Pertama-tama, puasa melatih dalam mengelola
kehendak. Dengan berpuasa, kita melatih kehendak agar sesuai dengan kehendak
Allah.
Dalam perspektif sufi, hal itu menunjuk
pada ketiadaan kehendak. Yang ada hanyalah kehendak Allah semata. Kita hanyalah
pelaksana kehendak-kehendak-Nya.
Konkretnya, dalam keadaan lapar dan haus
pada siang hari di bulan Ramadhan. Bukankah yang paling enak kita melakukan
makan dan minum?
Namun, hal itu tidak dilakukan. Sebab, kita
menyadari, makan dan minum pada siang hari Ramadhan menyalahi
kehendak Allah. Dia mengharuskan kita agar menahan diri dari makan dan minum.
Puasa juga melatih kita dalam persoalan
ketaatan, kesabaran, dan kesungguhan kepada Allah. Bukankah karena ketaatan
kita tidak berlaku curang dalam melaksanakan puasa? Kita, misalnya, tak makan
atau minum secara sembunyi-sembunyi?
Dengan kesabaran dan kesungguhan, kita
bersedia melalui sebulan penuh Ramadhan dengan lapar, haus, dan menjaga diri
dari hal-hal yang membatalkan puasa pada siang hari. Melalui malam-malamnya dengan
mengurangi jam tidur agar dapat lebih banyak beribadah kepada Allah.
Buah dari latihan dan ujian itulah yang
ditegaskan Allah SWT dalam ayat 183 surah Al Baqarah, yaitu ketakwaan.
Umar bin Abdul Aziz mendefinisikan takwa
sebagai meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan menunaikan segala yang
diperintahkan-Nya.
Ibn Abbas mendefinisikan takwa sebagai
berhati-hati dalam ucapan dan perbuatan agar tidak mendapat murka dan siksaan
Allah.
Semoga Ramadhan kali ini benar-benar
menjadi bulan latihan dan ujian bagi kita semua dan memperoleh ketakwaan
sebagai hasilnya.
Sumber: Republika
Komentar
Posting Komentar