itu menurut hemat penulis jika dikontekstualkan
dengan korban kekerasan yakni perempuan dan anak maka mereka akan merasa sangat
malu apabila menceritakan apa yang telah mereka alami kepada orang lain seperti
pemerkosaan, pencabulan, perzinahan, ditempeleng suami karena semua contoh
diatas masih dianggap tabu oleh masyarakat kebanyakan. Hal itulah yang menjadi penyebab
kenapa banyak korban enggan melaporkan ataupun mengadukan kekerasan yang
dialaminya kepada P2TP2A. Seperti yang diungkapkan Bripka Arifin Setyoko Kanit
PPA Polres Sumbawa
“Kebanyakan korban yang datang melapor,
mayoritas dari mereka malu untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi
sehingga kami sebagai penyidik dituntut harus bisa mengajak obrol korban dengan
tenang agar mereka bisa bercerita lebih banyak dan menganggap kami layaknya
keluarga mereka bahkan kasus pencabulan anak yangmana pelakunya adalah
anak-anak SD waktu pas pemeriksaan pertama mereka tidak mau bercerita setelah
kami meminta orangtua agar tidak mendampingi anaknya di ruang pemeriksaan
barulah si anak mau cerita sehingga waktu itu si anak bilang saya malu dan
takut kepada orangtua saya sebenarnya saya benar melakukan itu kepada teman
saya begitulah pernyataan anak itu” (Wawancara tanggal 20 Agustus 2015)
Disamping itu Advokasi P2TP2A Fatriaturrahma
juga menyatakan hal yang sama para korban sangat malu menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi seperti kasus KDRT misalnya mereka masih menganggab
persoalannya sangat tabuh untuk diceritakan. Selain itu, budaya dan agama yang
melekat pada korban akan mempengaruhi sikapnya bahkan istri dipukul oleh suami
itu masalah wajar atau anak dipukul oleh bapak dan ibunya itu wajar saja
sepenjang mendidik tanpa melihat hak asasi manusia yang dimiliki setiap orang.
Agama bahkan melarang istri dan suami bercerai begitupula anak juga dilarang
berbuat durhaka kepada orangtuanya. Hal itu menjadi dilematis dalam penanganan
tindak kekerasan yang dilakukan P2TP2A.
Selengkapnya di Skripsi Susi Gustiana
Komentar
Posting Komentar