Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak baik secara fisik, psikologis, verbal maupun seksual dimasa pandemi Covid 19 terus meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya di kabupaten Sumbawa. Hal ini membuat para pihak mulai gencar melakukan sosialisasi UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU Perlindungan Anak.
Seperti kerjasama yang dibangun antara pihak civitas akademika
Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Samawa Rea (ISBUD Sarea) melalui
penanganan dan pendampingan hukum kasus kekerasan dalam program Kuliah Kerja
Lapangan (KKN) mahasiswa angkatan IV tahun 2020 bertajuk “Berbasis Riset dan
Kerja Sosial” dengan para stakeholders antara lain Lembaga Perlindungan Anak
(LPA) kabupaten Sumbawa, Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) kabupaten Sumbawa, dan Unit
Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Sumbawa.
Adapun tujuan dilakukannya sosialisasi adalah untuk meningkatkan
pemahaman dan kepedulian masyarakat dalam upaya melindungi perempuan dan anak
dari bahaya kekerasan serta memberikan informasi tentang penanganan kasus dan
bagaimana cara melaporkan kasus apabila terjadi ditengah masyarakat.
Sejauh ini, kegiatan sosialisasi sudah dilakukan dibeberapa desa
yaitu rabu (29/7) digelar di Desa Luk kecamatan Rhee, beberapa hari lalu sudah
dilakukan di Desa Labuhan Sumbawa kecamatan Labuhan Badas, Desa Telujung
kecamatan Tarano, Desa Serading kecamatan Moyo Hilir, dan masih akan berlanjut
dibeberapa desa lainnya.
Ini disampaikan Fatriatulrahma, SPd sekretaris dan advokasi LPA
kabupaten Sumbawa kepada Gaung NTB rabu (29/7). Menurutnya, kerjasama yang
terbangun dengan ISBUD Sarea adalah hasil dari pertemuan dengan ibu Gubernur
NTB ibu Hj Niken Saptarini bersama civitas akademika UTS, ISBUD Sarea, LPA dan
DP2KBP3A beberapa waktu lalu dalam rangka mencari solusi pada lini pencegahan
dan penanganan atas tingginya angka kasus kekerasan di Sumbawa.
Disebutkan, selama sosialisasi dilakukan ternyata tingkat
pemahaman masyarakat kalangan menengah ke bawah diantaranya para petani dan
mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) masih minim pengetahuannya dalam upaya
melindungi perempuan dan anak dari bahaya kekerasan.
Dari sosialisasi ini lanjutnya, para orangtua menyadari bahwa
meninggalkan anak dirumah seharian tanpa komunikasi yang intens dapat
mengundang bahaya karena orangtua tidak tahu dengan siapa anak menghabiskan
waktunya dan siapa yang menemani ia selama orangtuanya bekerja. Selain itu,
para orangtua juga menyadari bahaya dan dampak penggunaan hp oleh anak tanpa
pengawasan yang ketat dari orangtua apalagi maraknya konten pornografi terkemas
dalam iklan dan film bisa ditonton anak kapan saja di media digital seperti TV
dan Youtube.
Lebih jauh sambungnya, para orangtua mantan TKI juga menyadari
bahwa selama ini mereka meninggalkan anak hanya melihat bahwa pihak tersebut
bersedia menjaga anaknya tanpa memikirkan apakah anaknya aman atau tidak jika
ditinggal dalam waktu lumayan lama sehingga anak yang kurang mendapatkan kasih
sayang dari orangtua bisa jadi mendapatkan perhatian dari orang lain “para
pelaku kejahatan seksual” sehingga rentan menjadi korban kekerasan.
Saat ini, kasus kekerasan seksual anak di Sumbawa terus
meningkat mencapai 50 kasus lebih berdasarkan data LPA akhir Juli 2020 dan
melibatkan lebih dari satu pelaku yang justru berasal bukan hanya dari orang
tidak dikenal, namun juga orang dikenal bahkan orang terdekat, seperti
orangtua, guru, paman, tetangga dan teman sebaya.
“Ketika saya bercerita tentang kasus meningkatnya kekerasan
seksual pada anak dan kasus KDRT yang meningkat tapi tertutupi dipemberitaan
media massa karena tinggi kasus kekerasan seksual, salah satu orangtua bertanya
apakah para pelaku mendapatkan efek jera setelah di penjara? saya kemudian
menjawab pelaku kekerasan seksual akan mendapatkan efek jera setelah dijatuhi
hukuman sekarang ini hukumannya minimal 10-20 tahun penjara, kebiri kimia, dan
penjara seumur hidup, saya rasa krusial pentingnya sekarang kita gencar
sosialisasi karena pemahaman masyarakat masih kurang, dan mereka juga tidak
tahu informasi tentang tingginya angka kasus kekerasan seksual pada anak dan
KDRT pada perempuan,” paparnya.
Seraya berharap kegiatan serupa bisa direplikasi dan dilakukan
di desa lainnya, bahkan kegiatan sosialisasi bisa dianggarkan melalui dana
desa.
Komentar
Posting Komentar