Mencintai
berarti mengambil risiko untuk patah hati. Begitu pula yang dialami seorang
sahabat Nabi, Salman al-Farisi.
Siapa
yang tak kenal Salman al-Farisi, sosok laki-laki pemberani nan cerdas yang
mengusulkan penggalian parit dalam perang Khandaq bersama Rasulullah. Ide
briliannya membuat namanya disorot seluruh umat muslim dunia. Namun siapa
sangka, di balik kemasyhurannya, pria asal Persia ini juga pernah merasakan
patah hati karena seorang perempuan yang amat dicintainya.
Saat
itu, Salman diam-diam menaruh perasaan pada seorang muslimah kalangan Anshar.
Demi menyempurnakan sunnah Nabi Saw, Salman pun memantapkan hati untuk melamar
pujaan hatinya. Tetapi karena ia bukanlah penduduk asli Madinah, Salman belum
mengetahui bagaimana adat dan budaya yang diterapkan untuk melamar seorang
perempuan Madinah.
Salman
akhirnya meminta sahabatnya, Abu Darda untuk menemaninya mengkhitbah (melamar)
pujaan hatinya. Betapa bahagia Abu Darda mendengar niat baik sahabatnya. Tanpa
berpikir panjang, Abu Darda langsung menyanggupi permintaan sahabatnya.
Keduanya
pun pergi ke rumah sang perempuan dengan hati bahagia. Setibanya di sana,
orangtua perempuan tersebut menerima dan menjamu keduanya dengan baik. Abu
Darda pun memperkenalkan dirinya dan sahabatnya, serta menyampaikan maksud baik
sahabatnya yang ingin meminang putri mereka.
Betapa
bahagia sang ayah mendengar tujuan mulia sang lelaki di hadapannya. Namun ia
tak serta merta menerima lamaran laki-laki Persia tersebut. Ia kembalikan
keputusan itu kepada anaknya, karena bagaimanapun sang anak memiliki hak untuk
memilih siapa yang kelak akan menjadi imam hidupnya.
Sang
putri akhirnya menyatakan pendapatnya kepada kedua orangtuanya. Sedangkan
Salman dan Abu Darda menunggu dengan hati berdebar-debar. Dalam hati, Salman
berdoa agar maksud hatinya disambut baik dengan perempuan idamannya.
Beberapa
saat kemudian, sang ibu akhirnya angkat bicara,“Mohon maaf kami harus berterus
terang, dengan penuh hormat putri kami tidak bisa menerima pinangan ananda
Salman al-Farisi”.
Jawaban
dari sang ibu bagaikan petir di siang bolong. Hancur sudah harapan Salman untuk
hidup bersama dengan pujaan hatinya. Belum juga tersadar dari kenyataan, Salman
kemudian mendengar ucapan yang lebih perih lagi.
Sang
ibu melanjutkan “Namun karena kalian berdua datang dan menggharap ridho
Allah. Jika saudara Abu Darda memiliki tujuan yang sama, maka putri kami akan
bersedia menerimanya”.
Sudah
jatuh tertimpa tangga, mungkin itulah yang dirasakan Salman. Begitu kaget
Salman mendengar perkataan sang ibu. Tidak cukup dengan penolakan cinta, Salman
juga harus menerima kenyataan pahit bahwa perempuan yang diidam-idamkannya
justru lebih memilih Abu Darda, sahabatnya sendiri.
Namun
siapa sangka, dalam keadaan patah hati Salman al-Farisi bukan justru membenci
sahabatnya. Ia malah ikut berbahagia. Dengan ikhlas dan tegar, Salman
melepaskan harapannya seraya berkata,“Semua mahar dan nafkah yang sudah aku
persiapkan ini aku serahkan kepada Abu Darda. Dan aku pula yang akan menjadi
saksi pernikahan mereka”.
Betapa
besar kemuliaan hati Salman al-Farisi. Ia sadar bahwa cinta kepada manusia tak
boleh melemahkan imannya. Kekuatan Salman bukan hanya terlihat dari fisiknya,
tetapi juga dari hati dan imannya.
Salman al-Farisi juga
sangat paham arti persahabatan sejati. Tak sedikitpun rasa benci kepada Abu
Darda terbesit di hatinya. Ia justru turut berbahagia ketika sahabatnya
bahagia. Coba bayangkan, betapa banyak kasus persahabatan yang rusak karena
cinta. Namun Salman tetap menjaga kokoh persahabatannya hingga akhir hayatnya.
Komentar
Posting Komentar