Pernahkah terlintas
dalam pikiran kita tentang beratnya perjuangan menjadi seorang ibu. Betapa
panjangnya perjalanan yang harus ditempuh seorang wanita sampai disebut sebagai
seorang IBU. Yah…. IBU satu kata yang mungkin bisa dikatakan suatu profesi yang
sebagian besar wanita di dunia ini mendambakannya. Perjalanan ini bermula dari seorang
wanita yang baru menikah. Pastilah yang sangat didambakannya adalah kehamilan.
Sang wanita itu tak pernah menyerah sampai ia mendapati kepastian bahwa ia
positif hamil. Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan
hidup kecuali benih dalam kandungannya. Menangis, tertawa, sedih dan bahagia
tak berbeda baginya, karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa si kecil di
perutnya. Seringkali ia bertanya : menangiskah ia? Tertawakah ia? Bahkan ketika
waktunya tiba, tak ada yang mampu menandingi cinta yang pernah diberikannya,
ketika itu mati pun akan dipertaruhkannya asalkan generasi penerusnya itu bisa
terlahir ke dunia. Rasa sakit pun sirna, ketika mendengar tangisan pertama si
buah hati, tak peduli darah dan keringat yang terus bercucuran.
Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar.
Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan selain anak. Rasa bangga dan bahagia ketika sang anak sudah bisa memanggilnya IBU.
Begitupun Saat baru pertama berdiri sang ibu berteriak histeris,
antara haru, bangga dan sedikit takut si kecil terjatuh dan luka.
Hari pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya
menyaksikan langkah awal kesuksesannya. Meskipun disaat yang sama, pikirannya
terus menerawang dan bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami tak
terhenti rezekinya. Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di tengah jalan.
"Demi anak", menjadi alasan
utama ketika ia berada di pasar berbelanja keperluan si kecil. Meskipun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi atas satu alasan, demi
anak. Di saat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba terbatas,
periksalah catatannya. Di kertas kecil itu tertulis: 1. Beli susu anak; 2. Uang
sekolah anak. Nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang lain. Tapi jelas di
situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi prioritasnya. Bahkan, tak ada beras di
rumah pun tak mengapa, asalkan susu si kecil tetap terbeli.
Ia menjadi guru yang
tak pernah digaji, menjadi pembantu yang tak pernah dibayar, menjadi pelayan
yang sering terlupa dihargai, dan menjadi babby sitter yang paling setia.
Sesekali ia menjelma menjadi puteri salju yang bernyanyi merdu menunggu
suntingan sang pangeran. Keesokannya ia rela menjadi kuda yang meringkik,
berlari mengejar dan menghalau musuh agar tak mengganggu. Atau ketika ia dengan
lihainya menjadi seekor kelinci yang melompat-lompat mengelilingi kebun,
mencari wortel untuk makan sehari-hari. Hanya tawa dan jerit lucu yang ingin
didengarnya dari kisah-kisah yang tak pernah absen didongengkannya.
Hari ketika si anak
yang telah dewasa itu mampu mengambil keputusan terpenting dalam hidupnya,
untuk menentukan jalan hidup bersama pasangannya, siapa yang paling menangis?
Siapa yang lebih dulu menitikkan air mata? Langkah beratnya ikhlas mengantar
buah hatinya ke kursi pelaminan. Ia menangis melihat anaknya tersenyum bahagia
dibalut gaun pengantin. Di saat itu, ia pun sadar, buah hati yang
bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagi hanya miliknya.
Ada satu hati lagi yang tertambat, yang dalam harapnya ia berlirih,
"Masihkah kau anakku?"
Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah
mulai berbicara tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya kan
berakhir. Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya, "Bila ibu
meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin dimandikan sambil
dipangku kalian". Tak hanya itu, imam shalat jenazah pun ia meminta dari
salah satu anaknya.
Sejarah tidak pernah mengenal agama atau aturan apa pun yang
memuliakan dan mengangkat derajat serta kedudukan perempuan sebagai seorang ibu
sedemikian tinggi, selain Islam. Perintah Allah untuk berbuat baik kepada ibu
datang segera setelah perintah-Nya untuk bertauhid dan menyembah-Nya. Islam
mejadikan berbakti kepada ibu sebagai salah satu pangkal pokok kebaikan dan
menjadikan hak ibu lebih besar ketimbang bapak. Hak ibu lebih besar daripada
bapak karena ibu menanggung beban berat saat mengandung, melahirkan, menyusui
dan mendidik anak. Hal ini ditegaskan al-Qur`an dan diulanginya pada lebih dari
satu surat agar para anak memerhatikan dan mencamkannya di jiwa dan hati
mereka.
Firman-Nya:
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (QS Luqmân/31: 14).
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (QS Luqmân/31: 14).
Rasulullah Saw sangat memuliahkan seorang ibu. Suatu
ketika Seorang laki-laki datang menemui Nabi Saw. dan bertanya:
“Ya Rasulullah,
siapakah yang paling berhak mendapat perlakuan baikku?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi:
“Lalu siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi:
“Lalu siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi:
“Lalu siapa?” Beliau menjawab: “Bapakmu” (HR Bukhârî).
siapakah yang paling berhak mendapat perlakuan baikku?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi:
“Lalu siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi:
“Lalu siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi:
“Lalu siapa?” Beliau menjawab: “Bapakmu” (HR Bukhârî).
Begitu
pula dalam hadist lain: “Al-Jannatu tahta aqdamil ummahat – Surga
itu di telapak kaki ibu”, awalnya tak pernah terbayang seperti apa dan
kenapa surga mesti di telapak kaki ibu? Padahal ayah adalah pemegang tanggung
jawab dalam keluarga. Saat kita mulai ingat akan segala sesuatu di dunia ini,
mungkin tidak banyak mereka yang menyadari hadits pendek namun padat makna itu. Setiap detik dan pergantian hari, kita diasuhnya. Disapih dua tahun
lamanya, tapi dia tidak pernah meminta imbalan dari kita. Bahkan sebaliknya
terkadang kita tidak bisa membalas budi baiknya. Sebaliknya banyak sekali sikap
kita yang melukai hatinya, tapi dia tetap memaafkan sikap anaknya.
Waktu yang mengantarkan kita pada kehidupan
nyata telah banyak menorehkan prasasti tak ternilai darinya. Tapi kita sering
lupa, lupa akan apa yang telah diberikan
ibu kepada kita. Maafkan anak mu yang telah lalai terhadap semua jasamu ibu. Spesial untukmu IBuKu Tersayang “Selamat Hari Ibu”
Komentar
Posting Komentar