Fotografi yang baik dan benar adalah fotografi yang bisa
merekam sebuah realita dengan tepat. Realita yang tiga dimensi, lengkap dengan
segala atmosfernya, harus bisa disederhanakan dalam sebuah foto yang dua
dimensi.
Dunia fotografi adalah dunia multi media. Semua orang saat
ni bisa memotret karena berbagai kecanggihan teknologi telah membuat segalanya
jadi mudah. Namun apakah dengan mudahnya memotret lalu foto semua orang jadi
bagus ? Apakah bisa memotret identik dengan bisa menghasilkan foto yang bagus ?
Pertanyaan tadi bisa
dimisalkan dengan dunia membaca. Orang yang buta huruf bisa diajari untuk mampu
membaca. Namun, di antara orang-orang
yang bisa membaca itu, berapa persenkan yang mampu membuat puisi ? Berapa
persenkah yang mampu membuat cerpen ? Dalam analogi fotografi, orang bisa
memotret tidak identik dengan orang yang bisa menghasilkan foto bagus.
Sebuah foto yang bagus adalah foto yang komunikatif dan bisa
dipahami orang awam sekali pun. Maka, hal terpenting pada seorang fotografer
adalah “menemukan” apa yang harus dipotretnya.
Saat ditugaskan untuk memotret lingkungan sekitar,
pertanyaan yang menggelayut di benak seorang fotografer pemula adalah,” Apa
saja yang harus saya potret ?”
Dalam dunia digital saat ini, mungkin ada yang berpikir,”
Potret saja sebanyak-banyaknya. Toh nanti bisa dihapus lagi kalau tidak perlu.”
Pernyataan tadi tampaknya logis dan benar, tapi dalam
kenyataannya tidaklah demikian. Terlalu banyak mengambil gambar menyulitkan
pemilihannya nanti. Juga, dengan jalan berpikir menggampangkan demikian,
seorang fotografer tidak terlalu punya konsentrasi tinggi dalam melihat
masalah. Benaknya hanya diisi perintah,” Potret, potret, dan potret saja.” Ia
lebih sebagai tukang potret daripada seorang fotografer.
Seorang fotografer yang baik, tidak terlalu mudah
menjepretkan kameranya. Benaknya terus berpikir saat matanya mengintip dari
lubang bidik. Selain ia sudah punya gambaran apa saja yang harus dipotretnya,
ia juga tahu betul alasan setiap kali ia menjepretkan kameranya. Terlalu boros
menjepretkan kamera membuat ia bisa-bisa justru kehilangan “tenaga” saat momen
yang lebih baik tiba di depan mata.
Namun kenyataan bahwa lebih baik punya kelebihan foto daripada
kekurangan foto tetap benar adanya. Janganlah terlalu pelit dalam memotret,
namun juga jangan terlalu boros.
Kerangka Berpikir
Memang sulit untuk memberikan gambaran total tentang hal di
atas. Namun mari kita mengambil contoh kasus peristiwa robohnya papan iklan di
Jalan Trunojoyo, Jakarta, Rabu (14/11-2007) lalu. Peristiwa itu memberikan
sebuah contoh riil dalam fotografi betapa untuk peristiwa sesederhana itu bisa
muncul kemungkinan-kemungkinan berpikir dalam diri seorang fotografer. Dari peristiwa
itu terlihat bahwa kejelian seorang fotografer membedakan dirinya dengan yang
lain. Namun, kejelian pada suatu hal sering juga membuatnya melewatkan hal
lain.
Hal menonjol pada robohnya papan reklame tadi adalah:
1. Jalanan jadi macet
2. Ada mobil tertimpa
3. Seberapa besarkah ukuran tiang papan iklan itu ?
Ketiga hal itu bisa didapat sang fotografer setelah mencapai
tempat kejadian. Lalu, berbekal tiga hal utama tadi, seorang fotografer harus mengembangkan ide yang hanya tiga ini
untuk mendapatkan sebuah foto yang “berbicara”.

Foto 1

Foto 2

Foto 3
Foto4
Mari kita telaah keempat foto di atas.
Foto 1 adalah foto yang sangat “tumpul”.
Mobil tergencet sebenarnya harus menjadi “inti” foto itu, namun malah
ditempatkan di sisi terjauh. Suasana heboh di jalan raya juga tak tergambar
dari foto itu.
Foto 2 sudah menonjolkan korban mobil dan seorang polisi
yang menjadi “bumbu” foto. Namun suasana kemacetan dan kehebohan tak terasa.
Foto 3 menggambarkan semua kehebohan namun tak bisa
“berceritera” tentang mobil yang ada di bawah papan reklame.
Foto4 adalah foto yang terbaik karena bisa menggambarkan
semua itu.
Dalam Fotografi, Persiapan adalah Segalanya
Secara kasat mata, kerja seorang fotografer tampak seperti
ini : datang, memotret lalu pergi. Padahal sesungguhnya, kerja di lapangan itu
hanya sepersekian dari kerja total yang dilakukan seorang fotografer. Bagian
terbesar dari kerja di bidang ini justru di persiapannya.
Persiapan yang paling mendasar adalah kemampuan teknis. Hal
ini tidak bisa dipelajari dalam waktu singkat. Perlu waktu beberapa hari sampai
bulan untuk menguasai teori fotografi dasar dan juga pengenalan pada alat yang
dipakai. Pada pemakaian lensa non-otofokus, harus ada pembiasaan dalam memutar
gelang fokus. Ada lensa yang memutar searah jarum jam untuk mendapatkan fokus
tak terhingga, namun ada yang sebaliknya. Lampu kilat dari dua jenis dengan
merk yang sama pun sering punya aturan penyetelan yang berbeda. Pendeknya,
seorang fotografer harus sangat kenal dengan benda-benda yang akan dipakainya.
Hal terpenting yang harus diingat adalah, kerja seorang
fotografer tidak kenal waktu. Kejadian yang harus dipotret bisa datang kapan
pun. Maka, semua peralatan seorang fotografer juga harus dalam keadaan siap.
Kondisi selalu siap ini bisa dicapai kalau seorang jurnalisfoto bisa
mendisiplinkan diri untuk selalu mengembalikan segala sesuatu pada tempatnya
dan pada kondisi terbaiknya.
Sebenarnya
bagaimanakah membuat kondisi siap itu?
Tidaklah terlalu muluk-muluk untuk bisa mendapatkan kondisi
siap setiap saat. Setiap habis mengosongkan kamera (film atau perekam digital),
biasakan untuk segera mengisinya kembali dan memasukkan ke tempat seharusnya
(tas atau tempat lain). Setiap ada kesempatan, kosongkan perekam digital
kamera, atau jangan pernah membiarkan kamera kosong tanpa film.
Untuk peralatan lain seperti lampu kilat, janganlah sampai
terjadi ketidakmampuan menghasilkan gambar akibat baterai lemah. Biasakan lampu
kilat selalu terisi baterai segar, dan usahakan selalu mempunyai baterai
cadangan yang cukup.
Dan yang lebih penting lagi adalah, bawalah perlengkapan
yang sesuai setiap kali ada penugasan pemotretan. Kata “sesuai” di sini sangat
perlu digarisbawahi sebab pengertiannya bisa sangat luas.
“Seusai” yang pertama adalah, tidak terlalu berat tapi
memenuhi segenap kebutuhan yang ada. Tidak terlalu berat adalah hal yang tidak
bisa ditawar. Kerja fotografer tidak kenal tempat, serta umumnya tidak mengenal
bantuan orang lain. Seorang fotografer harus bisa mandiri dalam kerjanya. Peralatan yang terlalu berat akan membatasi
gerakannya.
Namun, walau ringan, tidak boleh ada kekurangan peralatan
saat kerja dilakukan. Jadi, berat maksimal yang bisa dibawa adalah untuk
kategori kelengkapan selengkap-lengkapnya. Untuk itu seorang fotografer harus
tahu betul peralatan mana yang perlu dibawa dan peralatan mana yang ditinggal
saja.
Sebagai contoh, dalam upaya memotret bencana alam gunung
meletus, seorang fotografer harus tahu
bahwa dirinya akan melakukan pemotretan dengan banyak berjalan kaki di medan
yang sulit. Hal pertama yang langsung harus disimpulkan adalah, membawa tas
kamera yang di punggung. Tas kamera yang disandang lebih sesuai untuk
pemotretan di dalam gedung.
Dan karena memerlukan banyak pergerakan di alam bebas, lensa
yang dipilih sebaiknya yang ringan-ringan. Asumsi bahwa pemotretan dilakukan di
luar ruang sudah cukup untuk pembenaran
bahwa lensa yang dibawa adalah lensa-lensa lambat (bukaan diafragmanya
tidak terlalu besar). Tapi lensa tele adalah salah satu pilihan wajib mengingat
sebagian besar pemotretan pasti untuk jarak sedang sampai jauh. Sebagai contoh,
untuk liputan di alam bebas ini, lensa 80-200/f5,6 lebih berguna daripada
80-200/f2,8.
Pastikan lensa lebar seberapa yang Anda butuhkan. Untuk
pemotretan sudut lebar di alam terbuka ini, zoom 20-35 mm (kamera film), atau
17-35 mm (kamera digital) barangkali sudah lebih dari cukup. Dalam pertimbangan
yang lebih dalam, lampu kilat bisa jadi pilihan untuk ditinggalkan.
Pada fotografer
pemula, rasa ketakutan akan kekurangan peralatan sering terjadi.
Akibatnya, mereka umumnya membawa peralatan yang terlalu banyak sehingga
pergerakan mereka pun terhambat karena keberatan. Bisa pula akhirnya banyak
kehilangan momen akibat sibuk dengan peralatan.
Sebaliknya untuk liputan dalam gedung, misalnya pergelaran
busana atau olahraga dalam ruang, lensa-lensa cepat (bukaan diafragmanya besar)
adalah pilihan pertama.
Yang di luar fotografi namun juga tidak boleh dilupakan
adalah perlengkapan lain seperti pakaian dan juga sepatu. Pada liputan
Kerusuhan Mei tahun 1998 lalu, ada seorang rekan fotografer yang terpaksa tidak
bisa melanjutkan liputan karena kakinya terkena pecahan kaca. Masalahnya, ia
berangkat meliput hanya dengan memakai sandal jepit. Dan saat memasuki ruangan
toko yang dijarah, sandalnya tidak mampu melindungi kakinya dari aneka
reruntuhan bangunan.
Kenali medan
Fotografi jurnalistik menuntut area kerja pemotretan yang
sangat luas. Banyak ketidakterdugaan bisa terjadi. Ketidakterdugaan selain pada
kejadian juga pada faktor-faktor yang dipengaruhi tempat. Sebagai contoh
ekstrim, memotret di pasar tradisional hanya kenal waktu-waktu tertentu. Ada
yang ramai hanya pada hari Senin, ada yang pada hari lain. Selain itu,
tanggapan masyarakat setempat terhadap kegiatan potret memotret sungguh berbeda
antara satu tempat dengan tempat lain.
Di beberapa tempat di Indonesia, penduduk ada yang yang
minta uang setiap kali merasa terpotret. Ada juga beberapa daerah di Indonesai
yang penduduknya agak takut untuk melihat ke kamera. Sementara di daerah lain,
mungkin sebaliknya.
Pengenalan tempat tidaklah harus untuk konsisi seekstrim
alinea di atas ini. Pada pemotretan di dalam kota, pengenalan tempat mungkin
hanya berkisar pada masalah sifat lalu lintasnya, lokasi cetak fotonya, atau mungkin
sekadar aturan lokal tempat yang akan dikunjungi.
Maka, adalah sangat berguna bagi seorang fotografer untuk
datang awal jauh sebelum waktu perencanaan pemotretanhya. Ini berguna untuk
jaga-jaga kalau ada sesuatu kekurangan peralatan yang dibawanya, juga untuk
mengetahui berbagai segi liputannya. Maka sebuah kalimat yang layak dirujuk
adalah: “Fotografer datang paling awal dan pulang paling akhir,” adalah kalimat
yang harus diterapkan kapan pun.
Pulang paling akhir dalam sebuah acara memang sekilas tampak
berlebihan. Namun bukti menunjukkan, sering foto bagus justru datang setelah
acara resminya berakhir. Pada saat kedatangan petinju George Foreman ke Jakarta
akhir tahun 1990-an lalu, hanya segelintir fotografer yang mendapatkan foto
Foreman bergaya dengan aneka pukulan tinju. Pada saat acara resminya, Foreman
berlaku sangat formil.
Memanfaatkan “pengetahuan lokal”
Kalau seorang
fotografer meliput di sebuah kota yang kurang dikenalnya, ada baiknya
memanfaatkan jasa taxi atau ojek atau tukang becak di tempat itu. Mereka adalah
orang-orang yang sangat sarat dengan info lokal, dari yang sekadar gosip sampai
info yang sangat penting.
Seorang supir taxi akan sangat mengenal sudut-sudut kotanya,
juga lokasi rumah orang-orang yang sedang menjadi berita. Untuk info yang lebih
detil akan sebuah lokasi, tukang becak dan tukang ojek sangat bisa
dimanfaatkan. Fotografer kondang James Nachtwey yang hampir selalu menjadi
pemenang World Press Photo, selama liputannya di Jakarta pada masa Reformasi
lalu, selalu memanfaatkan jasa tukang ojek untuk mengantarnya ke mana-mana.
Selain cepat, tukang ojek jarang salah untuk mengenali tempat-tempat tertentu.
Saat seorang warga negara Indonesia bernama Kartini akan
dihukum mati di Uni Emirat Arab tahun 2000 lalu (akhirnya dia dibebaskan),
sungguh hampir tidak mungkin bisa menemukan rumah keluarganya di Karawang tanpa
jasa tukang ojek. Waktu itu Harian Kompas cukup mencapai Karawang, lalu info
selanjutnya datang dari para tukang ojek yang tahu persis lokasi rumah Kartini.
Lebih jauh lagi, untuk liputan-liputan dalam waktu lama pada
situasi konflik, seorang fotografer perlu punya seorang “informan” yang sangat
tahu kondisi. Sebagai contoh, pada liputan konflik di Aceh pertengahan tahun
2003 ini, seorang jurnalisfoto harus tahu benar menempatkan posisi. Dengan
keharusan bahwa liputan harus both sides dan netral, seorang
jurnalisfoto harus tahu persis siapa saja yang bisa memberikan info dari kedua
belah pihak yang bertikai. Seorang fotojurnalis juga harus tahu kapan keadaan
cukup aman dan kapan keadaan mengharuskannya diam di tempat dulu. Mendapatkan
foto bagus memang tantangan, tapi keselamatan diri tetap nomor satu.
Barangkali kalimat terakhir yang layak dikutip adalah,”
Memang menyenangkan kalau bisa membawa pulang foto bagus. Namun lebih
menyenangkan lagi kalau bisa pulang dengan selamat.

Komentar
Posting Komentar