Susi Gustiana
“Dunia kita sedang menuju kepada
kehancuran, jika kita tetap bertindak seperti dulu, laut dan sungai akan
menjadi steril, tanah akan menjadi infertil, diperkotaan udara tidak lagi bisa
digunakan untuk bernafas dan yang bisa bertahan hidup hanyalah
specimen-spesimen tertentu yang membentuk ras baru umat manusia”
(Andre
Gorz.2003)
Meneropong masa depan ekologi dunia, penggalan Tesis
Futurolog Perancis Andre Gorz diatas seolah menjadi pembenaran. Kekhawatiran
ini bukan lagi berada dalam khayalan, tetapi saat ini kita melihat dan
menyaksikannya. Kerusakan lingkungan terjadi akibat penebangan hutan, konflik
perebutan lahan antara masyarakat pribumi dan non pribumi terus terjadi, kegiatan
eksplorasi dan ekploitasi pertambangan terus mengusik ketenangan semu. Rasa
pesimisme akan perbaikan ekologi negeri ini seolah menjalar sampai ke bagian
timur khususnya di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kebijakan
Kehutanan di Indonesia
Pemanfaatan
sumber daya alam di Indonesia tercermin dalam pasal 33 UUD 1945 yang
menyebutkan bumi, air dan kekayaan alam lainnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tafsir atas teks
“Negara” dalam konstitusi tersebut oleh rezim yang berkuasa sengaja
diekspresikan tunggal sebagai pemerintah bukan pemerintah dan “rakyat”. Hasil
dari interprestasi itu paradigma yang dikembangkan adalah penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya hutan berbasis pemerintah (government based forest
resource and management).[1] Dalam kenyataannya, pengelolan hutan
seringkali lepas dari amanat konstitusi.
Sebagaimana temuan Kunio Yoshihara
dalam risetnya sebagai ersatz capitalism[2]
membawa pengaruh pada ranah hukum dan kebijakan kehutanan di Indonesia.
Ekspresi hukum kehutanan di Indonesia_meminjam istilah Nonet dan Selznick bersifat
refresif. Dikategorikan refresif karena hukum tersebut dicirikan lebih
menonjolkan pendekatan keamanan, menekankan sanksi-sanksi, membatasi dan
menutup akses masyarakat, bahkan mengusir hak-hak rakyat dalam pengelolaan
hutan.
Implikasinya sering terjadi
stigmatisasi yang sering dilekatkan pada rakyat sebagai pelanggar hukum,
penjarahan sumber daya hutan, peladang liar, perumput liar, peternak liar, dan
sebagainya.
PENYEBAB
KERUSAKAN HUTAN
Sebenarnya
apa penyebab kerusakan hutan? Hal ini bukan karena pertambahan penduduk semata.
Kawasan-kawasan subur di bumi dapat dengan mudah menopang populasi dunia—dan
bahkan dalam jumlah yang jauh lebih besar.
Beberapa
pemerintah mendesak para petani untuk mengubah tanah mereka menjadi tempat
rekreasi, seperti tempat perkemahan, lapangan golf, atau taman margasatwa.
Lalu, mengapa hutan dunia menciut? Kita harus mencermati penyebab-penyebab
kerusakan hutan yang sudah dapat di katakan sulit untuk ditanggulangi.Jauh
sebelum adanya ledakan penduduk, banyak pemerintah menjarah hutan demi mengejar
kekuasaan dan kekayaan. Akan tetapi, setelah perang dunia kedua, gergaji
mesin dan buldoser telah memungkinkan kerusakan hutan dalam
skala yang lebih luas. Semakin banyak hutan yang rapuh dieksploitasi sebagai
sumber pendapatan.
Perusahaan-perusahaan
besar membeli areal tanah subur yang sangat luas dan menggunakan peralatan
mekanis untuk menuai panenan siap jual. Karena diberhentikan dari pekerjaan,
ribuan orang desa pindah ke kota. Namun, yang lainnya tergerak pindah ke hutan
hujan. Lahan semacam itu kadang-kadang didengungkan sebagai ”tanah tanpa
penduduk untuk penduduk tanpa tanah”. Pada saat orang-orang sadar betapa sukarnya
berladang di tempat semacam itu, kerap kali itu sudah terlambat—hutan yang
terbentang luas telah hilang.
Korupsi
di kalangan pejabat juga telah berperan dalam menyebabkan kerusakan hutan. Izin
penebangan mendatangkan banyak uang. Karena disuap, beberapa pejabat yang tidak
jujur telah diketahui memberikan konsesi jangka pendek kepada perusahaan yang
menjarah kayu dengan mengabaikan konservasi.
Akan
tetapi, ancaman terbesar terhadap satwa liar di hutan bukanlah penebangan,
melainkan pengubahan hutan menjadi lahan pertanian. Apabila tanahnya subur,
dalam beberapa kasus pengubahan semacam itu mungkin dibenarkan. Tetapi sering
kali, para pejabat yang korup dan tidak becus secara tidak perlu mengizinkan
penebangan hutan yang tidak akan pernah bisa pulih ke kondisi semula,dan
akhirnya kerusakan hutan tidak dapat di elakkan lagi.
Para
kriminal juga merusak hutan. Penebang ilegal dengan diam-diam memotong pohon
yang berharga, bahkan yang di taman-taman nasional. Kadang-kadang mereka
menggergaji gelondongan menjadi papan langsung di hutan—praktek yang boros dan
ilegal. Penduduk setempat dibayar untuk membawa kayu dengan sepeda atau bahkan
pada punggung mereka. Lalu, untuk menghindari pos-pos pemeriksaan, truk-truk
mengangkutnya melewati jalan-jalan gunung yang sunyi setelah hari gelap. Secara
umum, kerusakan hutan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
faktor mentalitas manusia, kepentingan ekonomi, dan penegakan hukum yang lemah.
1. Mentalitas
Manusia
Faktor
internal manusia yang berkontribusi positif terhadap kerusakan hutan
diantaranya karena pandangan antrhropocentric yang banyak
dianut oleh manusia. Antrhropocentric adalah salah satu
aliran pemikiran yang berpandangan bahwa manusia adalah pusat dan tujuan akhir
dari alam semesta. Aliran ini mempercayai bahwa realitas dapat dijelaskan
secara benar hanya atas basis bentuk-bentuk subjektif pengalaman manusia.
Dengan
pandangan ini, manusia memposisikan dirinya sebagai pihak yang dominan,
sehingga tindakan yang dilaksanakannya lebih banyak didominasi untuk
kepentingan manusia dan sering hanya memikirkan kepentingan sekarang daripada
masa yang akan datang. Akhirnya hutanpun dianggap hanya sebagai sumber
penghasilan yang dapat dimanfaatkan dengan sesuka hati. Masyarakat biasa
melakukan pembukaan hutan dengan berpindah-pindah dengan alasan akan dijadikan
sebagai lahan pertanian. Kalangan pengusaha menjadikan hutan sebagai lahan
perkebunan atau penambangan dengan alasan untuk pembangunan serta menampung
tenaga kerja yang akan mengurangi jumlah pengangguran. Tetapi semua itu
dilaksanakan dengan cara pengelolaan yang eksploitatif yang akhirnya
menimbulkan kerusakan hutan.
2. Kepentingan
Ekonomi
Dalam
mengelola hutan kepentingan ekonomi masih lebih dominan dibanding kepentingan
kelestarian ekologi, akibatnya agenda yang berdimensi jangka panjang yaitu
kelestarian ekologi menjadi terabaikan.
Proses
ini berjalan linear dengan akselerasi otonomi daerah. Otonomi daerah pada
umumnya mendorong setiap daerah mencari komposisi sumberdaya yang paling
optimal. Daerah yang kapabilitas teknologinya rendah cenderung akan membasiskan
industrinya pada bidang yang padat yaitu sumber daya alam. Hal ini ditambah
dengan adanya pemahaman bahwa mengeksploitasi sumber daya alam termasuk hutan
3. Penegakan
Hukum yang Lemah
Penegakan
hukum di bidang kehutanan baru menjangkau para pelaku di lapangan saja.
Biasanya mereka hanya masyarakat kecil yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan
hidup sehari-harinya. Mereka hanyalah suruhan dan bukan orang yang paling
bertanggungjawab. Orang yang menyuruh mereka dan paling bertanggungjawab justru
banyak yang belum tersentuh hukum. Mereka biasanya mempunyai modal yang besar
dan memiliki jaringan.
Langkah-langkah
Mengatasi Kerusakan Hutan
Langkah pertama yang
harus dilakukan oleh pemerintah sebagai penentu kebijakan harus segera
melakukan pemulihan terhadap kerusakan hutan harus untuk menjaga agar tidak
terjadi kerusakan yang lebih parah. Untuk melaksanakan pemulihan terhadap
kerusakan hutan yang telah terjadi, pemerintah dengan mengajak seluruh lapisan
masyarakat, dari kalangan individu, kelompok maupun organisasi perlu secara serentak
mengadakan reboisasi hutan dalam rangka penghijauan hutan kembali sehingga pada
10 - 15 tahun ke depan kondisi hutan Indonesia dapat kembali seperti sedia
kala. Pelaksanaan penghijauan tersebut harus lebih mengaktifkan masyarakat
lokal ( masyarakat yang berada di sekitar hutan ) untuk secara sadar dan
spontan turut menjaga kelestarian hutan tersebut.
Langkah kedua,
pemerintah harus menerapkan cara-cara baru dalam penanganan kerusakan hutan.
Pemerintah mengikutsertakan peran serta masyarakat terutama peningkatan
pelestarian dan pemanfaatan hutan alam berupa upaya pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan latihan serta rekayasa kehutanan.
Langkah ketiga adalah pencegahan
dan peringanan. Pencegahan di sini dimaksud kegiatan penyuluhan / penerangan
kepada masyarakat lokal akan penting menjaga fungsi dan manfaat hutan agar
dapat membantu dalam menjaga kelestarian hutan dan penegakan hukum yang tegas
oleh aparat penegak hukum, POLRI yang dibantu oleh POL HUT dalam melaksanakan
penyelidikan terhadap para oknum pemerintahan daerah atau desa yang
menyalahgunakan wewenang untuk memperdagangkan kayu pada hutan lindung serta
menangkap dan melakukan penyidikan secara tuntas terhadap para cukong - cukong
kayu yang merugikan negara trilyunan rupiah setiap tahunnya. Peringanan yang
dimaksud di sini adalah pemerintah harus melaksanakan analisa terhadap
pelaksanaan peraturan tersebut di dalam masyarakat. Bila ditemukan hal - hal
yang tidak cocok bagi masyarakat sebaiknya pemerintah mengadakan revisi
terhadap undang - undang tersebut sepanjang tujuan awal pembuatan undang -
undang itu tidak dilanggar.
Langkah terkahir adalah
adanya kesiapsiagaan yang berlangsung selama 24 jam terhadap penjagaan terhadap
kelestarian hutan ini. Pemerintah harus melaksanakan pengawasan dan
pengendalian secara rutin dan situasional terhadap segala hal yang berkaitan
adanya informasi kerusakan hutan yang didapatkan melalui media massa cetak
maupun elektronik ataupun informasi yang berasal dari masyarakat sendiri.
Pemerintah harus melakukannya secara kontinyu dan terus - menerus sehingga
kalaupun ada kerusakan hutan yang dilakukan oleh oknum tertentu dapat segera
diambil langkah yang tepat serta dapat mengurangi akibat bencana/ disaster yang
akan ditimbulkan kemudian.
[1]
Lihat Nancy Lee Peluso, Rich Forest, Poor People: Resource Control and
Resistance in Java, Barkeley, USA: University Of California Press, 1992
[2]
Kunio Yoshihara, The Rise of Ersatz capitalism in south asia, Oxfort
University,1988.

Komentar
Posting Komentar