Esther Htusan lahir dan besar di Negara Bagian
Katchin, wilayah Utara Myanmar yang berbatasan dengan Cina dan India. Sebelum
pemilu Myanmar Tahun 2010 digelar, Esther bekerja bersama organisasi masyarakat
sipil memberikan pendidikan pemilih di daerah-daerah etnis.
Selama waktu itu, dia juga membantu jurnalis asing yang masuk ke wilayah
etnis pasca kuasi pemerintah memberi ijin masuk ke Myanmar. Dia berperan
sebagai fixer, penerjemah hingga produser. Pada tahun 2013, Associated Press
(AP) kemudian mendapuknya sebagai koresponden.
Pada April 2016, Esther bersama timnya yang terdiri empat perempuan dari
AP, memenangkan Pulitzer untuk liputan investigasi perbudakan industri
perikanan Asia Tenggara. Prestasi ini menjadikannya jurnalis pertama dari
Myanmar yang berhasil meraih Pulitzer. Dengan AP, Esther juga meliput berbagai
isu termasuk konflik etnis di Kachin, Shan, dan Rakhine, bencana alam,
perdagangan narkoba, dan industri ekstraktif.
Prestasi ini tidak mungkin diraih tanpa dukungan dari organisasi media
yang menciptakan ruang redaksi setara bagi jurnalis perempuan dan laki-laki
dalam meliput wilayah sensitif konflik atau daerah krisis. Beruntung Esther
berada di media yang mempercayainya melakukan perjalanan ke daerah konflik dan
meliputnya.
“Dalam organisasi kami, tidak sekalipun saya ditolak untuk meliput suatu
peristiwa atau masalah karena saya seorang perempuan. Itu sebabnya, pekerjaan
kita produktif,” katanya.
Sejak mulai bekerja sebagai jurnalis tetap, dia bisa liputan ke daerah
konflik. Hampir seluruh proposal liputannya diterima dengan baik dan diijinkan.
Mereka menjaminya kebebasan meliput setiap berita, acara maupun angle yang
terpikir olehnya.
Namun kondisinya sangat jauh berbeda dengan keluhan sejumlah jurnalis
perempuan yang bekerja di media lokal. Esther menemukan media lokal masih
cenderung mendiskriminasi jurnalis perempuan. Ketika seorang perempuan pergi ke
daerah sensitif, para editor akan berkata: “Itu risiko Anda sendiri karena itu
pilihan Anda pergi ke sana.”
Hanya karena melihat seorang sebagai jurnalis perempuan, editor langsung
menolak tanpa melakukan hal penting yang harusnya mereka lakukan: menyarankan
membawa peralatan keselamatan seperti halnya yang mereka lakukan kepada
jurnalis laki-laki.
“Kadang-kadang, hanya karena dari seorang jurnalis perempuan mereka segera
mengatakan “tidak” tanpa mempertimbangkan proses termasuk upaya keselamatan.
Mereka harusnya memperhitungkan upaya dan kapasitas perempuan jurnalis terutama
apa keterampilan dia yang bisa dilihat dari karirnya,” ujarnya.
Peralatan Keselamatan yang Memadai
Dalam sebuah perjalanan liputan ke Utara Sagaing di perbatasan Myanmar
dengan India, Esther segera menelepon kantor setiap kali mendapat sinyal
telepon. Kepada siapapun yang menerima telponnya, ia menceritakan situasi di
lapangan dan meminta situasinya disampaikan kepada staf redaksi lain.
Esther harus menggunakan telepon karena komunikasi lewat email tidak
memungkinkan. Ketika sinyal telepon biasa tidak tersedia, disaat itulah dia
menggunakan telepon satelit yang dibawa dari kantor untuk memberikan informasi
seperti posisi, capaian kemajuan, apa yang dilakukan serta tempat yang
diketahui tidak boleh dimasuki setelah tiba di sana.
“Jika ada masalah, kita dapat menggunakan telepon yang menginformasikan
kantor. Selalu ada rencana cadangan dari kantor kami di kasus situasi darurat,”
katanya.
Mekanisme ini sudah menjadi prosedur keselamatan yang selalu didikusikan
dan dibahas senior AP ketika berkunjung ke Myanmar. Jurnalis yang melakukan
liputan lapangan disarankan tetap terhubung dengan kantor dan memberikan
laporan rutin. Mereka juga disarankan menyampaikan kepada kantor jika tidak
mungkin melanjutkan liputan.
Selain itu, ketika merencakan liputan di wilayah konflik, hal utama yang
didiskusikan dan dipastikan apakah kantor memiliki peralatan keselamatan yang
cukup. Bahkan jika peralatan keselamatan cukup, apakah kualitasnya aman
digunakan untuk daerah konflik.
Menurut Esther, dalam panduan keselamatan AP, setiap pria dan wanita
diperlakukan sama. Para senior juga memperingatkan untuk tidak meliput berita
yang bisa mengorbankan nyawa mereka. Peringatan ini tidak hanya ditujukan
kepada jurnalis perempuan, itu pesan standar untuk kedua jenis kelamin,
laki-laki dan perempuan.
Kadang-kadang, ada daerah yang tidak bisa diliput karena redaksi tidak
mampu mengupayakan perlengkapan keselamatan tepat waktu.
“Jadi, mereka (redaksi) tidak mengizinkan pergi ke daerah-daerah itu
apabila mereka tidak bisa bertanggung jawab untuk keselamatan kami jika sesuatu
terjadi saat liputan. Hal ini bukan karena isu menjadi jurnalis perempuan,”
pungkasnya.
Ketika seorang jurnalis perempuan meliput wilayah konflik, Esther meyakini
sisi keibuan yang biasanya melekat pada seorang perempuan akan berdampak
terhadap hasil liputan yang mengutamakan sisi kemanusian.
Ketika jurnalis perempuan melihat seorang anak menangis, ia cenderung akan
menggali alasan yang membuat menangis. Sementara jurnalis laki-laki hanya akan
mengambil gambar anak yang menangis dan fokus terhadap dampak visual.
“Jadi, kita akan mendapat liputan yang sangat baik jika cerita kemanusiaan
perempuan dapat dikombinasikan dengan visual laki-laki,” katanya.
Untuk itu, Esther berharap ketika seorang jurnalis perempuan mngusulkan
liputan di daerah krisis, maka pertimbangkan kemampuannya dan lakukan persiapan
yang perlu tanpa ada keraguan terlebih diskriminasi. Sebab penting
memperlakukan jurnalis laki-laki dan perempuan setara. (Debora Blandina
Sinambela/GIJN)
Sumber:
“Reporting While Female: A Talk with Pulitzer Winner Esther Htusan” oleh
Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) yang dimuat di website GIJN, 5 Januari
2017.
Komentar
Posting Komentar