Ditengah
pandemi Covid 19, pemerintah meluncurkan kartu prakerja sebagai jawaban atas
banyaknya pengangguran dan pencari kerja hingga para karyawan yang terkena
dampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dirumahkan hingga pembatasan jam kerja.
Para pencari kerja khususnya di kabupaten Sumbawa juga mencoba mengakses untuk
dapat menikmati pelatihan tersebut.
Salah
satunya dilakukan oleh Januardi (33), sebelumnya ia berprofesi sebagai kru
salah satu maskapai penerbangan di bandara Sultan Muhammad kaharuddin, ketika
pandemi terjadi ia memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaan ketimbang di
PHK atau dirumahkan. Setelah itu, ia mencoba mendaftar untuk mendapatkan
pelatihan lewat kartu pra kerja. Namun, hanya sampai seleksi tahap 3, kartu
prakerja tidak bisa lagi diakses karena kuota pelatihannya tidak ada.
“Saya
kurang tahu, apakah saya lolos atau tidak seleksi tahap ketiganya atau memang
sudah habis jatah kuota pelatihan untuk gelombang kemarin, jadinya ya saya
tidak bisa menikmati pelatihannya,” katanya.
Januardi
mengatakan, tidak banyak berharap dari pelatihan itu, toh juga pelatihannya
hanya video padahal video seperti itu juga bisa dicari di Youtube.
Dengan
semangat, Nur Intan (29) pencari kerja, juga berusaha mendaftar kartu pra kerja
dengan harapan bisa merasakan pelatihan online, namun gagal juga ditahap
seleksi kedua.
“Aku
semangat ikut karena melihat teman-teman yang lain daftar, sebenarnya hanya
untuk coba-coba saja, tidak banyak berharap apa-apa toh juga pelatihan hanya
online lewat video,” ujarnya.
Menanggapi
hal ini, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) melalui
kepala Dinas Dr M Ikhsan Safitri menyampaikan tidak
tahu berapa banyak pencari kerja di Sumbawa yang mendaftar, mengikuti seleksi
dan berapa banyak yang merasakan manfaat.
Disebutkan, kartu prakerja ini tersentral
dipusat dan itupun diakses secara online. Bahkan sambungnya, bagaimana efektivitas program prakerja, ya
datanya dipusat. Sementara, untuk pelaksana program bukan Kementerian Tenaga
Kerja, tapi Kementerian Kordinator Bidang Ekonomi. Ikhsan mengatakan mungkin
program kerja ini bermanfaat bagi sebagian pencari kerja yang telah menikmati
pelatihan, tetapi seberapa efektif itu dirinya tidak tahu.
“Kami sudah
surati pusat, untuk mengetahui berapa yang daftar, menerima manfaat dan
mnikmati pelatihan khususnya di sumbawa, tapi belum ada balasan dari surat kami
kepada kementerian terkait” ucapnya.
Ia
menyakini bahwa keterampilan (skill) bagi para pencari kerja itu mesti
dipraktekan tidak bisa hanya lewat daring.
Seperti
pelatihan yang dilakukan Kemenaker bersumber dari dana APBN, sangat beda dengan
konsep prakerja. Saat ini sedang berlangsung pelatihan di Loka Latihan Kerja
(LLK) kabupaten Sumbawa dengan tetap menerapkan protokol kesehatan yang sangat
ketat memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dan mengecek suhu tubuh
yang dilakukan oleh 2 orang Pol-PP dipintu masuk.
Lebih
jauh sambungnya, ada 6 macam paket pelatihan, setiap paket terpilih 16 orang
sedangkan yang masih berlangsung sekarang ada 5 paket yakni menjahit, las,
listrik, dan lain-lain karena 1 paket sudah selesai yakni processing hasil
pertanian (PHP).
Sebenarnya,
pelatihan ini distop tempo hari oleh pusat karena pandemi, jadi saat new normal
dibuka kembali bahkan peserta pelatihannya sudah terseleksi dari awal tahun
2020.
“Pelatihan
distop dulu pada bulan maret kamarin karena pemerintah pusat khawatir terjadi
kluster di pelatihan” pungkasnya.
Menurut Dosen Kebijakan Publik dan Pembina Fisipol Corner
Universitas Samawa (UNSA) Heri Kurniawansyah SAP MPA mengatakan ada dua
perspektif yang ingin disampaikan terkait kartu pra kerja, yaitu dari
perspektif waktu dan dari perspektif substansi kebijakan.
Menurutnya, dari perspektif waktu (timing), implementasi kartu
pra kerja tidak layak diterapkan pada saat kondisi pandemi ini, apalagi dengan
total anggaran proyek tersebut sangat besar.
“Kita saat ini dihadapkan pada kondisi pra resesi, hingga anggaran
substansial lainnya mulai diganggu, seperti dana desa, dana pendidikan, dan
bahkan jumlah dana perimbangan” katanya
Ia mengakui memang benar kartu pra kerja merupakan salah satu
program jangka panjang yang sudah pernah dideskripsikan ketika Jokowi
mencalonkan diri sbg presiden, namun kebijakan itu bisa diterminasikan ketika
berbenturan dengan situasi dan kondisi yang tak terduga, seperti covid ini.
Coba bayangkan lanjutnya, kartu pra kerja dimaksudkan untuk
mentransformasikan pengetahuan kepada masyarakat tentang keterampilan agar
masyarakat mudah mendapatkan pekerjaan. Sementara, realitanya sekarang banyak
perusahaan yang gulung tikar, banyak buruh yang di PHK, lantas mau kerja dimana
setelah itu?
Masih menurutnya, yang sudah bekerja saja di-PHK kok, pandemi
ini telah membuat berbagai perusahaan gulung tikar dan terjadinya PHK pada
ribuan buruh, dan dipastikan akan terus bertambah sampai titik puncaknya nanti.
Dijelaskan, jikapun kartu pra kerja dimaksudkan agar semuanya
bisa mandiri dengan menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, bukankah
usaha-usaha yang sudah ada selama ini juga telah gulung tikar? Lalu siapa
konsumennya ditengah daya beli masyarakat yang
menurun, dan ekonomi anjlok.
“Penerima manfaat kartu prakerja ini mau buat usaha apa ditengah
ketidakpastian perputaran sosial trust saat ini. Jujur, saya bingung dengan
formulasi kebijakan yang satu ini, belum lagi jika kita mau mengkritik betapa
mahalnya pembiayaan proyek tersebut ditengah masyarakat memiliki alternatif
strategi yang justru gratis dan lebih baik, misalnya polarisasi YouTube yang
bebas akses” jelasnya.
Selanjutnya, yang kedua dari perspektif substansi kebijakan. Menurutnya,
program kartu prakerja adalah bagian dari visi misi pemerintah yang
orientasinya jangka panjang, tapi ketika hal tersebut dipraktekkan di tengah
pandemi ini, dimana telah terjadi ketidakpastian ekonomi dan daya beli
masyarakat menurun, maka disinilah letak patologi formulasi kebijakannya.
Pada akhirnya orientasi kebijakan menjadi sia-sia ditengah
negara sedang membutuhkan anggaran yang memadai. Endingnya terkesan
membuang-buang uang.
Heri menegaskan, orientasi kebijakannya sungguh kontradiktif
dengan kondisi masyarakat itu sendiri. Dalam kondisi kritis seperti ini,
sebaiknya Pemerintah fokus pada penyelesaian Covid 19 sambil tetap memfokuskan
pada pembangunan daya beli masyarakat dan ekonomi.
Dari mana saja uangnya?, geser anggaran program tersebut pada
subsidi kebutuhan masyarakat, ini namanya sistem sosialis putih dimana
pemerintah hadir menyelamatkan kondisi di tengah pandemi. Itu lebih konkrit
untuk sementara ini ketimbang memberikan kebijakan yang justru kontraproduktif
dengan keadaan masyarakat.
Ingat ya, seharusnya program kartu pra kerja dapat akan
mengurangi pengangguran, faktanya kata heri pengangguran itu terus bertambah
begitu juga terjadi di sumbawa.
“Praktek kebijakan kartu pra kerja menurut hemat saya tidak
tuntas dibahas pada saat formulasinya, sehingga kebijakan tersebut belum
memiliki output sesuai dengan harapan,” seraya mengatakan mungkin kebijakan tersebut
akan berguna secara holistik ketika dipraktekkan setelah pandemi, dgn catatan
sistem dan polarisasinya diperbaiki agar tepat memiliki output dan manfaat yang
baik bagi publik.
Komentar
Posting Komentar