Langsung ke konten utama

Book Shaming dan Rendahnya Minat Baca



Saat melahap ubi dan jagung rebus ditemani secangkir kopi pagi ini, aku teringat dengan Joseph Brodsky. 


Ia adalah peraih Nobel Sastra pada tahun 1987. Ada kata yang menusuk nun kedalam lubuk hati 

"Kesalahan terbesar dari membakar buku, salah satunya adalah tidak membacanya" inilah kata fenomenal.

 

Ayok, mumpung lebih banyak  kesempatan di rumah karena pandemi, jangan lupa luangkan waktu membaca buku bersama keluarga. 


Bacalah buku apa saja yang ada, jangan pernah mengatakan buku A jelek dan buku B bagus karena itu karya terbaik sang penulis.


Jangan pernah juga  melakukan Book Shaming yaitu mengolok atau mencela buku yang dibaca orang lain, dan menganggap seleranya terlalu rendah. 


Kadang tanpa disadari, kita berkata "Kenapa si baca buku itu, loh yang ini lebih bagus" meski hanya merekomendasi tapi dalam hati seseorang pasti tak nyaman.


Padahal, book Shaming berpotensi membatasi ruang gerak pada bacaan sehingga orang takut dianggap berselera buruk. 


Jadi, baca saja buku apapun yang kamu suka, dan merdekalah dalam membaca. 


Terkadang, saat membaca buku, majalah, atau koran di Perpustakaan Daerah Sumbawa atau di Taman Baca Dila Samawa, aku memperhatikan sekeliling. Suatu waktu, aku mendapati anak yang membaca sambil tertawa dari wajahnya terpancar aura kebahagian. Aku lalu mendekatinya, wah ternyata ia sedang membaca komik. Ternyata, membaca komik bisa seasyik itu ya.


Namun, perpustakaan dan taman baca sekarang ini kosong tak banyak pengunjung, mungkin karena takut keluar rumah, dan lebih aman dirumah saja, sehingga minat baca mulai menurun. Bagi orangtua yang tinggal di kota, sebagian sudah memilih membayar guru les privat untuk datang mengajar anaknya ke rumah, tetapi di desa akses bacaan tidak banyak,  bekal anak hanya pada buku pegangan dari guru. 


Mungkin yang diharapkan orangtua saat BDR adalah guru mau datang mengajar ke rumah lebih sering.

Sementara, untuk akses buku bacaan anak  juga tidak terbatas mengingat tidak semua desa ada pos baca dan perpus desa, sehingga perlu lebih banyak lagi pahlawan penggerak seperti ibu Nursyda Syam di Lombok dan pak Edy Shd di Empang-Sumbawa juga Pupinka (Perpustakaan Pinggir Kali) di kampung bage untuk memotivasi, mengajak, dan membuat program dalam usaha meningkatkan minat baca masyarakat. Bagi mahasiswa yang pulang kampung saat pandemi, jika ada waktu luang jadilah relawan untuk mengajar anak tetangga membaca dan menulis seperti yang dilakukan Sendi Akramullah di Orong Telu atau yang dilakukan pemuda dan karang Taruna Tepal yang inisiasi pertama dilakukan oleh bang Muhammad Isnaini Ali melalui Pustaka Rimba dan di Warung Marhaen milik kak Syam Samawa di Taman GGS Kerato. Saya juga melihat, para kades belum serius mengolah perpustakaan desa mungkin saya salah, harap komen jika ada perpustakaan desa yang sudah maju atau minimal aktif saat pandemi ini di wilayah Kabupaten Sumbawa, oits mungkin ada Cabup/Cawabup dan tim yang peduli dengan budaya baca sila timnya komen juga😁🏡.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lalu Dia Lala Jinis Kisah Romeo Juliet Alas-Sateluk

Resensi By: Susi Gustiana Betapa bahagia  mencium aroma buku , pikiranku menari 'seolah menemukan harta karun'.    Buku Lalu Dia dan Lala Jinis  adalah cerita rakyat Sumbawa yang di tulis oleh bapak Dinullah Rayes. Nama Rayes merupakan marga dari keturunan kedatuan Alas. Cerita ini bersemi dihati penduduk terutama dari bagian barat tepatnya di kecamatan Alas. Kisah kasih diantara dua pasang anak muda romeo dan Juliet Sumbawa ini diriwayatkan oleh orang tua dengan menggunakan bahasa yang puitik melalui lawas. Lawas samawa merupakan puisi lisan tradisional pada umumnya tiap bait terdiri dari 3 baris. Dipengantar awal buku penulis menyebutkan bahwa kisah ini ditembangkan oleh orangtua yang   mahir balawas (menembangkan syair) dengan suara merdu menawan dan mempesona bagi siapapun yang mendengar. Tradisi di Sumbawa bagi orang yang bisa mendongeng atau bercerita itu disebut Badia. Tau Badia (orang/seniman yang menyampaikan cerita) sering diund...

Tugu Simpang 5 Aceh!!!! Begitu ‘Sempurna’

Kalian tahu tidak lagu sempurna dari Andra and The Backbone mungkin itu tepat untuk menggambarkan monument ini. “Belum ke Aceh namanya jika belum mengunjungi salah satu tugu atau monumen yang sangat ikonik dan keren ini” kata Pak Marzuki guide kami selama di Aceh. Yupz…..Namanya tugu simpang 5, oleh ibu-ibu rombongan dari Sumbawa yang antusias untuk mengambil gambar berselfia ria bahwa   di monumen ini. Menurut mereka tugu simpang 5 juga disebut tugu selamat datang. Karena lokasinya berada di pusat kota dan punya nilai filosofi yang sangat mendalam. Dalam catatan sejarah, tugu ini berada di lima persimpangan jalan protokol yang selalu padat, yaitu jalan Tgk. H. M. Daud Beureuh, T. Panglima Polem, Sri Ratu Safiatuddin, Pangeran Diponegoro, dan jalan Teungku Angkasa Bendahara. Di lihat dari desainnya, ada 4 eksplorasi konsep dari  tugu Simpang Lima Aceh  ini, yaitu axis-oriented (sumbu), urban oase, multi-purposes building, dan landmark kota Banda Aceh. T...

Kompetisi Vs Pandemi

Mengikuti kompetisi sudah menjadi kebiasaanku sejak SD hingga sekarang. Meski jarang menang, tetapi sudah ikut berpartisipasi saja rasanya bahagia sekali. Ketika pandemi Covid 19 terjadi pada bulan Maret tahun 2020, hikmahnya kita lebih gampang mengikuti lomba seperti menulis Esai,  artikel, opini, KTI, cerpen, puisi, seminar, lomba desain, photografi, pelatihan, fellowship, nulis buku, beasiswa dan lain-lain. Jika dihitung, jumlah project menulis kala pandemi yang aku ikuti sekitar 30 lebih dari non Fiksi hingga Fiksi tapi yang menang bisa dihitung jari. Namun dari effort tersebut, banyak yang kita dapatkan yaitu kiriman buku gratis dari funding internasional dan nasional,  teman baru, relasi, wawasan, update teknologi aplikasi, hadiah menarik dan lain-lain serta jangan lupakan hadiah uang dan pulsa🤭😉. Selanjutnya, tahun 2021 bersiap untuk kompetisi lagi. Jika ada yang termotivasi dengan tulisan ini, maka tetap semangat, optimis, jangan pernah insecure, iri hati, dengki dan...