Langsung ke konten utama

Fotografi dan Informasi Visual Arbain Rambey, fotografer harian KOMPAS


Fotografi yang baik dan benar adalah fotografi yang bisa merekam sebuah realita dengan tepat. Realita yang tiga dimensi, lengkap dengan segala atmosfernya, harus bisa disederhanakan dalam sebuah foto yang dua dimensi.

Dunia fotografi adalah dunia multi media. Semua orang saat ni bisa memotret karena berbagai kecanggihan teknologi telah membuat segalanya jadi mudah. Namun apakah dengan mudahnya memotret lalu foto semua orang jadi bagus ? Apakah bisa memotret identik dengan bisa menghasilkan foto yang bagus ?

Pertanyaan tadi  bisa dimisalkan dengan dunia membaca. Orang yang buta huruf bisa diajari untuk mampu membaca.  Namun, di antara orang-orang yang bisa membaca itu, berapa persenkan yang mampu membuat puisi ? Berapa persenkah yang mampu membuat cerpen ? Dalam analogi fotografi, orang bisa memotret tidak identik dengan orang yang bisa menghasilkan foto bagus.

Sebuah foto yang bagus adalah foto yang komunikatif dan bisa dipahami orang awam sekali pun. Maka, hal terpenting pada seorang fotografer adalah “menemukan” apa yang harus dipotretnya.

Saat ditugaskan untuk memotret lingkungan sekitar, pertanyaan yang menggelayut di benak seorang fotografer pemula adalah,” Apa saja yang harus saya potret ?”
Dalam dunia digital saat ini, mungkin ada yang berpikir,” Potret saja sebanyak-banyaknya. Toh nanti bisa dihapus lagi kalau tidak perlu.”

Pernyataan tadi tampaknya logis dan benar, tapi dalam kenyataannya tidaklah demikian. Terlalu banyak mengambil gambar menyulitkan pemilihannya nanti. Juga, dengan jalan berpikir menggampangkan demikian, seorang fotografer tidak terlalu punya konsentrasi tinggi dalam melihat masalah. Benaknya hanya diisi perintah,” Potret, potret, dan potret saja.” Ia lebih sebagai tukang potret daripada seorang fotografer.

Seorang fotografer yang baik, tidak terlalu mudah menjepretkan kameranya. Benaknya terus berpikir saat matanya mengintip dari lubang bidik. Selain ia sudah punya gambaran apa saja yang harus dipotretnya, ia juga tahu betul alasan setiap kali ia menjepretkan kameranya. Terlalu boros menjepretkan kamera membuat ia bisa-bisa justru kehilangan “tenaga” saat momen yang lebih baik tiba di depan mata.

Namun kenyataan bahwa lebih baik punya kelebihan foto daripada kekurangan foto tetap benar adanya. Janganlah terlalu pelit dalam memotret, namun juga jangan terlalu boros.

 

 

 

Kerangka Berpikir


Memang sulit untuk memberikan gambaran total tentang hal di atas. Namun mari kita mengambil contoh kasus peristiwa robohnya papan iklan di Jalan Trunojoyo, Jakarta, Rabu (14/11-2007) lalu. Peristiwa itu memberikan sebuah contoh riil dalam fotografi betapa untuk peristiwa sesederhana itu bisa muncul kemungkinan-kemungkinan berpikir dalam diri seorang fotografer. Dari peristiwa itu terlihat bahwa kejelian seorang fotografer membedakan dirinya dengan yang lain. Namun, kejelian pada suatu hal sering juga membuatnya melewatkan hal lain.

Hal menonjol pada robohnya papan reklame tadi adalah:
1. Jalanan jadi macet
2. Ada mobil tertimpa
3. Seberapa besarkah ukuran tiang papan iklan itu ?

Ketiga hal itu bisa didapat sang fotografer setelah mencapai tempat kejadian. Lalu, berbekal tiga hal utama tadi, seorang fotografer  harus mengembangkan ide yang hanya tiga ini untuk mendapatkan sebuah foto yang “berbicara”.

Foto 1

Foto 2



Foto 3

Foto4


Mari kita telaah keempat foto di atas.

Foto 1 adalah foto yang sangat “tumpul”. Mobil tergencet sebenarnya harus menjadi “inti” foto itu, namun malah ditempatkan di sisi terjauh. Suasana heboh di jalan raya juga tak tergambar dari foto itu.


Foto 2 sudah menonjolkan korban mobil dan seorang polisi yang menjadi “bumbu” foto. Namun suasana kemacetan dan kehebohan tak terasa.

Foto 3 menggambarkan semua kehebohan namun tak bisa “berceritera” tentang mobil yang ada di bawah papan reklame.

Foto4 adalah foto yang terbaik karena bisa menggambarkan semua itu.

 

Dalam Fotografi, Persiapan adalah Segalanya


Secara kasat mata, kerja seorang fotografer tampak seperti ini : datang, memotret lalu pergi. Padahal sesungguhnya, kerja di lapangan itu hanya sepersekian dari kerja total yang dilakukan seorang fotografer. Bagian terbesar dari kerja di bidang ini justru di persiapannya.

Persiapan yang paling mendasar adalah kemampuan teknis. Hal ini tidak bisa dipelajari dalam waktu singkat. Perlu waktu beberapa hari sampai bulan untuk menguasai teori fotografi dasar dan juga pengenalan pada alat yang dipakai. Pada pemakaian lensa non-otofokus, harus ada pembiasaan dalam memutar gelang fokus. Ada lensa yang memutar searah jarum jam untuk mendapatkan fokus tak terhingga, namun ada yang sebaliknya. Lampu kilat dari dua jenis dengan merk yang sama pun sering punya aturan penyetelan yang berbeda. Pendeknya, seorang fotografer harus sangat kenal dengan benda-benda yang akan dipakainya.

Hal terpenting yang harus diingat adalah, kerja seorang fotografer tidak kenal waktu. Kejadian yang harus dipotret bisa datang kapan pun. Maka, semua peralatan seorang fotografer juga harus dalam keadaan siap. Kondisi selalu siap ini bisa dicapai kalau seorang jurnalisfoto bisa mendisiplinkan diri untuk selalu mengembalikan segala sesuatu pada tempatnya dan pada kondisi terbaiknya.

Sebenarnya  bagaimanakah membuat kondisi siap itu?

Tidaklah terlalu muluk-muluk untuk bisa mendapatkan kondisi siap setiap saat. Setiap habis mengosongkan kamera (film atau perekam digital), biasakan untuk segera mengisinya kembali dan memasukkan ke tempat seharusnya (tas atau tempat lain). Setiap ada kesempatan, kosongkan perekam digital kamera, atau jangan pernah membiarkan kamera kosong tanpa film.

Untuk peralatan lain seperti lampu kilat, janganlah sampai terjadi ketidakmampuan menghasilkan gambar akibat baterai lemah. Biasakan lampu kilat selalu terisi baterai segar, dan usahakan selalu mempunyai baterai cadangan yang cukup.

Dan yang lebih penting lagi adalah, bawalah perlengkapan yang sesuai setiap kali ada penugasan pemotretan. Kata “sesuai” di sini sangat perlu digarisbawahi sebab pengertiannya bisa sangat luas.

“Seusai” yang pertama adalah, tidak terlalu berat tapi memenuhi segenap kebutuhan yang ada. Tidak terlalu berat adalah hal yang tidak bisa ditawar. Kerja fotografer tidak kenal tempat, serta umumnya tidak mengenal bantuan orang lain. Seorang fotografer harus bisa mandiri dalam kerjanya.  Peralatan yang terlalu berat akan membatasi gerakannya.

Namun, walau ringan, tidak boleh ada kekurangan peralatan saat kerja dilakukan. Jadi, berat maksimal yang bisa dibawa adalah untuk kategori kelengkapan selengkap-lengkapnya. Untuk itu seorang fotografer harus tahu betul peralatan mana yang perlu dibawa dan peralatan mana yang ditinggal saja.

Sebagai contoh, dalam upaya memotret bencana alam gunung meletus, seorang fotografer  harus tahu bahwa dirinya akan melakukan pemotretan dengan banyak berjalan kaki di medan yang sulit. Hal pertama yang langsung harus disimpulkan adalah, membawa tas kamera yang di punggung. Tas kamera yang disandang lebih sesuai untuk pemotretan di dalam gedung.

Dan karena memerlukan banyak pergerakan di alam bebas, lensa yang dipilih sebaiknya yang ringan-ringan. Asumsi bahwa pemotretan dilakukan di luar ruang sudah cukup untuk pembenaran  bahwa lensa yang dibawa adalah lensa-lensa lambat (bukaan diafragmanya tidak terlalu besar). Tapi lensa tele adalah salah satu pilihan wajib mengingat sebagian besar pemotretan pasti untuk jarak sedang sampai jauh. Sebagai contoh, untuk liputan di alam bebas ini, lensa 80-200/f5,6 lebih berguna daripada 80-200/f2,8.

Pastikan lensa lebar seberapa yang Anda butuhkan. Untuk pemotretan sudut lebar di alam terbuka ini, zoom 20-35 mm (kamera film), atau 17-35 mm (kamera digital) barangkali sudah lebih dari cukup. Dalam pertimbangan yang lebih dalam, lampu kilat bisa jadi pilihan untuk ditinggalkan.

Pada fotografer  pemula, rasa ketakutan akan kekurangan peralatan sering terjadi. Akibatnya, mereka umumnya membawa peralatan yang terlalu banyak sehingga pergerakan mereka pun terhambat karena keberatan. Bisa pula akhirnya banyak kehilangan momen akibat sibuk dengan peralatan.

Sebaliknya untuk liputan dalam gedung, misalnya pergelaran busana atau olahraga dalam ruang, lensa-lensa cepat (bukaan diafragmanya besar) adalah pilihan pertama.

Yang di luar fotografi namun juga tidak boleh dilupakan adalah perlengkapan lain seperti pakaian dan juga sepatu. Pada liputan Kerusuhan Mei tahun 1998 lalu, ada seorang rekan fotografer yang terpaksa tidak bisa melanjutkan liputan karena kakinya terkena pecahan kaca. Masalahnya, ia berangkat meliput hanya dengan memakai sandal jepit. Dan saat memasuki ruangan toko yang dijarah, sandalnya tidak mampu melindungi kakinya dari aneka reruntuhan bangunan.


Kenali medan


Fotografi jurnalistik menuntut area kerja pemotretan yang sangat luas. Banyak ketidakterdugaan bisa terjadi. Ketidakterdugaan selain pada kejadian juga pada faktor-faktor yang dipengaruhi tempat. Sebagai contoh ekstrim, memotret di pasar tradisional hanya kenal waktu-waktu tertentu. Ada yang ramai hanya pada hari Senin, ada yang pada hari lain. Selain itu, tanggapan masyarakat setempat terhadap kegiatan potret memotret sungguh berbeda antara satu tempat dengan tempat lain.

Di beberapa tempat di Indonesia, penduduk ada yang yang minta uang setiap kali merasa terpotret. Ada juga beberapa daerah di Indonesai yang penduduknya agak takut untuk melihat ke kamera. Sementara di daerah lain, mungkin sebaliknya.

Pengenalan tempat tidaklah harus untuk konsisi seekstrim alinea di atas ini. Pada pemotretan di dalam kota, pengenalan tempat mungkin hanya berkisar pada masalah sifat lalu lintasnya, lokasi cetak fotonya, atau mungkin sekadar aturan lokal tempat yang akan dikunjungi.

Maka, adalah sangat berguna bagi seorang fotografer untuk datang awal jauh sebelum waktu perencanaan pemotretanhya. Ini berguna untuk jaga-jaga kalau ada sesuatu kekurangan peralatan yang dibawanya, juga untuk mengetahui berbagai segi liputannya. Maka sebuah kalimat yang layak dirujuk adalah: “Fotografer datang paling awal dan pulang paling akhir,” adalah kalimat yang harus diterapkan kapan pun.

Pulang paling akhir dalam sebuah acara memang sekilas tampak berlebihan. Namun bukti menunjukkan, sering foto bagus justru datang setelah acara resminya berakhir. Pada saat kedatangan petinju George Foreman ke Jakarta akhir tahun 1990-an lalu, hanya segelintir fotografer yang mendapatkan foto Foreman bergaya dengan aneka pukulan tinju. Pada saat acara resminya, Foreman berlaku sangat formil.

 

Memanfaatkan “pengetahuan lokal”


 Kalau seorang fotografer meliput di sebuah kota yang kurang dikenalnya, ada baiknya memanfaatkan jasa taxi atau ojek atau tukang becak di tempat itu. Mereka adalah orang-orang yang sangat sarat dengan info lokal, dari yang sekadar gosip sampai info yang sangat penting.

Seorang supir taxi akan sangat mengenal sudut-sudut kotanya, juga lokasi rumah orang-orang yang sedang menjadi berita. Untuk info yang lebih detil akan sebuah lokasi, tukang becak dan tukang ojek sangat bisa dimanfaatkan. Fotografer kondang James Nachtwey yang hampir selalu menjadi pemenang World Press Photo, selama liputannya di Jakarta pada masa Reformasi lalu, selalu memanfaatkan jasa tukang ojek untuk mengantarnya ke mana-mana. Selain cepat, tukang ojek jarang salah untuk mengenali tempat-tempat tertentu.

Saat seorang warga negara Indonesia bernama Kartini akan dihukum mati di Uni Emirat Arab tahun 2000 lalu (akhirnya dia dibebaskan), sungguh hampir tidak mungkin bisa menemukan rumah keluarganya di Karawang tanpa jasa tukang ojek. Waktu itu Harian Kompas cukup mencapai Karawang, lalu info selanjutnya datang dari para tukang ojek yang tahu persis lokasi rumah Kartini.

Lebih jauh lagi, untuk liputan-liputan dalam waktu lama pada situasi konflik, seorang fotografer perlu punya seorang “informan” yang sangat tahu kondisi. Sebagai contoh, pada liputan konflik di Aceh pertengahan tahun 2003 ini, seorang jurnalisfoto harus tahu benar menempatkan posisi. Dengan keharusan bahwa liputan harus both sides dan netral, seorang jurnalisfoto harus tahu persis siapa saja yang bisa memberikan info dari kedua belah pihak yang bertikai. Seorang fotojurnalis juga harus tahu kapan keadaan cukup aman dan kapan keadaan mengharuskannya diam di tempat dulu. Mendapatkan foto bagus memang tantangan, tapi keselamatan diri tetap nomor satu.

Barangkali kalimat terakhir yang layak dikutip adalah,” Memang menyenangkan kalau bisa membawa pulang foto bagus. Namun lebih menyenangkan lagi kalau bisa pulang dengan selamat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kompetisi Vs Pandemi

Mengikuti kompetisi sudah menjadi kebiasaanku sejak SD hingga sekarang. Meski jarang menang, tetapi sudah ikut berpartisipasi saja rasanya bahagia sekali. Ketika pandemi Covid 19 terjadi pada bulan Maret tahun 2020, hikmahnya kita lebih gampang mengikuti lomba seperti menulis Esai,  artikel, opini, KTI, cerpen, puisi, seminar, lomba desain, photografi, pelatihan, fellowship, nulis buku, beasiswa dan lain-lain. Jika dihitung, jumlah project menulis kala pandemi yang aku ikuti sekitar 30 lebih dari non Fiksi hingga Fiksi tapi yang menang bisa dihitung jari. Namun dari effort tersebut, banyak yang kita dapatkan yaitu kiriman buku gratis dari funding internasional dan nasional,  teman baru, relasi, wawasan, update teknologi aplikasi, hadiah menarik dan lain-lain serta jangan lupakan hadiah uang dan pulsa🤭😉. Selanjutnya, tahun 2021 bersiap untuk kompetisi lagi. Jika ada yang termotivasi dengan tulisan ini, maka tetap semangat, optimis, jangan pernah insecure, iri hati, dengki dan...

Lalu Dia Lala Jinis Kisah Romeo Juliet Alas-Sateluk

Resensi By: Susi Gustiana Betapa bahagia  mencium aroma buku , pikiranku menari 'seolah menemukan harta karun'.    Buku Lalu Dia dan Lala Jinis  adalah cerita rakyat Sumbawa yang di tulis oleh bapak Dinullah Rayes. Nama Rayes merupakan marga dari keturunan kedatuan Alas. Cerita ini bersemi dihati penduduk terutama dari bagian barat tepatnya di kecamatan Alas. Kisah kasih diantara dua pasang anak muda romeo dan Juliet Sumbawa ini diriwayatkan oleh orang tua dengan menggunakan bahasa yang puitik melalui lawas. Lawas samawa merupakan puisi lisan tradisional pada umumnya tiap bait terdiri dari 3 baris. Dipengantar awal buku penulis menyebutkan bahwa kisah ini ditembangkan oleh orangtua yang   mahir balawas (menembangkan syair) dengan suara merdu menawan dan mempesona bagi siapapun yang mendengar. Tradisi di Sumbawa bagi orang yang bisa mendongeng atau bercerita itu disebut Badia. Tau Badia (orang/seniman yang menyampaikan cerita) sering diund...

Tugu Simpang 5 Aceh!!!! Begitu ‘Sempurna’

Kalian tahu tidak lagu sempurna dari Andra and The Backbone mungkin itu tepat untuk menggambarkan monument ini. “Belum ke Aceh namanya jika belum mengunjungi salah satu tugu atau monumen yang sangat ikonik dan keren ini” kata Pak Marzuki guide kami selama di Aceh. Yupz…..Namanya tugu simpang 5, oleh ibu-ibu rombongan dari Sumbawa yang antusias untuk mengambil gambar berselfia ria bahwa   di monumen ini. Menurut mereka tugu simpang 5 juga disebut tugu selamat datang. Karena lokasinya berada di pusat kota dan punya nilai filosofi yang sangat mendalam. Dalam catatan sejarah, tugu ini berada di lima persimpangan jalan protokol yang selalu padat, yaitu jalan Tgk. H. M. Daud Beureuh, T. Panglima Polem, Sri Ratu Safiatuddin, Pangeran Diponegoro, dan jalan Teungku Angkasa Bendahara. Di lihat dari desainnya, ada 4 eksplorasi konsep dari  tugu Simpang Lima Aceh  ini, yaitu axis-oriented (sumbu), urban oase, multi-purposes building, dan landmark kota Banda Aceh. T...