Di tahun 2030 Indonesia diproyeksikan akan mengalami
perubahan struktur populasi dengan didominasi oleh penduduk usia produktif
(15-64 tahun) mencapai 68 persen dari total penduduk atau sekitar 200 juta
penduduk. Anak-anak yang kini duduk di bangku kelas 1 SD pada tahun 2030 akan
duduk di bangku SMA dan masuk dalam golongan usia produktif. Peluang bonus
demografi seperti ini tentu perlu dimanfaatkan dengan baik. Oleh karena itu
sejumlah upaya harus dilakukan agar sumber daya manusia (SDM) Indonesia
dipersiapkan dengan baik, termasuk bagi anak-anak yang saat ini duduk di
jenjang pendidikan dasar. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) adalah bekerja sama dengan pemerintah
daerah di empat provinsi dalam melaksanakan Program Inovasi untuk Anak Sekolah
Indonesia (INOVASI) – sebuah kemitraan pemerintah Australia dan Indonesia .
Kemampuan dasar Program yang dilaksanakan di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Utara, dan Jawa Timur ini dilakukan dengan tujuan menggali
dan memahami upaya-upaya konteks lokal yang mampu meningkatkan kemampuan dasar
siswa, yaitu literasi atau kemampuan membaca siswa.
Saat ini, masih terdapat ketimpangan yang besar dalam hal kemampuan dasar siswa di berbagai daerah di Indonesia. Dihimpun dari berbagai sumber yang dihimpun INOVASI, berikut beberapa data terkait masih rendahnya literasi dasar di kelas awal: 1. Hasil penilaian membaca kelas awal nasional (EGRA) yang dilaksanakan di tahun 2014 menunjukkan hanya 47 persen siswa kelas dua SD dapat membaca dengan lancar dan siap melanjutkan ke kelas tiga. Di wilayah Indonesia timur (Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua), angka ini hanya menyentuh 23 persen. 2. Hasil Asesmen Kinerja Siswa Indonesia (AKSI) tahun 2016 mengungkapkan bahwa hampir separuh 47 persen sampel siswa kelas 4 SD berada di kelompok literasi terendah untuk tingkatan kelas mereka. Sementara di 11 dari 24 provinsi, lebih dari 60 persen berada di kelompok terendah. 3. Hasil PISA dari tahun 2000 hingga 2015 menunjukkan bahwa nilai siswa Indonesia berkisar antara 370–400, yang berada jauh di bawah nilai rata-rata PISA (yakni 500) . 4. Hasil dari PIRLS tahun 2011, yang mengevaluasi hasil membaca siswa kelas empat, menempatkan Indonesia pada peringkat 45 dari 48 negara yang berpartisipasi. Dengan nilai 428, Indonesia masih di bawah nilai rata-rata (yakni 500) . 5. Hasil temuan diperoleh INOVASI juga memperlihatkan gambaran tentang kualitas pembelajaran literasi siswa yang memang mengkhawatirkan. Studi baseline INOVASI di tahun 2018 menemukan sangat tingginya persentase siswa kelas 1-3 SD di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, dan Jawa Timur yang tidak lulus tes kemampuan literasi dasar. Tes tersebut dilakukan untuk melihat kemampuan siswa dalam mengenali huruf, suku kata, dan kata. Di antara siswa yang tidak lulus tes, kemampuan pengenalan kata dan suku kata secara konsisten menjadi yang terendah, diikuti oleh kemampuan siswa dalam mengenali huruf. 3 tantangan literasi dasar Melalui pelaksanaan program-program INOVASI di daerah, ada tiga tantangan utama yang teridentifikasi berkontribusi terhadap rendahnya kinerja siswa dan lemahnya kemampuan literasi siswa: 1. Rendahnya kualitas pengetahuan mengajar dan keterampilan tentang bagaimana mengajarkan membaca dan literasi di kelas awal, karena ada asumsi bahwa semua anak yang masuk kelas 1 SD sudah bisa membaca. 2. Kurangnya pengetahuan tentang metode penggunaan bahasa Ibu sebagai transisi ke bahasa Indonesia di kelas-kelas awal 3. Terbatasnya akses ke materi bacaan yang tepat, terutama di wilayah terpencil, tapi juga di seluruh negeri secara umum. Tidak ada buku bacaan anak yang cukup menarik dan tepat-usia yang tersedia di negeri ini. Tantangan utama dihadapi Indonesia adalah bagaimana memastikan adanya suatu sistem pendidikan dapat memberikan pengajaran dan pembelajaran baik di sekolah, dimanapun berada, dari satu ruang kelas ke ruang kelas lainnya, dan dalam keadaan yang sangat bervariasi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Hari Aksara Internasional: Literasi Bukan Hanya Soal Bebas Buta Aksara", https://edukasi.kompas.com/read/2019/09/08/13354661/hari-aksara-internasional-literasi-bukan-hanya-soal-bebas-buta-aksara?page=2.
Penulis : Yohanes Enggar Harususilo
Editor : Yohanes Enggar Harususilo
Saat ini, masih terdapat ketimpangan yang besar dalam hal kemampuan dasar siswa di berbagai daerah di Indonesia. Dihimpun dari berbagai sumber yang dihimpun INOVASI, berikut beberapa data terkait masih rendahnya literasi dasar di kelas awal: 1. Hasil penilaian membaca kelas awal nasional (EGRA) yang dilaksanakan di tahun 2014 menunjukkan hanya 47 persen siswa kelas dua SD dapat membaca dengan lancar dan siap melanjutkan ke kelas tiga. Di wilayah Indonesia timur (Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua), angka ini hanya menyentuh 23 persen. 2. Hasil Asesmen Kinerja Siswa Indonesia (AKSI) tahun 2016 mengungkapkan bahwa hampir separuh 47 persen sampel siswa kelas 4 SD berada di kelompok literasi terendah untuk tingkatan kelas mereka. Sementara di 11 dari 24 provinsi, lebih dari 60 persen berada di kelompok terendah. 3. Hasil PISA dari tahun 2000 hingga 2015 menunjukkan bahwa nilai siswa Indonesia berkisar antara 370–400, yang berada jauh di bawah nilai rata-rata PISA (yakni 500) . 4. Hasil dari PIRLS tahun 2011, yang mengevaluasi hasil membaca siswa kelas empat, menempatkan Indonesia pada peringkat 45 dari 48 negara yang berpartisipasi. Dengan nilai 428, Indonesia masih di bawah nilai rata-rata (yakni 500) . 5. Hasil temuan diperoleh INOVASI juga memperlihatkan gambaran tentang kualitas pembelajaran literasi siswa yang memang mengkhawatirkan. Studi baseline INOVASI di tahun 2018 menemukan sangat tingginya persentase siswa kelas 1-3 SD di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, dan Jawa Timur yang tidak lulus tes kemampuan literasi dasar. Tes tersebut dilakukan untuk melihat kemampuan siswa dalam mengenali huruf, suku kata, dan kata. Di antara siswa yang tidak lulus tes, kemampuan pengenalan kata dan suku kata secara konsisten menjadi yang terendah, diikuti oleh kemampuan siswa dalam mengenali huruf. 3 tantangan literasi dasar Melalui pelaksanaan program-program INOVASI di daerah, ada tiga tantangan utama yang teridentifikasi berkontribusi terhadap rendahnya kinerja siswa dan lemahnya kemampuan literasi siswa: 1. Rendahnya kualitas pengetahuan mengajar dan keterampilan tentang bagaimana mengajarkan membaca dan literasi di kelas awal, karena ada asumsi bahwa semua anak yang masuk kelas 1 SD sudah bisa membaca. 2. Kurangnya pengetahuan tentang metode penggunaan bahasa Ibu sebagai transisi ke bahasa Indonesia di kelas-kelas awal 3. Terbatasnya akses ke materi bacaan yang tepat, terutama di wilayah terpencil, tapi juga di seluruh negeri secara umum. Tidak ada buku bacaan anak yang cukup menarik dan tepat-usia yang tersedia di negeri ini. Tantangan utama dihadapi Indonesia adalah bagaimana memastikan adanya suatu sistem pendidikan dapat memberikan pengajaran dan pembelajaran baik di sekolah, dimanapun berada, dari satu ruang kelas ke ruang kelas lainnya, dan dalam keadaan yang sangat bervariasi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Hari Aksara Internasional: Literasi Bukan Hanya Soal Bebas Buta Aksara", https://edukasi.kompas.com/read/2019/09/08/13354661/hari-aksara-internasional-literasi-bukan-hanya-soal-bebas-buta-aksara?page=2.
Penulis : Yohanes Enggar Harususilo
Editor : Yohanes Enggar Harususilo
Komentar
Posting Komentar