Langsung ke konten utama

Selamat Jalan Bos Riko Gaung




Ku buka mata, ku nyalakan hp. Ku buka Whatsapp, betapa kagetnya, Innalillahi Wainnailaihi Rojiun, ada pesan dari mbak sari ternyata kabar duka bahwa Riko sudah meninggal jam 3 dini hari di RSUD Sumbawa. Aku membalas pesan itu, "Saya rencananya akan menjenguk beliau hari ini di RSUD" ku usap mata dan membayangkan wajah ke lima anak beliau dan istrinya yang sangat baik selama ini kepadaku.  


Rivi Hamdani Rahz atau akrab disapa Riko adalah salah satu yang percaya bahwa aku memiliki bakat di dunia jurnalistik. Adik kandung dari Ridho Rahz CEO Gaung NTB tersebut membuatku percaya diri dalam menulis berita, padahal sebelumnya aku hanya hobi menulis artikel dan opini. Rasanya terlalu cepat beliau pergi tetapi kita tidak pernah tahu kapan ajal akan datang menjemput .

Aku mengenalnya lewat perantara berita yang ditulis oleh pak Adi Manaungi salah satu wartawan senior Gaung. Ketika itu pak Adi sedang menjabat sebagai salah satu komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sumbawa. Pada suatu acara sosialisasi pemilu tahun 2014, aku mengajukan kritik pedas tentang tujuan rekrutment relawan demokrasi?apa dampaknya terhadap partisipasi pemilih di Kabupaten Sumbawa? Jangan-jangan para relawan ini hanya makan gaji buta?

Melalui berita yang diberi judul: Mahasiswa pertanyakan eksistensi relawan demokrasi, Riko kemudian mencariku ke kampus ditemani mas Dedi yang waktu itu masih menjadi wartawan di Gaung sekaligus mahasiswa Universitas Samawa (UNSA). 

Aku masih belum percaya diri dalam menulis, kenapa aku diajak bergabung menjadi wartawan Gaung? Aku tidak langsung menerima tawaran tersebut. Aku sempat diberi waktu untuk berpikir kalau tidak salah sekitar 2 minggu. Kemudian, akhirnya aku bergabung menjadi relawan demokrasi untuk pemilu tahun 2014 dan aku sering bertemu dengan Dedet dan riko karena keduanya juga menjadi relawan demokrasi. Finaly, aku menerima tawaran menjadi wartawan Gaung setelah berbagai lika liku perjalanan menulis yang cukup menegangkan.     






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lalu Dia Lala Jinis Kisah Romeo Juliet Alas-Sateluk

Resensi By: Susi Gustiana Betapa bahagia  mencium aroma buku , pikiranku menari 'seolah menemukan harta karun'.    Buku Lalu Dia dan Lala Jinis  adalah cerita rakyat Sumbawa yang di tulis oleh bapak Dinullah Rayes. Nama Rayes merupakan marga dari keturunan kedatuan Alas. Cerita ini bersemi dihati penduduk terutama dari bagian barat tepatnya di kecamatan Alas. Kisah kasih diantara dua pasang anak muda romeo dan Juliet Sumbawa ini diriwayatkan oleh orang tua dengan menggunakan bahasa yang puitik melalui lawas. Lawas samawa merupakan puisi lisan tradisional pada umumnya tiap bait terdiri dari 3 baris. Dipengantar awal buku penulis menyebutkan bahwa kisah ini ditembangkan oleh orangtua yang   mahir balawas (menembangkan syair) dengan suara merdu menawan dan mempesona bagi siapapun yang mendengar. Tradisi di Sumbawa bagi orang yang bisa mendongeng atau bercerita itu disebut Badia. Tau Badia (orang/seniman yang menyampaikan cerita) sering diund...

Tugu Simpang 5 Aceh!!!! Begitu ‘Sempurna’

Kalian tahu tidak lagu sempurna dari Andra and The Backbone mungkin itu tepat untuk menggambarkan monument ini. “Belum ke Aceh namanya jika belum mengunjungi salah satu tugu atau monumen yang sangat ikonik dan keren ini” kata Pak Marzuki guide kami selama di Aceh. Yupz…..Namanya tugu simpang 5, oleh ibu-ibu rombongan dari Sumbawa yang antusias untuk mengambil gambar berselfia ria bahwa   di monumen ini. Menurut mereka tugu simpang 5 juga disebut tugu selamat datang. Karena lokasinya berada di pusat kota dan punya nilai filosofi yang sangat mendalam. Dalam catatan sejarah, tugu ini berada di lima persimpangan jalan protokol yang selalu padat, yaitu jalan Tgk. H. M. Daud Beureuh, T. Panglima Polem, Sri Ratu Safiatuddin, Pangeran Diponegoro, dan jalan Teungku Angkasa Bendahara. Di lihat dari desainnya, ada 4 eksplorasi konsep dari  tugu Simpang Lima Aceh  ini, yaitu axis-oriented (sumbu), urban oase, multi-purposes building, dan landmark kota Banda Aceh. T...

Kompetisi Vs Pandemi

Mengikuti kompetisi sudah menjadi kebiasaanku sejak SD hingga sekarang. Meski jarang menang, tetapi sudah ikut berpartisipasi saja rasanya bahagia sekali. Ketika pandemi Covid 19 terjadi pada bulan Maret tahun 2020, hikmahnya kita lebih gampang mengikuti lomba seperti menulis Esai,  artikel, opini, KTI, cerpen, puisi, seminar, lomba desain, photografi, pelatihan, fellowship, nulis buku, beasiswa dan lain-lain. Jika dihitung, jumlah project menulis kala pandemi yang aku ikuti sekitar 30 lebih dari non Fiksi hingga Fiksi tapi yang menang bisa dihitung jari. Namun dari effort tersebut, banyak yang kita dapatkan yaitu kiriman buku gratis dari funding internasional dan nasional,  teman baru, relasi, wawasan, update teknologi aplikasi, hadiah menarik dan lain-lain serta jangan lupakan hadiah uang dan pulsa🤭😉. Selanjutnya, tahun 2021 bersiap untuk kompetisi lagi. Jika ada yang termotivasi dengan tulisan ini, maka tetap semangat, optimis, jangan pernah insecure, iri hati, dengki dan...