HAMBATAN PEMBANGUNAN DESA AGRARIS
1.
Kekeliruan paradigma pembangunan
desa
Paradigma yang dianut baik oleh
kalangan ahli maupun praktisi tentang pembangunan desa berimplikasi kepada
praktik dan desain kebijakan pemerintah terhadap pembangunan desa, sebagai
objek ekonomi, sosial maupun politik. Ada dua paradigma yang tanpa sadar menjadi
pegangan para pengambil kebijakan selama ini, yaitu bahwa desa dipersepsikan
sebagai suatu yang “agung” dari sisi sistem sosial ekonomi dan budaya
masyarakatnya, dan paradigma bahwa desa harus mencapai kemajuan sebagaimana
kota. Desa yang disebut maju, atau sering disebut dengan “desa modern”, adalah
desa yang secara visual menampakkan ciri-ciri kota baik lingkungannya maupun
manusianya. Contoh hal ini adalah pada konsep pembangunan desa dengan konsep
agribisnis, yang mengharapkan aktivitas ekonomi masyarakat desa dijalankan
dengan pendekatan dan strategi bisnis belaka.
Sekelompok ahli yang disebut dengan
kaum romantisme desa misalnya, melihat bahwa desa adalah sebuah tempat yang
penuh dengan keindahan dan kedamaian, serta subur dan makmur. Nordholt (1987)
misalnya menggambarkan struktur politik pedesaan yang dikonstruksi oleh
semangat kekeluargaan yang kental, tanpa pamrih, dan penuh pengabdian. Desa
digambarkan sebagai suatu kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang
bertempat tinggal dalam suatu lingkungan, dimana mereka saling mengenal dengan
baik. Corak kehidupan mereka relatif homogen, dan masih banyak tergantung pada
alam.
Selain hanya melihat sisi eksotis
desa, desa juga dipersepsikan sebagai objek yang statis. Paradigma lain melihat
desa sebagai sebuah objek fisik, baik rumah maupun teritorinya. Hal ini
misalnya terlihat dalam definisi “village” sebagai “a small community
or group of house in a rural area usually smaller than a town and sometimes
incorporated as a municipality”. Jelas tampak bahwa definisi ini memandang
desa sebagai sebuah teritori dalam konteks dikotomis rural-urban, bukan pada
karakter-karakter sosial-budaya dan sikap-sikap hidup masyarakat desa yang
sesungguhnya khas (Hermansyah, 2007).
Sebagai implikasi dari prasangka-prasangka
tersebut, desa yang semula sangat kuat dalam hal solidaritas sosial, seiring
dengan invansi kapitalisme ke desa, maka daya dukung solidaritas tersebut makin
melemah. Ditambah dengan masuknya modernisasi, maka secara perlahan pula
terjadi peluruhan karakter masyarakat desa. Homogenitas melemah dan terjadi
pelapisan sosial yang semakin tajam, bahkan menjadi polarisasi yang sangat
merugikan kalangan miskin desa.
Salah satu bentuk “pemaksaan” yang
dilakukan dalam pembangunan pedesaan adalah dengan menginvansi konsep
“agribisnis”. Agribisnis adalah “agriculture regarded as a bussiness”,
dengan kata kuncinya adalah untung dan efisien.
Sepintas paradigma agribisnis memang
menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun
sesungguhnya perlu beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma tersebut,
karena paradigma tersebut bukanlah hasil dari konsepsi dan persepsi para petani
kita (Mubyarto dan Santosa, 2003). Masih sangat banyak petani kita yang hidup
secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka
sendiri. Mereka adalah petani-petani dengan luas tanah sangat kecil, petani
gurem, penyakap, dan buruh tani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan
berakibat berkurangnya perhatian kita kepada mereka, yang kegiatannya tidak
merupakan bisnis. Adalah tidak tepat jika hanya menghitung untung-rugi dan
efisiensinya, namun sama sekali tidak memikirkan keadilan dan moralitasnya.
Jadi, mungkin agribisnis memang sudah sepantasnya untuk usaha-usaha pertanian
yang berskala besar, misalnya perkebunan swasta; namun tidak untuk semua
petani.
Pembangunan
desa semestinya menurut perspektif sosial ekonomi dan budaya masyarakat desa
yang khas. Karena itu, pendekatan partisipatif dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan semestinya menjadi pendekatan yang tepat digunakan. Hal
ini diyakini akan memberi hasil yang lebih sesuai dan memuaskan, karena
masyarakat desa diposisikan sebagai subyek pembangunan.
2. Permasalahan
Karakter masyarakat desa
a. Faktor
internal
1.
Mulai memudarnya sikap
sopan santun/ramah tama, Hal ini dikarenakan berbagai faktor,
diantaranya persaingan ekonomi, sosial, rasa iri hati dan orientasi masa depan
yang mulai berbeda-beda.
2.
Aturan-aturan desa yang
tidak fleksibel.misalnya kalau didesa agraris ada yang namanya gotong royong
dalam membangun rumah yg disebut dgn “besanyata” yang lambat laun mulai memudar
karena hagemoni dari masyarakat yang ingin merasa menonjol ketimbang yang lain.
3.
Perbedaan visi dan misi masyarakat
Seperti pada faktor nomor 1, dengan
berbagai faktor penyebabnya, perbedaan pandang diantara warga desa acapkali
berujung pada konflik horisontal baik secara individu maupun kelompok. Dalam
arti bahwa, demokrasi( perbedaan pendapat ), masih sering dimaknai sebagai
bentuk permusuhan oleh sementara oknum dan kondisi ini sering menjadi ajang
provokasi sehingga menjadi suatu kondisi kontraproduktif kolektif.
4. Kesepakatan
Emosional
persetujuan
atau penolakan terhadap sesuatu yang pada mulanya dimulai oleh seseorang atau
beberapa orang kemudian menjadi persetujuan massal yang biasanya didasarkan
atas gerak emosional tanpa pertimbangan yang matang. Sikap ini acapkali
melahirkan hal-hal yang kontraproduktif terhadap suasana kondusif di lingkungan
desa pekraman.
b. Faktor eksternal
b. Faktor eksternal
1.
Serbuan
pengaruh luar/asing/luar negeri secara masif baik melalui mobilisasi
kependudukan maupun media.
Adanya migrasi kependudukan
menjadi salah satu penyebab tergerusnya nilai-nilai kearifan lokal desa.
Kecanggihan
media massa baik elektronik maupun cetak memberi warna cukup signifikan dalam
rona kehidupan masyarakat Bali. Dan ini tidak dapat dicegah karena semakin
mudahnya akses terhadap kemajuan teknologi dewasa ini.
2.
Ketidaksesuaian Regulasi Nasional dengan
Aturan Setempat
Hal lain yang bisa menyebabkan terjadinya goncangan sosial lokal(local cultural shock, adalah adanya 'pemaksaan' peraturan pusat (pemerintah RI), yang tidak sesuai dengan nafas kearifan lokal desa.Misalnya PNPM simpan pinjam,RPJP agribisnis dll.
Hal lain yang bisa menyebabkan terjadinya goncangan sosial lokal(local cultural shock, adalah adanya 'pemaksaan' peraturan pusat (pemerintah RI), yang tidak sesuai dengan nafas kearifan lokal desa.Misalnya PNPM simpan pinjam,RPJP agribisnis dll.
3. Solusi :
Diharapkan
kedepan pemerintah segera menjalankan peraturan perundangan secara konsisten,
sehingga dapat menghambat laju konversi lahan serta dibutuhkan
pengusaha-pengusaha yang mampu menyediakan sarana produksi terutama bibit,
benih dengan kualitas yang baik sehingga produktivitas dapat terus
ditingkatkan.
Namun
kendala yang kita hadapi adalah bahwa petani di wilayah Kabupaten Sumbawa Besar
belum mempunyai produk-produk yang spesifik untuk memenuhi kebutuhan wisatawan
baik jenis maupun kualitas serta tingginya peralihan kepemilikan lahan kepada
pendatang sehingga sering menimbulkan lahan tidur.
Pendekatan
Pewilayah komoditas ini akan dapat meningkatkan produktivitas sub sektor
pertanian di Kabupaten Sumbawa Besar dan harapan menjadikan sub sektor
pertanian sebagai penyumbang terbesar dalam PAD Kabupaten Sumbawa Besar ke
depannya.
Dengan
kemitraan yang baik, Insya Allah kita dapat mengatasi kendala dan hambatan yang
ada dalam pengembangan pertanian sesuai pewilayahan komoditas dengan isten dan
usaha agribisnis baik mengenai teknis budidaya, produksi, pemasaran maupun
pendanaan usahanya, sehingga masyarakat mampu meningkatkan profit, memperoleh
tambahan pelanggan, turut meningkatkan pengembangan produk, memperbaiki proses
produksi, memperbaiki kualitas dan meningkatnya akses terhadap teknilogi.
Komentar
Posting Komentar