Kak
Dee, percayakah dengan KUTUKAN MENULIS? Misal, kita menulis sesuatu yang
bersambung (nggak sekali jadi). Hari ini kelihatan keren. Tapi, besok pas mau
dilanjutkan terasa jadi aneh dan pengin ganti ide lain. Bagaimana solusinya,
ya?
Zafiroh Alfiyani
Halo, Mbak Dee. Saya punya satu ide cerita,
sudah seperempat jalan saya tuliskan. Belakangan ini, setelah membaca ulang
cerita saya, saya merasa cerita itu tidak seru, tidak bikin orang nggak mau
berhenti membaca. Akhirnya, saya mencoba untuk mengganti dialog-dialognya,
tetapi hasilnya sama saja. Tetap membosankan. Apa yang harus saya lakukan?
Apakah saya harus tetap melanjutkan cerita saya, percaya diri dengan cerita
saya? Ataukah, saya harus berhenti melanjutkannya, dan membuangnya ke tong
sampah?
M. Farrel Savero
Sebagaimana
seorang dokter akan kesulitan mendiagnosis pasiennya tanpa memeriksa langsung
(kecuali penyembuh sakti yang buka praktik dari jarak jauh), saya pun akan
kesulitan menentukan sebuah naskah layak diteruskan atau tidak tanpa membacanya.
Bahkan ketika sudah dibaca sekalipun, keputusan itu sesungguhnya tetap ada di
tangan penulisnya. Tidak akan pernah ada di tangan saya.
Yang
bisa saya bantu adalah memperjelas satu hal terlebih dulu: fenomena itu BUKAN
kutukan menulis, melainkan BAGIAN dari proses menulis yang PASTI terjadi. So, terimalah
dengan lapang dada. Berharap bahwa tulisan kita akan langsung keren dan terus
keren selama-lamanya adalah ilusi nomor satu yang harus dienyahkan sekarang
juga. It’ll
never happen. Jadi, berdamailah dengan kenyataan itu.
Ketika
kita sudah berhenti berontak, segala sesuatunya akan lebih jernih dan mudah,
termasuk menerima kenyataan bahwa seringkali sebuah karya tidak selesai bukan
karena idenya buruk atau kurang keren, melainkan karena kita tidak punya komitmen
cukup untuk menyelesaikannya.
Perbaikan
teknis selalu bisa dilakukan, karena cerita memang jarang hadir utuh melainkan
potongan demi potongan. Satu potongan buruk tidak berarti seluruh potongan lain
perlu disudahi. Diperlukan kesabaran dan ketekunan untuk mau membedah serta
memperbaikinya.
Dari
sisi teknis, kita bisa mengevaluasi elemen-elemen cerita berikut ini. Pertama,
karakter (Apa
yang bisa saya perbaiki agar karakter saya lebih menarik? Apakah dia butuh
tantangan baru? Kelemahan baru? Kekuatan baru? Gender baru? Hobi baru?). Kedua, setting (Apakah saya perlu
mencoba kota lain? Lingkungan lain? Waktu lain?). Ketiga, plot (Apakah saya perlu mengubah
rangkaian kejadian dalam cerita saya? Bagaimana susunan peristiwa yang lebih
seru supaya terasa ada klimaks cerita?). Keempat, konflik (Apa konflik yang logis dan
relevan yang perlu dialami oleh karakter saya? Perlukah ditambah? Perlukah
dikurangi?). Hingga mungkin kita perlu mempertanyakan ulang
hal paling dasar, yakni tema (Apakah ini tema yang betul-betul
ingin saya garap? Adakah tema lain yang mungkin lebih cocok bagi saya saat
ini?).
Jumlah
pertanyaan tadi boleh jadi sudah terasa memabukkan, tapi ketahuilah bahwa
sepanjang proses kreatif berlangsung kita akan terus dihadapkan kepada pertanyaan
yang lebih banyak dan lebih kompleks lagi. Masalahnya, kita tidak suka menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu dan akhirnya lebih sering memilih mundur.
Lalu,
adakah tip praktis yang bisa membantu situasi tersebut? Tentu ada. Kurangi
membaca ulang. Teruskan ceritamu sampai selesai, dan beri waktu cukup untuk
menyunting dan merevisi naskahmu belakangan. Percayalah. Akan ada RIBUAN hal
untuk direvisi.
Berikutnya,
jangan letakkan ekspektasi terlalu tinggi pada draf pertama. Draf pertama
tercipta untuk dibantai dan dimaki-maki, tapi tanpa kehadirannya, titel
“Penulis” selamanya menjadi angan-angan. Jadi, berjuanglah untuk tiba di sebuah
draf pertama. Bukan di karya keren yang belum pernah ada di muka bumi dan
dicintai sejuta umat tanpa kecuali. Biarkan semua embel-embel itu menjadi
rangkaian ekspektasi yang kita tata belakangan.
Kembalilah
pada naskahmu, yang mungkin baru setengah atau seperempat jalan, bongkar pasang
sampai jungkir balik kalau perlu, ragu-ragulah sesering yang kamu mau, buat
ikat kepala bersablon “Hari Ini Keren, Besok Rusak Binasa” kalau itu
membantumu. Tuntaskan draf pertamamu dengan segala cara dan upaya.
Naskahmu
bisa menjadi sesuatu, bisa juga bukan apa-apa, tapi apa pun jadinya, dia akan
menjadi penanda jam terbangmu berkarya. Sebuah sasana untukmu berlatih. Tidak
pernah akan ada yang salah tentang itu, meski akhirnya dia menjadi karya yang
biasa-biasa saja.
Satu
pengakuan: jika arah angin sedang baik atau konstelasi benda-benda langit
sedang menguntungkan, saya bisa merasa puas membaca karya saya sendiri. But, most of the time? I
cringed reading my own stuff, especially the older pieces. The older it is,
usually my reaction is even worse. Namun, saya sudah lama
berdamai dengan itu.
Our mind is our worst judge. Lupakan
kritikus pedas di luar sana, kritikus level mercon ada di kepala kita sendiri.
Standar kerenmu tidak akan pernah tercapai. Tapi, kamu bisa berkomitmen untuk
selesai.
I started one. I finished one. And, I commit
to do better next time. Everytime.
That is all I do.
You can do it, too.
https://deelestari.com/serialsurel-kutukan-menulis/
Komentar
Posting Komentar