9 dari Nadira merupakan
karya fiksi Leila S. Chudori. Buku ini bisa aku baca sampai selesai, biasanya
aku selalu tidak kuat membaca hingga akhir cerita, namun buku ini membuat aku
penasaran dan ingin terus membaca. Aku merasa buku ini ada kesamaan denganku
karena nadira adalah seorang jurnalis dan aku juga berprofesi dijalur yang
sama. Buku ini terdiri dari sembilan cerita pendek dengan tema kehilangan yang
kuat dan karakter Nadira sebagai pemersatunya. Cerita-cerita pendek tersebut
ditulis dengan rentang waktu yang lama, dan banyak di antaranya yang bisa
berdiri sendiri. Menyimak 9 dari Nadira,
pembaca akan mendapat suguhan kompleksitas tema dan karakter. Dunia reportase,
tradisi, cinta, harga diri, dan masih banyak lagi bercampur dengan efektif
tanpa membuatnya jatuh ke dalam formula sinetron. Sebuah perasaan muncul seusai
mengikuti potongan-potongan keseharian Nadira. Mungkin belas kasihan dan
ekspektasi orang lain adalah dua hal yang paling tak diinginkan ketika
seseorang tengah berduka.
Cerita bermula
pada kematian Kemala karena bunuh diri. Kemala tewas setelah menegak obat
tidur. Kematian tersebut menyisakan goncangan yang hebat dalam keluarga
Bramantiyo; termasuk anak-anaknya, Nina, Aryo dan Nadira. Lewat
sepenggal-sepenggal kisah dari buku harian Kemala yang ditemukan di gudang,
Nadira mencoba menengok masa lalu sang bunda juga ayahnya; sejoli yang
merepresentasikan generasi pasca kemerdekaan yang terbuka pada pendidikan
Barat. Bram dan Kemala membangun impian sebagai suami-istri di negeri yang jauh
dari tanah air, yaitu Belanda, tepatnya di Amsterdam. Bram dan Kemala adalah
pasangan terpelajar dari dunia yang berbeda: Kemala seorang campuran
Lampung-Palembang dari keluarga kaya raya yang merupakan simpatisan PSI di era
revolusi, latarbelakangnya cenderung sekuler. Adapun Bram adalah pemuda cerdas
yang memperoleh beasiswa di Belanda, lahir dari keluarga Sunda-Jawa yang kuat
pada agama, simpatisan NU dan ia sendiri dekat pula pada pemikiran Natsir. Bram
dibesarkan dengan tata etika ketat. Bram kemudian menjadi wartawan, hidup dan
menghidupi istri dan anak-anaknya. Di tengah benturan dan latar belakang sosial
berbeda antara Kemala dan keluarga/orang tua Bram, Nina, Arya, dan Nadira
dibesarkan dengan berbagai problematika keluarga di era modern; pertautan
intelektualitas, tradisi, moral, benturan ideologis, dan prinsip. Juga tak lupa
mengenai masalah romantika yang kelam dan tidak terlalu manis.
Leila
menyajikan narasi dengan tidak lazim dan unik. Ketika membaca mungkin awalnya
kita akan dibingungkan oleh sudut pandang si pencerita. Kadang dengan sudut
pandang orang ketiga, kemudian sudut pandang silih berganti pada tokoh dalam
cerita, atau gabungan antara orang ketiga dengan tokohnya, bahkan dalam bab
”Sebilah Pisau”, pencerita diambil dari perspektif tokoh yang tidak bertait
dengan cerita pada bab sebelumnya, yakni dari sudut pandang rekan kerja Nadira
yang seorang ilustrator di majalah Tera. Dalam bab tersebut
Nadira menjadi objek, padahal pada bab-bab awal Nadira sendiri menjadi subjek.
Walau demikian, justru kita disajikan hidangan yang fresh dan
tidak membosankan, di samping itu, penggambaran sebuah karakter malah tidak
luntur tetapi semakin menguat per tokohnya. Seperti yang saya kemukakan di
awal, cerita dalam novel ini ibarat menyusun –nyusun sebuah puzzle.
Sampai empat tahun
setelah kematian ibunya, Nadira Suwandi masih dirundung awan kesedihan. Beban
persoalan dengan ayah, seorang kakak yang kecewa, dan laki-laki seakan ambruk
bertubi-tubi menimpa kepalanya. Nadira lantas berlindung di bawah kolong meja kerjanya.
Perempuan muda ini membenamkan diri di dalam air dan di dalam pekerjaannya
sebagai reporter sebuah majalah berita. Perlahan Nadira berusaha bangkit dan
menghadapi sebuah tanda tanya besar: mengapa ibunya memilih mati bunuh diri?
Buku ini mampu menyedot
pembacanya ke dalam alur yang tidak linear. Dengan nyaman penulisnya
melompat-lompat ke berbagai highlights dalam
kehidupan Nadira. Tidak semua jawaban dari pertanyaan yang ada di dalam buku
ini disimpan di cerita pendek yang terakhir. Bisa juga di cerpen-cerpen awal
karena formatnya yang kumpulan cerita pendek memungkinkan hal itu.
Kesembilan cerpen dalam buku
ini fiksi, jika ada persamaan cerita atau karakter, maka itu kebetulan semata.
Namun bukan hal mengherankan apabila ternyata Leila membangun karakter Nadira
dengan kehidupan pribadinya sebagai landasan. Keduanya sama-sama berayahkan
wartawan, bungsu dari tiga bersaudara, dan menjadi wartawan di majalah berita.
Alhasil sosok Nadira menjadi begitu nyatanya, sampai-sampai cerpen yang
langsung berfokus pada dirinya terasa lebih menonjol daripada yang tidak.
Seperti dalam “Melukis Langit”, “Tasbih”, dan “Kirana”. Walaupun demikian,
cerpen-cerpen dengan sudut pandang karakter selain Nadira—misalnya “Nina dan
Nadira” atau “Sebilah Pisau”—tidak bisa dipandang sebelah mata. Selain
membuktikan kepedulian Leila pada pengembangan karakter yang lain,
cerpen-cerpen tersebut juga memberikan pembaca kesempatan mengenali Nadira
melalui interaksinya dengan orang-orang di sekitarnya.
9 dari Nadira merupakan
satu dari sekian banyak kumpulan cerita pendek yang sudah terbit karya Leila S.
Chudori; ‘S’-nya kependekan dari Salikha. Perempuan kelahiran Jakarta, 12
Desember 1962, ini mulai sebagai penulis anak-anak. Karya-karya awal Leila
kerap dimuat di majalah Si Kuncung, Hai, dan Kawanku.
Ketika dewasa, cerita pendeknya dapat ditemui di majalah sastra Horison, dan Matra. 9 dari Nadira merupakan karya fiksi
pertamanya yang diterbitkan sejak buku kumpulan cerpen Malam Terakhir pada tahun 1989.
Pembaca yang lebih muda bisa
jadi lebih akrab dengan sosok Leila S. Chudori sebagai wartawan majalah Tempo yang sering meresensi film, atau
malah penulis skenario serial Dunia
Tanpa Koma yang dibintangi Dian Sastrowardoyo. Kecintaan Leila pada
budaya pop cukup terlihat di dalam berbagai resensinya. 9 dari Nadira sendiri sangat kental
dengan referensi budaya. Mulai dari Alfred Hitchcock sampai Woody Allen, Jane
Austen hingga Simone de Beauvoir, serta Lou Reed. Bahkan pada ucapan terima
kasihnya saat menulis Leila mengaku ditemani musik di antaranya oleh Thom Yorke
dan Everybody Loves Irene!
Jangan-jangan menulis memang
merupakan tradisi dalam keluarga Chudori. Ayah Leila, Mohammad Chudori adalah
seorang wartawan kantor berita Antara.
Saat ini Leila tinggal bersama putrinya Rain Chudori-Soerjoatmodjo, yang juga
merupakan penulis dengan kelasnya tersendiri. Beberapa cerpen Rain dimuat di
harian berbahasa Inggris, The Jakarta
Post. Sebagai peresensi, namanya pun mulai dapat diperhitungkan. Pada
JIFFest kemarin, Rain meresensi film (500)
Days of Summer untuk The
Jakarta Post, yang juga diresensi oleh Leila di Tempo.
Agak geli juga membayangkan pasangan ibu dan anak ini duduk bersebelahan di
bioskop dengan pena bersenter dan buku catatan masing-masing, lalu ketika film
habis mereka berdiskusi seru bak Lorelai dan Rory Gilmore.
Sejak diluncurkan pada Oktober
lalu, 9 dari Nadira mendapat sambutan hangat dari para penikmat buku Indonesia.
Kumpulan cerita pendek ini tertera dalam daftar buku terbaik 2009 di beberapa
blog penggila buku dan mengobati kekangenan mereka akan karya-karya Leila S.
Chudori. Pada ulasannya di harian Kompas,
prosais Agus Noor merayakan terbitnya buku ini sebagai kembalinya si anak emas
dalam sastra Indonesia. Menurutnya sastra di negeri ini sedang kebanjiran isu
seksualitas terkait sejumlah penulis perempuan, dan sibuk berkutat dengan
pengagungan metafora sampai-sampai melupakan cerita yang hendak disampaikan.
Agus menulis, “… pada dasarnya prosa yang baik tidak melupakan unsur pembentuk
cerita, semisal karakter, kompleksitas psikologis tokoh, dan cara pandang yang
segar … Dengan begitu kisah menjadi lancar dan melibatkan pembaca secara
emosional.”
Kontroversial memang. Namun
terlepas dari perdebatan tentang bagaimana prosa yang baik itu seharusnya, 9 dari Nadira memang enak dibaca.
Begitu pembaca mulai menyimaknya, buku ini akan sulit diletakkan lagi. Saat
selesai, sulit untuk tidak membaca ulang bagian yang difavoritkan. Ario
Anindito memberi ilustrasi cerita dengan nuansa komik superhero Amerika Serikat. Kesannya
muda dan segar. Kekhasan lain dari kumpulan cerpen ini adalah kelenturan Leila
S. Chudori dalam melakukan senam metafora. Metaforanya tidak melulu memberikan
kesan indah, tetapi juga dapat memberikan kesan sinis, atau lucu, meskipun
kadang-kadang agak berlebihan juga terutama kalau digunakan dalam percakapan.
Komentar
Posting Komentar