“Merarik Kodeq” alias
pernikahan dini pelajar pada 12 September 2020 viral di Lombok Tengah mempelai
pria 15 tahun dan wanita 12 tahun semakin memperparah daftar pernikahan anak di
NTB saat pandemi Covid 19.
Merujuk pada data, darurat perkawinan anak di Indonesia sendiri ditunjukkan dengan adanya
laporan penelitian
mengenai perkawinan anak yang dilakukan oleh Pusat Kajian dan Advokasi
Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) bersama UNICEF, Badan Pusat
Statistik (BPS), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Laporan
yang dikeluarkan pada tahun 2020 itu menyebut bahwa berdasarkan populasi
penduduk, Indonesia menempati peringkat ke-10 perkawinan anak tertinggi di
dunia.
Sedangkan, data Dinas Dikbud NTB menunjukkan,
148 peserta didik jenjang SMA di NTB nikah dini saat pandemi Covid 19 pada
tahun 2020. Data ini adalah hasil survei 131 sampel sekolah dengan rincian 17
siswa di Kabupaten Bima, dua siswa di Kota Bima dan Dompu, Sumbawa ada 11
siswa, Sumbawa Barat satu siswa, Lombok Timur 33 siswa. Selanjutnya Lombok
Tengah 48 siswa, Lombok Barat 20 siswa dan Mataram sembilan siswa sebagaimana
dilansir oleh Lombok Post pada (27/8).
Sementara,
berdasarkan data yang disampaikan Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga
Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Tri Karyati
SSos saat pembukaan acara pengukuhan pengurus (PIK-R) pada (1/9) mengatakan NTB
berada pada nomor 2 Nasional tingginya angka pernikahan anak pada 2020 ini.
Sedangkan di Kabupaten Sumbawa berdasarkan data yang ditambahkan oleh Kabid Ketahanan Kesejahteraan Keluarga Nurfarida SKom MM
pernikahan anak masih terjadi dibeberapa wilayah desa tertentu pada sejumlah
kecamatan seperti di Kecamatan Labangka dan Kecamatan Lunyuk.
Menanggapi
hal ini Psikolog RSUD Sumbawa Ilmiyati Zain
MPsi kepada Gaung NTB rabu (16/9)mengatakan memang ada banyak faktor yang
mempengaruhi, diantaranya dari segi mikro sistem adalah keluarga dan pribadi
anak, kedua meso sistem ada budaya, sekolah, lingkungan dan makro sistem yaitu
kebijakan pemerintah sehingga semuanya memberikan sumbangsi, namun jika
diranking lagi yang paling berpengaruh adalah keluarga dalam hal ini kedua
orangtuanya.
Disebutkan, orangtua dan masyarakat harus berperan dalam
meminimalisir angka ini, disatu sisi juga sambungnya masalah lingkungan dan
budaya membuat persoalan pernikahan anak menjadi sulit untuk dibendung sehingga
kebijakan sebagus apapun pasti tidak akan efektif.
Masih senada, menurut Ketua Fraksi PAN DPRD Sumbawa sekaligus
anggota komisi IV Ida Rahayu SAP kepada Gaung NTB kemarin menyampaikan budaya
membuat masyarakat memilih jalur aman dengan menikahkan anaknya untuk
menghindari zina.
Meningkatnya angka pernikahan anak saat pandemi sambungnya, kembali
lagi pada bagaimana peran orangtua dalam mengawasi pergaulan anak termasuk
bagaimana membatasi penggunaan gadget karena gadget dengan internetnya ada
beragam konten yang mengandung pornografi.
Selain itu, saat anak menghabiskan waktu lebih banyak dirumah
sebaiknya orangtua membina pendidikan karakter anak melalui kegiatan keagamaan
seperti sholat, mengaji dan meluangkan waktu lebih banyak untuk bercerita
dengan anak juga antar anak bila mereka ingin keluar rumah.
Selanjutnya, peran pemerintah terutama Pol-PP dan polisi ketika
melakukan patroli atau razia mohon untuk menertibkan anak sekolah yang masih
nongkrong di taman saat malam hari, karena ini riskan banyak kejadian kekerasan
baik fisik maupun seksual yang dilakukan pada area Ruang Terbuka Hijau (RTH)
seperti kemarin ada di Samota dan itu kejadian saat pandemi.
Terlebih, masyarakat masih
melihat kehamilan di luar nikah sebagai aib yang membuat para orang tua memilih
menikahkan anaknya dibanding menanggung ‘malu’.
Sebagaimana diungkapkan Januardi (30) kepada Gaung NTB (16/9)
salah satu tim dekorasi pengantin bahwa selama pandemi ini ketika ia memasang
dekorasi disejumlah desa dan kelurahan di Kabupaten Sumbawa ada sekitar 5
pasangan pengantin sudah hamil diluar nikah diantaranya juga ada 2 pasangan
yang masih dibawah umur.
“Saya tidak ingin membahas lebih jauh tentang faktor penyebab
dan lain-lain, tetapi saya setuju bahwa pernikahan anak saat pandemi meningkat”
katanya.
Sementara itu, menurut Kepala Kantor Kemenag Sumbawa H Ahmad Taufik SAg MM kepada Gaung NTB kemarin menyampaikan pihaknya hanya menerima
data yang sudah disetujui oleh Pemerintah Desa sehingga tidak bisa diintervensi
ketika terjadi pernikahan pada usia anak.
“Kami tidak bisa ngomong apa-apa, ketika permintaan dan
administrasi dari desa ke KUA sudah lengkap, tetapi apabila pernikahan usia
anak biasanya dari Pengadilan Agama akan memberikan kompensasi” pungkasnya.
Banyaknya tantangan yang
dihadapi dalam menghapus praktik perkawinan anak di masa pandemi menunjukkan
bahwa perlu ada langkah yang ditempuh sejak dini. Perkawinan anak sendiri bisa
menimbulkan berbagai dampak negatif seperti hilangnya akses anak ke pendidikan,
kemungkinan yang lebih besar akan resiko kematian ketika melahirkan, anak yang
dilahirkan memiliki resiko untuk stunting
atau kekurangan asupan gizi, hingga kemungkian adanya bentuk kekerasan
dalam rumah tangga sebab kemampuan psikologis yang belum matang.
Susi Gustiana
Komentar
Posting Komentar